“RUPA-KU, RUPA-MU TUHAN”



“Pada satu kesempatan dalam jalan salib Tuhan, tergerak oleh rasa belas kasihan, Veronika menerobos  kerumunan para serdadu dan  mengusapi wajah Yesus. Sebagai ganti ucapan terima kasih yang tak keluar dari bibir-Nya, Yesus menghadiahkan Veronika sebuah gambar bertintakan peluh dan darah pada kain bekas usapan wajah-Nya. Gambar itu adalah gambar wajah-Nya. Gambar wajah Tuhan. Wajah Tuhan yang kehilangan rupa dan bentuk.Wajah yang menderita”.

            Saya ingin mengajak anda sekalian untuk merenungkan simbol ini; “gambar”. Untuk memulai permenungan kita, mari kita simak sejenak  sebuah  silogisme sederhana berikut. “Semua manusia berdosa. Yesus lahir ke dunia  mengambil rupa manusia. Apakah Yesus juga berdosa?”
            Jawaban dari pertanyaan di atas seringkali bertolak dari sisi ke-Aallah-an Yesus. Yesus tidak berdosa, sebab walaupun Ia mengambil rupa manusia, Ia tetaplah Allah. Jawaban lain mungkin berbunyi, Yesus adalah anak Allah yang dikandung dari Roh Kudus. Jadi Ia tidak berdosa. Jawaban-jawaban seperti ini tidak jarang menyudahi refleksi kita terhadap pertanyaan di atas. Namun, kali ini, mari kita coba merenungkan pertanyaan di atas dari sudut pandang hakikat manusia. Rupa yang katanya berdosa tetapi dipakai oleh Tuhan untuk membebaskan kita dari dosa.

            Dalam Mazmur 8, Daud berkidung;
            “Tuhan siapakah manusia sehingga Kau perhatikan?
            Siapakah dia sehingga Kau pelihara?”
               
            Daud sesungguh menyadari kasih Allah kepada manusia. Daud sadar bahwa seluruh ciptaan berpusat dan berpuncak dalam diri manusia. Meski berada dalam kebingungan, Daud yakin bahwa Allah menghendaki segalanya terjadi demikian. Hal ini mengingatkan kita akan kisah penciptaan di taman Eden. Di sana, Tuhan memanggil seluruh ciptaan-Nya dari ketiadaan, dan mereka menjawab panggilan-Nya dengan berada. Firman Tuhan begitu dahsyat sehingga dengan mudah dunia ini diciptakan. Namun, ada yang berbeda dengan manusia. Dalam kitab suci Allah berfirman; “Baiklah kita menjadikan manusia seturut gambar dan rupa Kita.” (Bdk. Kej 1:26). Kelak pemazmur kembali berkidung; “Kau ciptakan dia hampir setara dengan Allah, Kau memahkotai dia dengan kemuliaan dan hormat.” (Bdk. Mzm. 8:6).
            Manusia adalah mahkota ciptaan. Ia dijadikan Allah menurut rupa-Nya sendiri. Ia dijadikan Allah sebagai pribadi yang memiliki akal dan kehendak bebas untuk menjawab panggilan Allah. Diceritakan bahwa Allah menghembuskan nafas hidup-Nya sehingga manusia hidup. Itu berarti sudah sejak awal mula dan secara eksistensial, Allah bersemayam dalam diri manusia sebagai roh yang menghidupkan; dasar eksistensi manusia. Hal ini tidak berarti seluruh hidup manusia digerakkan oleh Allah, tetapi Allah memberi daya ini agar manusia mampu mengembangkan segala kualitas hidupnya dengan daya itu, dan dengan daya itu pula ia mengembangkan dunia serta seluruh ciptaan yang dipercayakan Allah kepadanya. Karena pada hakikatnya Allah adalah cinta, maka manusia pun dituntut untuk selalu hidup berdasarkan gerakan roh cinta Allah sendiri. Allah menjalin dialog dengan manusia dan manusia menyuarakan puji sembah seluruh ciptaan. Dialog cinta antara Allah dan ciptaan mencapai puncaknya dalam diri manusia yang bisa secara bebas menjawab panggilan Allah. Seluruh ciptaan menggambarkan pujian Allah, tetapi Allah tidak egois, sebab seluruh ciptaan sekaligus dimaksudkan untuk berbahagia bersama-Nya. Inilah hakikat manusia dan seluruh ciptaan: dipanggil untuk bersatu dan berbahagia dengan Allah di surga.
            Di sini jelas terlihat bahwa manusia tidak diciptakan dengan kodrat dosa. Dosa baru muncul ketika manusia mencurigai dan kemudian tidak percaya kepada Allah sebagai dasar dan penjamin eksistensi hidupnya. Dosa tidak mengubah sikap Allah tetapi sikap dan kondisi manusia. Hukuman atas dosa bukanlah hukuman yang ditetapkan oleh Allah dari luar diri manusia, melainkan suatu konsekuensi langsung dari dalam diri manusia karena mereka menyangkal hakikat diri mereka. Setiap perbuatan dosa merusakkan diri manusia dan membawa akibat negatif bagi dirinya, yaitu maut serta kebinasaan.
            Pernyataan bahwa dosa tidak mengubah sikap Allah nyata dalam karya penyelamatan-Nya bagi manusia. Belenggu dosa yang diciptakan manusia sebenarnya merupakan tanggungjawab manusia sendiri. Namun karena manusia tidak berdaya terhadap kuasa maut, Allah berkenan mengutus Yesus Kristus untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa itu. Yesus berkenan menjelma menjadi manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatan manusia.
            Yesus  benar-benar lahir ke dunia dalam rupa manusia. Dalam inkarnasi, Firman Allah yang asli dan ilahi sendiri menjadi manusia. Firman atau Gambaran Allah tercipta, sehingga dalam penjelmaan itu terjadi manusia yang paling sempurna, yang memberikan jawaban sempurna dari pihak ciptaan dalam dialog cinta dengan Allah. Karena itu, inkarnasi menjadi puncak absolut dari seluruh ciptaan. Lewat inkarnasi pula Allah sebagai manusia hendak mengambil bagian dalam kedosaan manusia. Tidak dengan berdosa, tetapi bertanggungjawab atas seluruh dosa manusia. Allah menebus dosa manusia.
            Gambaran rupa Yesus pada kain bekas usapan darah dan peluh mungkin menyerukan hal ini bagi kita: “Hai manusia, lihatlah rupamu! Inilah rupa dari upah dosa! Rupa yang kehilangan keindahan dan kemuliaan! Rupa penuh darah, air mata, dan penderitaan!” Rupa Yesus yang menderita adalah rupa yang menggugat anda dan saya. Rupa yang mengajak kita untuk melihat seberapa jauh diri kita kehilangan bentuk, arah, dan tujuan. Rupa yang menyodorkan kepada kita ajakan untuk segera berbenah diri. Pada akhirnya, rupa Tuhan yang menderita harus dimaknai sebagai sebuah cermin kedosaan sekaligus kemuliaan. Cermin yang selalu membuat kita sadar akan hakikat diri kita sebagai makhluk yang lemah sekaligis berharga. Cermin yang meyakinkan kita bahwa kita harus selalu mampu menampakan rupa yang menjadi hakikat diri kita; rupa Allah, rupa Cinta. Harapan untuk berbenah selalu ada. Pulanglah dan jangan berbuat dosa lagi!!

“RUANG”




Pementasan Teater RUANG oleh Vigilantia Teater
 pada Perayaan 800 Tahun Kemartiran St. Albertus, Pemberi Regula Karmel

Pelakon: 1. Remaja/Penulis (RP-Wanita)                                 Setting                 : Taman
                  2. Pelukis Sketsa (PS)                                             Suasana               : Santai, rileks, canda
                  3. Gadis Malam/Pelacur (GMP)
                                                                          
Lagu I : “Sesuatu yang Tertunda” (Padi)
(Semetara lagu dinyanyikan oleh kelompok akustik, pelukis masuk membawa serta perlengkapan lukisnya, menyiapkan perlengkapan tersebut dan menimbang-nimbang apa yang hendak dilukis. Setelah beberapa saat remaja/penulis masuk).
PS           : (Berwajah cerah-ceria, damai, dan rileks).
RP           : (Membawa serta pena dan diary. Menempati bangku taman, kursi atau apapun di hadapan     peluklis)
RP           : Sore ini sepi pengnjung ya???
PS           : J Yah.. begitulah.. Suasana di taman ini tidak selalu sama dari hari ke hari, ada yang datang, ada yang pergi, dengan pikiran, aura, dan apa saja milik mereka masing-masing. Meski demikian, taman ini tetap saja sama. Taman ya taman, tidak berubah.. (Hening sejenak). Kau sepertinya baru kulihat hari ini. Orang baru?
RP           : (Mengiyakan) Saya sedang dalam perjalanan, dan saya dengar taman ini indah sekali.. Mampirlah saya. J (berjalan mendekati pelukis, mengamat-amati dia). Anda pelukis??
PS           : (J Mengiyakan).
RP           :  (Antusias) Wah… menarik.. Pelukis sketsa. Kalau begitu lukislah saya.. Nanti saya bayar.
(Sementara mereka berdialog pelacur masuk).
PS           : Karena kamu orang baru… Ya sudah saya kasih gratis… Anggap saja ini sambutan perkenalan kita. Kamu mau yang bagaimana? Sketsa wajah??
RP           : (Menimbang-nimbang). Oke.. Sketsa wajah.. Tapi dalam satu tema… (agak lama). Sebut saja “RUANG!!!”
PS           : J Well “Ruang” (Ekspresi setuju).
RP           : (Mengamabil posisi sedang menulis). Kau bisa melukis saya tanpa saya harus diam seperti patung bukan??
PS           : Semacam mengabadikan gerak?? Ahhahaha… Saya coba.. J.
(Lanjutkan REFF lagu Padi)
GMP      : (Ekspresi datar, menerawang jauh). Hay… Anak gadis.. Kau seorang penulis bukan??? Kenapa pula kau minta dia melukis ruang?? Padahal cerita-ceritamu itu sendiri adalah ruang untuk banyak hal di dunia ini… (J getir).
RP           : (Bingung). Emmmm….. Maksudmu??
GMP      : Ya,, Narasi, cerita, kisah, atau apapun yang kau sebut… Semua itu memberi ruang bagi banyak hal dalam hidup. Ia mendobrak kakunya hukum dan idealisme, memberi bingkai bagi banyak peristiwa dan pengalaman, memberi forma bagi keping-keping kebenaran di sana-sini.. Ia mengabadikan segala sesuatu. Bagai air ia mengalir. (Getir).
RP           : Well. Saya percaya bahwa ruang itu ada. Dan saya ingin tahu sebesar apa dia ada dalam diriku. J. Paling tidak dari perspektif orang lain.. Yeah, dari mata dan hati serta gerak pena pelukis ini. J. (Sambil bergurau pada pelukis ini).
PS           : Hey, gadis malam.. Yang kau sebut penulis ini sedang mencoba membuka ruang bagi seseorang… Ahahaha… (Canda gurau).
RP           : (Malu-malu). Dari mana kau tahu?
PS           : Kau sedang menulis apa??
RP           : Cerita… J
PS           : Persis… Ahahahaha… Kau kurang pandai menipu… Sama seperti anak-anak muda lainnya..
GMP      : Tapi Kau harus berhati-hati. Ruang yang kau bangun dalam ceritamu tidak boleh mengekang    tokoh-tokohmu.. Cerita tetaplah cerita.. Selalu punya sudut pandang yang terbatas.
PS           : Dan sudut pandang itu bisa menjadi batasan… Kau harus bangun kesadaran bahwa apa pun ceritamu, dia harus bebas diinterpretasi.. J.. (Beralih perhatian ke GMP).  Dia masih terlalu muda gadis malam…
GMP      : (Tersenyum penuh kasih). Pencarian!!! Khas anak muda!! J
PS           : (Agak sedikit berdiri. Menjelaskan kepada PS). Kau lihat! Gadis malam ini. Dia punya kamar indekos di ujung taman ini. Itu ruang baginya. Dia bisa telanjang berjam-jam dengan siapa pun di dalam sana. (Sambil bercanda pada Gadis Malam Pelacur).
GMP      : Ruang itu jorok di mata banyak orang. Namun, sebagian besar keprihatinan, kesedihan, air mata, pengkhianatan, ketidaksetiaan, dendam, nafsu, kerapuhan, kesendirian, tertuang di sana.
PS           : Tanpa dia sendiri mendapat apa-apa.
RP           : Itu namanya tidak adil!!!
GMP      : Walaupun, bahkan Dia yang sering disebut Tuhan itu memberi ruang untuk yang kau sebut ketidakadilan di dunia ini. (J Penuh kasih).
PS           : Yang seharusnya diisi oleh keadilan tapi nyatanya terbalik J (Mengafirmasi).
GMP      : Kita mungkin mengarahkan apa saja yang kita bangun pada tujuan yang baik. Tapi kebetulan selalu ada.
RP           : Kenapa tidak kita hapus saja ruang-ruang yang tidak perlu itu.
PS           : Itu berarti kau mati!!!! Ahahahaha
RP           : (Bingung)
GMP      : Tuhan atau siapaun Dia, tidak menciptakan ketidakadilan. Tetapi dia sadar bahwa yang dia ciptakan punya peluang untuk melakukan sesuatu dengan implikasi-implakasi tak sadar, tak terkontrol dan tak terhindarkan seperti ketidakadilan itu. Kita mungkin tidak bisa dipersalahkan karena kebetulan itu. Tapi implikasinya tetaplah tanggungjawab kita. Makanya ruang itu ada. Namun kita tetap harus mengusahakan keadilan itu sedapat mungkin, tanpa sekali-kali mengafirmasinya dengan apa yang kita sebut kelemahan manusiawi. Itu yang terjadi dalam ruang dialog, komunikasi atau apapun sebutannya. Itulah yang disebut tobat dan ampun.. J
PS           : (Melihat pada RP) Kau ngerti?? J
RP           : (Menggeleng).
PS           : Hei pelacur!! Dia tidak ngerti… (Agak sedikit terbahak-bahak).
RP           : Hei awas lukisanku rusak!!!
GMP      : Ruangmu adalah narasimu. Dan Narasimu adalah ruangmu. Mereka tidak bisa saling memenjarakan!! Mereka harus sekaligus bisa diakses dengan bebas dan tersembunyi dengan apik. J Tanyakan pada pelukis itu dia paling tahu soal yang terang dan yang gelap.
PS           : Lukisan ini harus punya warna gelap dan terang. Tempatkanlah pada tempatnya  dan terwujud harmoni!! Yang gelap yang tampak dan yang terang yang tersembunyi!!
RP           : (Semacam menemukan pencerahan). Bahkan saat kita bersama pun sisi terang kita yang tampak menyatu dan sisi gelap kita, tetap menjadi milik kita masing-masing. (Agak hening). Yang gelap itu???
GMP      : Tidak selalu negative. Itulah ruang tempat kita sendiri, telanjang, menjadi!!!

PS           : (Menunjuk pada pelukis). Itulah kamarmu!
RP           : Itulah Lukisanmu (mennujuk pada PS)
GMP      : Itulah ceritamu ( menunjuk pada RP).
Semua  : ITULAH RUANG KITA!!!!

(Bagian ini bisa ditiadakan)

GMP      : Tamuku sebentar lagi dating. Aku harus pamit.
RP           : Selamat berbagi Ruang
PS           : Ingat, sampai seok pagi menjelang jangan kau kurung dirimu dalam kamar itu
GMP      : Dan kau!!! Jangan kau lukis masa lalumu pada setiap wajah yang kau gambar!!!
RP           : Heii.. Pelacur!!! Bagaimana dengan aku??
GMP      : Apapun yang kau nanti tetaplah kau nanti. Apa yang kau bangun tetaplah kau bangun. Sampai tiba waktunya, ceritakanlah kisah-kisahmu!!
PS           : Jangan kau bawa mati. Dengan begitu dia bisa abadi… J Kami menanti!!!
SEMUA : RUANG!!!!!!!
Lagu      : Uncle Jim


Wairklau, 18 (16:30)-19 Oktober 10:00) 2014;
Ditulis untuk Vigilantia Teater
With a Great Love, in front of The Never Closed Window.
J J J J J