1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tradisi “penuturan” (lisan) merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup di antara anggota masyarakat tersebut, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan Sang Pencipta. Hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, dan bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah Indonesia.[1]
Salah satu bentuk tradisi lisan adalah cerita mengenai genealogi suatu suku bangsa. Cerita-cerita tersebut biasanya berupa mitos yang diwariskan dalam suatu kebudayaan tertentu. Cerita-cerita ini sangat penting karena di dalamnya termuat refleksi mengenai jati diri bangsa, identitas kesukuan, dan bahkan menjadi dasar berbagai aplikasi adat istiadat, kebiasaan, hukum, dan kepercayaan tradisional.
Di Niang Tana Sikka[2], cerita mengenai genealogi suku bangsa Sikka hadir dalam berbagai mitologi. Hal ini dipengaruhi oleh variasi etnis (sub-kultur) yang hidup di wilayah Sikka. Namun, dari sekian banyak mitologi yang ada, cerita tentang “Lepo Gete”[3] adalah yang paling menonjol dalam tradisi lisan masyarakat Sikka. Cerita ini menjadi sangat menonjol karena Lepo Gete diyakini sebagai cikal bakal pemerintahan kerajaan Sikka pada beberapa dasawarsa selanjutnya.[4]
Cerita tentang Lepo Gete diturunkan melalui tradisi lisan Naruk Kleteng Latar/Naruk Dua Mo’ang[5]/Bleka Hara.[6] Namun, karena berbagai faktor sejak tahun 1950-an, cerita-cerita ini (yang kemudian dikenal sebagai Hikayat Kerajaan Sikka) sudah jarang dituturkan lagi. Sekitar tahun 1925, ketika Don Thomas Ximenes da Silva diangkat menjadi Raja, beliau meminta Moa’ang BoEr[7] untuk menuliskan kembali sejarah kerajaan Sikka. Pada waktu yang hampir bersamaan, Mo’ang Kondi[8] pun mulai mengumpulkan berbagai cerita tentang genealogi kerajaan Sikka.[9] Manuskrip Mo’ang BoEr dan Mo’ang Kondi menjadi salah satu peninggalan yang berharga, baik dari segi sejarah, budaya, maupun kesusasteraan. Bahkan oleh E.D. Lewis, karya ini bisa dibandingkan dengan beberapa warisan kesusastraan Indonesia masa lampau lainnya seperti Negara Kertagama, Kakawin, atau Babad Tanah Jawi.[10]
Karya tulis ini mencoba mengkaji lebih jauh aspek sastrawi dari tradisi lisan kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ dari manuskrip Mo’ang Boer dan Mo’ang Kondi. Dengan perspektif teori sastra lisan Parry-Lord, ingin diamati dan dianalisis unsur formula dan formulaik, kelompok gagasan, dan cara penyebaran kisah ini. Lebih jauh, karya tulis ini coba menjawab pertanyaan penting ini, “apa makna dan manfaat kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ bagi msayarakat Sikka?”
1.2 Rumusan Masalah
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang penulis lontarkan ketika berhadapan dengan cerita tradisional ‘Asal Mula Lepo Gete’.
1. Apakah tersedia teknik dan unsur-unsur penciptaan suatu tradisi lisan tertentu, seturut teori Parry-Lord dalam penceritaan cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’?
2. Bagaimana prosedur pewarisan dan persebaran cerita ini?
3. Apa makna dan manfaat dari cerita ini bagi masyarakat Sikka?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1. menemukan dan mempresentasikan adanya berbagai teknik penciptaan dan penceritaan melalui analisis unsur formula dan ungkapan formulaik, tema atau kelompok gagasan seturut teori Parry-Lord dalam cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’,
2. menemukan dan mempresentasikan prosedur pewarisan dan persebaran kisah ini,
3. menemukan dan mempresentasikan makna dari cerita ini bagi masyarakat Sikka.
1.4 Sumber dan Metode Pengkajian
Metode yang digunakan dalam pengkajian kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ adalah penelusuran dan studi literatur serta wawancara. Analisis pada tulisan ini didasarkan pada dua manuskrip BoEr dan Kondi, yang diterbitkan kembali atas prakarsa Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis dalam buku Hikayat Kerajaan Sikka dan satu salinan elektornik (e-paper) The Stranger King of Sikka karya E.D Lewis yang juga menyertakan terjemahan dan komentar atas Hikayat Kerajaan Sikka dalam bahasa Inggris. Selain itu dilakukan juga wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi.
2. Teori Sastra Lisan Parry-Lord[11]
Teori paling utama yang digunakan dalam karya tulis ini adalah teori penciptaan Parry-Lord. Teori ini dicetuskan oleh Milman Parry (1902-1935) dan asistennya Albert B. Lord, dua ilmuan ahli bahasa berkebangsaan Yunani. Mereka membuat suatu penelitian tentang proses penciptaan berbagai epos rakyat di Yugoslavia dengan satu hipotesis mendasar bahwa setiap karya sastra lisan yang utuh dibangun berdasarkan unsur-unsur dan pola penceritaan tertentu yang secara habitual menjadi konvensi dalam suatu kebudayaan. Hipotesis ini merupakan kelanjutan dari penelitian mereka terhadap karya Homerus. Dalam pengkajian Parry-Lord, kurang lebih ada tiga hal yang diteliti berkaitan dengan cerita atau epos rakyat, yaitu a) teknik penciptaan, b) cara tradisi itu diturunkan dari guru ke muridnya, c) resepsi karya sastra itu oleh masyarakat, yaitu dari audience yang menghadiri performance. Menurut Parry-Lord, proses penciptaan sastra lisan dapat dicermati dari cara penutur memanfaatkan formula yang siap pakai sesuai dengan konvensi yang berlaku. Unsur-unsur itu antara lain formula dan ungkapan formulaik, tema atau kumpulan gagasan, dan prosedur pewarisan.
2.1 Formula dan Ungkapan Formulaik
Formula adalah kelompok-kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan sebuah ide pokok, sedangkan ungkapan formulaik adalah larik atau paruh larik yang disusun berdasarkan formula. Dalam penceritaan sebuah sastra lisan, formula, dan ungkapan-ungkapan formulaik berperan untuk mengamankan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Formula dan ungkapan-ungkapan formulaik adalah unsur-unsur siap pakai (stock-in-trade), dan selalu digunakan setiap kali tukang cerita atau penyair lisan bercerita. Unsur-unsur tersebut biasanya dihafal sehingga wacana kebudayaan lisan sangat bergantung pada penggunaan ungkapan-ungkapan yang baku dalam bergaya, misalnya dalam pribahasa-pribahasa dan kata-kata adat lainnya. Dalam penuturan sastra lisan, formula dan ungkapan formulaik tidak hanya berfungsi sebagai wadah penceritaan atau penjelasan isi pokok suatu kisah, tetapi merupakan isi atau pokok cerita itu sendiri.
2.2 Tema atau Kelompok Gagasan
Menurut Parry-Lord, dalam karya sastra lisan seperti epos rakyat, puisi lisan, prosa, nyanyian, atau mazmur, ada sejumlah ide yang secara teratur digunakan dalam penceritaan, kususnya dalam cerita-cerita bergaya formulaik. Oleh Parry-Lord, kelompok-kelompok ide ini disebut sebagai tema-tema (themes). Istilah tema oleh Parry-Lord bisa berupa kelompok-kelompok adegan siap pakai, ataupun deskripsi bagian-bagian cerita dalam konvensi dan sesuai horizon harapan penikmat. Tema sebuah cerita tidak dapat diekspresikan hanya dalam sebuah rangkaian kata-kata saja. Tema harus diungkapkan dalam kelompok-kelompok gagasan berdasarkan perbandingan dengan berbagai variasi teks.
2.3 Penciptaan Kembali dan Prosedur Pewarisan
Menurut Parry-Lord, cerita-cerita dalam suatu kebudayaan tidak selalu kaku dihafal secara turun-temurun. Setiap penceritaan kembali suatu cerita adalah proses pewarisan sebuah tradisi lisan, dan setiap penceritaan memiliki unsur penciptaan kembali suatu cerita berdasarkan konteks maupun ekspetasi pendengar kala itu. Oleh karena itu, suatu kisah yang diwariskan selalu memiliki unsur pembaruan dan dinamis. Bagi Parry-Lord, hal yang relatif tetap (statis) dalam suatu kisah adalah kelompok-kelompok ide (themes). Kelompok-kelompok ide ini kemudian dikonstruksikan kembali menjadi sebuah cerita yang utuh menggunakan formula dan ungkapan formulaik.
3. Konteks Kebudayaan Asal Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’
3.1 Topografi dan Kependudukan
Wilayah Kabupaten Sikka memiliki karakter yang khas sebagai yang paling kecil jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Pulau Flores dan terpadat penduduknya di NTT. Luas keseluruhan kabupaten Sikka adalah 1.731,91 km2 dengan luas daratan 1.614,8 km2. Kabupaten ini terletak di antara dua laut, yakni laut Flores di belahan Utara dan laut Sawu di belahan Selatan. Di sebelah Timur terdapat Kabupaten Flores Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Ende. Secara persis, Kabupaten Sikka terletak antara 80022’LS-80055’LS dan 121041’40”BT-122055’30”BT. Kabupaten Sikka beriklim tropis dengan rata-rata suhu berkisar antara 27-290C. Rata-rata kecepatan angin pada tahun 2014 adalah 13 knot, dengan kelembaban udara yang bervariasi setiap bulannya dengan rata-rata 79%. Temperatur udara rata-rata sebesar 27,5%. Sepanjang tahun 2013 presentasi penyinaran matahari hampir mencapai 100% dengan rata-rata paling tinggi mencapai 93% pada bulan Oktober, dengan jumlah curah hujan rata-rata 62-117 hari dalam setahun.[12]
Dalam dua dekade terakhir pertumbuhan penduduk Kabupaten Sikka makin pesat. Pada tahun 1990 penduduk kabupaten Sikka berjumlah 246.771 dan meningkat pada tahun 2000 menjadi 263.284 jiwa. Pada sensus penduduk tahun 2010, tercatat 300.328 jiwa menempati wilayah Kabupaten Sikka. Persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 1990-2000 adalah 0,70% meningkat pada tahun 2000-2010 menjadi 1,31%. Pada tahun 2010-2012, bahkan meningkat lagi menjadi 1,45%[13]
3.2 Etnografi
Wilayah Kabupaten Sikka diwarisi dengan lingkungan budaya atau etnis (sub-kultur) yang sangat kental. Menurut dialek dan ragam bahasa, Sikka dibagi atas enam kelompok etnis (sub-kultur) dengan rincian seperti yang tertera di bawah ini.
a) Lingkungan budaya berbahasa Sikka Krowe, dengan rincian budaya berdasarkan dialek Sikka –Lela – Nita Koting – Nelle Halat Baluele – Hewokloang Rumanduru – Talibura Waigete.
b) Lingkungan budaya berbahasa Sikka Mohan, dengan rincian budaya berdasarkan dialek Werang Hila dan Kringa Boganatar.
c) Lingkungan budaya berbahasa Muhan, dengan rincian budaya berdasarkan dialek Kringa Muhan dan Muhan Lamaholot.
d) Lingkungan budaya berbahasa Lio (Lio Krowe atau Lio Maumere) dengan rincian budaya Mbu Mbengo dan Megoh Nualolo.
e) Lingkungan budaya berbahasa Palue Kapa Raja, dengan rincian lingkungan kecil Nitung – Lei, Woja – Uwa – Edo – Cawalo – Ona.
f) Lingkungan budaya berbahasa Tidung Bajo, dengan rincian budaya berdasarkan bahasa Buton, Bugis Bonerate dan Makasar.[14]
3.3 Kehidupan Sosial-Politik-Keagamaan
Pola perkampungan purba dikenal dengan istilah natar. Ada pula natar gete/gahar sebagai kampung besar pertama tempat mula suku/puak/etnis/sub-etnis berdiam. Penduduk biasanya mendiami punggung bahkan puncak perbukitan yang diyakini sebagai tempat aman dari segi pertahanan purba dan dikenal dengan istilah wolon(g), yang secara harafiah berarti bukit. Contoh natar yang masih ada hingga sekarang seperti Natar Wolokoli, Natar Wolo’luma, Natar Wolo’lora, atau Natar Wolomude. Juga dikenal istilah klo’ang, yang merupakan bagian dari natar. Sebagai kampung perbukitan, besar kecilnya natar sangat bergantung pada topografi dan karakter punggung bukit. Yang jelas, setiap kampung memiliki “pusat”, tempat dibangun sebuah mezbah pemujaan (watu mahe) sebagai pusat kegiatan budaya, sosial politik, pertahanan, dan berbagai ritus magis-religius.[15]
Dari segi administrasi kepemerintahan, Sikka memiliki muatan kepurbakalaan dan kesejarahan yang cukup unik. Orang Sikka mengenal adanya tiga “Bapa Pengasal Tanah”, “Tuan Tana” yang disebut “Ata Bekor” atau “Ata Tawa Tana”, yang secara harafiah berarti “orang yang bangkit (dari dalam tanah)”. Ketiga orang ini bernama Mo’ang Ria, Moang Ragha, dan Moang Guneng (Guniang).[16] Karena pantai Sikka masa silam adalah daerah pendaratan kapal-kapal asing, maka ada juga orang-orang pendatang yaitu Mo’ang Rae Raja dan istrinya Du’a Rubang Sina dari Buang Gala Wawa (Benggala/Bangladesh). Keturunan dari dua rumpun pasangan purba inilah yang menjadi peletak dasar Kerajaan Sikka, dengan tiga tokoh utama yaitu Mo’ang Jati Bata Jawa, Mo’ang La’i Igor dan Mo’ang Bagha Ngang. Namun, ketiga tokoh ini belum memakai gelar raja. Mereka disapa dengan sapaan kebesaran “Mo’ang Ina Gete Ama Gahar”. Tata pemerintahan lokal-tradisional mulai diterapkan pada masa Mo’ang Bagha Ngang yang dikenal dengan istilah Mo’ang Puluh (sepuluh kelompok). Kekuasaan yang dibaitkan secara sakral sebagai Ratu egong natakoli/Mole keli samba/Ulu kowe Jawa/Eko leka Lambo. Ulu ata mae gete/eko ata mae sete.[17]
Raja Sikka yang pertama kali memakai gelar “raja” secara resmi adalah Mo’ang Alessu, dengan gelar Mo’ang Ratu Don Alessu Ximenes da Silva. Gelar ini diperolehnya setelah melakukan ‘perjalanan kontroversial’ ke tanah Malaka mencari tanah tota moret/niang loguk ganu ular “dunia tanpa kematian”. Catatan krusial tentang beliau adalah mengenai jasanya membangun sistem pemerintahan kerajaan yang permanen. Beliau bermusyawarah dengan Mo’ang Puluh dan kemudian membentuk Dewan Kapitan sebagai Menteri Kerajaan. Selain itu beliau juga menerapkan aturan “agama raja adalah agama rakyat” yang dilakukan Portugis berdasarkan hak patronus dari Paus. Hal inilah yang menanamkan dengan sangat erat agama dan tradisi Katolik di Niang Sikka hingga sekarang.[18]
Selain di Sikka ada juga kerajaan yang didirikan akibat pengaruh Portugis, yakni di Paga. Tokoh yang terkenal dalam memodifikasi sistem pemerintahan lokal (wisu one) di Paga ke dalam sistem kerajaan adalah de Hornay dan da Costa yang datang dari Lifao, Oekusi (Timor-Timur) sekitar abad ke-17. Kedua orang ini kemudian diberi gelar Raja Laja Tongga Watu Teo, sebagai raja orang asing.[19] Selain dua kerajaan ini, ada juga kerajaan Kangae, yang melalui kleteng latar diyakini berasal dari keturunan Mo’ang Ina Gete Ama Gahar, Bemu Aja dan istrinya Du’a Gurung Merang Plale Poung. Keturunan dinasti ini menguasai sebuah wilayah di bagian timur. Kangae selamanya tidak mau mengakui hegemoni Kerajaan Sikka oleh karena keyakinan akan jati diri mereka sebagai penguasa wolon(g)-wolon(g) secara turun temurun.[20]
Sistem pemerintahan ini bertahan sampai masuknya pemerintahan Belanda di awal abad ke-18. Dalam perkembangannya Portugis dan Belanda mempraktikan politik adu domba dan pengkotak-kotakan. Perjanjian Lisabon pada 10 Juni 1893 menempatkan Belanda dalam pemerintahan di wilayah Sikka menggantikan Portugis yang menempati Timor-Timur.
Belanda mengakui tiga kerajaan utama yang ada di wilayah Sikka yaitu Kerajaan Sikka, Nita, dan Kangae (12 September 1885-14 November 1925).[21]
Pada masa Jepang, kerajaan-kerajaan ini sama sekali ditekan dan tidak mendapat pengakuan. Selanjutnya, pasca kemerdekaan, melalui UU No.69/1958, daerah-daerah bekas kerajaan ini ditetapkan sebagai Daerah Swatantra Tingkat II Sikka (Daswati II Sikka) yang kemudian berkembang menjadi Kabupaten Sikka setelah sistem swapraja berubah menjadi sistem pemerintahan daerah yang lebih otonom.
3.4 Tradisi Lisan
Pembahasan global mengenai bahasa dalam tradisi lisan Sara Sikka Krowe dibagi berdasarkan dialog yang disebut rang atau ko’ung, dengan delapan wilayah atau lingkungan dialek untuk etnis berbahasa Sikka-Krowe dan Sikka-Muhang, Tana ‘Ai, sebagai berikut:
a) Rang Ko’ung Sikka-Lela
b) Rang Ko’ung Nita-Koting
c) Rang Ko’ung Nele, Halat Baluele
d) Rang Ko’ung Hewoklo’ang, Ili Wetakara
e) Rang Koung Bola Wolonwalu, Doreng
f) Rang Ko’ung Hewa Klahit
g) Rang Ko’ung Werang, Hila, Hobu ‘Ai
h) Rang Ko’ung Kringa-Boganatar.[22]
Dalam tradisi lisan Sikka-Krowe dikenal dikenal Naruk Tutur Tatar yang adalah tata bahasa Sikka-Krowe. Sedangkan Naruk Hurang Kelang Ie Sora adalah sastra lisan Sikka-Krowe yang seluruhnya terbagi dalam bentuk dan isi sebagai berikut,
a) Naruk Hura Kelang sebagai prosa bebas,
b) Naruk Kleteng Latar/Blake Hara, sebagai prosa lirik, dan
4. Analisis Syair-Syair Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ dalam Perspektif Teori Penciptaan Parry-Lord
4.1 Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’[24]
Syair 1.
Syair 1a (versi kondi)
Wawa siam mai Kami berlayar dari Siam
2 Siam Sipa Jong Wutung Dari Siam dengan ketangkasan di atas kapal
Siapa Jong wutung ketangkasan di atas kapal itu,
4 Lema Nidung Maget Gahar Lalu mendaratkan kami di Nidung Maget Gahar
Saing wawa Siang Uma-Laju Sejak dari Siam-Malaka
6 Ata puput wawa ia ling kiok Tempat orang pandai besi meniup api
Dota wawa ia degang do dan palunya bunyi bertalu-talu
Syair 1b (versi BoEr)
1 A’u Rae Raja Aku Rae, akulah Raja
Raja Mitang Tawa Tana raja pribumi dilahirkan pertiwi
2 A’u gete ata Du’a Meng Aku agung putra Ibu Pertiwi
A’u di berat ata Mo’ang pung Aku jaya putra Sang Bapak
3 Niang a’ung wawa ia Bumiku di seberang sana
Niang bue wuang tukeng Bumi berbulirkan kacang
4 Tana a’ung wawa ia Tanahku ada di seberang
Tana pare wulir hading Tanah berbulirkan padi
5 Tana a’ung wawa ia Tanahku ada di seberang
Tana Buang Gala Tanah Benggala
Tana taji tahi nora wair Tanah tempat jumpa tanjung dan teluk
Syair 2.
1 Teri e’i watu liang koja robong Berdiam dalam gua batu dan dalam lubang
pohon kenari
reta ili Newa, di atas gunung Newa
2 Dewa Raga teng gajung, terdengarlah Raga menebang hutan
3 Wawa detung hokor Dan di pelataran hokor
A‘mi gita moga ba’a kami sudah menyaksikannya
4 A’u sa’e wi’ing wali sa’eng Dan kuikatkan pada pinggang
A’u nape wi’ing wali napeng dan kubelitkan pada badanku
5 A’u tutu mune tena sa’eng, Kukuliti kayu ‘mune’ buat selimut,
A’u wera kaba tena napeng, kukupas kayu ‘kabu’ buat sarung,
6 Pla `ia Ria Bila bertanya haruslah pada Ria,
7 Toso `ia Raga Tetapi lebih jauh kepada Bapak Raga,
Ria amang Guneng Ria putranya Guneng,
8 Raga wali roing `lorang Raga selalu berdiam rimba raya.
Tana olang ita tuling nai tei lau watang tempat itu bertebing tinggi seluruhnya
Nimung rogang gahar meha. Dung pada bagian pesisir, sehingga
Sape ata weter weta Niang Sikka Mata, orang berperibahasa: Negeri Sikka
Wutung tana tuling rogang gahar Mata Wutung. tanahnya bertebing, berjurang tinggi.
Syair 3.
1 Nora oras ata pu’ang ga’i opi Ra’e Ketika tiba saatnya musim menggarap
2 Raja ego meng pung beta: He tanah, Rae Raja memerintahkan anak cucu
2 Raja ego meng pung beta: He tanah, Rae Raja memerintahkan anak cucu
3 Meng ata buah bu’ut sai taka pai katanya: hai anak-anakku, ambilah kapak
4 Re’ta ma ro’a pu’ang, Ro’a le’u ‘ai he dan tebanglah hutan di atas. Tebanglah
5 ‘ai gete Nil Iling Papa Watang , batu kayu Nilo IIing Papang Watang, agar
6 Bing batu nitit, gogo ripa napung jatuh bertumbangan, berguling ke lembah,
7 Plimak ripa naing napung; Nadar sai bertumpuk-tumpukan di setiap lekuk.
8 Porong dole re’ta ma ro’a lorak, re’ta Ambilah parang tajam, pergilah menebang
8 Porong dole re’ta ma ro’a lorak, re’ta Ambilah parang tajam, pergilah menebang
9 Ma bati tali, tali re’ta do’e du’ang, Tali yang ramping-ramping, putuskan tali-
10 Lele tali Wu’a da’ang dading, temali yang kuat itu, yakni tali Lele, tali Lapa
11 Sigo koeng waa pu’a legeng ganu dan tali Wu’a yang hijau tua. Lingkarkan
12 Ular ponat, bati le’u ai tad’eng higut ke bawah, bagai gelungan ular bundar,
13 Ba’a gena hering, ‘erit ba’a sape potongan kayu penanda batas sudut, dari
14 Rai, gut e ganu wini, sape ‘ai bawah samapi ke atas, buat tumbuhnya
15 Karok boga. bibit dan hilangnya semak belukar.
16 A’u sube walong ganu tali a’u nunga Ku sambung kembali bagai tali,
17 Walong ganu ‘ai a’u rema ‘ora taka ku hubungi lagi bagai kayu dan ku ambil
18 Pai re’ta a ro’a pu’ung, ro’a le’u ‘ai kembali kapak tajam, buat tumbangkan
19 He ‘ai gete ‘ai re’ta do’e du’ang a’i hutan dan kayu, memilah kayu yang
20 Nilo ‘ai lling Nilo Ilang Papa Watang besar dan tua, kayu Nillo Ilang Papa
21 Popo re’ta do’e du’ang batu bing batu Watang. Kayu Popo tua itu, jatuhlah
22 Nitit, batu ripa napung ba’u ganu berdentum, jatuh ke bawah lembah,
23 Edo ke’o tana, plimak ripa naing bagai gempa menggoncang tanah,
24 Napung, rma ‘ora porong dole bertumpuk ke bawah lembah. Ku ambil
25 Porong dole toger ‘apar, re’ta a pati parang tajam dan tebal belakangnya, di
26 Tali pati tali doe du’ang tali leke tali sana kupotong tali ‘kuat’, tali ‘leke’, tali ‘enak’,
27 Enak, tali lele tali lapa tali seso, tali tali ‘lele’, tali ‘lapa’, tali ‘seso’, tali ‘ratong’, dan
28 Ratong tali wua da’ang dading tali ko tali ‘wua’ yang hijau tua, tali ko ‘loko lima’,
29 Loko lima tali ago weta narang, lugu tali ‘ago’ ternama dan kuhimpun dan letakan
30 Plukang wawa uma eri, ko’eng ganu di bagian bawah kebun, kulingkarkan
31 Ular ponat, sigo kung wawa pu’a bagai ulat bundar, kecil di bagian bawah
32 Legeng ganu meong Jawa, Tali ba’a bundar besar bagai kucing Jawa. Talinya
33 Blaing du’e, ‘ai ba’a du’ur deri te sudah layu, kayunya sudah kering dan
34 Ba’a ganu wini gu ma beli urung lau menjadi seperti bibit, baru kuserahkan
35 Gerong, lau Gerong tana blekan ma obor ke Gerong, Gerong tanah yang luas.
36 Hege api wawa Siang, wawa Siang Pergilah ambil api di Siam, di Siam
37 Umalaju bele urung lau Gerong mai Melayu serta bakarlah obor di Gerong,
38 Ploang mai dehek naha go’o sisi dan sulutlah dan bakarlah menyala-
39 Go’o sea, tubing mitang kang kepik nyala, sampai berarang hitam bagai
40 Hege api wawa Siang, mai hening mai sayap burung gagak. Jemputlah
41 Lerit di go’o sisi go’o sea naha ulang api ke Siam dan nyalakan biar terbakar,
42 Bura jabok jawa. Te ba’a ganu wini merambat dan berkobar-kobar menyala-nyala,
43 A’u liko re’ta a lepe re’ta ‘ai pu’a. dan bawalah bibit dan benih, kusimpan dan
kujaga di bawah pokok pohon.
Syair 4.
Syair 4a.
1 Tibong miu waing Hai pemuda yang punya istri
2 Ga’i reta bawo song sugo, Bila ke depan kamu mencari hidup
3 Song ‘oti sugo tiong, sejatera
Kamu harus memeliharanya
4 Hereng na’i du belang. dengan betul.
Belalah kebenaran dan keadilan,
5 Gu sugo na’i dadi lepo, baru akhirnya mendirikan keluarga sejahtera.
6 Reta Me’i Ering wo’er Di pelataran Mei Ering
7 Reta Blata Tating naming, di halaman Blata Tating
8 Sugo ba’a dadi lepo, lanjutkan mendirikan balai,
9 Lepo gete blapu Sina, balai besar Sina
10 Blapu Ra’e blapu raja, balai Rae Raja
11 Ra’e Raja Rubang Sina Rae Raja dan Rubang Sina
12 Nora meng ata wai bersama anak-anak perempuan,
13 Sina Siang Wai Soru Sina Siang Wai Soru
14 Re’ta wao lepo, berdiam di atas, di dalam balai,
15 Lepo get’e blapu Sina balai agung Sina
16 Higung pitu mulang walu, bersudut tujuh bertiang agung delapan
17 Niok hitok sorong se’nak agung dan mulia
18 Gebi blasing kelang kabor, berdinding anyam bermotif indah
19 ‘lorang gai himong lodang, dilingkari rotan berantai
20 Wawa dang ta’ur walu pada delapan anak tangga,
21 Wawa watu plahang bahar. dan dasar fondasinya wadas keemasan.
22 Laba ba’a dadi lepo, Bangunlah menjadi balai,
23 Lepo Gete blapu sina, balai besar balai Sina
24 Sorong ba’a dadi woga, terjadilah bangunan rumah gedang
25 Woga mosang bale Jawa, rumah gedang balai Jawa,
26 Bale Jawa ulu walu balai Jawa bertingkat delapan
27 Laba ba’a dadi lepo, dibangunlah menjadi balai.
28 ‘Ami naha hu’er tiong, Kamu harus membuat upacara dengan benar
29 Geru ma lema lepo, kemudain masuk kedalamnya
Syair 4b
1 Lepo gete blapu Sina, Istana besar balai Sina
2 Blapu Rae blapu Raja, balai Rae balai Raja
3 Rae Raja Rubang Sina Rae Raja Rubang Sina
4 Higung pitu mulat walu bersudut tujuh bertiang delapan,
5 Niok itok sorong sina, elok indah bangunan Sina,
6 Gebi blasing kelang kabor dinding beranyam bambu, bermotif rupa
7 Dang jawa ta’ur walu, tangga Jawa bertingkat delapan,
8 ‘loreng gai himong loddang, kayu atapnya dari rotan, palangnya dari
rantai,
9 Wawa watu plahang bahar. dasar batunya dilaburi emas.
4.2 Ragam dan Unsur Formal Cerita
Cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ baik versi BoEr maupun Kondi yang berupa fragmen-fragmen kisah, ditulis dengan dua ragam, yaitu ragam prosa naratif deskriptif dan ragam prosa lirik yang lebih bersifat puitis. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah usaha untuk mempresentasikan langsung tuturan para penutur lisan kala itu. Prosa naratif deskriptif pada umumnya terdapat dalam bagian-bagian mengenai peraturan maupun instruksi-instruksi adat. Meskipun ditulis dalam bentuk prosa, bahasa yang digunakan adalah bahasa ritual. Bentuk prosa naratif deskriptif itu misalnya kisah tentang kaum pendatang yang membuka kebun, (Syair 3). Prosa lirik terdapat dalam beberapa bagian dalam penceritaan, misalnya saat mengisahkan kedatangan leluhur dari seberang, (Syair 1). Dalam penuturan cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’, ada beberapa teknik penceritaan dan gaya bahasa yang sering digunakan, meskipun secara terbatas, seperti yang dijelaskan di bawah ini.
a. Penggunaan Prosa Lirik Paralel
Larik-larik dalam bait ini memuat pasangan-pasangan kata yang menciptakan struktur diad yang teratur dan diikuti secara ketat, misalnya pada syair 1b versi BoEr nomor (1)(2)(3)(4)(5). Ungkapan Du’a meng dan Mo’ang pung pada syair ini tidak menggambarkan bapak dan ibu biologis, tetapi suatu gambaran paralel-antropomorfis tentang keyakinan akan sumber dan asal kehidupan. Paralel-antropomorfis berarti figur supranatural digambarkan berbuat seolah-olah seperti manusia dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki yang saling diperlawankan sebagai gaya tuturan. Hal ini sepadan dengan keyakinan akan wujud tertinggi yang disebut sebagai Ina Niang Tana Wawa, Ama Lero Wulang Reta (Dewi Ibu Pertiwi dan Dewa Matahari Bulan). Ini juga melukiskan keyakinan akan perjalanan hidup manusia yang lahir dari Ibu Bumi dan akan menuju suatu tempat yang disebut Seu Lape Pitu (surga langit ketujuh) yang selalu digambarkan berada di atas. Secara aplikatif, hal ini diwujudkan dalam pendirian mezbah persembahan yang terbuat dari batu menhir-megalit dan disebut sebagai Wu’a Du’a dan Mahe Mo’at. Persembahan padi diberikan kepada Inang Niang Tana, dan persembahan moke kepada Ama Lero Wulang. Kedua persembahan ini adalah simbol keselamatan yang sempurna yang mencakupi unsur perempuan dan laki-laki. Ibu dan Bapak bukanlah dua persona melainkan realitas yang sifatnya mono-dualistis. Di sini juga terlihat gaya bahasa personifikasi yang menggambarkan kelahiran manusia dari perut bumi (1).
b. Teknik Pengulangan
Teknik pengulangan dapat ditemukan dalam penggambaran subjek A’u, Tana, dan Niang. Penggunaan bahasa perbandingan sepadan dapat kita lihat pada ungkapan A’u gete/A’u di berat, Niang bue wuang tukeng/Tana pare wulir hading. Hal ini sebenarnya ingin mengungkapkan betapa agungnya Rae Raja, dan betapa suburnya tanah Benggala tempat asal Rae Raja. Tanah Benggala juga diungkapkan sebagai sebuah negeri yang sudah ramai, dan memiliki peradaban yang maju. Hal ini diungkapkan melalui perumpamaan ata puput wawa ia ling kiok/dota wawa ia degang do (lirik 6, syair 1a).
Pola pengulangan deskripsi juga dapat dilihat dalam ragam prosa naratif, syair 3. Ada beberapa aksi dan deskripsi yang sering diulang-ulang dengan menggunakan padanan kata yang sejajar, misalnya deskripsi tentang perintah mengambil parang, penebangan hutan, kayu, tali, dan pembakaran hutan di akhir deskripsi pada syair 3. Hal ini terlihat dalam prosa naratif (Syair 3) baris (1-7), (8-23), (16-24), (24-35), (36-39), (40-43). Gaya bahasa perbandingan khusus sering digunakan dalam pelukisan cerita dalam syair ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam pemakaian kalimat lingkaran ke bawah bagai gelungan ular bundar, kulingkarkan bagai ulat bundar, bagian bawah bundar besar bagai kucing Jawa, berarang hitam bagai sayapnya burung gagak. Terdapat sebuah ungkapan hiperbolis yang tampak dalam ungkapan Kayu Popo tua itu, jatulah berdentum, jatuh ke bawah bagai gempa menggoncang tanah. Pemakaian kata ular, ulat, kucing, gagak, dan gempa menunjukkan kedekatan masyarakat dengan alam.
Pengulangan-pengulangan yang sama terjadi pada prosa lirik mengenai Lepo Gete, yang sering digunakan beberapa kali pada beberapa syair identik (Syair 4a). Larik (9)(10)(11)(16)(18)(19)(20)(21)(26), adalah larik-larik yang sering diulang pada beberapa versi syair tentang Lepo Gete. Jika dicermati dengan teliti, versi syair di atas belum menggambarkan bangunan rumah yang lengkap. Dalam versi syair yang lebih pendek (4b) terlihat bahwa beberapa unsur pada syair 4a, tidak hilang. Perhatian kita perlu ditujukan pada larik (8), yang menggambarkan atap Lepo Gete. Larik (8) ini tidak terdapat pada syair versi 4b. Pada syair ini, deskripsi Lepo Gete sebagai suatu bangunan rumah yang utuh lebih lengkap.
Syair ini memperlihatkan dengan jelas bahwa kesejahteraan hidup harus dipelihara. Pemeliharaan itu mesti melingkupi unsur kebenaran dan keadilan mulai dari dalam diri sendiri. Setelah itu, barulah membentuk sebuah keluarga sejahtera. Ada gaya bahasa asosiasi yang dipakai. Ini terlihat dalam ujaran Gu sugo na’i dadi lepo. Keluarga diibaratkan, diumpamakan sebagai sebuah lepo (rumah, balai), sehingga membangun keluarga itu pun sama seperti membangun lepo. Namun, kesannya, majas alegori (penggambaran) lebih mendominasi untuk penjelasan lebih lanjut akan asosiasi tersebut. Ada penekanan makna tanggung jawab, sebab keluarga (lepo) akan menjadi Lepo gete blapu Sina dan Blapu Ra’e blapu Raja. Sang lelaki (Ra’e Raja) akan mengambil seorang perempuan (Rubang Sina) menjadi istrinya. Keluarga itu akan menjadi besar, sebab ada suami, istri, dan anak-anak keturunan mereka. Ini juga menunjukkan penggunaan gaya bahasa sinekdoke yang khas.
Lepo itu juga mesti dibangun dengan tampilan yang menawan dan agung (higung pitu mulang walu). Dapat ditafsirkan bahwa pemuda itu harus benar-benar mapan dan matang sebelum membentuk keluarga. Ujaran Higung pitu mulang walu/Gebi blasing kelang kabor/Wawa watu plahang bahar/Bale Jawa ulu walu bisa dikatakan sebagai suatu hiperbola untuk konteks kesejahteraan keluarga. Namun, dalam ranah tradisi dan kebudayaan, itu memang hal yang mesti diperhatikan langsung dalam membangun sebuah lepo. Apabila lepo harus dibangun sedemikan rupa, keluarga juga harus dibangun dengan memperhatikan berbagai aspek demi kesejahteraannya.
4.3 Pengelompokan Tema
Tema-tema atau kelompok-kelompok gagasan dalam cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ dapat dijabarkan seperti yang tertera di bawah ini.
a) Deskripsi tentang orang asli yang disebut Ata Bekor dan orang pendatang dari sebuah tanah nun jauh yang disebut Siam/Benggala.
b) Kisah tentang Rae Raja dan negeri Siam/Benggala serta kaum pendatang.
c) Cerita tentang perjalanan mencari tempat untuk menetap, identifikasi lokasi, kebun, dan kemungkinan asimilasi.
d) Cerita tentang pertemuan antara orang asli dan kaum pendatang.
e) Cerita tentang suku pendatang membangun rumah, membuka kebun, berasimilasi dengan orang asli, membangun keluarga, beranak-cucu, dan membangun Lepo Gete sebagai cikal bakal kerajaan Sikka.
Kelima tema ini merupakan gagasan-gagasan siap pakai yang digunakan oleh para penutur lisan dalam menyampaikan cerita mengenai ‘Asal Mula Lepo Gete’.
4.4 Pola Pewarisan dan Persebaran Cerita
Cerita tentang Lepo Gete adalah bagian dari hikayat raja-raja Sikka. Masyarakat Sikka mengenal adanya berbagai ragam tradisi lisan, salah satunya adalah Naruk Kleteng Latar/Naruk Dua Mo’ang/Blake Hara.[25] Kleteng Latar sendiri sebenarnya meliputi tiga bagian yaitu Naruk Gung Nulung (tentang sejarah/hikayat), Naruk Tutur Tatar (tentang berbagai bahasa hukum dan adat), dan Naruk Neni-Not/Ngaji Hawong (tentang doa dan nyanyian-nyanyian sakral). Cerita tentang Lepo Gete termasuk dalam jenis Naruk Gung Nulung. Bahasa yang digunakan dalam kleteng latar berbeda dengan bahasa sehari-hari yang biasa digunakan oleh kalangan umum. Bahasa kleteng latar memiliki kaidah-kaidah poetika, sistem, dan term-term khusus yang diikuti secara ketat dan teratur. Oleh karena itu, keterampilan menuturkan kleteng latar bukanlah keterampilan yang dikuasai oleh orang kebanyakan.
Menurut Oscar Pareira Mandalangi, pewarisan keterampilan menuturkan kleteng latar sebenarnya hanya terjadi dalam lepo. Hal ini berarti, keterampilan menuturkan kleteng latar adalah milik eksklusif orang-orang yang memiliki pertalian darah dengan raja atau para kepala suku. Dalam masyarakat tradisional, penuturan kleteng latar hanya mungkin dilakukan oleh Mo’ang Tana Pu’ang (penguasa tanah), Mo’ang Watu Pitu (tujuh pembesar desa), Mo’ang Wara Wolong (penjaga batas wilayah), Mo’ang Neni Urang Plawi Dolo (pemohon hujan dan berkat), Mo’ang Buwu Gajong (pembagi hasil dan makanan), Mo’ang Kokek (pemberi berita), Mo’ang Urung Blong Damar Gahar (pembawa penerangan), dan Uru Niang Tada Tana (pembawa larangan). Ada pula keyakinan bahwa salah seorang keturunan dari suatu lepo secara alamiah akan mewarisi keterampilan menguasai bahasa tradisional ini. [26]
Pada umumnya, penciptaan sastra lisan dipermudah oleh adanya formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai serta teknik-teknik yang secara alamiah mencapai tahap konvensional tertentu. Penciptaan sastra lisan tampak sebagai akumulasi formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh.[27] Jika dibandingkan dengan berbagai cerita di beberapa wilayah Flores, tema-tema dalam cerita Lepo Gete hampir ditemukan dalam cerita rakyat lainnya, seperti cerita Wato Wele-Lia Nurat di Flores Timur, cerita Mbegu-Paga di Lio, atau cerita asal-usul orang Ngada. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai keyakinan tentang pendaratan suku-suku dari wilayah India dan sekitarnya di pulau Flores akibat migrasi besar-besaran bangsa India karena penyerangan bangsa Arian kala itu. Penelitian Marshal Sahlins (1985), sampai pada kesimpulan tentang adanya ‘stranger-king’ (raja asing), sebagai bentuk mitologi yang kemudian berkembang menjadi tradisi dan sistem kekuasaan suku bangsa Austronesia di lautan Pasifik.[28]
Variasi teks dapat dikaji dalam hubungannya dengan aspek persebaran dan tanggapan penutur cerita terhadap norma-norma konvensional tersebut, entah norma-norma kesusasteraan maupun norma-norma sosial kemasyarakatan.[29] Dalam konteks penyebaran cerita tentang Lepo Gete, unsur variasi ini sangat menonjol. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan penggambaran suku pendatang dari segi sudut pandang pencerita, ragam bahasa, dan deskripsi tokoh pada syair 1a dan 1b. Oscar Pareira Mandalangi menjelaskan pengaruh wolong-wolong, ragam bahasa, dan kebutuhan sosial masa itu dalam transformasi cerita. Hal ini bisa dilihat dari narasumber yang digunakan BoEr dan Kondi dalam menyusun karya mereka.[30] Proses anakronisme juga dapat dilihat dalam penggalan syair tentang salah satu syarat dalam upacara pendirian lepo, ‘weli wawi pepi ara piong/‘weli kiat poro wawi: hoang Rp. 5// Pipi dagu babi dan nasi untuk bagian tuan tanah/pisau menyembelih babi; uang Rp. 5. Uang Rp. 5 membuktikan adanya penyesuaian konteks dalam penuturan kisah tentang Lepo Gete yang kemudian diaplikasikan dalam tata cara pendirian rumah kala itu. Hal ini juga berlaku untuk syair-syair mengenai perkawinan Mo’ang Sugi dan Du’a Sikka yang mengalami transformasi ke dalam tata cara pernikahan.
Pola pewarisan yang ekslusif menjadi salah satu penyebab semakin punahnya cerita-cerita lisan mengenai Lepo Gete. Upaya raja Don Thomas Ximenes da Silva dalam menuliskan kembali hikayat Kerajaan Sikka menjadi suatu karya yang sangat bernilai dari segi etnografi, antropologi, historisitas, dan kesusastraan.
5. Makna Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ bagi Masyarakat Sikka
Cerita tentang asal mula Lepo Gete sebenarnya merupakan cerita eksklusif kalangan istana. Penuturannya pertama-tama menjadi suatu anamnesis terhadap nenek moyang yang membangun tata kerajaan dan pemerintahan Sikka. Cerita tentang Lepo Gete, memuat unsur genealogi masyarakat Sikka, dan berfungsi menumbuhkembangkan jati diri kalangan kerajaan. Namun, cerita tentang Lepo Gete juga memiliki nilai sosial kemasyarakatan yang tinggi karena melegitimasi kekuasaan dan keagungan para pemimpin masyarakat dari kalangan lepo dan seluruh masyarakat yang berasal dan hidup dari lepo tertentu. Selain itu beberapa kisah-kisah Lepo Gete mengalami transformasi praktis menjadi semacam undang-undang dasar yang diperluas ke dalam berbagai bentuk hukum adat, dan menjadi stock in trade, bahkan hingga zaman ini. Muatan-muatan simbolis yang kuat terutama dalam hal membangun hidup berkeluarga menjadi suatu nilai berharga dan bermanfaat yang tidak akan lekang oleh waktu.
6. Penutup
Cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ adalah salah satu kekayaan kesusastraan masyarakat Sikka. Berdasarkan analisis terhadap cerita ini, dapat disimpulkan bahwa ada teknik, formula, gagasan-gagasan tema tertentu yang digunakan dalam berbagai penuturan tradisional cerita ini dari generasi ke generasi. Cerita yang sudah tersebar luas di kalangan masyarakat Sikka ini juga memiliki makna sosial politis yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Sikka. Transformasi praktis cerita ini mengalami perluasan dalam berbagai hukum adat dan kebiasaan masyarakat Sikka. Pelestarian cerita ini dan juga cerita-cerita lainnya dalam tradisi lisan masyarakat Sikka adalah sebuah tanggung jawab yang cukup menantang bagi generasi-generasi muda Niang Tana Sikka.
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Panitia Penyambutan Sri Paus Yohanes Paulus II, Maumere Sepanjang Perjalanan Gereja: Sebuah Deskripsi dalam Rangka Kunjungan Pastoral Sri Paus Yohanes Paulus II. Maumere: 1989.
Arndt, Paul, Hubungan Kemasyarakatan di Sikka (Flores Tengah bagian Timur). Maumere: Puslit Candraditya, 2002.
Beding, B. Michael dan Beding, S. Indah, Pelangi Sikka. The Rainbow of Sikka. Maumere: Buangjala, 2001.
Djajasudarma, T. Fatimah, Semantik 2. Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika, 1999.
Mandalangi, Oscar Pareira dan Lewis, E. D. (Ed dan Pentrj), Hikayat Kerajaan Sikka. Maumere: Ledalero, 2008.
Taum, Yoseph Yapi, Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera, 2011.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 2014.
Manuskrip
Orong, Yohanes. J. Bahan Kuliah Seminar Sastra Lisan (ms). STF Katolik, Ledalero, 2014.
Wawancara
Wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi pada 25 Februari 2015, tentang kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ dalam buku Hikayat Kerajaan Sikka.
Internet
__________ Data Statistik Daerah Kabupaten Sikka 2014 dalam http://sikkakab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=12, diakses pada Maret 2015.
Rahmana, Siti. Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau dalam http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/, diakses pada, 22 Februari 2015.
[1]Siti Rahmana, Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau (Online), (http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/, diakses pada, 22 Februari 2015).
[3]Lepo Gete berasal dari kata lepo (rumah) dan gete (besar) yang secara harafiah berarti ‘rumah yang besar’. Kata lepo berbeda dengan orin (rumah warga), atau pang padak (pondok yang pendek) dan juga kuwu (gubuk kecil, lumbung, tempat beristirahat di tengah kebun). Lepo lebih diartikan sebagai rumah suku, rumah (istana) raja atau pembesar, yang ditempati oleh kepala suku, atau beberapa keluarga garis keturunan pemimpin suku. Kata lepo biasa disandingkan dengan kata woga (rumah warisan), sehingga dalam penuturannya sering disebut lepo woga. Sumber: wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi, 25 Februari 2015.
[7]Mo’ang Alexius Boer Parera (1888-1980) adalah seorang lulusan Standaardschool Lela yang kemudian menjabat sebagai guru Sekolah Rakyat. Kemudian beliau diangkat menjadi kapitan oleh raja Sikka, dan mengkoordinasi beberapa daerah yang dipercayakan kepadanya. Menurut manuskrip yang ditinggalkan, diperkirakan beliau mulai mengumpulkan dan menulis berbagai hikayat Raja-Raja Sikka dalam rentangan tahun 1920-an hingga 1957. Penulisan nama Boer menjadi BoEr, didasarkan pada nama yang dituliskannya pada manuskrip yang ia tinggalkan. Bdk. Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis, Op.Cit., hlm. xxiii-xli.
[8]Mo’ang Dominicus Dionitius Pareira Kondi-beliau sering menyingkat namanya menjadi D.D.P. Kondi- (1886-1962) adalah seorang guru yang mendapat ijazah Kweekeling. Kemudian ia diangkat menjadi jaksa oleh Raja Don Thomas Ximenes da Silva karena kecakapannya dalam hukum adat. Seperti halnya BoEr, ia kemudian diangkat menjadi kapitan dan diminta menuliskan kembali tradisi dan sejarah kerajaan Sikka. Manuskrip Kondi diperkirakan mulai dikumpul dan ditulis pada tahun 1925. Bdk. Ibid.
[12]Data Statistik Daerah Kabupaten Sikka 2014 (Online) (http://sikkakab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=12, diakses pada Maret 2015).
[16]P. Piet Petu, SVD dalam Nusa Nipa menyebutnya sebagai ‘Tri Priya Purba’ yang menghuni Nuhan Ular Tanah Loran (Pulau Ular Bagian Tengah). Pengistilahan ata “bekor” yang dimaksud adalah manusia yang bangkit dari alam buana bukan dari kelahiran biologis, dalam bahasa E.D. Lewis disebut sebagai “men resurrection”. Ibid.
[24]Secara keseluruhan cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ terdiri dari dua versi yaitu versi Mo’ang BoEr dan versi Mo’ang Kondi. Agak sulit memahami secara utuh alur kisah ini karena bentuknya yang berupa penggalan-peggalan syair serta deskripsi. Pada bagian ini tidak ditampilkan secara keseluruhan cerita dari kedua versi ini, tetapi ditarik satu benang merah dari beberapa syair dan deskripsi yang bisa dijadikan kesatuan alur untuk kepentingan analisis. Pada bagian ini disertakan kisah asli dalam bahasa Sikka (sebelah kiri) dan translasinya dalam bahasa Indonesia (sebelah kanan), yang dibuat oleh Mo’ang Kondi dan BoEr. Beberapa penomoran dibuat oleh penulis untuk mempermudah analisis teks. Penomoran pada ragam prosa larik menunjukan kesatuan atau kebersinambungan larik, sedangkan penomoran pada kisah prosa naratif deskriptif menunjukan baris. Bdk. Wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi.
[30]Wawancara dengan Oscar Pareira Mandalangi. Dalam penulisan karya mereka, BoEr dan Kondi melakukan semacam wawancara dengan Mo’ang Merung dan Mo’ang Noeng di Uma Uta, Mo’ang Ukung di Wolokoli, Mo’ang Betok dan Lado di Hiyang, Mo’ang Kepala Kao di Botang Hewokloang, Mo’ang Badar di Blatat, Mo’ang Laro di Ohe, Mo’ang Guru Lose Parera dan Mo’ang Lado da Gama di Maumere. Bdk Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis, Op. Cit., hlm. xiii.