Hanya Ingin Terus Menulis (Mario F. Lawi-Penerima Penghargaan Taruna Sastra Nasional 2015)

Mario Lawi dengan Latar Belakang Danau Kelimutu. Foto diambil di sela-sela kegiatan wisata sastra pada Temu II Sastrawan NTT di Ende

Ada begitu banyak putra-putri NTT yang berhasil meraih berbagai prestasi gemilang sepanjang tahun 2015. Ada yang berhasil meraih kesuksesan dalam studi, ada yang berhasil meraih kesuksesan dalam mengembangkan bisnis, ada yang berhasil mengembangkan karya-karya sosial karitatif, dan ada juga yang mencetak prestasi-presatasi di bidang seni dan budaya, khususnya sastra. Yang disbutkan terakhir menyedot perhatian cukup besar dalam masyarakat NTT dewasa ini.  Banyak media telah memuat berbagai pemberitaan seputar event dan juga tokoh sastra NTT. Namun, rasanya belum cukup kalau nama yang satu ini belum ditampilkan kepada pembaca (publik) secara lebih dekat. Dia adalah Mario F. Lawi.

Nama Mario Ferdinandus Lawi telah menjadi salah satu simbol kebangkitan satra di NTT setelah sekian lama hanyut dalam nama-nama besar seperti Gerson Poyk atau Umbu Landu Paranggi. Mario yang lahir pada 18 Februari 1991 adalah penyair muda asal NTT yang telah mengharumkan nama Flobamorata di kancah kesusastraan nasional. Penghargaan yang pernah diterima oleh Mario antara lain, NTT Academia Award 2014 kategori sastra. Memoria menjadi salah satu buku kumpulan puisi rekomendasi majalah Tempo, 2013. Setahun kemudian, bukunya yang berjudul Ekaristi terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan sekaligus membuatnya dinobatkan Tokoh Seni (Sastra) 2014 oleh majalah yang sama. Di samping penghargaan-penghargaan itu, Mario juga tercatat terlibat aktif baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event sastra, misalnya pada Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate (2011), Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi (2012), Makassar International Writers Festival (2013), Temu Sastrawan NTT I dan II (2013 dan 2015), Ubud Writers and Readers Festival (2013), Bienal Sastra Salihara, Jakarta (2013), Temu Sastrawan Mitra Praja Utama VIII, Banten (2013), Makassar International Writers Festival (2014), Program Penulisan Esai Majelis Sastra Asia Tenggara (2014), dan Festival Sastra Santarang (2015).

Konsistensi Mario F. Lawi dalam dunia sastra menghantarkan ia pada podium penerimaan penghargaan Taruna Sastra Nusantara 2015. Yang membanggakan adalah penghargan tahunan ini baru pertama kali dibuat dan Maria sebagai penerima pertama berasal dari NTT. Penghargaan Taruna Sastra dibuat oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dalam rangka memberikan penghargaan atas prestasi generasi muda berusia maksimal dua puluh lima tahun yang konsisten mengembangkan kemampuan dan kreativitas berkarya serta mengapresiasi karya sastra. Oleh tim seleksi, Mario dilihat sebagai salah satu aktor muda yang berpengaruh dalam mengembangkan sastra NTT. Selain lewat penilaian bobot karya yang dihasilkan (buku dan karya yang sudah dipublikasikan), Mario juga berperan penting dalam terbentuknya komunitas sastra Dusun Flobamora, salah satu komunitas sastra yang sejak beberapa tahun terakhir memberi kontribusi besar dalam pengembangan sastra NTT. Di komunitas sastra ini, Mario menjadi pemimpin redaksi Jurnal Sastra Santarang sebuah jurnal sastra nirlaba yang dikelola bersama anggota komunitas. Seiring perkembangan, jurnal ini menjadi salah satu barometer media yang merawat karya-karya sastra putra-putri NTT, dan juga mendapat respon serta kontribusi positif dari sastrawan-sastrawan nasional.

 “Saya mengikuti kegiatan ini atas informasi serta rekomendasi Pa Luthfi Baihaqi (Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT). Saya mengikutinya tanpa target apa pun. Namun, saya senang bisa menerima penghargaan ini, dan membawa nama NTT.” Bagi Mario, kesuksesan ini merupakan kerja komunitas, sehingga seluruhnya ia dedikasikan untuk komunitas dan perkembangan sastra NTT. Mario berpendapat bahwa di NTT, keterlibatan aktif pemerintah nyata dalam program-program Kantor Bahasa NTT yang sangat realistis, dan sudah berjalan serta menghasilkan perubahan-perubahan besar di NTT. Namun, menurut Mario, kreativitas dalam berkarya tidak seharusnya bergantung pada program-program pemerintah. “Banyak program-program pemerintah daerah dalam bidang kebahasaan yang tidak berjalan, seperti program literasi (pengentasan buta huruf) yang sudah seringkali dicanangkan tetapi tidak mendapat hasil yang kelihatan. Pemerintah daerah bisa bermitra atau mencontohi program kantor bahasa, yang lebih realistis misalnya membuka kelas menulis dan membaca yang melibatkan sekolah-sekolah.”

Pada tahun 2016 ini, peraih cum laude pada Jurusan Ilmu Komunikasi UNDANA tahun lalu itu masih mengarahkan impiannya pada pengembangan komunitas sastra tempat ia bergelut. “Saya tidak punya visi yang besar untuk NTT. Tahun 2016 ini, saya dan kawan-kawan di komunitas berniat mengaktifkan kelas menulis dan membaca sebagai sebuah bentuk kaderisasi bagi anggota-anggota komunitas lainnya, khususnya bagi anggota yang lebih muda. Kami ingin membangun sebuah taman baca.” Secara pribadi, impian Mario hanyalah ingin terus menulis. “Kalau proyek atau impian prbadi, saya hanya ingin terus mampu menulis, sampai tidak bisa menulis lagi.”

Mario F Lawi dengan Tiga Bukunya, bersama Erik dan Dimas,
 Penulis Muda NTT
Bagi sesama generasi muda NTT, Mario sedikit memberikan sharing pengalaman dalam hal menulis. “Banyak kelas menulis di NTT yang selalu memulai dengan langsung memberikan penekanan tentang cara menulis yang baik. Bagi saya, kita hanya bisa menulis jika sudah terbiasa dalam membaca. Generasi muda NTT yang ingin menulis, sebaiknya membiasakan diri dengan membaca. Harus kita akui budaya membaca kita masih lemah”. Selain itu, Mario juga menyoroti pentingnya kompetisi dan juga kepercayaan diri. “Saya senang semakin banyak teman yang ikut berkompetisi dalam lomba-lomba penulisan meskipun itu diadakan secara online. Banyak kecenderungan dari penulis NTT yang sudah puas jika karyanya sudah dimuat di media lokal. Padahal, sangat baik untuk mencoba mengirimkan karya di berbagai media lain di luar NTT dan yang bertaraf nasional, selain sebagai promosi, tetapi terlebih lagi dengan itu kita bisa mengukur kualitas karya kita. Penghargaan apa pun sebenarnya hanyalah konsekuensi dari ketekunan. Jika kita berusaha mengembangkan diri, penghargaan akan berdatangan sendiri, dimana-mana begitu”, kata pria yang pernah mengeyam pendidikan di Seminari St. Rafael, Kupang ini. 

Menyimak Khotbah (Apresiasi dan Kritik atas Pementasan ‘Khotbah’ oleh Teater Aletheia Ledalero)

Adegan Imam Diadili oleh Para Malaikat Maut dalam Pementasan 'Khotbah' oleh Aletheia Teater Ledalero. Foto oleh Ferer Dede, SVD.



Suasana hening, gelap, dan pekat pecah oleh suara fu dan gemuruh ombak yang langsung disambar oleh lengking nada sopran seorang wanita:

“seribu kemarau aku berlayar mengarungi tujuh samudera
seribu hujan menerpa perahuku, hingga di Kaimana aku berlabuh
sejuta ikan di biru lautan, janji sebuah masa depan
di bawah dahan pepohonan rindang aku sandarkan sejuta impian”

Sayup-sayup suara yang terdengar sampai pada puncaknya, ketika wanita cantik nan anggun bagai bidadari dalam balutan gaun putih, yang semula bernyanyi sambil berbaring di atas pembaringan dari kain hitam bertaburan bunga dengan lampu sorot berfokus kepadanya, berdiri dan menuntaskan nada serta syair bernuansa archipelago tadi:

"dengarlah kawan oh dengarlah
ini dongeng batu riwayatku
dari arah terbit mentari, jauh di ujung cakrawala
bersama angin aku datang mencari arti kehiduapan".


Syair berakhir. Cahaya kembali padam. Suasana gelap, pekat dan sunyi kembali tercipta. Setelah agak lama, dari kejauhan, timbul titik cahaya dari sebuah lentera sederhana. Seorang lelaki tua renta, lirih berteriak, “Eli.. Eli.. Lamasabaktani?” Lelaki itu tertatih-tatih berjalan mengitari semua orang yang memerhatikannya. Di wajahnya tergurat lukisan kebingungan juga kecemasan. Lenteranya diangkat tinggi-tinggi, ia mencari-cari sesuatu-entah apa, di balik mata-mata tajam dan siluet wajah-wajah yang terus mengikutinya. Dengan nada pasrah dan letih, berulang kali ia meneriakan hal yang sama, “Allahku, Ya Allahku, Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?”

Lelaki tua itu terus berjalan. Sampai pada satu titik, tempat semua mata bisa tertuju kepadanya, ia berhenti. Kelelahannya tidak sempat ia pulihkan. Di hadapannya, pada sebuah layar putih, ditampilkan potongan-potongan video dan gambar tentang anak-anak busung lapar, tentang perempuan-perempuan yang dijual seperti bawang merah, tentang ODHA yang sekarat tetapi tidak mendapat perhatian, tentang kemewahan WTC yang runtuh seketika setelah ditabrak dua buah pesawat yang dibajak teroris, tentang darah dan mayat-mayat yang tumpah-ruah bergelimpangan akibat kebrutalan ISIS. Melihat semua itu, lelaki tua renta tadi berteriak lirih “Eli! Eli! Apakah aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang? Dalam matamu, Engkau meninggalkan aku. Dalam pikiranmu, Engkau meninggalkan aku. Dalam hatimu, Engkau meninggalkan aku!” Beberapa kali setelah meneriakan kata-kata dengan nuansa serupa, dia meninggalkan semua mata dan telinga yang memusatkan perhatian kepadanya. Hatinya seperti hancur berantakan.

Adegan berganti. Dentang lonceng terdengar. Beberapa orang yang memerankan sosok umat tampil dan menuju panggung utama. Mata mereka di tutup dengan kain putih yang diikat melingkari wajah. Sesaat setelah itu, chapel organ berbunyi, lantas melatari paduan suara yang menyanyikan lagu “Zadok The Priest”. Nyanyian gubahan George Frideric Handel itu mengiring perarakan masuk imam dan para para putra altar. Misa dan berbagai ritual yang ditampilkan lewat gestikulasi tubuh imam dan para putra altar pun dimulai. Sampai pada bacaan Injil, lampu panggung kembali redup. Kisah dari Injil Lukas tentang ‘Orang Samaria yang Baik Hati’ (Luk 10:33-37), yang sedianya dibacakan oleh imam dipentaskan secara teatrikal.

“Saudara-saudara yang mencintai Tuhan! Sekarang kita bubar! Hari ini tidak ada khotbah!”, dengan nada angkuh, imam berkata-kata dalam kesempatan khotbahnya. Beberapa kali imam meneriakan hal ini, menyuruh umat bubar. “Lihatlah aku masih muda. Biarlah aku menjaga sukmaku. Silahkan bubar. Ijinkanlah aku memuliakan kesucian. Aku akan kembali ke biara, merenungkan keindahan ilahi”, sang imam memelas, berusaha membenarkan pilihannya. Bisik-bisik terjadi di kalangan umat yang kebingungan, tetapi tidak beranjak dari tempat duduk. Imam menyerah, dengan kesal mengalah dan memulai khotbah.

Kata-kata meluncur keluar dari mulut imam, seperti mengalir begitu saja tanpa pertimbangan. “Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama. Hidup memang berat. Gelap dan berat. Kesengsaraan banyak jumlahnya. Maka dalam hal ini kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra!!! RA-RA-RA, HUM-PA-PA, RA-RA-RA!!!” Umat kaget, bingung dan tidak mengerti. Mereka mengulangi desis-desis aneh di akhir khotbah. Beberapa kali imam mengeluarkan kata-kata kosong, dengan desis-desis aneh yang sama di akhir kalimat-kalimat itu, dan langsung disambut umat dengan respon melawan. Di sela-sela dialog antara imam dan umat, terdengar suara gemuruh. Paduan suara menyayikan petikan lamentasi “Yerusalem, Yerusalem, Berbaliklah…” Mendengar itu imam kaget dan ketakutan, tetapi tidak menghentikan khotbahnya.

Klimaks dari teater ini adalah kemarahan umat. Umat marah dengan desis-desis aneh yang memenuhi ruangan Gereja saat khotbah. Umat menghancurkan tempat perjamuan. Altar dibanting. Lilin dipatahkan. Buku-buku misa dibuang. Para putra altar lari ketakutan, kecuali imam yang berdiri dan asyik dengan dirinya sendiri. Para umat kemudian jatuh bergelimpangan di seputar altar perjamuan. Kain yang menutupi mata mereka dibuka. Mereka menatap layar yang menampilkan berbagai ketimpangan seperti yang dilihat pria tua renta yang mencari Eli. Mereka menjerit. Seperti sedang kesurupan, mereka berteriak-teriak mengeluhkan penderitaan mereka.

“Tuanku yang saleh, sudah berakhirkah khotbahmu? Mengapa kami masih lapar? Masih sakit? Masih kecewa? Sabda-Nya, ‘Yang makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, tak akan lapar dan haus untuk selamanya!’ Grrrrr! Grrrr! CHA! CHA! CHA! Tidak ada Tuhan di sini! Kita semua manusia dan kita lapar akan cinta. Mari kita santap imam kita! CHA! CHA! CHA!” Umat marah. Imam mereka hajar hingga sekarat dan tak berdaya, seperti orang yang dirampok dalam Injil yang dibacakannya sebelumnya. Lalu mereka meninggalkan imam itu sendirian, merana.

Adegan beganti. Para malaikat maut berjubah coklat dan berkapus menutupi kepala masuk dengan obor di tangan, memecah kegelapan yang muram. Dari mulut mereka terdengar lirih penggalan lamentasi, “Lihatlah Raja penguasa dunia datang. Ialah yang akan membebaskan kita dari belenggu perhambaan”. Mereka datang mengelilingi imam dan mengadilinya. Terjadi dialog. “CONFUTATIS!!! MALEDICTIS FLAMMIS ACRIBUS ADDICTIS!!!”, berulangkali para malaikat berteriak. “Voca me! Voca me cum benedictis! Oro supplex et acclinis. Cor contritum quasi cinis. Gere curam! Gere curam! Gere curam!”, imam memelas memohon pengampunan. Adegan ini terjadi beberapa kali, hingga pada akhirnya para malaikat pergi meninggalkan imam. Nyawa sang imam tidak jadi dicabut, ia diberi kesempatan untuk bertobat.

Adegan diakhiri dengan masuknya koster untuk menolong sang imam. Namun, sebelumnya, lelaki tua renta yang memegang pelita hadir dan menyampaikan monolog. “Kami adalah putra-putri penderitaan dan kalian adalah putera-puteri kesenangan. Kami menangis, menyebar simpati, tetapi kalian adalah putra-putri kesenangan dan tak ada yang kalian dengar selain denting piala-piala anggur kesibukan kalian setiap hari”. Setelah lelaki tua renta keluar dari panggung, dan koster telah menolong sang imam serta memperbaiki ruang perjamuan, masuklah para umat yang tadi membuat kerusuhan. Imam menerima mereka di gerbang ruang perjamuan dengan memeluk dan mengecup mereka satu per satu. Selanjutnya, dengan bantuan koster, imam menanggalkan kasulanya, dan mulai membasuh satu per satu kaki dari para umat sebagai bentuk rekonsiliasi. Keseluruhan pentas ditutup oleh nyanyian We are The World yang dibawakan oleh seluruh penampil.

Lelaki Lusuh Menyampaikan Monolog. Foto oleh Dede Aton
Khotbah dan Krtik atas Dosa Klerikalisme

Sejak awal, disposisi batin para penyimak dan pemirsa teater ‘Khotbah’ telah dibentuk oleh lagu “Dongeng Batu” gubahan Ubiet, dengan nada-nada minor resitatif yang lirih dan menggugah afeksi. Eksplorasi yang dominan adalah aspek kesedihan, kemuraman, dan kemurungan. Hal ini dapat terlihat dari pencahayaan yang minim dan gelap, serta sosok lelaki tua, renta, lusuh yang juga membuka adegan demi adegan cerita dengan teriakan lirih. Suasana sedih itu juga dibentuk oleh tayangan video (slide show), dengan tema-tema yang sudah diarahkan khusus untuk memantik pemahaman pemirsa dan penyimak tentang makna keseluruhan tema cerita ini. Simpati para pemirsa dan penyimak khotbah coba dibangun. Pemirsa sudah dipersiapkan untuk menyelesaikan pentas teater dengan suatu perasaan haru dan prihatin atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dunia ini, tentu termasuk di dalam masyarakat dekatnya.

Adegan selanjutnya memaksa penyimak dan pemirsa ‘duduk manis’ dan mendengarkan. Teater ‘Khotbah’ menampilkan penggalan ritual misa yang pada dasarnya kaku, dan monoton. Secara visual-gestikulasi, hampir tidak ada yang menarik. Penonton yang datang dengan motivasi melihat sebuah pertunjukan hiburan (entertainment) sudah pasti akan ‘stres’. Namun, inilah titik pusat teater khotbah. Pusat ini bisa menjadi titik kehancuran, atau sumur bagi pemirsa mencerap keseluruhan isi (makna) pementasan. Titik kehancuran itu tercapai ketika pemirsa atau penyimak sampai pada perasaan bosan dan jenuh yang tidak teratasi, sebaliknya bisa menjadi sumur pemaknaan bila kejenuhan itu disertai dengan telinga yang terus terarah kepada verbal points yang terbit dari mulut imam.

Terlepas dari pendapat masing-masing pemirsa dan penyimak, satu hal menarik yang terjadi pada pementasan teater ‘Khotbah’ adalah kejelian tokoh imam menyampaikan pesan-pesan khotbahnya yang kaku dan monoton itu dengan kemampuan yang membuat semua mata serta telinga tertuju kepadanya. Emosi penonton yang bosan dibuat semakin panas dengan isi khotbah yang amburadul dan berantakan. Emosi penonton yang memang ‘sudah dirancangkan’ untuk jenuh digali lebih mendalam oleh si imam. Pemirsa dan penyimak memang harus marah, harus, bosan, dan harus memiliki pandangan negatif tentang si imam, seperti kebanyakan penonton memberi pendapat mereka tentang tokoh nenek Tapasha dalam serial Uttaran. Dalam hal ini, dari segi persuasi, imam berhasil. Meski bosan, jenuh, dan jengkel, para hadirin memirsa dan menyimak.

Beberapa aksi teatrikal juga turut membantu membuat betah para pemirsa dan penyimak. Aksi teatrikal itu antara lain, penceritaan kembali kisah orang Samaria yang baik hati, disusul dengan kisah ratapan dan juga kemarahan umat atas imam. Justru, adegan kemarahan umat atas imam menjadi titik puncak seluruh cerita dalam teater ini. Dari dua adegan ini, jelas sekali bahwa, teater ini berupaya menggali aspek anarki dan kekerasan. Sampai di sini, secara umum teater ini cukup mampu menarik perhatian para penonton, terlepas dari pemaknaan yang dibangun masing-masing dari mereka. Pertanyaannya, mengapa teater-teater kita (beberapa teater yang sering muncul di wilayah Maumere), sering sekali mengeksplorasi adegan-adegan dengan nuansa anarkisme atau kekerasan?

Soal makna, hal yang paling menonjol yang ingin ditampilkan dalam ‘Khotbah’ adalah kritik terhadap klerikalisme. Klerikalisme oleh P. John Mansford Prior (dalam sebuah wawancara dengan majalah hidup) didefinisikan sebagai ‘kultur relasi kekuasaan yang disokong rupa-rupa kebiasaan yang meluputkan oknum klerus dari proses hukum. Artinya, kultur klerus yang memakai struktur-struktur intern Gereja untuk menetapkan, lantas mempertahankan relasi kekuasaan, serta relasi yang berpola superior-inferior. Misal, ketika skandal seorang imam terbongkar, tiba-tiba tahbisan menjadi lebih mahal daripada martabat si korban. kerapkali dikumandangkan seorkes retorika teologis, dipasang sederetan ketentuan kanonis untuk melindungi oknum klerus dan membungkam si korban”. Keasyikan mereguk kenikmatan yang berpusat pada diri (egosentris), merasa cukup-diri dan watak acu-diri, menjadikan kuasa dan otoritas sebagai pembenar adalah juga ciri khas kelirkalisme. Menurut Bapa Suci, klerikalisme akrab dengan legalisme, yakni kebiasaan menjadikan diri sebagai sumber tafsir atas kebenaran.

Dalam khotbah, aspek kelirikalisme ini bahkan sudah muncul dari distorsi rasa yang dibangun dalam suasana kaku, akting monoton, serta verbalisme yang dominan dan memakan waktu sangat lama. Karena itulah, tolak ukur keberhasilan teater ini juga terletak dari rekonsiliasi rasa. Artinya, kejenuhan yang timbul daalam diri penonton harus disembuhkan. Salah satunya lewat ‘pemaknaan yang sampai’. Dalam kejengkelan dan kejenuhannya, penonton harus pulang membawa sesuatu, membawa pesan yang berguna bagi kehidupannya. Penonton harus puas dengan makna yang ia peroleh. Sekali lagi, yang mengundang tanya dari teater ini adalah ‘mengapa aspek anarkisme dan kekerasan’ yang dipilih sebagai media pelampiasan, pelepasan, orgasme dari sebuah kebencian terhadap hegemoni kekuasaan klerus? Apakah memang aspek kekerasan dan anrkisme inilah yang paling dekat (menjadi latar belakang) dengan teks? Atau, anarkisme hanyalah simbol depresi dan kehausan yang sudah sampai pada level paling akut? Jika basis eksplorasi ini bercorak mimesis (ada dalam/tiruan dari psikologi umat empiris), bukan tidak mungkin teater ini memberi sebuah peringatan berharga bagi Gereja, terutama atas bom waktu yang ada dalam dirinya sendiri, entah bom waktu itu bercorak lokal atau universal.

Soal makna, teater ini menampilkan beragam makna yang tersebar dalam berbagai adegan, ucapan, hingga simbol-simbol (tata panggung, ritus, dll). Meski tujuan awal teater ini lebih sebagai otokritik atas tubuh klerus yang nyaman dengan status quo, pemirsa dan penyimak ‘sudah dipaksakan’ dengan makna yang lebih luas. Bias itu terjadi ketika pemirsa dan penyimak ‘Khotbah’ dihadapkan dengan video-video dalam slide show dan lagu dongeng batu yang secara semantik memiliki jarak pemaknaan yang cukup jauh dari keseluruhan isi cerita. Klerikalisme yang dimaksudkan dalam teater ini bisa merujuk pada sikap cuek Gereja terhadap situasi dewasa ini, situasi krisis yang tak teratasi, yang begitu banyak jumlahnya. Gereja dalam hal ini bisa dimaknai secara lebih luas, yaitu Gereja sebagai keseluruhan umat Allah. Hanya saja, hal ini bisa membuyarkan fokus otokritik terhadap klerikalisme. Hal lain, jika ingin konsisten, secara melodis ‘Dongeng Batu’ mungkin memberikan teror auditif yang berhasil menciptakan suasana. Namun, dari segi syair, makna dendang ini memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga dibutuhkan refleksi yang lebih baik (jika tidak ingin disebut pemkasaan) untuk sampai pada intertekstualitas pemaknaan dengan keseluruhan teater.

Hal lain yang perlu juga disoroti adalah makna Ekaristi yang terkesan terpenggal. Teater ini mengambil satu scene dari keseluruhan perayaan Ekaristi. Itu berarti, jika ingin konsisten, setelah liturgi sabda, masih ada ritus lain yang penting yang harus dilewati, khususnya Ekaristi yang menjadi pusat. Anehnya, dalam mengawali khotbah, imam dengan percaya diri berkata “Saudara-saudara yang mencintai Tuhan! Sekarang kita bubar! Hari ini tidak ada khotbah!” Ajakan kepada umat untuk bubar seakan-akan dipaksakan hadir dalam teks hanya dengan tujuan memperkuat eksplorasi emosi umat, sebab kalau pun tidak ada khotbah, toh masih ada ritus lain yang harus dijalani dan imam tidak seharusnya membubarkan misa di tengah jalan. Aspek hakiki Ekaristi yang dipertegas dengan memori pembasuhan kaki (mengutip peristiwa perjamuan malam terakhir) sebagai adegan penutup, seakan diperlemah oleh kalimat pertama khotbah imam ini. Skenario yang sama tentang figur imam yang terkesan dipaksakan juga muncul dalam kalimat, “saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama”. Akan sangat sulit bagi kita menemukan referensi tentang imam baru, dengan karakter serta khotbah perdananya seperti ini dalam kehidupan nyata.

Lagu Usai Adegan Pengadilan Imam. Foto oleh DedeAton
Satu pertanyaan terakhir yang juga bisa saja timbul adalah apa memang rekonsiliasi antara imam baru yang mewakili klerus dan anarkisme umat, yang maknanya sulit sekali diterjemahkan secara konkret itu (meski secara historis Gereja pernah mengalami hal serupa), cukup hanya dengan saling menerima dan memaafkan? Jelas, klerikalisme sangat bertolak belakang dengan spirit kenabian. Tindakan pembasuhan kaki adalah simbol sikap profetis sebagai pelayan. Namun, klerikalisme juga memiliki dimensi yang luas untuk diatasi, termasuk dari sisi psikologi dan habitus umat yang membiarkan bibit-bibit klerikalisme tumbuh.

Terlepas dari banyak catatan tentang teater Khotbah, apresiasi perlu diberikan kepada Aletheia Ledalero yang dengan gemilang telah menyelesaikan pementasan teater ini. Sebagai informasi, teater ini dibawakan pada hari Selasa, 22 Maret 2016, dalam pekan suci sebagai bentuk refleksi kritis bagi Gereja sebagai umat Allah, dalam mempersiapkan diri merayakan Paskah. Kiranya, pesan ‘Khotbah’ terus menggema di hati para penampil, pemirsa serta penyimaknya.

Tentang Agama dan Iman




Cum eadem spes
Sicut tua, te amo.
Spes me semper salvat
Cum religio non iam satis sit.

-----------------------------

Dengan iman yang sama
Seperti imanmu, aku menyayangimu.
Iman senantiasa menyelamatkan
Aku ketika agama tak lagi cukup.


Tentang syair ini, Mario Lawi pernah berterus terang, bahwa 'cinta beda agama'-lah yang melatari bangunan pemaknaannya. Namun, syair tetaplah syair, puisi tetaplah puisi. Penyair selalu sudah langsung mati ketika ia menyajikan syair yang ditulisnya (dengan otoritas pemaknaan) kepada semua yang mengapresiasi karya itu. Yang tertinggal hanyalah syair yang dihadapi oleh begitu banyak pembaca, penikmat, pendengar, dan semua yang memberi waktu untuk sekedar merenungkannya. Dengan demikian, makna tak lagi tunggal. Makna perlahan menyebar, merambat, membekas, di otak, hati, hingga gerak laku semua yang mengambil syair itu menjadi miliknya. Mario mungkin sudah mati bersama 'cinta beda agama-nya', ketika beberapa saat sebelum tulisan ini purna, syair ini menggema di langit malam halaman rumah Sonia.

Feurbach mungkin benar soal pernyataanya bahwa Allah adalah hasil proyeksi manusia-manusia yang kehilangan harapan dan daya untuk hidup. Manusia yang terbatas, selalu melihat diri dalam dualisme antara ketidakmampuannya, dengan sesuatu yang lain yang lebih luas dari kemampuannya. Manusia lantas memproyeksikan 'sesuatu yang tak terbatas' sebagai yang ada, berdiri sendiri, dan berkuasa di luar dirinya. 'Sesuatu yang tak terbatas' itu diberi karakter manusiawi, dipersonifikasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sosok patronis, tempat manusia meletakan segala beban dalam hidup yang keras. Manusia menyembahnya, menjadikan dia sandaran dan penopang: sesuatu yang menurut Feurbach menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri. 'Manusia mengakui dalam Tuhan, sesuatu yang diingkari dari dirinya sendiri'. Karen itu, manusia beragama yang menyembah adanya sesuatu yang disebut Tuhan selalu sudah terasing dengan dari dirinya sendiri.

Marx yang dicerhakan oleh Feurbach, pun tidak main-main mengeritik agama sebagai candu bagi masyarakat. Agama semakin meninabobokan manusia, yang secara negatif dalam kerangka pemahaman Marx dapat dipahami sebagai 'the suffering being'. Manusia sebagai makhluk yang terbatas, adalah makhluk yang menderita. Namun, Marx tidak hanya berhenti pada kritik terhadap agama. Menurut Marx, pelarian yang dilakukan oleh manusia selalu didorong oleh realitas yang tidak memberi jaminan kepada manusia untuk hidup sesuai dengan fitrah dan pilihan bebasnya. Kritik pada agama adalah tumpul, tanpa kritik terhadap sistem-sistem dalam masyarakat. Kritik terhadap surga adalah sia-sia, tanpa adanya kritik terhadap dunia. Marx ingin mengubah dunia, karena interprtasi selalu tidak cukup. Marx ingin agar realitas yang telah terdistorsi oleh kelas-kelas sosial, ekonomi kapitalis yang secara tidak langsung maupun langsung mendapat legitimasinya dalam agama dan kebudayaan, harus segera diakhiri dengan satu aksi revolusioner bercorak sosialisme ilmiah, demi tercapainya 'kerajaan kebebasan'. Bagi Marx,kesetaraan kelas adalah segalanya, dan manusia pada akhirnya adalah materi, dan selalu hanya materi. Manusia adalah economic animal.

Bagi Mario, agama bisa menjadi sangat terbatas. Agama bisa menjadi tak cukup. Bagi Mario, agama dalam arti tertentu bisa menjadi penghalang, atau tembok yang memenjarakan. Marx mungkin mendasari kritiknya akan agama dengan melihat situasi Gereja yang amburadul pada masa itu. Gereja yang menjanjikan pembebasan, justru melegitimasi ketertindasan dan tidak memiliki opsi terhadap yang menderita, kecuali pelajaran moral yang sama sekali tidak mengubah sistem dalam realitas masyarakat. Ini sudah barang tentu tidak akan mengubah taraf kesejahteraan hidup manusia. Kisah tentang Allah pembebas yang lewat nabi-nabinya, bahkan Putra-Nya sendiri membebaskan penderitaan para janda dan anak-anak yatim piatu agaknya hanya menjadi nostalgia semata. Marx meragukan keberpihakan Gereja, dan mempertanyakan janji kebangkitan jiwa-badan, yang selalu berarti manusia akan mengalami transformasi secara keseluruhan sebagai pribadi. Agama bagi Marx, menjanjikan sesuatu yang pada kenyataannya tidak dapat diusahakannya sendiri.

Marx mungkin akan semakin tertawa jika tahu, bahwa telah banyak manusia di dunia ini yang hidup dalam agama dengan suatu kesadaran palsu. Kesadaran palsu itu yang membuat manusia selalu membuat kapling-kapling eksklusif, mengidentifikasi dirinya sebagai yang lain dari yang lain, yang benar dari yang bidaah, yang baik dari yang buruk, dan yang suci dari yang najis. Marx akan semakin berbangga diri sembari mencibir ketika melihat doktrin-doktirn agama menjadi basis legitimasi berbagai jenis teror, pembunuhan, perang, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Agama masa kini adalah agama dalam ideal Marx, agama yang menjadi candu bagi masyarakat. Siapa saja yang hidup dalam candu, kemabukan, dan kesadaran palsu, berpotensi arogan dan reaksional jika berhadapan dengan yang lain, yang dianggap mengancam eksistensinya. Sekali lagi, Marx mungkin akan tertawa dengan sangat nikmat jika fenomena seperti ini bisa diamatinya.

Namun, apakah Marx bisa membatalkan, kalau manusia juga selalu punya apetitus naturalis, sebuah kerinduan (keterarahan) yang sifatnya alamiah kepada kebahagiaan dan kedamaian sempurna, yang selamanya tidak bisa dipuaskan oleh barang-barang ekonomis semata? Marx mungkin bisa menghapus kapitalisme pun secara utopis, tetapi apakah Marx, dengan sistem ekonominya bisa membatalkan sebuah factum primum, bahwa manusia secara ontologis memiliki keterbatasan yang paling radikal dari eksistensinya sebagai manusia, yang oleh karenanya selalu terbuka kepada Yang Transenden, sebagai cakrawala tak terbatas, tempat ia mengeksplorasi kerinduan-kerinduannya? Keterbukaan kepada Yang Transenden sebagai cakrawala yang tidak terbatas tidak serta merta membuktikan adanya Tuhan, tetapi juga tidak bisa membatalkan begitu saja adanya Tuhan. Intinya, manusia selalu melebihi yang materi semata. Manusia selalu bermatra epistemologis, etis, dan estetis.

Dan iman selalu hadir sebagai sebuah keberanian berkonsistensi terhadap sesuatu yang diyakini, yang juga selalu berpaut erat dengan harapan sebagai sebuah cakrawala, kaki langit kemungkinan dan cinta sebagai daya yang mempersatukan. Iman selalu menuntut adanya keterbukaan, merasakan sesuatu yang tak terbatas. Iman selalu berarti penyingkapan diri yang total terhadap sesuatu yang transenden, yang hanya bisa diterima keberadaannya dengan seluruh diri dan sangat pribadi. Iman pun menuntut adanya pemberian diri terhadap yang lain, kebersediaan untuk berkomunikasi dengan yang lain sebagai yang setara dalam komunitas kosmik.

Manusia tidak serta merta bisa direduksikan sebagai economic animal, tidak juga bisa dikerangkakan dalam tembok-tembok keagamaan yang sempit. Manusia adalah substansi dan subjek multidimensional yang tidak hanya bisa ditakar secara material, tetapi satu-kesatuan jiwa-badan yang bertindih tepat. Materialisme Marx sesungguhnya kontradiktoris dalam dirinya sendiri, ketika di satu sisi berusaha mengkampanyekan kemampuan manusia mengenal esensi materialnya, dan dalam memprediksikan hakikat serta tujuan akhir sejarah, tetapi di sisi yang lain bersikukuh bahwa pengethuan manusia hanya bersumber dari hal-hal empiris, pengalaman indrawi saat ini. Manusia bukanlah makhluk yang menyerah pada determinisme alam. Manusia bisa melampauinya, dengan rasionalitas dan imannya. Manusia pun terbuka pada keterbatasannya. Manusia terbuka pada kekurangannya. Manusia mentransendensi dirinya, terbuka pada pelbagai kemungkinan kebahagiaan, kedamaian, dengan cinta sebagai kekuatan utama mencapai cita-cita kesempurnaan itu. Sehingga, dalam wujud yang paling nyata, keterbukaan itu melahirkan penerimaan kepada yang lain sebagai partner, sebagai sebuah penolong yang sepadan, sebagai yang satu dalam komunitas kosmik.

Manusia mungkin perlu agama sebagai panduan yang mengarahkannya untuk membuka diri kepada yang lain, juga kepada Yang Transenden. Agama yang statis, bisa menjadi penjaga ritme, pembentuk kebiasaan, dan juga bisa menjadi penuntun dalam membangun sistem nilai yang bisa dihidupi oleh manusia dalam keterbatasannya, dalam ruang serta waktu yang terbatas pula selama ia hidup di dunia ini. Namun agama lewat doktirnnya tidak bisa membatasi interelasi manusia sebagai yang sama-sama hadir dalam komunitas kosmik, yang selalu menuntut adanya komunikasi, saling pengertian, tenggang rasa, dan sikap saling berbagi. Iman lebih yang bersifat liquid, yang adequat dengan cinta serta harapan adalah penyambung asa, jembatan, dan landasan komunikasi ketika doktrin agama menjadi penghalang, sistem dan kelas ekonomi menjadi pemisah, dan perbedaan suku serta ras menjadi tameng untuk saling menutup diri. Manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, manusia bisa hidup tanpa kekayaan harta benda, tetapi manusia sama sekali tidak bisa hidup tanpa iman, harap, dan kasih sebagai satu kesatuan adequat yang menopang keterbatasn ontologis manusia.

Saya menulis ini ketika selesai menghadiri sebuah perayaan perpisahan seseorang yang baru saya kenal beberapa hari yang lalu. Tentu diupacara itu saya membacakan syair di atas untuknya. Saya tidak mengenalnya secara personal. Kami pun baru beberapa kali bercakap-cakap. Namun, dari kesan kolektif yang timbul, yang tentunya saya amati dari respon teman-teman saya yang lain, orang ini sejatinya punya keterbukaan yang luar biasa terhadap sesama saudaranya yang lain. Dia Muslim, dan sebagian besar sahabatnya (di sini) adalah Katolik. Dia tidak dari Flores, tetapi berbuat banyak bagi warga Maumere, lewat karya profetisnya sebagai dokter, lewat inspirasi dan aksi sosial-karitatifnya dalam komunitas Shoes for Flores, dalam kampanye-kampanye pedagogisnya di Radio Sonia FM, serta dedikasinya yang tulus dalam membangun persahabatan dengan orang-orang di sekitar. Dia akan berpisah secara fisik (pergi dari Maumere), tetapi akan sangat dekat dalam memori dan doa sahabat-sahabatnya di sini

Ini catatan ringan dari saya buat kenangan akan Mario dan juga buat Dokter Indah. Puisi Mario saya kadokan buat perjalanan dokter Indah. Penulisnya sudah mati, syairnya bukan milik dia lagi. Jadi, Bu Dokter Indah tidak perlu sungkan untuk membawa syair ini dalam kehidupan yang selalu menyediakan tantangan tak terduga.