Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Menyimak Khotbah (Apresiasi dan Kritik atas Pementasan ‘Khotbah’ oleh Teater Aletheia Ledalero)

Adegan Imam Diadili oleh Para Malaikat Maut dalam Pementasan 'Khotbah' oleh Aletheia Teater Ledalero. Foto oleh Ferer Dede, SVD.



Suasana hening, gelap, dan pekat pecah oleh suara fu dan gemuruh ombak yang langsung disambar oleh lengking nada sopran seorang wanita:

“seribu kemarau aku berlayar mengarungi tujuh samudera
seribu hujan menerpa perahuku, hingga di Kaimana aku berlabuh
sejuta ikan di biru lautan, janji sebuah masa depan
di bawah dahan pepohonan rindang aku sandarkan sejuta impian”

Sayup-sayup suara yang terdengar sampai pada puncaknya, ketika wanita cantik nan anggun bagai bidadari dalam balutan gaun putih, yang semula bernyanyi sambil berbaring di atas pembaringan dari kain hitam bertaburan bunga dengan lampu sorot berfokus kepadanya, berdiri dan menuntaskan nada serta syair bernuansa archipelago tadi:

"dengarlah kawan oh dengarlah
ini dongeng batu riwayatku
dari arah terbit mentari, jauh di ujung cakrawala
bersama angin aku datang mencari arti kehiduapan".


Syair berakhir. Cahaya kembali padam. Suasana gelap, pekat dan sunyi kembali tercipta. Setelah agak lama, dari kejauhan, timbul titik cahaya dari sebuah lentera sederhana. Seorang lelaki tua renta, lirih berteriak, “Eli.. Eli.. Lamasabaktani?” Lelaki itu tertatih-tatih berjalan mengitari semua orang yang memerhatikannya. Di wajahnya tergurat lukisan kebingungan juga kecemasan. Lenteranya diangkat tinggi-tinggi, ia mencari-cari sesuatu-entah apa, di balik mata-mata tajam dan siluet wajah-wajah yang terus mengikutinya. Dengan nada pasrah dan letih, berulang kali ia meneriakan hal yang sama, “Allahku, Ya Allahku, Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?”

Lelaki tua itu terus berjalan. Sampai pada satu titik, tempat semua mata bisa tertuju kepadanya, ia berhenti. Kelelahannya tidak sempat ia pulihkan. Di hadapannya, pada sebuah layar putih, ditampilkan potongan-potongan video dan gambar tentang anak-anak busung lapar, tentang perempuan-perempuan yang dijual seperti bawang merah, tentang ODHA yang sekarat tetapi tidak mendapat perhatian, tentang kemewahan WTC yang runtuh seketika setelah ditabrak dua buah pesawat yang dibajak teroris, tentang darah dan mayat-mayat yang tumpah-ruah bergelimpangan akibat kebrutalan ISIS. Melihat semua itu, lelaki tua renta tadi berteriak lirih “Eli! Eli! Apakah aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang? Dalam matamu, Engkau meninggalkan aku. Dalam pikiranmu, Engkau meninggalkan aku. Dalam hatimu, Engkau meninggalkan aku!” Beberapa kali setelah meneriakan kata-kata dengan nuansa serupa, dia meninggalkan semua mata dan telinga yang memusatkan perhatian kepadanya. Hatinya seperti hancur berantakan.

Adegan berganti. Dentang lonceng terdengar. Beberapa orang yang memerankan sosok umat tampil dan menuju panggung utama. Mata mereka di tutup dengan kain putih yang diikat melingkari wajah. Sesaat setelah itu, chapel organ berbunyi, lantas melatari paduan suara yang menyanyikan lagu “Zadok The Priest”. Nyanyian gubahan George Frideric Handel itu mengiring perarakan masuk imam dan para para putra altar. Misa dan berbagai ritual yang ditampilkan lewat gestikulasi tubuh imam dan para putra altar pun dimulai. Sampai pada bacaan Injil, lampu panggung kembali redup. Kisah dari Injil Lukas tentang ‘Orang Samaria yang Baik Hati’ (Luk 10:33-37), yang sedianya dibacakan oleh imam dipentaskan secara teatrikal.

“Saudara-saudara yang mencintai Tuhan! Sekarang kita bubar! Hari ini tidak ada khotbah!”, dengan nada angkuh, imam berkata-kata dalam kesempatan khotbahnya. Beberapa kali imam meneriakan hal ini, menyuruh umat bubar. “Lihatlah aku masih muda. Biarlah aku menjaga sukmaku. Silahkan bubar. Ijinkanlah aku memuliakan kesucian. Aku akan kembali ke biara, merenungkan keindahan ilahi”, sang imam memelas, berusaha membenarkan pilihannya. Bisik-bisik terjadi di kalangan umat yang kebingungan, tetapi tidak beranjak dari tempat duduk. Imam menyerah, dengan kesal mengalah dan memulai khotbah.

Kata-kata meluncur keluar dari mulut imam, seperti mengalir begitu saja tanpa pertimbangan. “Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama. Hidup memang berat. Gelap dan berat. Kesengsaraan banyak jumlahnya. Maka dalam hal ini kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra!!! RA-RA-RA, HUM-PA-PA, RA-RA-RA!!!” Umat kaget, bingung dan tidak mengerti. Mereka mengulangi desis-desis aneh di akhir khotbah. Beberapa kali imam mengeluarkan kata-kata kosong, dengan desis-desis aneh yang sama di akhir kalimat-kalimat itu, dan langsung disambut umat dengan respon melawan. Di sela-sela dialog antara imam dan umat, terdengar suara gemuruh. Paduan suara menyayikan petikan lamentasi “Yerusalem, Yerusalem, Berbaliklah…” Mendengar itu imam kaget dan ketakutan, tetapi tidak menghentikan khotbahnya.

Klimaks dari teater ini adalah kemarahan umat. Umat marah dengan desis-desis aneh yang memenuhi ruangan Gereja saat khotbah. Umat menghancurkan tempat perjamuan. Altar dibanting. Lilin dipatahkan. Buku-buku misa dibuang. Para putra altar lari ketakutan, kecuali imam yang berdiri dan asyik dengan dirinya sendiri. Para umat kemudian jatuh bergelimpangan di seputar altar perjamuan. Kain yang menutupi mata mereka dibuka. Mereka menatap layar yang menampilkan berbagai ketimpangan seperti yang dilihat pria tua renta yang mencari Eli. Mereka menjerit. Seperti sedang kesurupan, mereka berteriak-teriak mengeluhkan penderitaan mereka.

“Tuanku yang saleh, sudah berakhirkah khotbahmu? Mengapa kami masih lapar? Masih sakit? Masih kecewa? Sabda-Nya, ‘Yang makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, tak akan lapar dan haus untuk selamanya!’ Grrrrr! Grrrr! CHA! CHA! CHA! Tidak ada Tuhan di sini! Kita semua manusia dan kita lapar akan cinta. Mari kita santap imam kita! CHA! CHA! CHA!” Umat marah. Imam mereka hajar hingga sekarat dan tak berdaya, seperti orang yang dirampok dalam Injil yang dibacakannya sebelumnya. Lalu mereka meninggalkan imam itu sendirian, merana.

Adegan beganti. Para malaikat maut berjubah coklat dan berkapus menutupi kepala masuk dengan obor di tangan, memecah kegelapan yang muram. Dari mulut mereka terdengar lirih penggalan lamentasi, “Lihatlah Raja penguasa dunia datang. Ialah yang akan membebaskan kita dari belenggu perhambaan”. Mereka datang mengelilingi imam dan mengadilinya. Terjadi dialog. “CONFUTATIS!!! MALEDICTIS FLAMMIS ACRIBUS ADDICTIS!!!”, berulangkali para malaikat berteriak. “Voca me! Voca me cum benedictis! Oro supplex et acclinis. Cor contritum quasi cinis. Gere curam! Gere curam! Gere curam!”, imam memelas memohon pengampunan. Adegan ini terjadi beberapa kali, hingga pada akhirnya para malaikat pergi meninggalkan imam. Nyawa sang imam tidak jadi dicabut, ia diberi kesempatan untuk bertobat.

Adegan diakhiri dengan masuknya koster untuk menolong sang imam. Namun, sebelumnya, lelaki tua renta yang memegang pelita hadir dan menyampaikan monolog. “Kami adalah putra-putri penderitaan dan kalian adalah putera-puteri kesenangan. Kami menangis, menyebar simpati, tetapi kalian adalah putra-putri kesenangan dan tak ada yang kalian dengar selain denting piala-piala anggur kesibukan kalian setiap hari”. Setelah lelaki tua renta keluar dari panggung, dan koster telah menolong sang imam serta memperbaiki ruang perjamuan, masuklah para umat yang tadi membuat kerusuhan. Imam menerima mereka di gerbang ruang perjamuan dengan memeluk dan mengecup mereka satu per satu. Selanjutnya, dengan bantuan koster, imam menanggalkan kasulanya, dan mulai membasuh satu per satu kaki dari para umat sebagai bentuk rekonsiliasi. Keseluruhan pentas ditutup oleh nyanyian We are The World yang dibawakan oleh seluruh penampil.

Lelaki Lusuh Menyampaikan Monolog. Foto oleh Dede Aton
Khotbah dan Krtik atas Dosa Klerikalisme

Sejak awal, disposisi batin para penyimak dan pemirsa teater ‘Khotbah’ telah dibentuk oleh lagu “Dongeng Batu” gubahan Ubiet, dengan nada-nada minor resitatif yang lirih dan menggugah afeksi. Eksplorasi yang dominan adalah aspek kesedihan, kemuraman, dan kemurungan. Hal ini dapat terlihat dari pencahayaan yang minim dan gelap, serta sosok lelaki tua, renta, lusuh yang juga membuka adegan demi adegan cerita dengan teriakan lirih. Suasana sedih itu juga dibentuk oleh tayangan video (slide show), dengan tema-tema yang sudah diarahkan khusus untuk memantik pemahaman pemirsa dan penyimak tentang makna keseluruhan tema cerita ini. Simpati para pemirsa dan penyimak khotbah coba dibangun. Pemirsa sudah dipersiapkan untuk menyelesaikan pentas teater dengan suatu perasaan haru dan prihatin atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dunia ini, tentu termasuk di dalam masyarakat dekatnya.

Adegan selanjutnya memaksa penyimak dan pemirsa ‘duduk manis’ dan mendengarkan. Teater ‘Khotbah’ menampilkan penggalan ritual misa yang pada dasarnya kaku, dan monoton. Secara visual-gestikulasi, hampir tidak ada yang menarik. Penonton yang datang dengan motivasi melihat sebuah pertunjukan hiburan (entertainment) sudah pasti akan ‘stres’. Namun, inilah titik pusat teater khotbah. Pusat ini bisa menjadi titik kehancuran, atau sumur bagi pemirsa mencerap keseluruhan isi (makna) pementasan. Titik kehancuran itu tercapai ketika pemirsa atau penyimak sampai pada perasaan bosan dan jenuh yang tidak teratasi, sebaliknya bisa menjadi sumur pemaknaan bila kejenuhan itu disertai dengan telinga yang terus terarah kepada verbal points yang terbit dari mulut imam.

Terlepas dari pendapat masing-masing pemirsa dan penyimak, satu hal menarik yang terjadi pada pementasan teater ‘Khotbah’ adalah kejelian tokoh imam menyampaikan pesan-pesan khotbahnya yang kaku dan monoton itu dengan kemampuan yang membuat semua mata serta telinga tertuju kepadanya. Emosi penonton yang bosan dibuat semakin panas dengan isi khotbah yang amburadul dan berantakan. Emosi penonton yang memang ‘sudah dirancangkan’ untuk jenuh digali lebih mendalam oleh si imam. Pemirsa dan penyimak memang harus marah, harus, bosan, dan harus memiliki pandangan negatif tentang si imam, seperti kebanyakan penonton memberi pendapat mereka tentang tokoh nenek Tapasha dalam serial Uttaran. Dalam hal ini, dari segi persuasi, imam berhasil. Meski bosan, jenuh, dan jengkel, para hadirin memirsa dan menyimak.

Beberapa aksi teatrikal juga turut membantu membuat betah para pemirsa dan penyimak. Aksi teatrikal itu antara lain, penceritaan kembali kisah orang Samaria yang baik hati, disusul dengan kisah ratapan dan juga kemarahan umat atas imam. Justru, adegan kemarahan umat atas imam menjadi titik puncak seluruh cerita dalam teater ini. Dari dua adegan ini, jelas sekali bahwa, teater ini berupaya menggali aspek anarki dan kekerasan. Sampai di sini, secara umum teater ini cukup mampu menarik perhatian para penonton, terlepas dari pemaknaan yang dibangun masing-masing dari mereka. Pertanyaannya, mengapa teater-teater kita (beberapa teater yang sering muncul di wilayah Maumere), sering sekali mengeksplorasi adegan-adegan dengan nuansa anarkisme atau kekerasan?

Soal makna, hal yang paling menonjol yang ingin ditampilkan dalam ‘Khotbah’ adalah kritik terhadap klerikalisme. Klerikalisme oleh P. John Mansford Prior (dalam sebuah wawancara dengan majalah hidup) didefinisikan sebagai ‘kultur relasi kekuasaan yang disokong rupa-rupa kebiasaan yang meluputkan oknum klerus dari proses hukum. Artinya, kultur klerus yang memakai struktur-struktur intern Gereja untuk menetapkan, lantas mempertahankan relasi kekuasaan, serta relasi yang berpola superior-inferior. Misal, ketika skandal seorang imam terbongkar, tiba-tiba tahbisan menjadi lebih mahal daripada martabat si korban. kerapkali dikumandangkan seorkes retorika teologis, dipasang sederetan ketentuan kanonis untuk melindungi oknum klerus dan membungkam si korban”. Keasyikan mereguk kenikmatan yang berpusat pada diri (egosentris), merasa cukup-diri dan watak acu-diri, menjadikan kuasa dan otoritas sebagai pembenar adalah juga ciri khas kelirkalisme. Menurut Bapa Suci, klerikalisme akrab dengan legalisme, yakni kebiasaan menjadikan diri sebagai sumber tafsir atas kebenaran.

Dalam khotbah, aspek kelirikalisme ini bahkan sudah muncul dari distorsi rasa yang dibangun dalam suasana kaku, akting monoton, serta verbalisme yang dominan dan memakan waktu sangat lama. Karena itulah, tolak ukur keberhasilan teater ini juga terletak dari rekonsiliasi rasa. Artinya, kejenuhan yang timbul daalam diri penonton harus disembuhkan. Salah satunya lewat ‘pemaknaan yang sampai’. Dalam kejengkelan dan kejenuhannya, penonton harus pulang membawa sesuatu, membawa pesan yang berguna bagi kehidupannya. Penonton harus puas dengan makna yang ia peroleh. Sekali lagi, yang mengundang tanya dari teater ini adalah ‘mengapa aspek anarkisme dan kekerasan’ yang dipilih sebagai media pelampiasan, pelepasan, orgasme dari sebuah kebencian terhadap hegemoni kekuasaan klerus? Apakah memang aspek kekerasan dan anrkisme inilah yang paling dekat (menjadi latar belakang) dengan teks? Atau, anarkisme hanyalah simbol depresi dan kehausan yang sudah sampai pada level paling akut? Jika basis eksplorasi ini bercorak mimesis (ada dalam/tiruan dari psikologi umat empiris), bukan tidak mungkin teater ini memberi sebuah peringatan berharga bagi Gereja, terutama atas bom waktu yang ada dalam dirinya sendiri, entah bom waktu itu bercorak lokal atau universal.

Soal makna, teater ini menampilkan beragam makna yang tersebar dalam berbagai adegan, ucapan, hingga simbol-simbol (tata panggung, ritus, dll). Meski tujuan awal teater ini lebih sebagai otokritik atas tubuh klerus yang nyaman dengan status quo, pemirsa dan penyimak ‘sudah dipaksakan’ dengan makna yang lebih luas. Bias itu terjadi ketika pemirsa dan penyimak ‘Khotbah’ dihadapkan dengan video-video dalam slide show dan lagu dongeng batu yang secara semantik memiliki jarak pemaknaan yang cukup jauh dari keseluruhan isi cerita. Klerikalisme yang dimaksudkan dalam teater ini bisa merujuk pada sikap cuek Gereja terhadap situasi dewasa ini, situasi krisis yang tak teratasi, yang begitu banyak jumlahnya. Gereja dalam hal ini bisa dimaknai secara lebih luas, yaitu Gereja sebagai keseluruhan umat Allah. Hanya saja, hal ini bisa membuyarkan fokus otokritik terhadap klerikalisme. Hal lain, jika ingin konsisten, secara melodis ‘Dongeng Batu’ mungkin memberikan teror auditif yang berhasil menciptakan suasana. Namun, dari segi syair, makna dendang ini memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga dibutuhkan refleksi yang lebih baik (jika tidak ingin disebut pemkasaan) untuk sampai pada intertekstualitas pemaknaan dengan keseluruhan teater.

Hal lain yang perlu juga disoroti adalah makna Ekaristi yang terkesan terpenggal. Teater ini mengambil satu scene dari keseluruhan perayaan Ekaristi. Itu berarti, jika ingin konsisten, setelah liturgi sabda, masih ada ritus lain yang penting yang harus dilewati, khususnya Ekaristi yang menjadi pusat. Anehnya, dalam mengawali khotbah, imam dengan percaya diri berkata “Saudara-saudara yang mencintai Tuhan! Sekarang kita bubar! Hari ini tidak ada khotbah!” Ajakan kepada umat untuk bubar seakan-akan dipaksakan hadir dalam teks hanya dengan tujuan memperkuat eksplorasi emosi umat, sebab kalau pun tidak ada khotbah, toh masih ada ritus lain yang harus dijalani dan imam tidak seharusnya membubarkan misa di tengah jalan. Aspek hakiki Ekaristi yang dipertegas dengan memori pembasuhan kaki (mengutip peristiwa perjamuan malam terakhir) sebagai adegan penutup, seakan diperlemah oleh kalimat pertama khotbah imam ini. Skenario yang sama tentang figur imam yang terkesan dipaksakan juga muncul dalam kalimat, “saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama”. Akan sangat sulit bagi kita menemukan referensi tentang imam baru, dengan karakter serta khotbah perdananya seperti ini dalam kehidupan nyata.

Lagu Usai Adegan Pengadilan Imam. Foto oleh DedeAton
Satu pertanyaan terakhir yang juga bisa saja timbul adalah apa memang rekonsiliasi antara imam baru yang mewakili klerus dan anarkisme umat, yang maknanya sulit sekali diterjemahkan secara konkret itu (meski secara historis Gereja pernah mengalami hal serupa), cukup hanya dengan saling menerima dan memaafkan? Jelas, klerikalisme sangat bertolak belakang dengan spirit kenabian. Tindakan pembasuhan kaki adalah simbol sikap profetis sebagai pelayan. Namun, klerikalisme juga memiliki dimensi yang luas untuk diatasi, termasuk dari sisi psikologi dan habitus umat yang membiarkan bibit-bibit klerikalisme tumbuh.

Terlepas dari banyak catatan tentang teater Khotbah, apresiasi perlu diberikan kepada Aletheia Ledalero yang dengan gemilang telah menyelesaikan pementasan teater ini. Sebagai informasi, teater ini dibawakan pada hari Selasa, 22 Maret 2016, dalam pekan suci sebagai bentuk refleksi kritis bagi Gereja sebagai umat Allah, dalam mempersiapkan diri merayakan Paskah. Kiranya, pesan ‘Khotbah’ terus menggema di hati para penampil, pemirsa serta penyimaknya.

Tentang Agama dan Iman




Cum eadem spes
Sicut tua, te amo.
Spes me semper salvat
Cum religio non iam satis sit.

-----------------------------

Dengan iman yang sama
Seperti imanmu, aku menyayangimu.
Iman senantiasa menyelamatkan
Aku ketika agama tak lagi cukup.


Tentang syair ini, Mario Lawi pernah berterus terang, bahwa 'cinta beda agama'-lah yang melatari bangunan pemaknaannya. Namun, syair tetaplah syair, puisi tetaplah puisi. Penyair selalu sudah langsung mati ketika ia menyajikan syair yang ditulisnya (dengan otoritas pemaknaan) kepada semua yang mengapresiasi karya itu. Yang tertinggal hanyalah syair yang dihadapi oleh begitu banyak pembaca, penikmat, pendengar, dan semua yang memberi waktu untuk sekedar merenungkannya. Dengan demikian, makna tak lagi tunggal. Makna perlahan menyebar, merambat, membekas, di otak, hati, hingga gerak laku semua yang mengambil syair itu menjadi miliknya. Mario mungkin sudah mati bersama 'cinta beda agama-nya', ketika beberapa saat sebelum tulisan ini purna, syair ini menggema di langit malam halaman rumah Sonia.

Feurbach mungkin benar soal pernyataanya bahwa Allah adalah hasil proyeksi manusia-manusia yang kehilangan harapan dan daya untuk hidup. Manusia yang terbatas, selalu melihat diri dalam dualisme antara ketidakmampuannya, dengan sesuatu yang lain yang lebih luas dari kemampuannya. Manusia lantas memproyeksikan 'sesuatu yang tak terbatas' sebagai yang ada, berdiri sendiri, dan berkuasa di luar dirinya. 'Sesuatu yang tak terbatas' itu diberi karakter manusiawi, dipersonifikasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sosok patronis, tempat manusia meletakan segala beban dalam hidup yang keras. Manusia menyembahnya, menjadikan dia sandaran dan penopang: sesuatu yang menurut Feurbach menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri. 'Manusia mengakui dalam Tuhan, sesuatu yang diingkari dari dirinya sendiri'. Karen itu, manusia beragama yang menyembah adanya sesuatu yang disebut Tuhan selalu sudah terasing dengan dari dirinya sendiri.

Marx yang dicerhakan oleh Feurbach, pun tidak main-main mengeritik agama sebagai candu bagi masyarakat. Agama semakin meninabobokan manusia, yang secara negatif dalam kerangka pemahaman Marx dapat dipahami sebagai 'the suffering being'. Manusia sebagai makhluk yang terbatas, adalah makhluk yang menderita. Namun, Marx tidak hanya berhenti pada kritik terhadap agama. Menurut Marx, pelarian yang dilakukan oleh manusia selalu didorong oleh realitas yang tidak memberi jaminan kepada manusia untuk hidup sesuai dengan fitrah dan pilihan bebasnya. Kritik pada agama adalah tumpul, tanpa kritik terhadap sistem-sistem dalam masyarakat. Kritik terhadap surga adalah sia-sia, tanpa adanya kritik terhadap dunia. Marx ingin mengubah dunia, karena interprtasi selalu tidak cukup. Marx ingin agar realitas yang telah terdistorsi oleh kelas-kelas sosial, ekonomi kapitalis yang secara tidak langsung maupun langsung mendapat legitimasinya dalam agama dan kebudayaan, harus segera diakhiri dengan satu aksi revolusioner bercorak sosialisme ilmiah, demi tercapainya 'kerajaan kebebasan'. Bagi Marx,kesetaraan kelas adalah segalanya, dan manusia pada akhirnya adalah materi, dan selalu hanya materi. Manusia adalah economic animal.

Bagi Mario, agama bisa menjadi sangat terbatas. Agama bisa menjadi tak cukup. Bagi Mario, agama dalam arti tertentu bisa menjadi penghalang, atau tembok yang memenjarakan. Marx mungkin mendasari kritiknya akan agama dengan melihat situasi Gereja yang amburadul pada masa itu. Gereja yang menjanjikan pembebasan, justru melegitimasi ketertindasan dan tidak memiliki opsi terhadap yang menderita, kecuali pelajaran moral yang sama sekali tidak mengubah sistem dalam realitas masyarakat. Ini sudah barang tentu tidak akan mengubah taraf kesejahteraan hidup manusia. Kisah tentang Allah pembebas yang lewat nabi-nabinya, bahkan Putra-Nya sendiri membebaskan penderitaan para janda dan anak-anak yatim piatu agaknya hanya menjadi nostalgia semata. Marx meragukan keberpihakan Gereja, dan mempertanyakan janji kebangkitan jiwa-badan, yang selalu berarti manusia akan mengalami transformasi secara keseluruhan sebagai pribadi. Agama bagi Marx, menjanjikan sesuatu yang pada kenyataannya tidak dapat diusahakannya sendiri.

Marx mungkin akan semakin tertawa jika tahu, bahwa telah banyak manusia di dunia ini yang hidup dalam agama dengan suatu kesadaran palsu. Kesadaran palsu itu yang membuat manusia selalu membuat kapling-kapling eksklusif, mengidentifikasi dirinya sebagai yang lain dari yang lain, yang benar dari yang bidaah, yang baik dari yang buruk, dan yang suci dari yang najis. Marx akan semakin berbangga diri sembari mencibir ketika melihat doktrin-doktirn agama menjadi basis legitimasi berbagai jenis teror, pembunuhan, perang, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Agama masa kini adalah agama dalam ideal Marx, agama yang menjadi candu bagi masyarakat. Siapa saja yang hidup dalam candu, kemabukan, dan kesadaran palsu, berpotensi arogan dan reaksional jika berhadapan dengan yang lain, yang dianggap mengancam eksistensinya. Sekali lagi, Marx mungkin akan tertawa dengan sangat nikmat jika fenomena seperti ini bisa diamatinya.

Namun, apakah Marx bisa membatalkan, kalau manusia juga selalu punya apetitus naturalis, sebuah kerinduan (keterarahan) yang sifatnya alamiah kepada kebahagiaan dan kedamaian sempurna, yang selamanya tidak bisa dipuaskan oleh barang-barang ekonomis semata? Marx mungkin bisa menghapus kapitalisme pun secara utopis, tetapi apakah Marx, dengan sistem ekonominya bisa membatalkan sebuah factum primum, bahwa manusia secara ontologis memiliki keterbatasan yang paling radikal dari eksistensinya sebagai manusia, yang oleh karenanya selalu terbuka kepada Yang Transenden, sebagai cakrawala tak terbatas, tempat ia mengeksplorasi kerinduan-kerinduannya? Keterbukaan kepada Yang Transenden sebagai cakrawala yang tidak terbatas tidak serta merta membuktikan adanya Tuhan, tetapi juga tidak bisa membatalkan begitu saja adanya Tuhan. Intinya, manusia selalu melebihi yang materi semata. Manusia selalu bermatra epistemologis, etis, dan estetis.

Dan iman selalu hadir sebagai sebuah keberanian berkonsistensi terhadap sesuatu yang diyakini, yang juga selalu berpaut erat dengan harapan sebagai sebuah cakrawala, kaki langit kemungkinan dan cinta sebagai daya yang mempersatukan. Iman selalu menuntut adanya keterbukaan, merasakan sesuatu yang tak terbatas. Iman selalu berarti penyingkapan diri yang total terhadap sesuatu yang transenden, yang hanya bisa diterima keberadaannya dengan seluruh diri dan sangat pribadi. Iman pun menuntut adanya pemberian diri terhadap yang lain, kebersediaan untuk berkomunikasi dengan yang lain sebagai yang setara dalam komunitas kosmik.

Manusia tidak serta merta bisa direduksikan sebagai economic animal, tidak juga bisa dikerangkakan dalam tembok-tembok keagamaan yang sempit. Manusia adalah substansi dan subjek multidimensional yang tidak hanya bisa ditakar secara material, tetapi satu-kesatuan jiwa-badan yang bertindih tepat. Materialisme Marx sesungguhnya kontradiktoris dalam dirinya sendiri, ketika di satu sisi berusaha mengkampanyekan kemampuan manusia mengenal esensi materialnya, dan dalam memprediksikan hakikat serta tujuan akhir sejarah, tetapi di sisi yang lain bersikukuh bahwa pengethuan manusia hanya bersumber dari hal-hal empiris, pengalaman indrawi saat ini. Manusia bukanlah makhluk yang menyerah pada determinisme alam. Manusia bisa melampauinya, dengan rasionalitas dan imannya. Manusia pun terbuka pada keterbatasannya. Manusia terbuka pada kekurangannya. Manusia mentransendensi dirinya, terbuka pada pelbagai kemungkinan kebahagiaan, kedamaian, dengan cinta sebagai kekuatan utama mencapai cita-cita kesempurnaan itu. Sehingga, dalam wujud yang paling nyata, keterbukaan itu melahirkan penerimaan kepada yang lain sebagai partner, sebagai sebuah penolong yang sepadan, sebagai yang satu dalam komunitas kosmik.

Manusia mungkin perlu agama sebagai panduan yang mengarahkannya untuk membuka diri kepada yang lain, juga kepada Yang Transenden. Agama yang statis, bisa menjadi penjaga ritme, pembentuk kebiasaan, dan juga bisa menjadi penuntun dalam membangun sistem nilai yang bisa dihidupi oleh manusia dalam keterbatasannya, dalam ruang serta waktu yang terbatas pula selama ia hidup di dunia ini. Namun agama lewat doktirnnya tidak bisa membatasi interelasi manusia sebagai yang sama-sama hadir dalam komunitas kosmik, yang selalu menuntut adanya komunikasi, saling pengertian, tenggang rasa, dan sikap saling berbagi. Iman lebih yang bersifat liquid, yang adequat dengan cinta serta harapan adalah penyambung asa, jembatan, dan landasan komunikasi ketika doktrin agama menjadi penghalang, sistem dan kelas ekonomi menjadi pemisah, dan perbedaan suku serta ras menjadi tameng untuk saling menutup diri. Manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, manusia bisa hidup tanpa kekayaan harta benda, tetapi manusia sama sekali tidak bisa hidup tanpa iman, harap, dan kasih sebagai satu kesatuan adequat yang menopang keterbatasn ontologis manusia.

Saya menulis ini ketika selesai menghadiri sebuah perayaan perpisahan seseorang yang baru saya kenal beberapa hari yang lalu. Tentu diupacara itu saya membacakan syair di atas untuknya. Saya tidak mengenalnya secara personal. Kami pun baru beberapa kali bercakap-cakap. Namun, dari kesan kolektif yang timbul, yang tentunya saya amati dari respon teman-teman saya yang lain, orang ini sejatinya punya keterbukaan yang luar biasa terhadap sesama saudaranya yang lain. Dia Muslim, dan sebagian besar sahabatnya (di sini) adalah Katolik. Dia tidak dari Flores, tetapi berbuat banyak bagi warga Maumere, lewat karya profetisnya sebagai dokter, lewat inspirasi dan aksi sosial-karitatifnya dalam komunitas Shoes for Flores, dalam kampanye-kampanye pedagogisnya di Radio Sonia FM, serta dedikasinya yang tulus dalam membangun persahabatan dengan orang-orang di sekitar. Dia akan berpisah secara fisik (pergi dari Maumere), tetapi akan sangat dekat dalam memori dan doa sahabat-sahabatnya di sini

Ini catatan ringan dari saya buat kenangan akan Mario dan juga buat Dokter Indah. Puisi Mario saya kadokan buat perjalanan dokter Indah. Penulisnya sudah mati, syairnya bukan milik dia lagi. Jadi, Bu Dokter Indah tidak perlu sungkan untuk membawa syair ini dalam kehidupan yang selalu menyediakan tantangan tak terduga.

Saatnya Sastrawan NTT Terlibat (Catatan Jurnalistik Seputar Festival dan Temu II sastrawan NTT)


Geliat sastra di Nusa Tenggara Timur yang sudah sejak lima tahun terakhir dianggap sangat tampak perkembangannya, mendapat perhatian serius dari Kantor Bahasa Provinsi NTT. Kantor Bahasa NTT yang merupakan UPT dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menciptakan suatu ruang komunikasi di antara para sastrawan dan penulis-penulis sastra pemula. Selain itu, Kantor Bahasa NTT juga berupaya memasyarakatkan sastra NTT (yang selama ini dianggap hidup di dunia privat para sastrawan atau penulis sastra) kepada kalangan luas melalui lembaga-lembaga pendidikan. Ruang komunikasi dan sosialisasi itu dikemas dalam bentuk Festival Sastra dan Temu Sastrawan NTT. Komitmen ini disampaikan oleh M. Luthfi Baihaqi, Kepala Kantor Bahasa NTT di hadapan Wakil Bupati dan Muspida Ende sebagai wakil pemerintah provinsi NTT, para sastrawan dan penikmat sastra, para peserta festival, serta mahasiswa Universitas Flores, pada pembukaan Temu II Sastrawan NTT.

Kegiatan ini telah menjadi agenda tetap dua tahunan sejak pertama kali kegiatan Temu Sastrawan NTT diadakan di Kupang pada tahun 2013. Kegiatan Festival dan Temu II Sastrawan NTT tahun 2015, diadakan di Kota Ende pada tanggal 5-10 Oktober 2015, bekerja sama dengan Universitas Flores.


Festival Sastra NTT


Kegiatan Festival Sastra yang dilaksanakan pada tanggal 5-8 Oktober 2015 dibuka secara resmi dan simbolis oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, M. Luthfi Baihaqi dan Rektor Universitas Flores, Stephanus Djawanai melalui pengguntingan pita dan pembukaan baliho mini di Auditorium Universitas Flores pada Senin, (5/10).

Festival ini melibatkan sejumlah siswa-siswi dan guru dari berbagai lembaga pendidikan tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. Secara rinci, festival ini meliputi lomba membaca puisi tingkat SD dengan jumlah peserta sebanyak 43 orang, lomba menulis opini/esai sebanyak 19 orang, lomba bercerita cerita rakyat tingkat SMP sebanyak 30 orang, lomba mendongeng bagi guru PAUD/TKK dan SD sebanyak 5 orang, lomba menulis kritik sastra tingkat perguruan tinggi sebanyak 15 orang, dan lomba musikalisasi puisi dari berbagai sekolah yang diikuti oleh 16 grup musik, serta perlombaan dan pertunjukan majalah dinding kreatif oleh sekolah-sekolah menegah atas yang ada di kabupaten Ende.

Kegiatan non-lomba yang juga dilakukan dalam rangkaian Festival Sastra NTT kali ini meliputi beberapa kelas dan bengkel sastra yang dipandu oleh para sastrawan nasional yang turun dan terlibat langsung bersama para peserta yang umumnya berasal dari Universitas Flores. Bengkel sastra penulisan cerpen diasuh oleh sastrawan kondang asal NTT, Gerson Poyk dan putrinya yang juga seorang cerpenis dan novelis terkemuka Fanny Poyk. Mario F. Lawi, seorang sastrawan muda NTT yang telah banyak menghasilkan karya-karya puisi yang diakui secara luas (nasional) berbagi keahliannya dalam bengkel sastra penulisan puisi. Bengkel sastra penulisan kritik sastra diasuh oleh akademisi sastra dan linguistik asal NTT, Dr. Yoseph Yapi Taum serta kritikus dan sastrawan berpengalaman, AS Laksana yang mengaku sudah jatuh cinta dengan NTT sejak pertama kali hadir di Festival Sastra Santarang 2015, di Kupang.

Rangkaian acara Festival Sastra NTT dilanjutkan dengan bincang-bincang sastra dan peluncuran buku antologi sastrawan NTT. Buku antologi sastrawan NTT itu terdiri dari tiga judul, yaitu Nyanyian Sasando (Antologi Puisi Sastrawan NTT), Cerita dari Selat Gonsalu (Antologi Cerpen Sastrawan NTT), dan Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar (Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT). Peluncuran buku ini ditandai dengan penyerahan buku antologi kepada para sastrawan, akademisi dan narasumber, rektor Unflor, dan segenap peserta Temu II Sastrawan NTT yang hadir.

Marieta B. Larasati, sebagai ketua panitia, dalam penyampaian laporan kegiatan mengapresiasi antusiasme yang tinggi dari berbagai lembaga pendidikan di kota Ende, yang nyata dalam keaktivan mengikuti berbagai festival sastra ini. Pada kesempatan lain, Dr. Yoseph Yapi Taum menjelaskan bahwa dari pengamatannya selama hari-hari perlombaan, sangat terlihat perkembangan yang menarik dalam hal apresiasi sastra di kalangan masyarakat, khususnya di sekolah-sekolah. Meski demikian, ia juga memberi catatan khusus dalam bidang perlombaan kritik sastra, yang menurut pengamatannya masih butuh banyak pendalaman. Atmosfir apresiasi sastra yang baik ini selayaknya dirawat dan ditingkatkan dari hari ke hari.

Temu II Sastrawan NTT

Kegiatan Temu II Sastrawan NTT (8-10 Oktober 2015) dibuka secara resmi oleh pemerintah Provinsi NTT yang diwakili oleh Wakil Bupati Ende, bersama dengan Gerson Poyk, sebagai sesepuh dan tokoh sastra NTT lewat pemukulan gong. Sebelumnya, para sastrawan dan segenap peserta Temu II Sastrawan NTT diterima oleh pemerintah daerah, dan selanjutnya oleh keluarga besar Universitas Flores, dalam seremoni adat Lio.

Kegiatan diawali oleh sambutan dari berbagai pihak, salah satunya sambutan Gubernur NTT yang dibacakan oleh Wakil Bupati Ende. Setelah acara pembukaan, dilanjutkan dengan penyerahan penghargaan kepada pemerintah dan Universitas Flores oleh Kantor Bahasa NTT atas kerjasama dalam berbagai kegiatan pengembangan sastra NTT. Diberikan pula penghargaan kepada Gerson Poyk sebagai Tokoh Sastra NTT 2015. Gerson Poyk dinobatkan sebagai perintis sastra dan sastrawan NTT modern oleh karena karya perdananya yang terbit pada 1961 ‘membuka jalan’ bagi sastrawan lain asal NTT selanjutnya, hingga saat ini. Selain itu, tanggal 16 Juni (tanggal kelahiran Gerson Poyk) ditetapkan sebagai Hari Sastra NTT. Pada kesempatan ini pula, diadakan penyerahan hadiah kepada para pemenang berbagai kategori lomba pada Festival Sastra NTT 2015. Selanjutnya, rangkain kegiatan Temu II Sastrawan NTT meliputi seminar dan diskusi, safari sastra (penulisan puisi bertema ‘Ende dalam Kebersamaan’), serta penetapan rekomendasi serta putusan hasil Temu II Sastrawan dan Malam Pembacaan Puisi bersama sastrawan NTT.

Kegiatan seminar dan diskusi (9/10) di Aula Unflor berlangsung dalam dua sesi. Seminar I membahas tiga tema, antara lain Sastra sebagai Penumbuh Budi Pekerti dan Pendukung Gerakan Literasi Indonesia oleh Drs. I Wayan Tama, M.Hum – Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali, Sastra sebagai Pendukung Pendidikan Karakter Masyarakat NTT oleh Prof. Stefanus Djawanai, Ph. D – Rektor Unflor, serta Sastra dan Media: Mendorong Karya Sastra NTT Lebih Go-Media oleh Hermien Y. Kleden, jurnalis Tempo Media Group.
Hermien Y. Kleden dalam kapasitasnya sebagai jurnalis memberikan apresiasi kepada sastrawan NTT yang karya-karyanya mulai berbicara di pentas sastra nasional. Hermien Y. Kleden menyoroti penulis-penulis muda NTT antara lain Mario F. Lawi dan Anastasia Fransiska Eka.

Mario F. Lawi telah menulis buku-buku kumpulan puisi antara lain, Memoria (IBC, 2013), Ekaristi (PlotPoint, 2014), dan Lelaki Bukan Malaikat (GPU, 2015). Buku pertama dipilih sebagai salah satu Buku Puisi Rekomendasi Tempo 2013. Setahun kemudian, buku kedua terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan sekaligus membuatnya dinobatkan Tokoh Seni (Sastra) 2014 oleh majalah yang sama. Sedangkan Anastasia Fransiska Eka dianggap memiliki visi perjuangan feminis dalam karya-karya cerpennya. Hermien Y. Kleden yakin bahwa masyarakat NTT secara kolektif memiliki tradisi berbahasa Indonesia yang baik, dimulai dari keluarga, dan didukung pula oleh tradisi pendidikan katolik yang tertanam kuat di bumi NTT. Bagi Hermin, sejauh ini seminari-seminari menjadi lumbug-lumbung penulis dan sastrawan NTT, dan asumsi ini didukung oleh data yang disampaikan Dr. Yoseph Yapi Taum, bahwa lebih dari 70% penulis sastra di NTT sekurang-kurangnya pernah mengenyam pendidikan seminari.

Seminar II yang berlangsung lebih menarik membahas tiga tema antara lain, Karya Sastra dan Tanggungjawab Sosial: Wacana Kritis Merespon Masalah Sosial Budaya dalam Masyarakat NTT disajikan oleh Dr Yoseph Yapi Taum – Dosen dan Peneliti dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sastra Digital sebagai Media Alternatif: Batasan, Prospek, dan Komunitas Pendukungnya oleh Samsul Hari - Pengajar Sastra Digital, dan Perkembangan Sastra Mutakhir Indonesia oleh Narudin Pituin -sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra.

Dr. Yoseph Yapi Taum membahas pentingnya peran sastrawan lewat karya-karya mereka bagi pendidikan sosial masyarakat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dr. Yapi Taum memaparkan contoh dan menekankan beberapa poin penting yang diambil dari disertasi doktoralnya, mengenai bagaimana tragedi 1965 terrepresentasi dalam karya-karya sastra masa itu. Menurut Dr. Yapi Taum, sudah selayaknya sastrawan NTT mengambil bagian dalam kampanye-kampanye sosial menanggapi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, perdagangan orang, hingga rekonsiliasi tragedi 1965 di wilayah NTT yang juga menjadi wacana nasional.

Rekomendasi dan Putusan

Temu II Sastrawan NTT menghasilkan beberapa rekomendasi dan putusan penting. Beberapa putusan itu menyangkut komitmen bersama dalam upaya memperkenalkan sastra NTT lewat berbagai promosi, pembiayaan, pendidikan, dan pengembangan untuk berbagai event di tingkat nasional serta internasional, sebagai bahan pembelajaran di sekolah-sekolah, pengembangan komunitas sastra dalam rangka sosialisasi dan beberapa hal teknis lain.

Kepada awak media, Dr. Yoseph Yapi Taum mewakili segenap sastrawan NTT juga menyampaikan kekecewaan kepada pemerintah Provinsi NTT yang kurang memberikan perhatian dan berpartisipasi dalam seluruh rangkaian kegiatan Festival dan Temu II Sastrawan NTT. Menanggapi hal ini, diajaukan suatu rekomendasi kepada pemerintah dan masayarakat untuk turut dalam pengembangan kesusastraan dan menjamin kebebasan berekspresi para sastrawan.

Kantor Bahasa NTT juga menjalin kontrak kerjasama selama lima tahun dengan Universitas Flores, yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh M. Luthfi Baihaqi Kepala Kantor Bahasa NTT dan Prof Stefanus Djawanai, Ph. D – Rektor Unflor. Kerja sama itu meliputi program literasi masyarakat NTT, dokumentasi bahasa dan sastra lisan daerah, berbagai penelitian linguistik serta berbagai program menyangkut pembinaan dan pengembangan bahasa. Rangkaian kegiatan Festival dan Temu II Sastrawan NTT ditutup dengan acara makan malam dan pentas puisi bersama, yang melibatkan para sastrawan NTT, beberapa pelajar, mahasiswa Unflor, para pegiat di komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE), dan peminat sastra di seputar kota Ende.


Doa



Tuhanku

Di dalam rumah hatiku

Ku sediakan potongan-potongan harta jiwaku

Segunung dosa

Ingin ku pindahkan ke lautan cinta-Mu

Beri aku sebesar biji sesawi saja.

Tuhan

Pada persinggahan-Mu malam ini



Sepatu



pada setiap lusuh

terbungkus debu

adalah setiap puisi

pada telapak

dan sebuah doa

pada lelah

Pulang







biarkan saja hujan yang jatuh menemukan kekasihnya

di balik gersang rerumputan

dan kita terus saja menulis

pada serpi-serpih lontar yang kian menguning kering


gerimis adalah tanda yang diam

dan pada kemarau yang lapar

adalah berkah yang membuat

doa-doa para pekerja ladang serupa hening


kita bertanya-tanya kapan Elia segera kembali

pulang, sebab dosa-dosa kita

tak terbayar oleh tangisan dan hujatan yang lirih

di pinggir tembok-tembok ratapan yang berkisah tentang dua dunia

anak--anak yang terlantar

dan ibu-ibu serta bapak-bapak yang habis

dalam cengkraman pelahap-pelahap


kita berdoa supaya hujan lekas turun

supaya kita tak lagi menagis

sebab hujan adalah doa yang tak selalu terjawab

dan pulang sebagai hening yang tentram

Memeperkenalkan Lokalitas NTT Lewat Sastra (Christian Senda)

Christian Senda sungguh percaya bahwa sastra memiliki daya yang sangat kuat sebagai media promosi daerah Nusa Tenggara Timur. Bagi pria yang akrab disapa Dicky ini, sastra efektif dalam mempromosikan NTT karena sastra selalu bebicara tentang nilai, tentang kemanusiaan, dan kehidupan itu sendiri. Hal inilah yang mendorong Dicky terus bergiat di dunia sastra, dan berusaha mempromosikan lokalitas Nusa Tenggara Timur lewat cerpen-cerpennya.

Dicky mengaku tetarik untuk menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai mengenal dan menggeluti sastra secara lebih baik ketika ia mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara, Ende. Menurutnya, iklim yang dibangun di sekolah itu sangat mendukung perkembangan kecintaan dan keseriusannya dalam menggeluti dunia sastra. “Ketika di Syuradikara saya beruntung punya kepala sekolah dan bapak asrama yang juga akrab dengan dunia sastra. Tentu saja dari merekalah saya berkenalan dengan beberapa tokoh sastra mutakhir lewat buku-buku yang dipinjamkan kepada saya. Saya ingat betul pertama kali menulis cerpen ketika selesai membaca Saman, novel Ayu Utami, milik seorang frater TOP di Syuradikara”. Proses kreatifnya dalam menulis mulai meningkat saat ia kuliah di Yogyakarta. Hal ini didukung oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku, sharing, dan diskusi serta pentas karya sastra. Ketika pindah dan menetap di Kupang pada 2012, Dicky lalu terlibat dalam suatu komunitas sastra, yakni komunitas Dusun Flobamora. “Di komunitas ini saya bertemu Mario Lawi, dkk. Pengaruh komunitas ternyata sangat luar biasa. Bergiat bersama di komunitas membawa pengaruh pada motivasi dan produktivitas. Banyak diskusi dan baca buku, tentu saja membuka wawasan dan justru membuat saya mulai peka dengan diri sendiri. Berkomunitas bukan saja mengasah kemampuan saya sebagai penulis, tetapi juga memberi kesempatan untuk berjejaring dengan lebih banyak orang. Sejak itulah saya mulai membuka diri dengan penulis lain khususnya dari luar NTT, termasuk berkesempatan ikut dalam beberapa forum atau festival sastra. Dari sana kesempatan terbuka lebar. Selalu ada semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri.”

Bagi sarjana psikologi ini, motivasi untuk mengangkat tema lokalitas NTT dalam karya-karya sastranya pertama-tama bersumber dari kehidupan keluarga. “Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat kental dengan lokalitas. Nenek saya orang Jawa, dukun beranak dan sangat lekat dengan tradisi serta ritual Kejawen. Keluarga besar bapak di Flores dan mama di Timor juga sangat lekat dengan tradisi. Sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Mollo, TTS, yang masih sangat kental dengan budaya suku Dawan. Semua itu telah memberi warna tersendiri bagi jejak karya saya selama ini. Ya, sejauh ini ide atau inspirasi menulis cerpen selalu berawal dari rumah, dari keluarga.”

Meski karya-karyanya sangat kental dengan budaya Timor dan Flores, Dicky juga mengalami kesulitan ketika ingin menulis tentang kebudayaan Dawan yang sangat menarik perhatiannya. Kesulitan ini salah satunya disebabkan karena ia tidak fasih berbahasa daerah. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya tidak diperbiasakan menggunakan bahasa daerah, baik Dawan maupun Flores. Ia juga menyadari bahwa generasi-generasi saat ini sangat ketinggalan dalam memahami budaya lokal. Untuk mengejar ketertinggalan itu ia melakukan berbagai riset dan wawancara dengan penutur-penutur asli yang kian sedikit jumlahnya. “Dari sana (riset dan wawancara) saya menemukan banyak dongeng dan mitos yang masih memiliki pengaruh besar di alam bawah sadar orang Mollo. Misalnya, kebanggaan bahwa orang Mollo adalah penjaga gunung dan hutan. Ada konsep ‘oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.’ Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Wilayah Mollo adalah gunung-gunung marmer yang menyimpan air bagi setengah dari pulau Timor. Maka tak heran ketika pemerintah membawa perusahaan tambang masuk ke Mollo, para penjaga hutan dan penjaga gununglah yang gigih mengusir penambang angkat kaki dari Mollo. Lewat sastra, tema-tema ekologi yang khas dari Mollo saya angkat kembali, baik di buku kumpulan cerpen Kanuku Leon maupun di buku kumpulan cerpen terbaru saya, Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Di buku baru ini, kayu cendana bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan konflik. Saya coba memperkenalkan Timor yang disebut ‘hau fo meni’—negeri berbau harum, dan cendana yang telah memasyurkan Timor ke Cina, Arab hingga Eropa.”

Dicky aktif menulis di beberapa media seperti Bali Post dan Jurnal Sastra Santarang. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan dalam antologi cerpen 5900 Langkah, dan antologi cerpen Kematian Sasando. Sejauh ini Dicky telah mempublikasikan tiga buah buku masing-masing sebuah kumpulan puisi berjudul Cerah Hati (2011), dan dua buah kumpulan cerpen berjudul Kanuku Leon (2013), serta Haukamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Ia juga terlibat aktif, baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event serta festival sastra, seperti Temu II Sastrawan NTT 2013, Makassar International Writers Festival 2013, Asean Literary Festival 2014, Festival Sastra Santarang 2015 dan Sumba Art Gathering 2015.

Selain bergelut di dunia sastra, Dicky juga berpartisipasi dalam beberapa karya sosial-edukatif yang digalakan oleh komunitas-komunitas kreatif di Kupang dan sekitarnya. “Saat ini saya tergabung di komunitas sastra Dusun Flobamora, setelah sebelumnya turut serta mengembangkan Komunitas Blogger NTT. Dalam bidang sosial-kemanusiaan dan pengembangan kaum muda, saya ikut bergiat di Forum SoE Peduli, #KupangBagarak, Solidaritas Giovanni Paolo dan Gerakan Mari Berbagi. Saya sangat menikmati hidup sebagai penulis dan aktif mendorong pengembangan kaum muda di NTT. Bersama dengan teman-teman, kami terus berjejaring dan mempromosikan semua potensi dan gerakan positif kaum muda di NTT lewat media sosial. Kami sudah membuktikan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu menyatukan simpul-simpul komunitas lintas daerah.” Bagi Dicky, pengalaman berjejaring dengan komunitas anak muda di berbagai daerah di NTT telah membuka banyak peluang kerjasama, kolaborasi ide, dan mewujudkan mimpi bersama-sama. Dicky pun telah mengalami betapa jejaring ini mampu memberikan kontirbusi luar biasa bagi pengembangan dan promosi NTT. Pria yang punya hobi memask dan nonton film ini berharap jejaring komunitas yang telah digagas anak muda terus dihidupkan dan mendapat berbagai dukungan dari pihak-pihak yang peduli akan pengembangan dan promosi NTT.

Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan Dunianya

Diterbitkan dalam buku 'Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar', Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT, pada Temu II Sastarwan NTT


Dalam berbagai diskusi, lokakarya, maupun kegiatan-kegiatan sastra lainnya di NTT, masih saja terdengar komentar-komentar serta asumsi-asumsi bahwa para penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan NTT ‘hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri’. Anggapan seperti ini umumnya timbul sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kurangnya gema dan efek dari daya transformatif-konkret karya-karya para sastrawan NTT terhadap kehidupan sosial masayarakat, atau mungkin juga karena faktor apresiasi-resepsi yang sangat terbatas dari masyarakat atas karya-karya para sastrawan NTT. Untuk memahami fenomena ini, mungkin perlu dibuat suatu kajian yang lebih komprehensif. Namun, secara lebih sederhana, jika saja fenomena ini dilihat dari sudut pandang yang lebih positif dan personal dengan mengacu pada karya-karya para sastrawan NTT, akan ditemukan suatu horizon pemahaman yang lebih positif tentang nilai sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’. ‘Sabtu Kelabu’, Sebuah Kumpulan Cerpen (2011) yang merupakan karya sulung penulis muda Erlyn Lasar, bisa menjadi suatu contoh yang menarik tentang dimensi sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’.

Sabtu Kelabu memuat tujuh belas cerpen Erlyn yang ditulisnya antara tahun 2007-2011. Erlyn yang dalam rentang waktu itu berusia belasan tahun (remaja), coba menampilkan cerpen-cerpen yang diangakat dari pengalaman hidupnya sendiri. Yang ada di dunia remajanya dan yang asyik digelutinya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi titik berangkat seluruh narasi yang coba ia bangun. Cerpen-cerpen Erlyn menampilkan wawasan yang luas dan refleksi yang tajam atas realitas sosial masyarakat, dari berbagai segi kehidupan. Meski demikian, dua hal yang bisa digali dari cerpen-cerpennya, terutama yang menyoroti realitas kemiskinan masyarakat dan upaya menggali lalu menegaskan jati diri-kebudayaan lokal NTT, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kematangan karya-karya Erlyn, tampak jelas dalam nuansa realisme yang dihidupkan dalam mayoritas cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang lugas, Erlyn mencoba membangun alur-alur yang indah, dengan berbagai gejolak yang merangsang rasa penasaran serta logika yang utuh dan konsisten tertata. Yang menarik, Erlyn tidak memaksakan diri membahas masalah-masalah yang diangkat dalam cerpennya dari perspektif di luar kapasitasnya, tetapi mencoba menatap masalah-masalah itu dari sudut pandang seorang remaja, lantas memberi ruang bagi para pembaca untuk menarik makna yang lebih dalam bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari sebagian besar tokoh dan penokohan dalam cerpen-cerpennya yang relatif berusia remaja hingga dewasa awal, dengan ketegangan kisah berlatar kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh dengan sudut pandang masing-masing.

Nilai sosial ‘keasyikan’ Erlyn dengan dunia masa remajanya yang sederhana di kota Yogyakarta dan Maumere melahirkan karya-karya yang mengangkat ke permukaan sekaligus mengeritik kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi antara yang kaya dan yang miskin dari sudut pandang kehidupan remaja. Dalam cerpen ‘Aku’, ‘Ah’, dan ‘Kejujuran di Jalanan’, Erlyn mencoba mengangkat kisah-kisah anak-anak pemulung dengan segala perjuangan hidupnya. Dalam cerpen-cerpennnya ini, Erlyn menarasikan impian-impian kecil anak-anak miskin tentang boneka, tentang sekolah, tentang mimpi membahagiakan orang tua, yang dikonfrontasikan dengan berbagai wacana dan program-prgram perlindungan hak anak, serta program-program peningkatan kesejahteraan hidup rakyat kecil yang cenderung sebatas verbalisme belaka. Terhadap realitas sosial yang miris sekaligus ironis ini, Erlyn memosisikan tokoh-tokohnya dalam berbagai disposisi batin: sedih, optimis, teguh dan terus berjuang. Lewat cerpen-cerpennya, jelas terlihat, ‘keasyikan’ Erlyn dengan masa remajanya yang penuh diwarnai oleh pemandangan kehidupan anak-anak pemulung dan orang-orang miskin, memuarakan seluruh refleksinya pada titik empati, solider, dan beraksi untuk menggemakan realitas ini ke tengah-tengah masyarakat pembaca. Realitas kemiskinan yang ditawarkan Erlyn dibalut dengan pelajaran akan tenggang rasa, kesetiakawanan, dan ugahari.

Erlyn juga memperkenalkan lokalitas NTT dengan berbagai cara. Filu Merah Putih, Maafkan Ryanti ‘Kak, Moan Henyo, Gadis Tumbal, dan Takdir Berhikmah, adalah contoh-contoh cerpen yang mengangkat lokalitas NTT lewat berbagai model penceritaan. Erlyn menceritakan kembali dongeng rakyat Ine Pare dari Palue, dengan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang sang ibu, dalam cerpen Takdir Berhikmah. Lewat cerpen ini, Erlyn memperkenalkan kembali mitos seorang gadis Palu’e yang mengorbankan dirinya sehingga menjadi padi yang dimakan bangsa manusia umumnya, tentang padi yang konon tidak dapat tumbuh di tanah Palu’e akibat nazar sang ibu, sekaligus menggali kembali nilai penghormatan yang tinggi akan kerja, dan segala bentuk pengorbanan demi mempertahankan kehidupan. Dalam cerpen Gadis Tumbal, diangkat kembali dongeng tentang kisah cinta Kapalelu dan Moan Jiro Jaro. Ada pesan pengorbanan, cinta yang dibalut dalam awasan untuk menjaga dan melestarikan alam.
Erlyn juga mengkonfrontasikan wawasan kedaerahan dengan wawasan nasional-nusantara dalam Filu Merah Putih dan Maafkan Ryanti. Kedua cerpen ini mencoba mengatasi sikap-sikap minder, inferior, dan kurang percaya diri anak-anak NTT akan jati diri kedaerahan mereka berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang kelihatan lebih maju. Filu merah Putih menampilkan keraguan seorang remaja yang menyaksikan ibunya mengikuti lomba memasak makanan tradisional, yang melibatkan ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya, saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Keraguan itu lenyap seketika, dan kepercayaan dirinya tumbuh ketika ia akhirnya tahu bahwa ibunya membuat kue filu khas Ende-Lio, makanan kesukaannya. Dengan cara yang berbeda, cerpen Maafkan Rianty ‘Kak, menuntaskan konfrontasi seorang remaja Maumere yang dibesarkan di tanah rantau dalam peradaban yang jauh lebih maju dengan kebudayaan tempat asalnya, lewat kesalahan kecil di acara pernikahan kakaknya. Nyata sekali, pengalaman Erlyn hidup di pulau Jawa, turut memberi rangsangan bagi kreasi cerpen-cerpennya ini. Kepada sesama saudaranya, Erlyn ingin menitipkan pesan agar berani dan berbanggalah dengan jati diri kedaerahanmu!

Buku ‘Sabtu Kalabu’, karya Erlyn Lasar bisa membuktikan bahwa ‘sastrawan yang asyik dengan dunianya sendiri’ bisa menciptakan sesuatu yang punya nilai sosial yang sangat tinggi. Bukankah hakikat sastra juga selalu berdimensi sosial, sebagaimana seni pada umumnya selalu bersifat dulce et utile? Sastra haruslah indah sekaligus berguna. Dalam bahasa Aristoteles, sastra sebagaimana musik, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang secara esensial memiliki aspek sosial dalam dirinya. Sastra haruslah bisa menghadirkan hiburan (paidia), membentuk karakter dan cara berpikir (paideia), dan memurnikan komunitas masyarakat dari hal-hal yang buruk secara moral (katharsis). Secara lebih ekstrem, Satyagraha Hoerip dengan ‘sastra terlibatnya’ ingin agar sastrawan tampil pada garda yang paling depan dalam upaya pendidikan moral bangsanya. Masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek sastra, ilham sekaligus tujuan, sumber sekaligus muara semua nilai yang diangkat oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka.
Keluhan bahwa sastrawan, khususnya para sastrawan NTT asyik dengan dunianya sendiri, sesungguhnya adalah unkapan dahaga masyarakat akan sastra yang terlibat. Jika sastrawan, penulis muda seperti Erlyn sudah menulis dengan idealisme sosial yang demikian tinggi, pertanyaan lai yang timbul adalah sebarapa dapat dan jauh usaha masyarakat mengapresiasinya?

Tuhan Yang Akan Segera Tiba

Tuhan yang akan segera tiba:


Maafkan aku karena masih ada setitik noda zinah
yang belum sempat kutahirkan saat kedatangan-Mu
Namun, entah benar atau tidak,
ada sedikit harapan pada lubuk hatiku
yang menemani keyakinan kecil ini:


bahwa nanti kau akan singgah sebentar pada ruang jiwaku
tuk sekedar menyapa nama sembari bersila
kaki menyeruput teh tawar yang kusediakan
bagi-Mu dengan agak tergesa-gesa.


Sebab kata kekasihku pada malam kami
bercinta:

"Sayang yang kau anggap zinah itu
ungkapan cinta yang tak lagi harus kau
benarkan dengan akalmu, sebab
dimana ada cinta, bahkan setitik saja
dari segunung dosa,
Tuhan Ada Apa Adanya"




Lokaria, 24/12/14 (15:57)
Buat "Yang mencintai saya apa adanya",
maaf tak sempat saya mengaku dosa




Dimensia (I)

Sayang…

Sekali ini kumohon

jangan kau perdebatkan lagi

soal gincu merah yang menempel di kerah kemejaku

Itu hanya percikan saos tomat

dari warung nasi goreng Mas Untung malam kemarin



Tetapi tolong kau pertimbangkan lagi

soal kandunganmu yang hampir tiga bulan itu



Bukankah pertama kali kita bercinta itu
minggu kemarin?



Wairklau, 25 September 2014



Dua November

Aku lupa cara mendoakanmu, ketika kau memintanya untuk pertama kali, setelah sekian panjang hening yang dingin.

Aku pernah menyembunyikan doa-doa itu pada hembusan udara yang masuk lewat celah-celah jendela kamarku yang selalu kubuka setiap menulis cerita dan puisi yang kujanjikan akan kubacakan dalam setiap pesta perkawinanmu yang ke sekian.

Andai malam ini tak kudapat lagi doa-doa itu,

kau cukup percaya bahwa namamu kekal tertulis di samping deretan nama yang selalu kudoakan setiap dua November tiba.




Lokaria, tengah Malam, Oktober, 2015

Komunitas, Sastra, dan Kemanusiaan (Catatan Apresiatif untuk Festival Sastra Santarang)


Pada tanggal 2-4 Juni yang lalu, saya berkesempatan mengikuti Festival Sastra Santarang (FSS) yang diadakan di Kupang. Festival ini diselenggarakan atas prakarsa dan kerja sama Komunitas Dusun Flobamora Kupang dan Komunitas Salihara Jakarta. Bagi saya, festival ini merupakan salah suatu festival sastra besar dan berkualitas yang pernah diselenggarakan di bumi NTT. Festival ini sebenarnya merupakan suatu respons positif bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT, yang eksistensinya sudah mendapat pengakuan nasional bahkan internasional. Festival ini menghadirkan Ayu Utami, Hasif Amini, AS Laksana, para sastrawan NTT (Mario Lawi, Dicky Senda, Ishack Sonlay), akademisi, serta kepala Kantor Bahasa NTT dan diikuti oleh berbagai komunitas yang ada di NTT (Kupang, Maumere, Ruteng, Soe, Kefamenanu, dll.). Festival ini juga bertujuan mengobarkan kembali semangat berkomunitas (lintas bidang dan genre) kaum muda dan masyarakat NTT umumnya, serta membangun jejaring antar komunitas tersebut. Komunitas dan sastra sebagai topik festival ini dirangkum dalam berbagai kegiatan seperti sarasehan pengembangan komunitas-komunitas di NTT, seminar dan workshop sastra serta kepenulisan kreatif, pentas seni dan hiburan, serta media visit.

Geliat pertumbuhan dan perkembangan komunitas-komunitas dengan berbagai genre dan bidang gelutan di NTT menjadi fenomena yang harus direspon secara positif. Komunitas (Lat: communio) pada hakikatnya berarti persekutuan. Persekutuan ini sebenarnya membentuk persatuan dan kesatuan dari pluralitas individu (unity in diversity). Setiap individu dengan personalitasnya masing-masing membentuk komunitas atas dasar dorongan motivasi, cita-cita, tujuan dan idealisme yang sama. Lebih jauh, komunitas hanya bisa terbentuk apabila individu melibatkan diri dalam jalinan relasi yang terbentuk lewat komunikasi. Komunikasi yang ideal dalam suatu komunitas bersifat interpersonal. Menyitir Martin Buber, relasi antar anggota dalam komunitas hendaknya bersifat aku-engkau. Ada cinta sejati dalam relasi ini. ‘Yang lain’ diterima dengan segala keunikannya dan dianggap bernilai, sehingga diriku pun terarah kepada ‘yang lain’. Romo Amanche dalam makalahnya menegaskan hal ini dalam ungkapan menarik: ‘In and trough love, I make the others be and the others make me be’. Lewat komunitas, dimensi sosialitas seseorang ditopang, sekaligus personalitasnya mendapat tempat untuk dikembangkan. Komunitas menegaskan hakikat manusia sebagai makhluk personal-komuniter. FSS yang merekam geliat pertumbuhan komunitas-komunitas lintas bidang dan genre di NTT memberi ruang refleksi, diskusi sekaligus konsolidasi bagi komunitas-komunitas ini. Lebih jauh, FSS memiliki visi menjalin relasi ad extra serta jaringan antar dan inter-komunitas.

FSS sendiri menyadari dan menegaskan sastra sebagai instrumen yang baik dalam memberi sumbangan bagi perkembangan NTT. Jika dirunut lebih jauh, sejak dahulu sastra sudah menjadi suatu instrumen dalam pengembangan kepribadian manusia. Sastra dengan muatan epistemologis, estetis, dan etis berdaya guna dalam pembentukan karakter individu. Sebagai contoh, humanisme Eropa yang berlangsung pada abad 15 melihat litterae humane (sastra) sebagai paradigma segala pembentukan rohani manusia. FSS menilik secara khusus komunitas sastra yang dianggap memainkan peranan sentral dalam pertumbuhan dan perkembangan satra NTT. Sastra mungkin identik dengan karya personal, tetapi adanya komunitas sastra sebenarnya menjadi suatu ruang pematangan karya personal itu sehingga tidak hanya berdimensi subjektif tetapi menjadi milik semua yang mengapresiasinya. Komunitas bagi para pegiat sastra adalah keluarga, ruang mereka menjalin kasih persaudaraan, bertukar ide dan gagasan, serta saling mendewasakan lewat motivasi serta kritik demi produktivitas karya yang indah dan berguna. Komunitas-komunitas sastra sesungguhnya telah banyak berkembang di NTT, sebut saja Dusun Flobamora, Filokalia Seminari Tinggi ST.Mikhael, dan Rumah Poetica di Kupang, beberapa komunitas sastra di Ende yang digerakkan oleh mahasiswa UNFLOR dan pegiat sastra Ende, komunitas sastra di berbagai biara dan seminari di Maumere seperti Teater Tanya-Ritapiret, Aletheia-Ledalero, atau Vigilantia-Karmel, LG Corner di Ruteng, Lopo BIINMAFO, dan komunitas-komunitas sastra sekolah dan lainnya yang mungkin luput dari pengetahuan penulis.

Pada akhirnya semua komunitas yang ada di NTT, secara khusus komunitas sastra bisa berarti apabila mengusung suatu misi yang sama yaitu mengembangkan kemanusiaan masyarakat NTT dalam segala matranya (epistemologis, estetis, dan etis,). Pengembangan masyarakat NTT bisa menjadi roh penghubung komunikasi inter-komunitas di NTT. Komunitas-komunitas, secara khusus yang bergerak di bidang sastra, bisa menjadi motor perwujudan ide Aristoteles akan terciptanya suatu kota (polis) di NTT, yang kreatif dan membahagiakan karena memanfaatkan tiga dimensi fungsional sastra sebagai yang menghibur (paidia), membentuk karakter (paideia), dan memunrnikan polis dari aksi kriminalitas (katharsis). Kota yang demikian dapat menjadi tempat setiap individu mengembangkan potensi dirinya. Selain itu, melalui sastra, lokalitas NTT bisa diangkat ke permukaan, tidak hanya sebagai bentuk promosi tetapi suatu penegasan bahwa NTT bisa memberi sumbangan pemikiran bagi dunia lewat local genius-nya (epistemologis, estetis, etis) yang selalu memiliki dimensi universal.

PEMENANG TERAKHIR (CERPEN)


Lama sudah Rika terpaku, tak jelas menatap apa dari balik jendela kamarnya. Cuma ada satu hal yang dipikirkannya: Jo. Rika tak kuasa menahan air matanya setiap kali mengingat bagaimana ia dan suaminya begitu bahagia dengan kelahiran Jo. Ia adalah anak sekaligus malaikat yang telah menyelamatkan pernikahan Rika dan suaminya setelah selama sebelas tahun mereka bersama tanpa kehadiran seorang anakpun. Keduanya telah berjanji bahwa mereka akan menjaga Jo seperti menjaga biji mata mereka sendiri, karena seperti mata yang membuat mereka dapat melihat, Jo telah membuat Rika dan suaminya melihat sebuah alasan yang meyakinkan mereka bahwa mereka tidak pernah melakukan sesuatu yang sia-sia dengan pernikahan mereka, selalu ada satu hal berharga yang membuat apa yang  dilakukan dengan cinta yang tulus berhak dipertahankan sampai kapanpun.  
            Perasaan bersalah sekaligus sedih dan marah campur aduk membuat Rika menyesali pertemuannya dengan teman-teman perkumpulannya itu. Pertemuan dengan perkumpulan itu telah mengubah seluruh hidupnya, termasuk juga pernikahan dengan suaminya itu. Rika telah bertahun-tahun mencari jawaban yang bisa menghentikan pertanyaan yang terus dilontarkan suaminya, kapan kita bisa punya anak? Rika tahu ia tidak bisa marah mendengar pertanyaan itu walaupun sesungguhnya pertanyaan itu terlalu menyakitkan buatnya. Bukan karena dia tidak bisa memberi anak, melainkan karena dia tak tega meminta suaminya menunggu sepuluh tahun lamanya. Seandainya kelak anak itu datang, bagaimana mungkin Rika dapat meyakinkan bahwa inilah anak yang mereka nantikan selama lebih dari sepuluh tahun. Tapi apakah pantas ia menyesali pertemuannya itu. Pertemuan yang sungguh membuatnya mampu melihat hidup ini dengan lebih baik.
            Rika memang sejak lama tahu bahwa penglihatan manusia banyak kali menipu. Apa yang tampil di hadapannya kadang  justru hanya jebakan yang menghantar pada petaka jika dia mencoba percaya begitu saja. Itulah yang selalu membuat Rika gelisah, bagaimanapun juga dunia ini tidak mungkin berisi kebohongan saja. Apa jadinya kalau dunia ini didirikan di atas kenyataan yang semuanya palsu? Mengapa kita bisa mengatakan sesuatu itu palsu atau tidak? Rika ingin sekali mencari sesuatu atau seseorang yang bisa membuatnya mampu melihat kenyataan dan khayalan tanpa perlu mempersalahan siapa-siapa.
***
            Mereka tidak pernah sepakat bahwa mereka harus mencari cara menolong orang lain dengan menceritakan apa yang merekalihat. Mereka yakin, merekalah yang pertama-tama harus disembuhkan. Menyebarkan ketidakpastian yang membuat orang lain cemas hanya akan menambah luka yang membuat mereka semakin menderita. Beberapa di antara mereka sangat yakin bahwa hidup dipelajari supaya kita bisa mengalaminya dengan damai, tak perlu bertengkar dengan hidupmu sendiri. Itulah yang sempat membuat Rika sadar bahwa sesuatu dalam dirinya ingin melawan apa yang diyakini teman-teman perkumpulan. Mengapa kita mesti mengalami ini semua jika sejak awal kita hanya ingin yakin bahwa kita tidak bisa berdiskusi dengan kehidupan ini? Apakah kehidupan ini memang begitu kejam sampai tak memperbolehkan kita memberi pertimbangan padanya?
            Seperti biasa, selasa pertama setiap bulan, mereka berkumpul lagi. Orang-orang yang yakin bahwa mereka mempunyai kemampuan lebih dalam melihat kenyataan hidup di dunia ini. Justru dalam kegelapan dan kekaburan, mereka mampu melihat dengan begitu jelas. Awalnya mereka tidak memberi nama untuk perkumpulan mereka itu. Setelah beberapa pertemuan, semua akhirnya sepakat memberi nama untuk perkumpulan ini. ”Perkumpulan Sebelum Berjaga”. Nama itu memang kedengaran aneh, tapi mereka semua sepakat itu nama yang paling cocok, karena mereka selalu bisa  melihat sesuatu bahkan sebelum berjaga.
Perkumpulan itu dimulai ketika Yoman dan Marta bertemu di kampus tempat mereka kuliah. Singkat cerita mereka akhirnya bercerita tentang pengalaman mereka yang mirip. Lalu, muncullah ide untuk bertemu sekali sebulan dan mulai berbagi apa saja. Mereka kemudian sepakat untuk menerima siapa saja yang ingin bergabung sebab mereka tahu betapa berat penderitaan yang harus dialami ketika orang-orang tidak percaya pada apa yang sungguh-sungguh dialami seseorang. Maka bergabunglah kemudian Rora, Fandy, Iki, dan Rika. Sudah hampir lima tahun mereka menjalani hari-hari perkumpulan yang sangat menolong mereka. Setidaknya mereka bisa lega karena mereka bukan satu-satunya orang aneh di dunia ini. Mereka selalu merindukan setiap pertemuan karena mereka tidak hanya sekedar berbagi, tetapi mereka  menjadi semakin mengenali diri masing-masing dan bagaimana mengenali sesuatu yang bersemayam dalam diri mereka yang membuat mereka berbeda dari orang-orang lain.
Dan kini giliran Rika berbicara. Tidak ada paksaan dalam bentuk tema pembicaraan yang harus membingkai seluruh isi pembicaraan. Rika bisa berbicara apa saja, bebas mengutarakan pendapatnya tentang siapa atau apa saja, bahkan juga menceritakan hal remeh-temeh yang  dialami di rumahnya. Setelah itu, yang lain bisa memberi komentar. Rika ingin membicarakan sesuatu yang penting hari ini. Dan Rika tidak perlu berpura-pura lagi. Salah satu atau bahkan kebanyakan mereka sudah tahu bahwa Rika memang akan membicarkan sesuatu yang amat penting bagi hidupnya sendiri dan terutama, bagi kehidupan perkumpulan ini.
            “Apa kabar Rika hari ini?”, Yoman segera membuka percapakan ketika Rika mengambil tempat.
            “Baik. Aku ingin berbicara sesuatu yang penting sekali hari ini”
            “Tentu saja, kami juga sudah tidak sabar. Kau kan jarang bicara yang penting-penting”, timpal Marta sambil tersenyum kecil”
            “Baiklah. Pertama sekali aku ingin menceritakan apa yang aku lihat akhir-akhir ini. Kalian semua tahu bagaimana aku dan suamiku memperjuangkan pernikahan kami dengan susah payah. Dan aku lebih kesulitan lagi karena menanggung sesuatu yang tidak pernah aku ceritakan kecuali pada kalian. Semua itu berubah menjadi kegembiraan yang begitu berarti ketika lepas tahun yang kesepuluh Jo lahir. Kalian juga tahu bahwa Jo adalah satu-satunya alasan kami yakin bahwa kami tidak salah memilih.”
            “Kau melihat Jo atau suamimu?”, Rora segera menyerang Rika sebelum ia melanjutkan kata-katanya. Sesungguhnya, itulah pertanyaan yang tidak ingin didengarnya hari ini. Rika tak ingin semuanya menjadi begitu jelas seolah dirinya telah mengalami lebih dulu kenyataan yang tertunda, sebelum berjaga.
            “Jo telah mengatakan bahwa ini perjalanan yang sangat berarti baginya. Ia ingin membuat perayaan ulang tahunnya sepanjang perjalanan dan aku tidak bisa lagi menghentikan keinginannya. Kami terlalu lama mengurungnya di dalam rumah dan menjadikannya anak manis yang selalu patuh pada ayah dan ibunya. Kali ini aku tidak akan lagi menghalangi keinginan Jo. Ayahnya juga setuju bahwa sudah saatnya kami membiarkan Jo pergi bersama teman-temannya. Tapi aku tetap tak bisa mempercayai segala yang telah aku lihat dan aku lakukan”.
             “Kau hanya perlu menenangkan dirimu sebelum segalanya terjadi. Kaulah yang paling paham bagaimana cara berdamai dengan hidupmu sendiri. Ini memang pengalaman pertama yang akan segera mengubah hidupmu, tetapi kau tidak perlu merasa bersalah karena kau membiarkannya terjadi”.
            “Yoman, kalian semua juga tahu masalahku. Aku ingin bisa sebentar saja bisa mengutarakan pendapatku pada kehidupan ini”.
            “Dia tak akan mau kau ajak bicara. Kami sudah mencoba berulang kali”.
            “Lalu untuk apa kita semua duduk di sini dan sesumbar soal kelebihan yang kita miliki padahal sebenarnya kita ini jahat. Orang lain menginginkan  melakukan sesuatu supaya bisa menyelamatkan banyak orang, tetapi mereka tak sanggup. Sementara kita yang sanggup menyerah begitu saja. Bukankah kita jahat? Atau sebenarnya, kita hanya sedang asyik menikmati acara bioskop di sini? Kita ingin sungguh sadar sebelum berjaga bukan?”
            Semuanya diam. Iki dan fandy tak tega menatap Rika. Rora masih bengong menatap ke arah pintu. Ia seperti tak percaya pada apa yang barusan  dikatakan Rika. Lama mereka diam lalu Yoman segera membuka percakapan itu lagi.
            “Percayalah Rika. Hanya kau yang paling tahu caranya. Kami tidak ingin membuatmu kecewa. Tapi kau tidak bisa menyangkal bahwa apa yang kaumiliki dalam hidupmu tidak perlu menjadi alasan bagimu untuk tidak mempercayai hidupmu sendiri. Hidupmu sudah begitu bijaksana menempatkan segala sesuatu pada tempatnya di saat yang sesuai”
***
Sejak pertemuan terakhirnya dengan teman-teman perkumpulannya, Rika merasa tidak ada lagi yang harus dibicarakan dengan teman-temannya itu. Rika sadar dirinya ingin menjadikan segala sesuatu seturut kehendaknya dan itulah yang sekarang membuatnya menderita. Dia kenal betul dengan anak satu-satunya itu. Hingga usia limabelas, Jo tidak mahir bersepeda. Ia selalu diantar dan dijemput dengan mobil ketika hendak ke sekolah atau kembali dari sekolahnya. Rika tahu betul bagaimana anaknya itu telah bertahun-tahun menahan keinginannya untuk bisa membawa motor seperti teman-teman sekolahnya. Itulah sebabnya, Rika merasa tidak adil jika mereka menolak keinginan Jo agar dibelikan motor untuk dipakainya sejak ia berusia tujuhbelas tahun nanti. Jo ingin menunjukkan bahwa mulai hari itu, ia bukan lagi anak rumahan yag setiap hari harus diantar-jemput dengan mobil. Rika tahu semua keinginan anaknya itu.  
“Kamu mimpi buruk lagi ya?”
“Iya. Aku mimpi Jo”
“Kita bilang saja pada Jo, kita ganti hadiah lain saja.”
“Tapi nanti Jo bisa kecewa. Kamu tahu kan bagaimana gejolak anak muda seperti Jo. Dia pasti malu sekali pada teman-temannya. Apalagi mereka sudah janji membuat pawai untuk ulang tahunnya di jalanan”
“Aku tidak ingin percaya pada mimpimu, Rika. Tapi, kalau kamu tidak nyaman dengan semua itu, kita bisa bicarakan baik-baik dengan Jo”
“Tak usah. Aku baik-baik saja. Kau tahu kan kecemasan seorang ibu pada anak tunggalnya. Ini pertama kali kita melepaskan Jo ke jalanan. Jadi, wajar kalau aku begitu takut”
“Baiklah kalau begitu”.
***
             Jam sudah menunjukkan pukul duabelas lewat sembilan menit. Rika masih tak mau beranjak dari tempatnya sejak tadi. Suaminya tidak ingin berbicara banyak sebab ia yakin Rika tidak sedang memerlukan kata-katanya. Sambil memejamkan matanya, Rika menarik nafas panjang dengan sedikit tangis yang tak ingin dihembuskannya. Ada teriak yang panjang sekali keluar dari dalam tubuhnya. Rika semakin tidak kuasa menahan sesuatu dalam dirinya. Apakah aku harus menyesal?
            “Mengapa kau tak pernah mau kuajak bicara? Kau tahu bukan bahwa kau akan mengambil seseorang yang sangat berharga dalam hidupku. Mengapa kau mengambilnya dengan cara menipuku, mengajakku berdamai denganmu supaya kau bisa seenaknya memperlakukannya”, teriak Rika makin kuat menembus jendela dan dinding-dinding rumahnya, melesat begitu cepat entah ke mana, mencari-cari jawaban yang harus segera ditemuinya.
            Rika semakin hebat berteriak menyesali perbuatannya sendiri. Ia berbalik memandang suaminya yang juga sedang duduk diam menatap dirinya seja tadi.
            “Kau masih mencemaskan Jo?”
            “Iya. Ini semua salahku. Jo tidak begitu mahir naik motor. Dia juga tidak punya SIM dan aku tidak mengingatkannya untuk mengenakan helm tadi. Kau lihat kan tadi bagaimana motor-motor itu melaju begitu ngeri seperti di arena balapan. Bagaimana aku bisa tenang jika ada begitu banyak bahaya yang kubiarkan mendekati Jo?”
            “Rika, kita sudah tahu semua ini sejak awal. Kau ingin Jo bahagia, begitupun dengan aku. Karena itu, kita harus siap dengan segala risiko yang mungkin terjadi. Kau yakin Jo akan mengalami hal buruk pada ulangtahunnya?”
            “Ya, tapi setidaknya kita masih bisa mencegah itu semua sebelum terlambat. Kita bisa saja menjadi pembunuh Jo karena kita membiarkannya pergi menyongsong bahaya.”
            “Kenapa bicaramu seperti itu? Kalau kau yakin sekali bahwa Jo akan mengalami bahaya, mengapa tidak kau katakan itu padanya, ada apa denganmu Rika? Apa kau bisa melihat kehidupan ini begitu jelas? Apa yang sesungguhnya akan terjadi tidak benar-benar ada dalam jangkauan kita. Jadi, kau tak perlu merasa begitu ketakutan. Lagipula Jo tidak sendirian, ada teman-temannya yang ikut bersamanya”.
            Rika berbalik kembali tak ingin melihat suaminya. Sekarang teriaknya sudah habis. Hanya ngilu yang semakin menusuk dirasakannya di sekujur tubuhnya. Ia begitu ngeri membayangkan bagaimana semua ini akan berakhir. Dia sendiri telah melihat bagaimana semua akan terjadi dan berharap akan ada mukjizat yang terjadi.
***
            Sudah tiga tahun Rika meninggalkan perkumpulan dan tidak ada satu hal pun yang berubah dalam hidupnya. Kehilangan Jo bukanlah alasan yang membuatnya enggan bergabung lagi dengan teman-teman  ‘Sebelum berjaga’nya. Rika tak tega kembali dengan membawa luka yang sebenarnya bisa disembuhkannya sendiri, untuk disembuhkan teman-temannya. Tiga tahun sudah Jo, mutiara dan malaikat bagi Rika dan suaminya, meninggalkan mereka. Dan sampai hari ini, bagaimanapun, Rika tetap menanti jawaban dari teriaknya yang belum juga kembali sejak tiga tahun lalu. Teriak yang telah memekakkan semesta yang heran melihat Rika.

            Rika belum juga ingin mengakhiri perseteruannya dengan sosok yang disebutnya kehidupan. Rika masih tetap yakin bahwa kehidupan selalu ingin menang dengan cara apapun, termasuk cara yang curang. Kehidupan memberinya kemampuan mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi dan dia harus menerimanya, tapi kehidupan juga menyediakan padanya cara untuk mencegah semua itu terjadi dan itu berarti dia mesti melawan kehidupan yang selalu ingin menang. Rika merasa dikhianati oleh pilihan-pilihan yang disediakan kehidupan baginya. Seharusnya, Rika bisa menjaga dan menyelamatkan Jo, tetapi kehidupan selalu ingin menang. Rika masih tetap yakin, kehidupan selalu sadar lebih awal sebelum dirinya sempat berjaga. Dialah yang akan selalu menang pada akhirnya, karena Rika terlalu terlambat menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi.


(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com)

ANALISIS KISAH ‘ASAL MULA LEPO GETE’ DALAM PERSPEKTIF TEORI PENCIPTAAN PARRY-LORD



1.  Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tradisi “penuturan” (lisan) merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup di antara anggota masyarakat tersebut, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan Sang Pencipta. Hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, dan bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah Indonesia.[1]
Salah satu bentuk tradisi lisan adalah cerita mengenai genealogi suatu suku bangsa. Cerita-cerita tersebut biasanya berupa mitos yang diwariskan dalam suatu kebudayaan tertentu. Cerita-cerita ini sangat penting karena di dalamnya termuat refleksi mengenai jati diri bangsa, identitas kesukuan, dan bahkan menjadi dasar berbagai aplikasi adat istiadat, kebiasaan, hukum, dan kepercayaan tradisional.
Di Niang Tana Sikka[2], cerita mengenai genealogi suku bangsa Sikka hadir dalam berbagai mitologi. Hal ini dipengaruhi oleh variasi etnis (sub-kultur) yang hidup di wilayah Sikka. Namun, dari sekian banyak mitologi yang ada, cerita tentang “Lepo Gete”[3] adalah yang paling menonjol dalam tradisi lisan masyarakat Sikka. Cerita ini menjadi sangat menonjol karena Lepo Gete diyakini sebagai cikal bakal pemerintahan kerajaan Sikka pada beberapa dasawarsa selanjutnya.[4]
Cerita tentang Lepo Gete diturunkan melalui tradisi lisan Naruk Kleteng Latar/Naruk Dua Mo’ang[5]/Bleka Hara.[6] Namun, karena berbagai faktor sejak tahun 1950-an, cerita-cerita ini (yang kemudian dikenal sebagai Hikayat Kerajaan Sikka) sudah jarang dituturkan lagi. Sekitar tahun 1925, ketika Don Thomas Ximenes da Silva diangkat menjadi Raja, beliau meminta Moa’ang BoEr[7] untuk menuliskan kembali sejarah kerajaan Sikka. Pada waktu yang hampir bersamaan, Mo’ang Kondi[8] pun mulai mengumpulkan berbagai cerita tentang genealogi kerajaan Sikka.[9] Manuskrip Mo’ang BoEr dan Mo’ang Kondi menjadi salah satu peninggalan yang berharga, baik dari segi sejarah, budaya, maupun kesusasteraan. Bahkan oleh E.D. Lewis, karya ini bisa dibandingkan dengan beberapa warisan kesusastraan Indonesia masa lampau lainnya seperti Negara Kertagama, Kakawin, atau Babad Tanah Jawi.[10]
Karya tulis ini mencoba mengkaji lebih jauh aspek sastrawi dari tradisi lisan kisah Asal Mula Lepo Gete’ dari manuskrip Mo’ang Boer dan Mo’ang Kondi. Dengan perspektif teori sastra lisan Parry-Lord, ingin diamati dan dianalisis unsur formula dan formulaik, kelompok gagasan, dan cara penyebaran kisah ini. Lebih jauh, karya tulis ini coba menjawab pertanyaan penting ini, “apa makna dan manfaat kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ bagi msayarakat Sikka?”

1.2 Rumusan Masalah
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang penulis lontarkan ketika berhadapan dengan cerita tradisional Asal Mula Lepo Gete’.
1. Apakah tersedia teknik dan unsur-unsur penciptaan suatu tradisi lisan tertentu, seturut teori Parry-Lord dalam penceritaan ceritaAsal Mula Lepo Gete’?
2. Bagaimana prosedur pewarisan dan persebaran cerita ini?
3. Apa makna dan manfaat dari cerita ini bagi masyarakat Sikka?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1.  menemukan dan mempresentasikan adanya berbagai teknik penciptaan dan penceritaan melalui analisis unsur formula dan ungkapan formulaik, tema atau kelompok gagasan seturut teori Parry-Lord dalam cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’,
2.      menemukan dan mempresentasikan prosedur pewarisan dan persebaran kisah ini,
3.      menemukan dan mempresentasikan makna dari cerita ini bagi masyarakat Sikka.

1.4 Sumber dan Metode Pengkajian
Metode yang digunakan dalam pengkajian kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ adalah penelusuran dan studi literatur serta wawancara. Analisis pada tulisan ini didasarkan pada dua manuskrip BoEr dan Kondi, yang diterbitkan kembali atas prakarsa Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis dalam buku Hikayat Kerajaan Sikka dan satu salinan elektornik (e-paper) The Stranger King of Sikka karya E.D Lewis yang juga menyertakan terjemahan dan komentar atas Hikayat Kerajaan Sikka dalam bahasa Inggris. Selain itu dilakukan juga wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi.

2.   Teori Sastra Lisan Parry-Lord[11]
            Teori paling utama yang digunakan dalam karya tulis ini adalah teori penciptaan Parry-Lord. Teori ini dicetuskan oleh Milman Parry (1902-1935) dan asistennya Albert B. Lord, dua ilmuan ahli bahasa berkebangsaan Yunani. Mereka membuat suatu penelitian tentang proses penciptaan berbagai epos rakyat di Yugoslavia dengan satu hipotesis mendasar bahwa setiap karya sastra lisan yang utuh dibangun berdasarkan unsur-unsur dan pola penceritaan tertentu yang secara habitual menjadi konvensi dalam suatu kebudayaan. Hipotesis ini merupakan kelanjutan dari penelitian mereka terhadap karya Homerus. Dalam pengkajian Parry-Lord, kurang lebih ada tiga hal yang diteliti berkaitan dengan cerita atau epos rakyat, yaitu a) teknik penciptaan, b) cara tradisi itu diturunkan dari guru ke muridnya, c) resepsi karya sastra itu oleh masyarakat, yaitu dari audience yang menghadiri performance. Menurut Parry-Lord, proses penciptaan sastra lisan dapat dicermati dari cara penutur memanfaatkan formula yang siap pakai sesuai dengan konvensi yang berlaku.  Unsur-unsur itu antara lain formula dan ungkapan formulaik, tema atau kumpulan gagasan, dan prosedur pewarisan.

2.1 Formula dan Ungkapan Formulaik
            Formula adalah kelompok-kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan sebuah ide pokok, sedangkan ungkapan formulaik adalah larik atau paruh larik yang disusun berdasarkan formula. Dalam penceritaan sebuah sastra lisan, formula, dan ungkapan-ungkapan formulaik berperan untuk mengamankan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Formula dan ungkapan-ungkapan formulaik adalah unsur-unsur siap pakai (stock-in-trade), dan selalu digunakan setiap kali tukang cerita atau penyair lisan bercerita. Unsur-unsur tersebut biasanya dihafal sehingga wacana kebudayaan lisan sangat bergantung pada penggunaan ungkapan-ungkapan yang baku dalam bergaya, misalnya dalam pribahasa-pribahasa dan kata-kata adat lainnya. Dalam penuturan sastra lisan, formula dan ungkapan formulaik tidak hanya berfungsi sebagai wadah penceritaan atau penjelasan isi pokok suatu kisah, tetapi merupakan isi atau pokok cerita itu sendiri.

2.2 Tema atau Kelompok Gagasan
            Menurut Parry-Lord, dalam karya sastra lisan seperti epos rakyat, puisi lisan, prosa, nyanyian, atau mazmur, ada sejumlah ide yang secara teratur digunakan dalam penceritaan, kususnya dalam cerita-cerita bergaya formulaik. Oleh Parry-Lord, kelompok-kelompok ide ini disebut sebagai tema-tema (themes). Istilah tema oleh Parry-Lord bisa berupa kelompok-kelompok adegan siap pakai, ataupun deskripsi bagian-bagian cerita dalam konvensi dan sesuai horizon harapan penikmat. Tema sebuah cerita tidak dapat diekspresikan hanya dalam sebuah rangkaian kata-kata saja. Tema harus diungkapkan dalam kelompok-kelompok gagasan berdasarkan perbandingan dengan berbagai variasi teks.

2.3 Penciptaan Kembali dan Prosedur Pewarisan
            Menurut Parry-Lord, cerita-cerita dalam suatu kebudayaan tidak selalu kaku dihafal secara turun-temurun. Setiap penceritaan kembali suatu cerita adalah proses pewarisan sebuah tradisi lisan, dan setiap penceritaan memiliki unsur penciptaan kembali suatu cerita berdasarkan konteks maupun ekspetasi pendengar kala itu. Oleh karena itu, suatu kisah yang diwariskan selalu memiliki unsur pembaruan dan dinamis. Bagi Parry-Lord, hal yang relatif tetap (statis) dalam suatu kisah adalah kelompok-kelompok ide (themes). Kelompok-kelompok ide ini kemudian dikonstruksikan kembali menjadi sebuah cerita yang utuh menggunakan formula dan ungkapan formulaik.
           
3.   Konteks Kebudayaan Asal Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete
3.1 Topografi dan Kependudukan
            Wilayah Kabupaten Sikka memiliki karakter yang khas sebagai yang paling kecil jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Pulau Flores dan terpadat penduduknya di NTT. Luas keseluruhan kabupaten Sikka adalah 1.731,91 km2 dengan luas daratan 1.614,8 km2. Kabupaten ini terletak di antara dua laut, yakni laut Flores di belahan Utara dan laut Sawu di belahan Selatan. Di sebelah Timur terdapat Kabupaten Flores Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Ende. Secara persis, Kabupaten Sikka terletak antara 80022’LS-80055’LS dan 121041’40”BT-122055’30”BT. Kabupaten Sikka beriklim tropis dengan rata-rata suhu berkisar antara 27-290C. Rata-rata kecepatan angin pada tahun 2014 adalah 13 knot, dengan kelembaban udara yang bervariasi setiap bulannya dengan rata-rata 79%. Temperatur udara rata-rata sebesar 27,5%. Sepanjang tahun 2013 presentasi penyinaran matahari hampir mencapai 100% dengan rata-rata paling tinggi mencapai 93% pada bulan Oktober, dengan jumlah curah hujan rata-rata 62-117 hari dalam setahun.[12]
            Dalam dua dekade terakhir pertumbuhan penduduk Kabupaten Sikka makin pesat. Pada tahun 1990 penduduk kabupaten Sikka berjumlah 246.771 dan meningkat pada tahun 2000 menjadi 263.284 jiwa. Pada sensus penduduk tahun 2010, tercatat 300.328 jiwa menempati wilayah Kabupaten Sikka. Persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 1990-2000 adalah 0,70% meningkat pada tahun 2000-2010 menjadi 1,31%. Pada tahun 2010-2012, bahkan meningkat lagi menjadi 1,45%[13]

3.2 Etnografi
Wilayah Kabupaten Sikka diwarisi dengan lingkungan budaya atau etnis (sub-kultur) yang sangat kental. Menurut dialek dan ragam bahasa, Sikka dibagi atas enam kelompok etnis (sub-kultur) dengan rincian seperti yang tertera di bawah ini.
a)    Lingkungan budaya berbahasa Sikka Krowe, dengan rincian budaya berdasarkan dialek Sikka –Lela – Nita Koting – Nelle Halat Baluele – Hewokloang Rumanduru – Talibura Waigete.
b)     Lingkungan budaya berbahasa Sikka Mohan, dengan rincian budaya berdasarkan dialek Werang Hila dan Kringa Boganatar.
c)     Lingkungan budaya berbahasa Muhan, dengan rincian budaya berdasarkan dialek Kringa Muhan dan Muhan Lamaholot.
d)      Lingkungan budaya berbahasa Lio (Lio Krowe atau Lio Maumere) dengan rincian budaya Mbu Mbengo dan Megoh Nualolo.
e)      Lingkungan budaya berbahasa Palue Kapa Raja, dengan rincian lingkungan kecil Nitung – Lei, Woja – Uwa – Edo – Cawalo – Ona.
f)      Lingkungan budaya berbahasa Tidung Bajo, dengan rincian budaya berdasarkan bahasa Buton, Bugis Bonerate dan Makasar.[14] 

3.3 Kehidupan Sosial-Politik-Keagamaan
Pola perkampungan purba dikenal dengan istilah natar. Ada pula natar gete/gahar sebagai kampung besar pertama tempat mula suku/puak/etnis/sub-etnis berdiam. Penduduk biasanya mendiami punggung bahkan puncak perbukitan yang diyakini sebagai tempat aman dari segi pertahanan purba dan dikenal dengan istilah wolon(g), yang secara harafiah berarti bukit. Contoh natar yang masih ada hingga sekarang seperti Natar Wolokoli, Natar Wolo’luma, Natar Wolo’lora, atau Natar Wolomude. Juga dikenal istilah klo’ang, yang merupakan bagian dari natar. Sebagai kampung perbukitan, besar kecilnya natar sangat bergantung pada topografi dan karakter punggung bukit. Yang jelas, setiap kampung memiliki “pusat”, tempat dibangun sebuah mezbah pemujaan (watu mahe) sebagai pusat kegiatan budaya, sosial politik, pertahanan, dan berbagai ritus magis-religius.[15]
Dari segi administrasi kepemerintahan, Sikka memiliki muatan kepurbakalaan dan kesejarahan yang cukup unik. Orang Sikka mengenal adanya tiga “Bapa Pengasal Tanah”, “Tuan Tana” yang disebut “Ata Bekor” atau “Ata Tawa Tana”, yang secara harafiah berarti “orang yang bangkit (dari dalam tanah)”. Ketiga orang ini bernama Mo’ang Ria, Moang Ragha, dan Moang Guneng (Guniang).[16] Karena pantai Sikka masa silam adalah daerah pendaratan kapal-kapal asing, maka ada juga orang-orang pendatang yaitu Mo’ang Rae Raja dan istrinya Du’a Rubang Sina dari Buang Gala Wawa (Benggala/Bangladesh). Keturunan dari dua rumpun pasangan purba inilah yang menjadi peletak dasar Kerajaan Sikka, dengan tiga tokoh utama yaitu Mo’ang Jati Bata Jawa, Mo’ang La’i Igor dan Mo’ang Bagha Ngang. Namun, ketiga tokoh ini belum memakai gelar raja. Mereka disapa dengan sapaan kebesaran “Mo’ang Ina Gete Ama Gahar”. Tata pemerintahan lokal-tradisional mulai diterapkan pada masa Mo’ang Bagha Ngang yang dikenal dengan istilah Mo’ang Puluh (sepuluh kelompok). Kekuasaan yang dibaitkan secara sakral sebagai Ratu egong natakoli/Mole keli samba/Ulu kowe Jawa/Eko leka Lambo. Ulu ata mae gete/eko ata mae sete.[17]
Raja Sikka yang pertama kali memakai gelar “raja” secara resmi adalah Mo’ang Alessu, dengan gelar Mo’ang Ratu Don Alessu Ximenes da Silva. Gelar ini diperolehnya setelah melakukan ‘perjalanan kontroversial’ ke tanah Malaka mencari tanah tota moret/niang loguk ganu ular “dunia tanpa kematian”. Catatan krusial tentang beliau adalah mengenai jasanya membangun sistem pemerintahan kerajaan yang permanen. Beliau bermusyawarah dengan Mo’ang Puluh dan kemudian membentuk Dewan Kapitan sebagai Menteri Kerajaan. Selain itu beliau juga menerapkan aturan “agama raja adalah agama rakyat” yang dilakukan Portugis berdasarkan hak patronus dari Paus. Hal inilah yang menanamkan dengan sangat erat agama dan tradisi Katolik di Niang Sikka hingga sekarang.[18]
Selain di Sikka ada juga kerajaan yang didirikan akibat pengaruh Portugis, yakni di Paga. Tokoh yang terkenal dalam memodifikasi sistem pemerintahan lokal (wisu one) di Paga ke dalam sistem kerajaan adalah de Hornay dan da Costa yang datang dari Lifao, Oekusi (Timor-Timur) sekitar abad ke-17. Kedua orang ini kemudian diberi gelar Raja Laja Tongga Watu Teo, sebagai raja orang asing.[19] Selain dua kerajaan ini, ada juga kerajaan Kangae, yang melalui kleteng latar diyakini berasal dari keturunan Mo’ang Ina Gete Ama Gahar, Bemu Aja dan istrinya Du’a Gurung Merang Plale Poung. Keturunan dinasti ini menguasai sebuah wilayah di bagian timur. Kangae selamanya tidak mau mengakui hegemoni Kerajaan Sikka oleh karena keyakinan akan jati diri mereka sebagai penguasa wolon(g)-wolon(g) secara turun temurun.[20]
Sistem pemerintahan ini bertahan sampai masuknya pemerintahan Belanda di awal abad ke-18. Dalam perkembangannya Portugis dan Belanda mempraktikan politik adu domba dan pengkotak-kotakan. Perjanjian Lisabon pada 10 Juni 1893 menempatkan Belanda dalam pemerintahan di wilayah Sikka menggantikan Portugis yang menempati Timor-Timur.
Belanda mengakui tiga kerajaan utama yang ada di wilayah Sikka yaitu Kerajaan Sikka, Nita, dan Kangae (12 September 1885-14 November 1925).[21]
Pada masa Jepang, kerajaan-kerajaan ini sama sekali ditekan dan tidak mendapat pengakuan. Selanjutnya, pasca kemerdekaan, melalui UU No.69/1958, daerah-daerah bekas kerajaan ini ditetapkan sebagai Daerah Swatantra Tingkat II Sikka (Daswati II Sikka) yang kemudian berkembang menjadi Kabupaten Sikka setelah sistem swapraja berubah menjadi sistem pemerintahan daerah yang lebih otonom.

3.4 Tradisi Lisan
Pembahasan global mengenai bahasa dalam tradisi lisan Sara Sikka Krowe dibagi berdasarkan dialog yang disebut rang atau ko’ung, dengan delapan wilayah atau lingkungan dialek untuk etnis berbahasa Sikka-Krowe dan Sikka-Muhang, Tana ‘Ai, sebagai berikut:
a)      Rang Ko’ung Sikka-Lela
b)      Rang Ko’ung Nita-Koting
c)      Rang Ko’ung Nele, Halat Baluele
d)     Rang Ko’ung Hewoklo’ang, Ili Wetakara
e)      Rang Koung Bola Wolonwalu, Doreng
f)       Rang Ko’ung Hewa Klahit
g)      Rang Ko’ung Werang, Hila, Hobu ‘Ai
h)      Rang Ko’ung Kringa-Boganatar.[22]
Dalam tradisi lisan Sikka-Krowe dikenal dikenal Naruk Tutur Tatar yang adalah tata bahasa Sikka-Krowe. Sedangkan Naruk Hurang Kelang Ie Sora adalah sastra lisan Sikka-Krowe yang seluruhnya terbagi dalam bentuk dan isi sebagai berikut,
a)      Naruk Hura Kelang sebagai prosa bebas,
b)      Naruk Kleteng Latar/Blake Hara, sebagai prosa lirik, dan
c)      Naruk Ie Sora, sebagai pantun dan syair dendang.[23]





4.   Analisis Syair-Syair Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ dalam Perspektif Teori Penciptaan Parry-Lord
4.1 Kisah ‘Asal Mula Lepo Gete[24]
Syair 1.
Syair 1a (versi kondi)
                   Wawa siam mai                                                                 Kami berlayar dari Siam  
2 Siam Sipa Jong Wutung                                                 Dari Siam dengan ketangkasan di atas kapal
                   Siapa Jong wutung                                                          ketangkasan di atas kapal itu,
4 Lema Nidung Maget Gahar                                           Lalu mendaratkan kami di Nidung Maget Gahar
                  Saing wawa Siang Uma-Laju                                         Sejak dari Siam-Malaka
                6 Ata puput wawa ia ling kiok                                         Tempat orang pandai besi meniup api
                   Dota wawa ia degang do                                               dan palunya bunyi bertalu-talu

Syair 1b (versi BoEr)
1 A’u Rae Raja                                                                     Aku Rae, akulah Raja
                   Raja Mitang Tawa Tana                                                 raja pribumi dilahirkan pertiwi
2 A’u gete ata Du’a Meng                                                 Aku agung putra Ibu Pertiwi
  A’u di berat ata Mo’ang pung                                        Aku jaya putra Sang Bapak
3 Niang a’ung wawa ia                                                     Bumiku di seberang sana
   Niang bue wuang tukeng                                               Bumi berbulirkan kacang                                 
 4 Tana a’ung wawa ia                                                      Tanahku ada di seberang
   Tana pare wulir hading                                                  Tanah berbulirkan padi
5 Tana a’ung wawa ia                                                       Tanahku ada di seberang
  Tana Buang Gala                                                              Tanah Benggala                                 
  Tana taji tahi nora wair                                                  Tanah tempat jumpa tanjung dan teluk

Syair 2.
1 Teri e’i watu liang koja robong                                    Berdiam dalam gua batu dan dalam lubang
                                                                                                pohon kenari
 reta ili Newa,                                                                      di atas gunung Newa        
2 Dewa Raga teng gajung,                                               terdengarlah Raga menebang hutan
3 Wawa detung hokor                                                        Dan di pelataran hokor
 A‘mi gita moga ba’a                                                          kami sudah menyaksikannya
4 A’u sa’e wi’ing wali sa’eng                                           Dan kuikatkan pada pinggang
A’u nape wi’ing wali napeng                                           dan kubelitkan pada badanku
5 A’u tutu mune tena sa’eng,                                            Kukuliti kayu ‘mune’ buat selimut,
A’u wera kaba tena napeng,                                             kukupas kayu ‘kabu’ buat sarung,

6 Pla `ia Ria                                                                         Bila bertanya haruslah pada Ria,
7 Toso `ia Raga                                                                   Tetapi lebih jauh kepada Bapak Raga,
   Ria amang Guneng                                                          Ria putranya Guneng,
8 Raga wali roing `lorang                                                  Raga selalu berdiam rimba raya.

Tana olang ita tuling nai tei lau watang                       tempat itu bertebing tinggi seluruhnya
Nimung rogang gahar meha. Dung                                pada bagian pesisir, sehingga
Sape ata weter weta Niang Sikka Mata,                        orang berperibahasa: Negeri Sikka
Wutung tana tuling rogang gahar Mata Wutung.       tanahnya bertebing, berjurang tinggi.

Syair 3.
               1  Nora oras ata pu’ang ga’i opi Ra’e                            Ketika tiba saatnya musim menggarap 
               2  Raja ego meng pung beta: He                                      tanah, Rae Raja memerintahkan anak cucu
               3  Meng ata buah bu’ut sai taka pai                               katanya: hai anak-anakku, ambilah kapak
              4   Re’ta ma ro’a pu’ang, Ro’a le’u ‘ai he                      dan tebanglah hutan di atas. Tebanglah
               5  ‘ai gete Nil Iling Papa Watang , batu                        kayu Nilo IIing Papang Watang, agar
              6   Bing batu nitit, gogo ripa napung                             jatuh bertumbangan, berguling ke lembah,
              7   Plimak ripa naing napung; Nadar sai                      bertumpuk-tumpukan di setiap lekuk. 
              8   Porong dole re’ta ma ro’a lorak, re’ta                      Ambilah parang tajam, pergilah menebang
               9   Ma bati tali, tali re’ta do’e du’ang, Tali                   yang ramping-ramping, putuskan tali-
            10 Lele tali Wu’a da’ang dading,                                    temali yang kuat itu, yakni tali Lele, tali Lapa
            11 Sigo koeng waa pu’a legeng ganu                            dan tali Wu’a yang hijau tua. Lingkarkan
           12 Ular ponat, bati le’u ai tad’eng higut                       ke bawah, bagai gelungan ular bundar,
           13 Ba’a gena hering, ‘erit ba’a sape                              potongan kayu penanda batas sudut, dari
           14 Rai, gut e ganu wini, sape ‘ai                                     bawah samapi ke atas, buat tumbuhnya
          15 Karok boga.                                                                    bibit dan hilangnya semak belukar.
           16 A’u sube walong ganu tali a’u nunga                       Ku sambung kembali bagai tali,
           17 Walong ganu ‘ai a’u rema ‘ora taka                         ku hubungi lagi bagai kayu dan ku ambil
          18 Pai re’ta a ro’a pu’ung, ro’a le’u ‘ai                         kembali kapak tajam, buat tumbangkan
        19 He ‘ai gete ‘ai re’ta do’e du’ang a’i                          hutan dan kayu, memilah kayu yang
       20 Nilo ‘ai lling Nilo Ilang Papa Watang                     besar dan tua, kayu Nillo Ilang Papa
        21 Popo re’ta do’e du’ang batu bing batu                    Watang. Kayu Popo tua itu, jatuhlah
        22 Nitit, batu ripa napung ba’u ganu                            berdentum, jatuh ke bawah lembah,
       23 Edo ke’o tana, plimak ripa naing                              bagai gempa menggoncang tanah,
       24 Napung, rma ‘ora porong dole                                   bertumpuk ke bawah lembah. Ku ambil
       25 Porong dole toger ‘apar, re’ta a pati                        parang tajam dan tebal belakangnya, di
       26 Tali pati tali doe du’ang tali leke tali                       sana kupotong tali ‘kuat’, tali ‘leke’, tali ‘enak’,
         27 Enak, tali lele tali lapa tali seso, tali                        tali ‘lele’, tali ‘lapa’, tali ‘seso’, tali ‘ratong’, dan
       28 Ratong tali wua da’ang dading tali ko                    tali ‘wua’ yang hijau tua, tali ko ‘loko lima’,
        29 Loko lima tali ago weta narang, lugu                       tali ‘ago’ ternama dan kuhimpun dan letakan
       30 Plukang wawa uma eri, ko’eng ganu                        di bagian bawah kebun, kulingkarkan
       31 Ular ponat, sigo kung wawa pu’a                              bagai ulat bundar, kecil di bagian bawah
      32 Legeng ganu meong Jawa, Tali ba’a                        bundar besar bagai kucing Jawa. Talinya
      33 Blaing du’e, ‘ai ba’a du’ur deri te                             sudah layu, kayunya sudah kering dan
      34 Ba’a ganu wini gu ma beli urung lau                       menjadi seperti bibit, baru kuserahkan
        35 Gerong, lau Gerong tana blekan ma                        obor ke Gerong, Gerong tanah yang luas.
      36 Hege api wawa Siang, wawa Siang                          Pergilah ambil api di Siam, di Siam
     37 Umalaju bele urung lau Gerong mai                         Melayu serta bakarlah obor di Gerong,
     38 Ploang mai dehek naha go’o sisi                                 dan sulutlah dan bakarlah menyala-
     39 Go’o sea, tubing mitang kang kepik                          nyala, sampai berarang hitam bagai
      40 Hege api wawa Siang, mai hening mai                     sayap burung gagak. Jemputlah
     41 Lerit di go’o sisi go’o sea naha ulang                      api ke Siam dan nyalakan biar terbakar,
     42 Bura jabok jawa. Te ba’a ganu wini                         merambat dan berkobar-kobar menyala-nyala,
     43 A’u liko re’ta a lepe re’ta ‘ai pu’a.                            dan bawalah bibit dan benih, kusimpan dan
                                                                                                kujaga di bawah pokok pohon.

Syair 4.
Syair 4a.
1  Tibong miu waing                                                           Hai pemuda yang punya istri
2  Ga’i reta bawo song sugo,                                            Bila ke depan kamu mencari hidup
3  Song ‘oti sugo tiong,                                                      sejatera
                                                                                                                Kamu harus memeliharanya
4  Hereng na’i du belang.                                                  dengan betul.
                                                                                                                Belalah kebenaran dan keadilan,
5  Gu sugo na’i dadi lepo,                                                 baru akhirnya mendirikan keluarga sejahtera.
6  Reta Me’i Ering wo’er                                                   Di pelataran Mei Ering
7  Reta Blata Tating naming,                                            di halaman Blata Tating
8  Sugo ba’a dadi lepo,                                                      lanjutkan mendirikan balai,
9  Lepo gete blapu Sina,                                                    balai besar Sina
10 Blapu Ra’e blapu raja,                                                 balai Rae Raja
11 Ra’e Raja Rubang Sina                                                Rae Raja dan Rubang Sina
12 Nora meng ata wai                                                        bersama anak-anak perempuan,
13 Sina Siang Wai Soru                                                    Sina Siang Wai Soru
14 Re’ta wao lepo,                                                              berdiam di atas, di dalam balai,
15 Lepo get’e blapu Sina                                                  balai agung Sina
16 Higung pitu mulang walu,                                           bersudut tujuh bertiang agung delapan
                17 Niok hitok sorong se’nak                                             agung dan mulia
18 Gebi blasing kelang kabor,                                         berdinding anyam bermotif indah
19 ‘lorang gai himong lodang,                                       dilingkari rotan berantai
20 Wawa dang ta’ur walu                                                 pada delapan anak tangga,
21 Wawa watu plahang bahar.                                        dan dasar fondasinya wadas keemasan.
22 Laba ba’a dadi lepo,                                                    Bangunlah menjadi balai,
23 Lepo Gete blapu sina,                                                   balai besar balai Sina
                24 Sorong ba’a dadi woga,                                              terjadilah bangunan rumah gedang
25 Woga mosang bale Jawa,                                            rumah gedang balai Jawa,
26 Bale Jawa ulu walu                                                      balai Jawa bertingkat delapan
27 Laba ba’a dadi lepo,                                                    dibangunlah menjadi balai.
28 ‘Ami naha hu’er tiong,                                                 Kamu harus membuat upacara dengan benar
29 Geru ma lema lepo,                                                       kemudain masuk kedalamnya

Syair 4b
                1 Lepo gete blapu Sina,                                                     Istana besar balai Sina
                2 Blapu Rae blapu Raja,                                                   balai Rae balai Raja
                3 Rae Raja Rubang Sina                                                   Rae Raja Rubang Sina
                4 Higung pitu mulat walu                                                 bersudut tujuh bertiang delapan,
                5 Niok itok sorong sina,                                                    elok indah bangunan Sina,
               6 Gebi blasing kelang kabor                                            dinding beranyam bambu, bermotif rupa
              7 Dang jawa ta’ur walu,                                                   tangga Jawa bertingkat delapan,
               8 ‘loreng gai himong loddang,                                         kayu atapnya dari rotan, palangnya dari
                                                                                                                 rantai,
               9 Wawa watu plahang bahar.                                          dasar batunya dilaburi emas.

4.2 Ragam dan Unsur Formal Cerita
Cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ baik versi BoEr maupun Kondi yang berupa fragmen-fragmen kisah, ditulis dengan dua ragam, yaitu ragam prosa naratif deskriptif dan ragam prosa lirik yang lebih bersifat puitis. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah usaha untuk mempresentasikan langsung tuturan para penutur lisan kala itu. Prosa naratif deskriptif pada umumnya terdapat dalam bagian-bagian mengenai peraturan maupun instruksi-instruksi adat. Meskipun ditulis dalam bentuk prosa, bahasa yang digunakan adalah bahasa ritual. Bentuk prosa naratif deskriptif itu misalnya kisah tentang kaum pendatang yang membuka kebun, (Syair 3). Prosa lirik terdapat dalam beberapa bagian dalam penceritaan, misalnya saat mengisahkan kedatangan leluhur dari seberang, (Syair 1). Dalam penuturan cerita Asal Mula Lepo Gete’, ada beberapa teknik penceritaan dan gaya bahasa yang sering digunakan, meskipun secara terbatas, seperti yang dijelaskan di bawah ini.

a. Penggunaan Prosa Lirik Paralel
Larik-larik dalam bait ini memuat pasangan-pasangan kata yang menciptakan struktur diad yang teratur dan diikuti secara ketat, misalnya pada syair 1b versi BoEr nomor (1)(2)(3)(4)(5). Ungkapan Du’a meng dan Mo’ang pung pada syair ini tidak menggambarkan bapak dan ibu biologis, tetapi suatu gambaran paralel-antropomorfis tentang keyakinan akan sumber dan asal kehidupan. Paralel-antropomorfis berarti figur supranatural digambarkan berbuat seolah-olah seperti manusia dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki yang saling diperlawankan sebagai gaya tuturan. Hal ini sepadan dengan keyakinan akan wujud tertinggi yang disebut sebagai Ina Niang Tana Wawa, Ama Lero Wulang Reta (Dewi Ibu Pertiwi dan Dewa Matahari Bulan). Ini juga melukiskan keyakinan akan perjalanan hidup manusia yang lahir dari Ibu Bumi dan akan menuju suatu tempat yang disebut Seu Lape Pitu (surga langit ketujuh) yang selalu digambarkan berada di atas. Secara aplikatif, hal ini diwujudkan dalam pendirian mezbah persembahan yang terbuat dari batu menhir-megalit dan disebut sebagai Wu’a Du’a dan Mahe Mo’at.  Persembahan padi diberikan kepada Inang Niang Tana, dan persembahan moke kepada Ama Lero Wulang. Kedua persembahan ini adalah simbol keselamatan yang sempurna yang mencakupi unsur perempuan dan laki-laki. Ibu dan Bapak bukanlah dua persona melainkan realitas yang sifatnya mono-dualistis. Di sini juga terlihat gaya bahasa personifikasi yang menggambarkan kelahiran manusia dari perut bumi (1).

b. Teknik Pengulangan
Teknik pengulangan dapat ditemukan dalam penggambaran subjek A’u, Tana, dan Niang. Penggunaan bahasa perbandingan sepadan dapat kita lihat pada ungkapan A’u gete/A’u di berat, Niang bue wuang tukeng/Tana pare wulir hading. Hal ini sebenarnya ingin mengungkapkan betapa agungnya Rae Raja, dan betapa suburnya tanah Benggala tempat asal Rae Raja. Tanah Benggala juga diungkapkan sebagai sebuah negeri yang sudah ramai, dan memiliki peradaban yang maju. Hal ini diungkapkan melalui perumpamaan ata puput wawa ia ling kiok/dota wawa ia degang do (lirik 6, syair 1a).
Pola pengulangan deskripsi juga dapat dilihat dalam ragam prosa naratif, syair 3. Ada beberapa aksi dan deskripsi yang sering diulang-ulang dengan menggunakan padanan kata yang sejajar, misalnya deskripsi tentang perintah mengambil parang, penebangan hutan, kayu, tali, dan pembakaran hutan di akhir deskripsi pada syair 3. Hal ini terlihat dalam prosa naratif  (Syair 3) baris (1-7), (8-23), (16-24), (24-35), (36-39), (40-43). Gaya bahasa perbandingan khusus sering digunakan dalam pelukisan cerita dalam syair ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam pemakaian kalimat lingkaran ke bawah bagai gelungan ular bundar, kulingkarkan bagai ulat bundar, bagian bawah bundar besar bagai kucing Jawa, berarang hitam bagai sayapnya burung gagak. Terdapat sebuah ungkapan hiperbolis yang tampak dalam ungkapan Kayu Popo tua itu, jatulah berdentum, jatuh ke bawah bagai gempa menggoncang tanah. Pemakaian kata ular, ulat, kucing, gagak, dan gempa menunjukkan kedekatan masyarakat dengan alam.
Pengulangan-pengulangan yang sama terjadi pada prosa lirik mengenai Lepo Gete, yang sering digunakan beberapa kali pada beberapa syair identik (Syair 4a). Larik (9)(10)(11)(16)(18)(19)(20)(21)(26), adalah larik-larik yang sering diulang pada beberapa versi syair tentang Lepo Gete. Jika dicermati dengan teliti, versi syair di atas belum menggambarkan bangunan rumah yang lengkap. Dalam versi syair yang lebih pendek (4b) terlihat bahwa beberapa unsur pada syair 4a, tidak hilang. Perhatian kita perlu ditujukan pada larik (8), yang menggambarkan atap Lepo Gete. Larik (8) ini tidak terdapat pada syair versi 4b. Pada syair ini, deskripsi Lepo Gete sebagai suatu bangunan rumah yang utuh lebih lengkap.
 Syair ini memperlihatkan dengan jelas bahwa kesejahteraan hidup harus dipelihara. Pemeliharaan itu mesti melingkupi unsur kebenaran dan keadilan mulai dari dalam diri sendiri. Setelah itu, barulah membentuk sebuah keluarga sejahtera. Ada gaya bahasa asosiasi yang dipakai. Ini terlihat dalam ujaran Gu sugo na’i dadi lepo. Keluarga diibaratkan, diumpamakan sebagai sebuah lepo (rumah, balai), sehingga membangun keluarga itu pun sama seperti membangun lepo. Namun, kesannya, majas alegori (penggambaran) lebih mendominasi untuk penjelasan lebih lanjut akan asosiasi tersebut. Ada penekanan makna tanggung jawab, sebab keluarga (lepo) akan menjadi Lepo gete blapu Sina dan Blapu Ra’e blapu Raja. Sang lelaki (Ra’e Raja) akan mengambil seorang perempuan (Rubang Sina) menjadi istrinya. Keluarga itu akan menjadi besar, sebab ada suami, istri, dan anak-anak keturunan mereka. Ini juga menunjukkan penggunaan gaya bahasa sinekdoke yang khas.
Lepo itu juga mesti dibangun dengan tampilan yang menawan dan agung (higung pitu mulang walu). Dapat ditafsirkan bahwa pemuda itu harus benar-benar mapan dan matang sebelum membentuk keluarga. Ujaran Higung pitu mulang walu/Gebi blasing kelang kabor/Wawa watu plahang bahar/Bale Jawa ulu walu bisa dikatakan sebagai suatu hiperbola untuk konteks kesejahteraan keluarga. Namun, dalam ranah tradisi dan kebudayaan, itu memang hal yang mesti diperhatikan langsung dalam membangun sebuah lepo. Apabila lepo harus dibangun sedemikan rupa, keluarga juga harus dibangun dengan memperhatikan berbagai aspek demi kesejahteraannya.       

4.3 Pengelompokan Tema
Tema-tema atau kelompok-kelompok gagasan dalam cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ dapat dijabarkan seperti yang tertera di bawah ini.
a)      Deskripsi tentang orang asli yang disebut Ata Bekor dan orang pendatang dari sebuah tanah nun jauh yang disebut Siam/Benggala.
b)      Kisah tentang Rae Raja dan negeri Siam/Benggala serta kaum pendatang.
c)      Cerita tentang perjalanan mencari tempat untuk menetap, identifikasi lokasi, kebun, dan kemungkinan asimilasi.
d)     Cerita tentang pertemuan antara orang asli dan kaum pendatang.
e)      Cerita tentang suku pendatang membangun rumah, membuka kebun, berasimilasi dengan orang asli, membangun keluarga, beranak-cucu, dan membangun Lepo Gete sebagai cikal bakal kerajaan Sikka.
Kelima tema ini merupakan gagasan-gagasan siap pakai yang digunakan oleh para penutur lisan dalam menyampaikan cerita mengenai ‘Asal Mula Lepo Gete’.

4.4 Pola Pewarisan dan Persebaran Cerita
Cerita tentang Lepo Gete adalah bagian dari hikayat raja-raja Sikka. Masyarakat Sikka mengenal adanya berbagai ragam tradisi lisan, salah satunya adalah Naruk Kleteng Latar/Naruk Dua Mo’ang/Blake Hara.[25] Kleteng Latar sendiri sebenarnya meliputi tiga bagian yaitu Naruk Gung Nulung (tentang sejarah/hikayat), Naruk Tutur Tatar (tentang berbagai bahasa hukum dan adat), dan Naruk Neni-Not/Ngaji Hawong (tentang doa dan nyanyian-nyanyian sakral). Cerita tentang Lepo Gete termasuk dalam jenis Naruk Gung Nulung. Bahasa yang digunakan dalam kleteng latar berbeda dengan bahasa sehari-hari yang biasa digunakan oleh kalangan umum. Bahasa kleteng latar memiliki kaidah-kaidah poetika, sistem, dan term-term khusus yang diikuti secara ketat dan teratur. Oleh karena itu, keterampilan menuturkan kleteng latar bukanlah keterampilan yang dikuasai oleh orang kebanyakan.
Menurut Oscar Pareira Mandalangi, pewarisan keterampilan menuturkan kleteng latar sebenarnya hanya terjadi dalam lepo. Hal ini berarti, keterampilan menuturkan kleteng latar adalah milik eksklusif orang-orang yang memiliki pertalian darah dengan raja atau para kepala suku. Dalam masyarakat tradisional, penuturan kleteng latar hanya mungkin dilakukan oleh Mo’ang Tana Pu’ang (penguasa tanah), Mo’ang Watu Pitu (tujuh pembesar desa), Mo’ang Wara Wolong (penjaga batas wilayah), Mo’ang Neni Urang Plawi Dolo (pemohon hujan dan berkat), Mo’ang Buwu Gajong (pembagi hasil dan makanan), Mo’ang Kokek (pemberi berita), Mo’ang Urung Blong Damar Gahar (pembawa penerangan), dan Uru Niang Tada Tana (pembawa larangan). Ada pula keyakinan bahwa salah seorang keturunan dari suatu lepo secara alamiah akan mewarisi keterampilan menguasai bahasa tradisional ini. [26]
Pada umumnya, penciptaan sastra lisan dipermudah oleh adanya formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai serta teknik-teknik yang secara alamiah mencapai tahap konvensional tertentu. Penciptaan sastra lisan tampak sebagai akumulasi formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh.[27] Jika dibandingkan dengan berbagai cerita di beberapa wilayah Flores, tema-tema dalam cerita Lepo Gete hampir ditemukan dalam cerita rakyat lainnya, seperti cerita Wato Wele-Lia Nurat di Flores Timur, cerita Mbegu-Paga di Lio, atau cerita asal-usul orang Ngada. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai keyakinan tentang pendaratan suku-suku dari wilayah India dan sekitarnya di pulau Flores akibat migrasi besar-besaran bangsa India karena penyerangan bangsa Arian kala itu. Penelitian Marshal Sahlins (1985), sampai pada kesimpulan tentang adanya ‘stranger-king’ (raja asing), sebagai bentuk mitologi yang kemudian berkembang menjadi tradisi dan sistem kekuasaan suku bangsa Austronesia di lautan Pasifik.[28]
Variasi teks dapat dikaji dalam hubungannya dengan aspek persebaran dan tanggapan penutur cerita terhadap norma-norma konvensional tersebut, entah norma-norma kesusasteraan maupun norma-norma sosial kemasyarakatan.[29] Dalam konteks penyebaran cerita tentang Lepo Gete, unsur variasi ini sangat menonjol. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan penggambaran suku pendatang dari segi sudut pandang pencerita, ragam bahasa, dan deskripsi tokoh pada syair 1a dan 1b. Oscar Pareira Mandalangi menjelaskan pengaruh wolong-wolong, ragam bahasa, dan kebutuhan sosial masa itu dalam transformasi cerita. Hal ini bisa dilihat dari narasumber yang digunakan BoEr dan Kondi dalam menyusun karya mereka.[30] Proses anakronisme juga dapat dilihat dalam penggalan syair tentang salah satu syarat dalam upacara pendirian lepo, ‘weli wawi pepi ara piong/‘weli kiat poro wawi: hoang Rp. 5// Pipi dagu babi dan nasi untuk bagian tuan tanah/pisau menyembelih babi; uang Rp. 5. Uang Rp. 5 membuktikan adanya penyesuaian konteks dalam penuturan kisah tentang Lepo Gete yang kemudian diaplikasikan dalam tata cara pendirian rumah kala itu. Hal ini juga berlaku untuk syair-syair mengenai perkawinan Mo’ang Sugi dan Du’a Sikka yang mengalami transformasi ke dalam tata cara pernikahan.
Pola pewarisan yang ekslusif menjadi salah satu penyebab semakin punahnya cerita-cerita lisan mengenai Lepo Gete. Upaya raja Don Thomas Ximenes da Silva dalam menuliskan kembali hikayat Kerajaan Sikka menjadi suatu karya yang sangat bernilai dari segi etnografi, antropologi, historisitas, dan kesusastraan.

5. Makna Kisah Asal Mula Lepo Gete’ bagi Masyarakat Sikka
Cerita tentang asal mula Lepo Gete sebenarnya merupakan cerita eksklusif kalangan istana. Penuturannya pertama-tama menjadi suatu anamnesis terhadap nenek moyang yang membangun tata kerajaan dan pemerintahan Sikka. Cerita tentang Lepo Gete, memuat unsur genealogi masyarakat Sikka, dan berfungsi menumbuhkembangkan jati diri kalangan kerajaan. Namun, cerita tentang Lepo Gete juga memiliki nilai sosial kemasyarakatan yang tinggi karena melegitimasi kekuasaan dan keagungan para pemimpin masyarakat dari kalangan lepo dan seluruh masyarakat yang berasal dan hidup dari lepo tertentu. Selain itu beberapa kisah-kisah Lepo Gete mengalami transformasi praktis menjadi semacam undang-undang dasar yang diperluas ke dalam berbagai bentuk hukum adat, dan menjadi stock in trade, bahkan hingga zaman ini. Muatan-muatan simbolis yang kuat terutama dalam hal membangun hidup berkeluarga menjadi suatu nilai berharga dan bermanfaat yang tidak akan lekang oleh waktu.

6. Penutup
Cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ adalah salah satu kekayaan kesusastraan masyarakat Sikka. Berdasarkan analisis terhadap cerita ini, dapat disimpulkan bahwa ada teknik, formula, gagasan-gagasan tema tertentu yang digunakan dalam berbagai penuturan tradisional cerita ini dari generasi ke generasi. Cerita yang sudah tersebar luas di kalangan masyarakat Sikka ini juga memiliki makna sosial politis yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Sikka. Transformasi praktis cerita ini mengalami perluasan dalam berbagai hukum adat dan kebiasaan masyarakat Sikka. Pelestarian cerita ini dan juga cerita-cerita lainnya dalam tradisi lisan masyarakat Sikka adalah sebuah tanggung jawab yang cukup menantang bagi generasi-generasi muda Niang Tana Sikka.


Daftar Pustaka

Buku-Buku
Panitia Penyambutan Sri Paus Yohanes Paulus II, Maumere Sepanjang Perjalanan Gereja: Sebuah Deskripsi dalam Rangka Kunjungan Pastoral Sri Paus Yohanes Paulus II. Maumere: 1989.

Arndt, Paul, Hubungan Kemasyarakatan di Sikka (Flores Tengah bagian Timur). Maumere: Puslit Candraditya, 2002.

Beding, B. Michael dan Beding, S. Indah, Pelangi Sikka. The Rainbow of Sikka. Maumere: Buangjala, 2001.

Djajasudarma, T. Fatimah, Semantik 2. Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika, 1999.

Mandalangi, Oscar Pareira dan Lewis, E. D. (Ed dan Pentrj), Hikayat Kerajaan Sikka. Maumere: Ledalero, 2008.

Taum, Yoseph Yapi, Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera, 2011.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 2014.

Manuskrip
Orong, Yohanes. J. Bahan Kuliah Seminar Sastra Lisan (ms). STF Katolik, Ledalero, 2014.



Wawancara
Wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi pada 25 Februari 2015, tentang kisah ‘Asal Mula Lepo Gete’ dalam buku Hikayat Kerajaan Sikka.

Internet
­­­­­­­­__________ Data Statistik Daerah Kabupaten Sikka 2014 dalam http://sikkakab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=12, diakses pada Maret 2015.

Lewis, E.D., The Stranger King of Sikka, dalam https://books.google.com/books.

Rahmana, Siti. Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau dalam http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/, diakses pada, 22 Februari 2015.


  [1]Siti Rahmana, Tradisi Lisan: Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau (Online), (http://tempo-institute.org/tradisi-lisan-aktualisasi-eksistensi-dan-transformasi-hasil-budaya-masa-lampau/, diakses pada, 22 Februari 2015).
[2]Niang Tana Sikka berarti bumi pertiwi Sikka.
       [3]Lepo Gete berasal dari kata lepo (rumah) dan gete (besar) yang secara harafiah berarti ‘rumah yang besar’. Kata lepo berbeda dengan orin (rumah warga), atau pang padak (pondok yang pendek) dan juga kuwu (gubuk kecil, lumbung, tempat beristirahat di tengah kebun). Lepo lebih diartikan sebagai rumah suku, rumah (istana) raja atau pembesar, yang ditempati oleh kepala suku, atau beberapa keluarga garis keturunan pemimpin suku. Kata lepo biasa disandingkan dengan kata woga (rumah warisan), sehingga dalam penuturannya sering disebut lepo woga. Sumber: wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi, 25 Februari 2015.
       [4]Bdk. Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis (ed dan pentrj), Hikayat Kerajaan Sikka (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. xv.
       [5]Kleteng berarti berkata-kata, latar berarti bersyair majemuk, prosa lirik (paralel). Naruk du’a mo’ang berarti perihal perkara leluhur, bahasa adat. Ibid., hlm. vxi.
       [6]Sumber lain menambahkan Bleka Hara sebagai sumber kisah Lepo Gete. Bdk. B. Michael Beding dan S. Indah Lestari Beding, Pelangi Sikka (Maumere: Buangjala, 2001), hlm. 23.
       [7]Mo’ang Alexius Boer Parera (1888-1980) adalah seorang lulusan Standaardschool Lela yang kemudian menjabat sebagai guru Sekolah Rakyat. Kemudian beliau diangkat menjadi kapitan oleh raja Sikka, dan mengkoordinasi beberapa daerah yang dipercayakan kepadanya. Menurut manuskrip yang ditinggalkan, diperkirakan beliau mulai mengumpulkan dan menulis berbagai hikayat Raja-Raja Sikka dalam rentangan tahun 1920-an hingga 1957. Penulisan nama Boer menjadi BoEr, didasarkan pada nama yang dituliskannya pada manuskrip yang ia tinggalkan. Bdk. Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis, Op.Cit., hlm. xxiii-xli.
       [8]Mo’ang Dominicus Dionitius Pareira Kondi-beliau sering menyingkat namanya menjadi D.D.P. Kondi- (1886-1962) adalah seorang guru yang mendapat ijazah Kweekeling. Kemudian ia diangkat menjadi jaksa oleh Raja Don Thomas Ximenes da Silva karena kecakapannya dalam hukum adat. Seperti halnya BoEr, ia kemudian diangkat menjadi kapitan dan diminta menuliskan kembali tradisi dan sejarah kerajaan Sikka. Manuskrip Kondi diperkirakan mulai dikumpul dan ditulis pada tahun 1925. Bdk. Ibid.
        [9]Ibid., hlm. xxii-xi.
       [10]Ibid., hlm. xi.
       [11]Yoseph Yapi Taum, Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya (Yogyakarta: Lamalera, 2011), hlm. 98-118.
       [12]Data Statistik Daerah Kabupaten Sikka 2014 (Online) (http://sikkakab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=12, diakses pada Maret 2015).
       [13]Ibid.
       [14]Maumere Sepanjang Perjalanan Gereja: Sebuah Deskripsi dalam Rangka Kunjungan Pastoral Sri Paus Yohanes Paulus II, diterbitkan oleh Panitia Penyambutan Sri Paus Yohanes Paulus II, Maumere: 1989, hlm. 7.
       [15]Bdk. B. Michael Beding dan S. Indah Lestari Beding, Op. Cit., hlm. 7, 17, 21, 24-29, 47-52.
       [16]P. Piet Petu, SVD dalam Nusa Nipa menyebutnya sebagai ‘Tri Priya Purba’ yang menghuni Nuhan Ular Tanah Loran (Pulau Ular Bagian Tengah). Pengistilahan ata bekor” yang dimaksud adalah manusia yang bangkit dari alam buana bukan dari kelahiran biologis, dalam bahasa E.D. Lewis disebut sebagai “men resurrection”. Ibid.
       [17]Ibid.
       [18]Ibid.
       [19]Ibid.
       [20]Ibid.
       [21]Ibid.
       [22]Ibid., hlm. 52. Bandingkan juga wawancara dengan Oscar Pareira Mandalangi.
       [23]Ibid.
       [24]Secara keseluruhan cerita ‘Asal Mula Lepo Gete’ terdiri dari dua versi yaitu versi Mo’ang BoEr dan versi Mo’ang Kondi. Agak sulit memahami secara utuh alur kisah ini karena bentuknya yang berupa penggalan-peggalan syair serta deskripsi. Pada bagian ini tidak ditampilkan secara keseluruhan cerita dari kedua versi ini, tetapi ditarik satu benang merah dari beberapa syair dan deskripsi yang bisa dijadikan kesatuan alur untuk kepentingan analisis. Pada bagian ini disertakan kisah asli dalam bahasa Sikka (sebelah kiri) dan translasinya dalam bahasa Indonesia (sebelah kanan), yang dibuat oleh Mo’ang Kondi dan BoEr. Beberapa penomoran dibuat oleh penulis untuk mempermudah analisis teks. Penomoran pada ragam prosa larik menunjukan kesatuan atau kebersinambungan larik, sedangkan penomoran pada kisah prosa naratif deskriptif menunjukan baris. Bdk. Wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi.
       [25]Ketiga sebutan ini sebenarnya merujuk pada satu tradisi lisan yang sama. Perbedaan sebutan sebenarnya berasal dari perbedaan tempat wolong cerita. Kleteng Latar adalah istilah yang paling umum digunakan. Bdk. Wawancara dengan Bapak Oscar Pareira Mandalangi.
       [26]Wawancara dengan Oscar Pareira Mandalangi.
       [27]Yoseph Yapi Taum, Op. Cit, hlm. 115.
       [28]Wawancara dengan Oscar Pareira Mandalangi. Bdk. Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis, Op. Cit., hlm. xx.
       [29]Yoseph Yapi Taum, Op. Cit, hlm. 114.
       [30]Wawancara dengan Oscar Pareira Mandalangi. Dalam penulisan karya mereka, BoEr dan Kondi melakukan semacam wawancara dengan Mo’ang Merung dan Mo’ang Noeng di Uma Uta, Mo’ang Ukung di Wolokoli, Mo’ang Betok dan Lado di Hiyang, Mo’ang Kepala Kao di Botang Hewokloang, Mo’ang Badar di Blatat, Mo’ang Laro di Ohe, Mo’ang Guru Lose Parera dan Mo’ang Lado da Gama di Maumere. Bdk Oscar Pareira Mandalangi dan E.D. Lewis, Op. Cit., hlm. xiii.