Mario Lawi dengan Latar Belakang Danau Kelimutu. Foto diambil di sela-sela kegiatan wisata sastra pada Temu II Sastrawan NTT di Ende |
Ada begitu banyak putra-putri NTT yang
berhasil meraih berbagai prestasi gemilang sepanjang tahun 2015. Ada yang
berhasil meraih kesuksesan dalam studi, ada yang berhasil meraih kesuksesan
dalam mengembangkan bisnis, ada yang berhasil mengembangkan karya-karya sosial
karitatif, dan ada juga yang mencetak prestasi-presatasi di bidang seni dan
budaya, khususnya sastra. Yang disbutkan terakhir menyedot perhatian cukup
besar dalam masyarakat NTT dewasa ini.
Banyak media telah memuat berbagai pemberitaan seputar event dan juga tokoh
sastra NTT. Namun, rasanya belum cukup kalau nama yang satu ini belum
ditampilkan kepada pembaca (publik) secara lebih dekat. Dia adalah Mario F. Lawi.
Nama Mario Ferdinandus
Lawi telah menjadi salah satu simbol kebangkitan satra di NTT setelah sekian lama
hanyut dalam nama-nama besar seperti Gerson Poyk atau Umbu Landu Paranggi.
Mario yang lahir pada 18 Februari 1991 adalah penyair muda asal NTT yang telah
mengharumkan nama Flobamorata di kancah kesusastraan nasional. Penghargaan yang pernah diterima oleh Mario antara lain, NTT Academia Award 2014 kategori sastra. Memoria menjadi salah satu buku kumpulan puisi rekomendasi majalah Tempo, 2013. Setahun kemudian, bukunya yang berjudul Ekaristi terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan sekaligus membuatnya dinobatkan Tokoh Seni (Sastra) 2014 oleh majalah yang sama. Di samping penghargaan-penghargaan itu, Mario juga tercatat terlibat aktif baik sebagai peserta
maupun pembicara di berbagai event sastra, misalnya pada Temu Sastrawan
Indonesia IV di Ternate (2011), Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi (2012), Makassar International Writers Festival
(2013), Temu Sastrawan NTT I dan II (2013 dan 2015), Ubud Writers and Readers Festival (2013), Bienal Sastra Salihara,
Jakarta (2013), Temu Sastrawan Mitra Praja Utama VIII, Banten (2013), Makassar International Writers Festival (2014),
Program Penulisan Esai Majelis Sastra Asia Tenggara (2014), dan Festival Sastra
Santarang (2015).
Konsistensi Mario F.
Lawi dalam dunia sastra menghantarkan ia pada podium penerimaan penghargaan
Taruna Sastra Nusantara 2015. Yang membanggakan adalah penghargan
tahunan ini baru pertama kali dibuat dan Maria sebagai penerima pertama berasal
dari NTT. Penghargaan Taruna Sastra dibuat oleh Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dalam
rangka memberikan penghargaan atas prestasi generasi muda berusia maksimal dua
puluh lima tahun yang konsisten mengembangkan kemampuan dan kreativitas
berkarya serta mengapresiasi karya sastra. Oleh tim seleksi, Mario dilihat sebagai
salah satu aktor muda yang berpengaruh dalam mengembangkan sastra NTT. Selain
lewat penilaian bobot karya yang dihasilkan (buku dan karya yang sudah
dipublikasikan), Mario juga berperan penting dalam terbentuknya komunitas
sastra Dusun Flobamora, salah satu
komunitas sastra yang sejak beberapa tahun terakhir memberi kontribusi besar
dalam pengembangan sastra NTT. Di komunitas sastra ini, Mario menjadi pemimpin
redaksi Jurnal Sastra Santarang
sebuah jurnal sastra nirlaba yang dikelola bersama anggota komunitas. Seiring
perkembangan, jurnal ini menjadi salah satu barometer media yang merawat
karya-karya sastra putra-putri NTT, dan juga mendapat respon serta kontribusi positif
dari sastrawan-sastrawan nasional.
“Saya mengikuti kegiatan ini atas informasi serta
rekomendasi Pa Luthfi Baihaqi (Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT). Saya
mengikutinya tanpa target apa pun. Namun, saya senang bisa menerima penghargaan
ini, dan membawa nama NTT.” Bagi Mario, kesuksesan ini merupakan kerja
komunitas, sehingga seluruhnya ia dedikasikan untuk komunitas dan perkembangan
sastra NTT. Mario berpendapat bahwa di NTT, keterlibatan aktif pemerintah nyata
dalam program-program Kantor Bahasa NTT yang sangat realistis, dan sudah
berjalan serta menghasilkan perubahan-perubahan besar di NTT. Namun, menurut
Mario, kreativitas dalam berkarya tidak seharusnya bergantung pada
program-program pemerintah. “Banyak program-program pemerintah daerah dalam
bidang kebahasaan yang tidak berjalan, seperti program literasi (pengentasan
buta huruf) yang sudah seringkali dicanangkan tetapi tidak mendapat hasil yang
kelihatan. Pemerintah daerah bisa bermitra atau mencontohi program kantor
bahasa, yang lebih realistis misalnya membuka kelas menulis dan membaca yang
melibatkan sekolah-sekolah.”
Pada tahun 2016 ini,
peraih cum laude pada Jurusan Ilmu
Komunikasi UNDANA tahun lalu itu masih mengarahkan impiannya pada pengembangan
komunitas sastra tempat ia bergelut. “Saya tidak punya visi yang besar untuk
NTT. Tahun 2016 ini, saya dan kawan-kawan di komunitas berniat mengaktifkan
kelas menulis dan membaca sebagai sebuah bentuk kaderisasi bagi anggota-anggota
komunitas lainnya, khususnya bagi anggota yang lebih muda. Kami ingin membangun
sebuah taman baca.” Secara pribadi, impian Mario hanyalah ingin terus menulis.
“Kalau proyek atau impian prbadi, saya hanya ingin terus mampu menulis, sampai tidak bisa menulis lagi.”
Mario F Lawi dengan Tiga Bukunya, bersama Erik dan Dimas, Penulis Muda NTT |
Bagi sesama generasi muda NTT, Mario sedikit
memberikan sharing pengalaman dalam
hal menulis. “Banyak kelas menulis di NTT yang selalu memulai dengan langsung
memberikan penekanan tentang cara menulis yang baik. Bagi saya, kita hanya bisa
menulis jika sudah terbiasa dalam membaca. Generasi muda NTT yang ingin
menulis, sebaiknya membiasakan diri dengan membaca. Harus kita akui budaya
membaca kita masih lemah”. Selain itu, Mario juga menyoroti pentingnya
kompetisi dan juga kepercayaan diri. “Saya senang semakin banyak teman yang
ikut berkompetisi dalam lomba-lomba penulisan meskipun itu diadakan secara online. Banyak kecenderungan dari
penulis NTT yang sudah puas jika karyanya sudah dimuat di media lokal. Padahal,
sangat baik untuk mencoba mengirimkan karya di berbagai media lain di luar NTT
dan yang bertaraf nasional, selain sebagai promosi, tetapi terlebih lagi dengan
itu kita bisa mengukur kualitas karya kita. Penghargaan apa pun sebenarnya
hanyalah konsekuensi dari ketekunan. Jika kita berusaha mengembangkan diri,
penghargaan akan berdatangan sendiri, dimana-mana begitu”, kata pria yang
pernah mengeyam pendidikan di Seminari St. Rafael, Kupang ini.