Bagian I dari Rangkaian Studio Performer Teater Garasi 2017
Fasilitator : Yudhi Ahmad Tajudin
Senin, 19 Juli 2017
Latihan I:
Tiap peserta diminta mengulangi kembali aktivitas yang dilakukan 4-5 menit terakhir sebelum kegiatan dimulai. Aktivitas itu dilakukan secara fisik saja, menyertakan benda-benda yang dibawa (properti), tanpa mengeluarkan suara.
Pada dasarnya teater atau art performing, adalah sebuah peristiwa bersama. Dalam peristiwa bersama (latiahan I) yang dilakukan sebelumnya, sekurang-kurangnya ada beberapa unsur teater/pertunjukan yang dijumpai, yaitu ada aktor/performer, seperangkat aturan 'repertoar', ada batasan waktu, ada 'given circumstances' (lingkungan yang ditentukan). Kesan-kesan yang timbul dalam latihan yang dilakukan antara lain aneh, tidak sinkron (waktu, interaksi), tidak natural/wajar. Hal ini selain terjadi karena tidak adanya latihan, seorang pemimpin yang mengatur jalannya latihan, dan komunikasi/diskusi sebelumnya, juga terutama karena tidak jelasnya 'repertoar'/ teks/ ide cerita yang menjadi rujukan oleh masing-masing pelaku, yang juga mempengaruhi interaksi satu sama lain. Dengan demikian, referensi untuk menilai 'kewajaran' sebuah aktivitas pertunjukan adalah kesesuaiannya dengan repertoar. Repertoar atau teks, atau ide cerita itu sendiri dapat dikonsturksi dari berbagai macam sumber, seperti peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari (ordinary experience) dan hal-hal luar biasa (extraordinary things) seperti mitos, tradisi, dan lain-lain. Repertoar dan tubuh performer pada dasarnya selalu memiliki jarak. Jarak ini bisa didekatkan (proses embodiment) melalui latihan-latihan. Dalam proses kreatifnya, teater Garasi membedakan dua jenis latihan, yaitu rehersal, dan training (pre-ekspresivity). Rehersal adalah latihan yang dilakukan dalam rangka produksi sebuah teater, yang berangkat dari kosa tubuh performer, sedangkan training memuat aspek yang lebih luas yaitu latihan sehari-hari yang bertujuan memperkaya kosatubuh, yang bisa bersumber dari 'pengalaman tubuh', pengalaman membaca, pengalaman mendengarkan, dan berbagai macam pengalaman lainnya. Prinsip ordinary dan extraordinary juga berlaku dalam proses memperkaya kosa tubuh. Kosa tubuh, 'pengalaman ketubuhan' bisa bereferensi pada tindakan-tindakan yang biasa dilakukan sehari-hari, atau latihan-latihan ketubuhan yang berlawanan dengan tindakan yang biasa dilakukan sehari-hari. Teater Garasi menekankan pentingnya training, sebagai basis dari penghayatan keaktoran.
Berangkat dari pemahaman ini, teater/seni pertunjukan sesungguhnya juga disebut sebagai restored behaviour (perilaku yang dipulihkan) atau truthful behaviour dalam kaitannya dengan repertoar. Dan karena repertoar selalu memiliki jarak dengan modal-modal dasar yang dimiliki performer, maka perlu dilakukan sebuah "dekonstruksi" dalam tahap awal latihan menjadi seorang performer. Dekonstruksi adalah proses pembongkaran modal-modal dasar yang dimiliki oleh performer. Proses pembongkaran ini tidak bermaksud 'menghancurkan' yang sudah ada dan dimiliki oleh performer, tetapi lebih sebagai bentuk pengenalan dan usaha menyadari modal dasar yang dimiliki masing-masing performer. Dalam produksi seni pertunjukannya, Teater Garasi selalu berangkat dari tubuh-suara-ide/pikiran, dari yang material-konkret, kepada yang abstrak.
Latihan II:
Mengambil jarak di luar studio Garasi. Setiap peserta ditutup matanya (diikat dengan kain hitam) kemudian diminta berjalan dari posisi yang sudah diacak oleh para fasilitator, menuju titik terakhir tempat masing-masing peserta berdiri sebelumnya.
Mengapa tubuh perlu didekonstruksi?
Tubuh seseorang pada dasarnya memiliki sejarah. Tubuh yang ada saat ini adalah hasil dari sebuah pengkondisian yang berasal dari masa ke masa sebelum saat ini. Konstruksi tubuh saat ini sekurang-kurangnya dikondisikan faktor-faktor biologis, sosio-kultural, dan faktor-faktor geografis.
Dalam kaitannya dengan tubuh, proses dekonstruksi dimaksudkan untuk mengenali sejarah tubuh seseorang, kelemahan dan kelebihannya, sehingga, kesadaran akan tubuh ini bisa menjadi alasan bagi seorang performer 'berkompromi' dengan tuntutan-tuntutan repertoar. Lebih mendasar dari pada itu, pengenalan yang lebih mendalam akan tubuh sendiri membantu seseorang dalam proses mengaktifkan organ-organ tubuh yang lainnya, yang selama ini diabaikan, dan tidak bekerja atau tidak mengalami pengalaman ketubuhan tertentu.
Latihan II bertujuan untuk mengatasi ketergantungan akan mata sebagai organ paling dominan yang digunakan oleh seseorang, sekaligus merangsang para aktor untuk mengaktifkan indera-indera lain berhadapan dengan satu fokus (tujuan) tertentu.
Foto: Kurnia Yaumil Fajar-Dokumentasi Teater Garasi |
Latihan III:
1. Para peserta berbaris. Ada seseorang yang berdiri lebih ke depan untuk menjadi model. Model melakukan suatu gerakan dan yang lain mengikuti gerakan tersebut.
2. Para peserta berpasang-pasangan, berdiri berhadap-hadapan. Yang satu menjadi model yang lain menjadi cermin. Ketika model beregerak, cermin meniru gerakan model. Gerakan menggunakan prinsip cermin. (latihan ini dibuat beberapa kali dengan menambahkan parameter jarak)
3. Masih seperti prinsip nomor 2, tetapi kedua pasangan saling membelakangi.
Ada dua jenis gerakan. Ada gerakan yang dinamakan akulturasi dan ada gerakan yang dinamakan inkulturasi. Akulturasi dan inkulturasi dalam kaitan dengan latihan ini memiliki definisi yang berbeda dengan yang berlaku umum. Akulturasi berarti gerakan yang diambil dari luar, yang ditiru, diadaptasi, dan dijadikan gerakan sendiri. Inkulturasi berarti gerakan yang dimiliki oleh seorang performer, yang diekspresikannya keluar dan dikembangkan terus-menerus. Agar tidak membingungkan, gerakan inkulturasi disebut dengan istilah improvisasi.
Latiahan 1 dan 2 dimaksudkan untuk melatih interaksi dan komunikasi antara performer lewat dua model gerakan tadi. Sedangkan latihan 3, memasukan indikator baru, yaitu tubuh belakang yang hampir pasti tidak pernah diolah. Mengolah tubuh belakang sama pentingnya dengan mengolah tubuh depan (yang seperti mata menjadi satu hal yang dominan dalam aktivasinya). Semua ini mesti dilakukan dengan intensitas yang lebih, yang tidak hanya mengandalkan mata, tetapi juga rasa dan intuisi. Latihan-latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehadiran seorang performer di atas panggung dan dimana saja ia berada.
Latihan III:
1. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kepada masing-masing kelompok secara bergantian diperdengarkan instrumen musik jazz. Para peserta dari masing-masing kelompok diminta untuk mendengarkan dengan seksama suara instrumen ini, kemudian menirukan bunyi yang ditangkap.
2. Para peserta diminta membuat sebuah komposisi musik dari modal dasar suara yang dimiliki. (Pada pengulangan latihan ini, komposisi yang dihasilkan ditambah lagi dengan beberapa parameter seperti dinamika dan tempo).
Modal dasar kedua yang dimiliki oleh manusia adalah suara. Suara pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bersifat material-konkret, tetapi tetap memiliki sifat dan karakter fisikal, yaitu sebagai gelombang. Karena karakter fisikal inilah, suara bisa direkam. Manusia dapat menghasilkan suara melalui resonansi yang dihasilkan oleh pita suara. Meskipun secara 'sound' manusia memiliki keterbatasan, tetapi sebenarnya modal dasar suara ini bisa sekali dikomposisikan menjadi satu komposisi yang enak didengar (indah) dan bermanfaat untuk pertunjukan. Suara juga sebenarnya merupakan salah satu elemen penting dalam teater, khususnya yang menggunakan teks verbal (dialog maupun monolog). Dekonstruksi suara membantu performer melihat dan mengenali batasan suara yang dimiliki oleh masing-masing performer, antara lain, warna suara, jangkauan nada, kekuatan, dialek, dan sebagainya yang juga ditentukan oleh faktor-faktor yang sama yang membangun konstruksi tubuh di atas.
Latihan III, sebenarnya menggali keterbatasan sekaligus mengoptimalkan modal dasar suara-suara yang ada. Sekaligus lewat latihan ini juga, para peserta diarahkan untuk memahami dengan seksama pentingnya kesadaran dan feeling akan dinamika, tempo, ritme, nada, interaksi setiap aktor (sumber bunyi adalah juga aktor, atau repertoar) dalam menghasilkan komposisi sebuah pertunjukan.
Refleksi Pribadi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar