Menyimak Khotbah (Apresiasi dan Kritik atas Pementasan ‘Khotbah’ oleh Teater Aletheia Ledalero)

Adegan Imam Diadili oleh Para Malaikat Maut dalam Pementasan 'Khotbah' oleh Aletheia Teater Ledalero. Foto oleh Ferer Dede, SVD.



Suasana hening, gelap, dan pekat pecah oleh suara fu dan gemuruh ombak yang langsung disambar oleh lengking nada sopran seorang wanita:

“seribu kemarau aku berlayar mengarungi tujuh samudera
seribu hujan menerpa perahuku, hingga di Kaimana aku berlabuh
sejuta ikan di biru lautan, janji sebuah masa depan
di bawah dahan pepohonan rindang aku sandarkan sejuta impian”

Sayup-sayup suara yang terdengar sampai pada puncaknya, ketika wanita cantik nan anggun bagai bidadari dalam balutan gaun putih, yang semula bernyanyi sambil berbaring di atas pembaringan dari kain hitam bertaburan bunga dengan lampu sorot berfokus kepadanya, berdiri dan menuntaskan nada serta syair bernuansa archipelago tadi:

"dengarlah kawan oh dengarlah
ini dongeng batu riwayatku
dari arah terbit mentari, jauh di ujung cakrawala
bersama angin aku datang mencari arti kehiduapan".


Syair berakhir. Cahaya kembali padam. Suasana gelap, pekat dan sunyi kembali tercipta. Setelah agak lama, dari kejauhan, timbul titik cahaya dari sebuah lentera sederhana. Seorang lelaki tua renta, lirih berteriak, “Eli.. Eli.. Lamasabaktani?” Lelaki itu tertatih-tatih berjalan mengitari semua orang yang memerhatikannya. Di wajahnya tergurat lukisan kebingungan juga kecemasan. Lenteranya diangkat tinggi-tinggi, ia mencari-cari sesuatu-entah apa, di balik mata-mata tajam dan siluet wajah-wajah yang terus mengikutinya. Dengan nada pasrah dan letih, berulang kali ia meneriakan hal yang sama, “Allahku, Ya Allahku, Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?”

Lelaki tua itu terus berjalan. Sampai pada satu titik, tempat semua mata bisa tertuju kepadanya, ia berhenti. Kelelahannya tidak sempat ia pulihkan. Di hadapannya, pada sebuah layar putih, ditampilkan potongan-potongan video dan gambar tentang anak-anak busung lapar, tentang perempuan-perempuan yang dijual seperti bawang merah, tentang ODHA yang sekarat tetapi tidak mendapat perhatian, tentang kemewahan WTC yang runtuh seketika setelah ditabrak dua buah pesawat yang dibajak teroris, tentang darah dan mayat-mayat yang tumpah-ruah bergelimpangan akibat kebrutalan ISIS. Melihat semua itu, lelaki tua renta tadi berteriak lirih “Eli! Eli! Apakah aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang? Dalam matamu, Engkau meninggalkan aku. Dalam pikiranmu, Engkau meninggalkan aku. Dalam hatimu, Engkau meninggalkan aku!” Beberapa kali setelah meneriakan kata-kata dengan nuansa serupa, dia meninggalkan semua mata dan telinga yang memusatkan perhatian kepadanya. Hatinya seperti hancur berantakan.

Adegan berganti. Dentang lonceng terdengar. Beberapa orang yang memerankan sosok umat tampil dan menuju panggung utama. Mata mereka di tutup dengan kain putih yang diikat melingkari wajah. Sesaat setelah itu, chapel organ berbunyi, lantas melatari paduan suara yang menyanyikan lagu “Zadok The Priest”. Nyanyian gubahan George Frideric Handel itu mengiring perarakan masuk imam dan para para putra altar. Misa dan berbagai ritual yang ditampilkan lewat gestikulasi tubuh imam dan para putra altar pun dimulai. Sampai pada bacaan Injil, lampu panggung kembali redup. Kisah dari Injil Lukas tentang ‘Orang Samaria yang Baik Hati’ (Luk 10:33-37), yang sedianya dibacakan oleh imam dipentaskan secara teatrikal.

“Saudara-saudara yang mencintai Tuhan! Sekarang kita bubar! Hari ini tidak ada khotbah!”, dengan nada angkuh, imam berkata-kata dalam kesempatan khotbahnya. Beberapa kali imam meneriakan hal ini, menyuruh umat bubar. “Lihatlah aku masih muda. Biarlah aku menjaga sukmaku. Silahkan bubar. Ijinkanlah aku memuliakan kesucian. Aku akan kembali ke biara, merenungkan keindahan ilahi”, sang imam memelas, berusaha membenarkan pilihannya. Bisik-bisik terjadi di kalangan umat yang kebingungan, tetapi tidak beranjak dari tempat duduk. Imam menyerah, dengan kesal mengalah dan memulai khotbah.

Kata-kata meluncur keluar dari mulut imam, seperti mengalir begitu saja tanpa pertimbangan. “Saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama. Hidup memang berat. Gelap dan berat. Kesengsaraan banyak jumlahnya. Maka dalam hal ini kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra!!! RA-RA-RA, HUM-PA-PA, RA-RA-RA!!!” Umat kaget, bingung dan tidak mengerti. Mereka mengulangi desis-desis aneh di akhir khotbah. Beberapa kali imam mengeluarkan kata-kata kosong, dengan desis-desis aneh yang sama di akhir kalimat-kalimat itu, dan langsung disambut umat dengan respon melawan. Di sela-sela dialog antara imam dan umat, terdengar suara gemuruh. Paduan suara menyayikan petikan lamentasi “Yerusalem, Yerusalem, Berbaliklah…” Mendengar itu imam kaget dan ketakutan, tetapi tidak menghentikan khotbahnya.

Klimaks dari teater ini adalah kemarahan umat. Umat marah dengan desis-desis aneh yang memenuhi ruangan Gereja saat khotbah. Umat menghancurkan tempat perjamuan. Altar dibanting. Lilin dipatahkan. Buku-buku misa dibuang. Para putra altar lari ketakutan, kecuali imam yang berdiri dan asyik dengan dirinya sendiri. Para umat kemudian jatuh bergelimpangan di seputar altar perjamuan. Kain yang menutupi mata mereka dibuka. Mereka menatap layar yang menampilkan berbagai ketimpangan seperti yang dilihat pria tua renta yang mencari Eli. Mereka menjerit. Seperti sedang kesurupan, mereka berteriak-teriak mengeluhkan penderitaan mereka.

“Tuanku yang saleh, sudah berakhirkah khotbahmu? Mengapa kami masih lapar? Masih sakit? Masih kecewa? Sabda-Nya, ‘Yang makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, tak akan lapar dan haus untuk selamanya!’ Grrrrr! Grrrr! CHA! CHA! CHA! Tidak ada Tuhan di sini! Kita semua manusia dan kita lapar akan cinta. Mari kita santap imam kita! CHA! CHA! CHA!” Umat marah. Imam mereka hajar hingga sekarat dan tak berdaya, seperti orang yang dirampok dalam Injil yang dibacakannya sebelumnya. Lalu mereka meninggalkan imam itu sendirian, merana.

Adegan beganti. Para malaikat maut berjubah coklat dan berkapus menutupi kepala masuk dengan obor di tangan, memecah kegelapan yang muram. Dari mulut mereka terdengar lirih penggalan lamentasi, “Lihatlah Raja penguasa dunia datang. Ialah yang akan membebaskan kita dari belenggu perhambaan”. Mereka datang mengelilingi imam dan mengadilinya. Terjadi dialog. “CONFUTATIS!!! MALEDICTIS FLAMMIS ACRIBUS ADDICTIS!!!”, berulangkali para malaikat berteriak. “Voca me! Voca me cum benedictis! Oro supplex et acclinis. Cor contritum quasi cinis. Gere curam! Gere curam! Gere curam!”, imam memelas memohon pengampunan. Adegan ini terjadi beberapa kali, hingga pada akhirnya para malaikat pergi meninggalkan imam. Nyawa sang imam tidak jadi dicabut, ia diberi kesempatan untuk bertobat.

Adegan diakhiri dengan masuknya koster untuk menolong sang imam. Namun, sebelumnya, lelaki tua renta yang memegang pelita hadir dan menyampaikan monolog. “Kami adalah putra-putri penderitaan dan kalian adalah putera-puteri kesenangan. Kami menangis, menyebar simpati, tetapi kalian adalah putra-putri kesenangan dan tak ada yang kalian dengar selain denting piala-piala anggur kesibukan kalian setiap hari”. Setelah lelaki tua renta keluar dari panggung, dan koster telah menolong sang imam serta memperbaiki ruang perjamuan, masuklah para umat yang tadi membuat kerusuhan. Imam menerima mereka di gerbang ruang perjamuan dengan memeluk dan mengecup mereka satu per satu. Selanjutnya, dengan bantuan koster, imam menanggalkan kasulanya, dan mulai membasuh satu per satu kaki dari para umat sebagai bentuk rekonsiliasi. Keseluruhan pentas ditutup oleh nyanyian We are The World yang dibawakan oleh seluruh penampil.

Lelaki Lusuh Menyampaikan Monolog. Foto oleh Dede Aton
Khotbah dan Krtik atas Dosa Klerikalisme

Sejak awal, disposisi batin para penyimak dan pemirsa teater ‘Khotbah’ telah dibentuk oleh lagu “Dongeng Batu” gubahan Ubiet, dengan nada-nada minor resitatif yang lirih dan menggugah afeksi. Eksplorasi yang dominan adalah aspek kesedihan, kemuraman, dan kemurungan. Hal ini dapat terlihat dari pencahayaan yang minim dan gelap, serta sosok lelaki tua, renta, lusuh yang juga membuka adegan demi adegan cerita dengan teriakan lirih. Suasana sedih itu juga dibentuk oleh tayangan video (slide show), dengan tema-tema yang sudah diarahkan khusus untuk memantik pemahaman pemirsa dan penyimak tentang makna keseluruhan tema cerita ini. Simpati para pemirsa dan penyimak khotbah coba dibangun. Pemirsa sudah dipersiapkan untuk menyelesaikan pentas teater dengan suatu perasaan haru dan prihatin atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dunia ini, tentu termasuk di dalam masyarakat dekatnya.

Adegan selanjutnya memaksa penyimak dan pemirsa ‘duduk manis’ dan mendengarkan. Teater ‘Khotbah’ menampilkan penggalan ritual misa yang pada dasarnya kaku, dan monoton. Secara visual-gestikulasi, hampir tidak ada yang menarik. Penonton yang datang dengan motivasi melihat sebuah pertunjukan hiburan (entertainment) sudah pasti akan ‘stres’. Namun, inilah titik pusat teater khotbah. Pusat ini bisa menjadi titik kehancuran, atau sumur bagi pemirsa mencerap keseluruhan isi (makna) pementasan. Titik kehancuran itu tercapai ketika pemirsa atau penyimak sampai pada perasaan bosan dan jenuh yang tidak teratasi, sebaliknya bisa menjadi sumur pemaknaan bila kejenuhan itu disertai dengan telinga yang terus terarah kepada verbal points yang terbit dari mulut imam.

Terlepas dari pendapat masing-masing pemirsa dan penyimak, satu hal menarik yang terjadi pada pementasan teater ‘Khotbah’ adalah kejelian tokoh imam menyampaikan pesan-pesan khotbahnya yang kaku dan monoton itu dengan kemampuan yang membuat semua mata serta telinga tertuju kepadanya. Emosi penonton yang bosan dibuat semakin panas dengan isi khotbah yang amburadul dan berantakan. Emosi penonton yang memang ‘sudah dirancangkan’ untuk jenuh digali lebih mendalam oleh si imam. Pemirsa dan penyimak memang harus marah, harus, bosan, dan harus memiliki pandangan negatif tentang si imam, seperti kebanyakan penonton memberi pendapat mereka tentang tokoh nenek Tapasha dalam serial Uttaran. Dalam hal ini, dari segi persuasi, imam berhasil. Meski bosan, jenuh, dan jengkel, para hadirin memirsa dan menyimak.

Beberapa aksi teatrikal juga turut membantu membuat betah para pemirsa dan penyimak. Aksi teatrikal itu antara lain, penceritaan kembali kisah orang Samaria yang baik hati, disusul dengan kisah ratapan dan juga kemarahan umat atas imam. Justru, adegan kemarahan umat atas imam menjadi titik puncak seluruh cerita dalam teater ini. Dari dua adegan ini, jelas sekali bahwa, teater ini berupaya menggali aspek anarki dan kekerasan. Sampai di sini, secara umum teater ini cukup mampu menarik perhatian para penonton, terlepas dari pemaknaan yang dibangun masing-masing dari mereka. Pertanyaannya, mengapa teater-teater kita (beberapa teater yang sering muncul di wilayah Maumere), sering sekali mengeksplorasi adegan-adegan dengan nuansa anarkisme atau kekerasan?

Soal makna, hal yang paling menonjol yang ingin ditampilkan dalam ‘Khotbah’ adalah kritik terhadap klerikalisme. Klerikalisme oleh P. John Mansford Prior (dalam sebuah wawancara dengan majalah hidup) didefinisikan sebagai ‘kultur relasi kekuasaan yang disokong rupa-rupa kebiasaan yang meluputkan oknum klerus dari proses hukum. Artinya, kultur klerus yang memakai struktur-struktur intern Gereja untuk menetapkan, lantas mempertahankan relasi kekuasaan, serta relasi yang berpola superior-inferior. Misal, ketika skandal seorang imam terbongkar, tiba-tiba tahbisan menjadi lebih mahal daripada martabat si korban. kerapkali dikumandangkan seorkes retorika teologis, dipasang sederetan ketentuan kanonis untuk melindungi oknum klerus dan membungkam si korban”. Keasyikan mereguk kenikmatan yang berpusat pada diri (egosentris), merasa cukup-diri dan watak acu-diri, menjadikan kuasa dan otoritas sebagai pembenar adalah juga ciri khas kelirkalisme. Menurut Bapa Suci, klerikalisme akrab dengan legalisme, yakni kebiasaan menjadikan diri sebagai sumber tafsir atas kebenaran.

Dalam khotbah, aspek kelirikalisme ini bahkan sudah muncul dari distorsi rasa yang dibangun dalam suasana kaku, akting monoton, serta verbalisme yang dominan dan memakan waktu sangat lama. Karena itulah, tolak ukur keberhasilan teater ini juga terletak dari rekonsiliasi rasa. Artinya, kejenuhan yang timbul daalam diri penonton harus disembuhkan. Salah satunya lewat ‘pemaknaan yang sampai’. Dalam kejengkelan dan kejenuhannya, penonton harus pulang membawa sesuatu, membawa pesan yang berguna bagi kehidupannya. Penonton harus puas dengan makna yang ia peroleh. Sekali lagi, yang mengundang tanya dari teater ini adalah ‘mengapa aspek anarkisme dan kekerasan’ yang dipilih sebagai media pelampiasan, pelepasan, orgasme dari sebuah kebencian terhadap hegemoni kekuasaan klerus? Apakah memang aspek kekerasan dan anrkisme inilah yang paling dekat (menjadi latar belakang) dengan teks? Atau, anarkisme hanyalah simbol depresi dan kehausan yang sudah sampai pada level paling akut? Jika basis eksplorasi ini bercorak mimesis (ada dalam/tiruan dari psikologi umat empiris), bukan tidak mungkin teater ini memberi sebuah peringatan berharga bagi Gereja, terutama atas bom waktu yang ada dalam dirinya sendiri, entah bom waktu itu bercorak lokal atau universal.

Soal makna, teater ini menampilkan beragam makna yang tersebar dalam berbagai adegan, ucapan, hingga simbol-simbol (tata panggung, ritus, dll). Meski tujuan awal teater ini lebih sebagai otokritik atas tubuh klerus yang nyaman dengan status quo, pemirsa dan penyimak ‘sudah dipaksakan’ dengan makna yang lebih luas. Bias itu terjadi ketika pemirsa dan penyimak ‘Khotbah’ dihadapkan dengan video-video dalam slide show dan lagu dongeng batu yang secara semantik memiliki jarak pemaknaan yang cukup jauh dari keseluruhan isi cerita. Klerikalisme yang dimaksudkan dalam teater ini bisa merujuk pada sikap cuek Gereja terhadap situasi dewasa ini, situasi krisis yang tak teratasi, yang begitu banyak jumlahnya. Gereja dalam hal ini bisa dimaknai secara lebih luas, yaitu Gereja sebagai keseluruhan umat Allah. Hanya saja, hal ini bisa membuyarkan fokus otokritik terhadap klerikalisme. Hal lain, jika ingin konsisten, secara melodis ‘Dongeng Batu’ mungkin memberikan teror auditif yang berhasil menciptakan suasana. Namun, dari segi syair, makna dendang ini memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga dibutuhkan refleksi yang lebih baik (jika tidak ingin disebut pemkasaan) untuk sampai pada intertekstualitas pemaknaan dengan keseluruhan teater.

Hal lain yang perlu juga disoroti adalah makna Ekaristi yang terkesan terpenggal. Teater ini mengambil satu scene dari keseluruhan perayaan Ekaristi. Itu berarti, jika ingin konsisten, setelah liturgi sabda, masih ada ritus lain yang penting yang harus dilewati, khususnya Ekaristi yang menjadi pusat. Anehnya, dalam mengawali khotbah, imam dengan percaya diri berkata “Saudara-saudara yang mencintai Tuhan! Sekarang kita bubar! Hari ini tidak ada khotbah!” Ajakan kepada umat untuk bubar seakan-akan dipaksakan hadir dalam teks hanya dengan tujuan memperkuat eksplorasi emosi umat, sebab kalau pun tidak ada khotbah, toh masih ada ritus lain yang harus dijalani dan imam tidak seharusnya membubarkan misa di tengah jalan. Aspek hakiki Ekaristi yang dipertegas dengan memori pembasuhan kaki (mengutip peristiwa perjamuan malam terakhir) sebagai adegan penutup, seakan diperlemah oleh kalimat pertama khotbah imam ini. Skenario yang sama tentang figur imam yang terkesan dipaksakan juga muncul dalam kalimat, “saudara-saudaraku, para anak Bapak di sorga. Inilah khotbahku. Ialah khotbahku yang pertama”. Akan sangat sulit bagi kita menemukan referensi tentang imam baru, dengan karakter serta khotbah perdananya seperti ini dalam kehidupan nyata.

Lagu Usai Adegan Pengadilan Imam. Foto oleh DedeAton
Satu pertanyaan terakhir yang juga bisa saja timbul adalah apa memang rekonsiliasi antara imam baru yang mewakili klerus dan anarkisme umat, yang maknanya sulit sekali diterjemahkan secara konkret itu (meski secara historis Gereja pernah mengalami hal serupa), cukup hanya dengan saling menerima dan memaafkan? Jelas, klerikalisme sangat bertolak belakang dengan spirit kenabian. Tindakan pembasuhan kaki adalah simbol sikap profetis sebagai pelayan. Namun, klerikalisme juga memiliki dimensi yang luas untuk diatasi, termasuk dari sisi psikologi dan habitus umat yang membiarkan bibit-bibit klerikalisme tumbuh.

Terlepas dari banyak catatan tentang teater Khotbah, apresiasi perlu diberikan kepada Aletheia Ledalero yang dengan gemilang telah menyelesaikan pementasan teater ini. Sebagai informasi, teater ini dibawakan pada hari Selasa, 22 Maret 2016, dalam pekan suci sebagai bentuk refleksi kritis bagi Gereja sebagai umat Allah, dalam mempersiapkan diri merayakan Paskah. Kiranya, pesan ‘Khotbah’ terus menggema di hati para penampil, pemirsa serta penyimaknya.