Workshop Dekonstruksi (II)

Bagian II dari Rangkaian Performer Studio 2017
Fasilitator: Yudhi Ahmad Tajudin

Selasa, 18 Juli 2017

Latihan IV:
Semua peserta diajak berjalan ke sebuah tempat yang berjarak kira-kira 700 meter dari studio. Fasilitator memberi cermin kepada setiap peserta. Para peserta kemudian diminta berjalan kembali ke studio (ke posisi terakhir tempat mereka berdiri di studio sebelum fasilitator mengajak keluar) melalui jalan yang berbeda dengan yang dilalui saat datang. Para peserta juga diminta berjalan dengan posisi membelakangi tujuan. Cermin dapat digunakan sebagai alat bantu pengelihatan.

Para peserta sedang mendengarkan arahan tentang Latihan IV dari para fasilitator
Foto: Kurnia Yaumil Fajar-Dokumentasi Teater Garasi



Ada banyak kesan yang disampaikan oleh para peserta dalam kegiatan ini. Ada yang merasa pusing dan beberapa kali kehilangan fokus. Ada yang mengaku sedikit takut, ragu, dan cemas. Ada yang mengaku lebih berhati-hati. Ada yang mengaku aneh dan mengalami pengalaman ketubuhan yang berbeda dari biasanya.

Seperti latihan berjalan dengan mata tertutup, latihan ini pada dasarnya mencoba mengajak para peserta mengatasi ketergantungan akan mata, sekaligus memberikan pengalaman ketubuhan yang berbeda bagi seluruh tubuh dengan mengaktifkan sensor indera lain dan tubuh bagian belakang (yang sekali lagi, sangat jarang diaktifkan). 
Dalam workshop ini juga, Mas Yudhi menjelaskan pengalamannya dalam memahami teater, sekaligus menempatkan posisi teater Garasi (secara visi, teknis, maupun preferensi estetis), dalam sejarah perkembangan teater Indonesia. Menurut Mas Yudhi, dalam kesenian tradisi di Indonesia, khususnya Jawa, maupun dalam lanskap perkembangan teater terdahulu, terdapat pemahaman bahwa kesenian beririsan juga dengan sebuah sikap dan ekspresi spiritual. Praktik-praktik seperti puasa, mati raga, seringkali dijumpai sebagai bagian dari pengolahan hidup para seniman. Hal ini disamping beberapa praktik kesenian tradisi yang memiliki tekanan khusus pada keaktoran, misalnya seorang penari haruslah perempuan yang tidak sedang berada dalam periode menstruasi, atau seorang wanita yang tidak lagi bermenstruasi. Atau, seorang seniman haruslah pantang berhubungan seksual dalam jangka waktu tertentu sebelum sebuah pertunjukan dilakukan. Dalam perkembangan teater di Indonesia, praktik-praktik sejenis ini (puasa, matiraga) pun biasa dilakukan oleh beberapa seniman, atau sekurang-kurangnya dianjurkan dilakukan sebelum sebuah pertunjukan. Secara lebih rasional, praktik-praktik dalam kesenian tradisi ini menimbulkan resistensi, jika tidak dijelaskan alasannya. 

Dalam kajian dan analisis lebih lanjut, praktik-praktik dan latihan-latihan dasar seperti ini sebenarnya memiliki alasan yang dapat dijelaskan secara lebih rasional (meskipun tidak dapat disangkal sekaligus diterima begitu saja bahwa ada aspek keyakinan, yang sifatnya lebih personal dan spiritual). Praktik-praktik seperti ini sebenarnya menciptakan kondisi tertentu bagi pengalaman ketubuhan seseorang, dan menghadirkan kondisi yang lebih siap baginya (seniman) untuk hadir dalam sebuah pertunjukan. Misalnya, puasa tentu saja memberikan efek tertentu bagi tubuh, seperti meringankan tubuh, membuat tubuh lebih nyaman, dan sebagainya. Dalam praktik puasa juga, seseorang mau tidak mau dituntut untuk mengenali dan memahami kondisi tubuhnya, batasan-batasannya, dan juga kekuatan-kekuatannya. Keakaraban, penerimaan seseorang akan tubuh, kesiapan tubuh adalah hal-hal yang juga turut memengaruhi kualitas kehadiran. 

Dalam hubungannnya dengan ini, model-model latihan seperti berjalan mundur, atau melakukan hal-hal yang  berlawanan dengan kebiasaan (via negativa), adalah juga dekonstruksi. Dekonstruksi adalah juga sebuah pembongkaran kebiasaan lama, entah secara negatif (melakukan hal-hal yang berlawanan dengan yang biasa dilakukan), maupun dengan mengkondisikan pengalaman baru bagi tubuh. Sebagai contoh, jika sehari-hari menggunakan tangan kanan dalam aktivitasnya, seseorang bisa mencoba melakukan seluruh aktivitas dengan tangan kiri pada har-hari tertentu. 

Latihan berjalan mundur dengan bantuan cermin juga sebenarnya menghadirkan pengalaman visual dan spasial yang berbeda bagi tubuh. Kesadaran ruang tidak dibangun pertama-tama dari mata normal, tetapi dari 'mata cermin'. Bagian tubuh belakang diaktifkan untuk merespon ruangan, merespon kondisi-kondisi yang dihadapi dengan tubuh belakang. Dalam hal ini selain dibutuhkan kesadaran dengan intensitas yang lebih tinggi, juga terutama penerimaan akan disposisi tubuh dalam ruangan, dengan visi yang terkondisikan. 

Dalam latihan-latihan sejauh ini, yang ingin dijelaskan adalah yang dituntut pertama-tama dari seorang performer adalah kehadiran (presence). Kehadiran bukanlah suatu hal teknis, sesuatu yang dalam pertunjukan bisa 'diakali' dengan teknik tertentu. Kehadiran sebenarnya merupakan sebuah kualitas. Sebuah kualitas yang dapat dilatih salah satunya dengan terus-menerus mengaktifkan bagian-bagian tubuhnya, selain pikiran, dan emosi. Tubuh, sebagai medium ekspresi yang melekat dengan aktor/performer adalah hal yang umumnya pertama-tama hadir dalam pertunjukan. Indikator untuk mengukur kehadiran seorang performer adalah seberapa besar ia mampu menarik perhatian penonton, dan seberapa intens interaksinya dengan penonton berlangsung. 

Pemahaman lain yang keliru tentang kehadiran adalah kehadiran sama dengan acting. Hadir berarti berakting. Pemahaman yang berlebihan seperti ini bisa menjurus pada dua kecenderungan, yaitu overacting atau underacting. Perlu ditekankan lagi bahwa kehadiran sungguh jauh berbeda dengan akting. Kehadiran adalah sebuah kualitas yang lebih luas dan mendasar dari pada sebuah akting. Kehadiran melibatkan keseluruhan diri seorang manusia. Dalam tradisi Jawa (seni tradisi), kualitas kehadiran diindikasi oleh konsep-konsep, wiraga, wirama, dan wirasa. Dalam konteks latihan beberapa hari ini (performer studio), tubuh sebagai medium ekspresi yang melekat dengan performer adalah yang umumnya pertama-tama hadir, sebelum suara, dan pikiran. Karena itu penting sekali mengaktifkan tubuh.

Dari latihan-latihan yang dilakukan, kehadiran menjadi tidak maksimal karena beberapa alasan seperti rasa gugup, tidak yakin, dan terutama tidak menerima tubuh serta kondisi-kondisi yang melingkungi tubuh. Terlalu banyak berpikir juga menyebabkan kualitas kehadiran menjadi tidak maksimal.

Latihan V:
1. Para peserta diminta berbaring terlentang atau duduk dengan kedua kaki menjulur ke depan. Selanjutnya dengan instruksi fasilitator, para peserta diminta menyadari tubuh dan mengajak tubuh melakukan relaksasi. 
2. Setelah relaksasi, para peserta diminta untuk berjalan seperti yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari di area permainan yang sudah ditentukan. Kemudian secara random fasilitator memberi beberapa instruksi kepada para peserta, antara lain berjalan duakali lebih cepat, dua kali lebih lambat, dan berjalan normal. 

Setelah relaksasi (latihan V.1), latihan-latihan selanjutnya bertujuan untuk mengaktifkan kesadaran interaksi antara performer dan semua hal yang melingkunginya. Kesadaran akan ruangan, kesadaran akan spectator, kesadaran akan hal-hal yang ada bersama dalam suatu 'given circumstances' turut menjadi penentu kualitas kehadiran. Selain kesadaran, interaksi pun menentukan kualitas kehadiran. Gerakan-gerakan yang diperlambat misalnya, memberikan kesempatan bagi para partisipan untuk merasakan inci demi inci perubahan gerak dan perpindahan tubuhnya. Ditekankan pula sekali lagi disposisi diri yang 'menerima' lingkungan apa adanya, kemudian meresponnya sesuai kebutuhan. Dalam latihan ini juga ditekankan perihal pengaturan nafas. Pengaturan nafas membantu menjaga tubuh tetap rileks dalam menyadari, menerima setiap gerak dan perpindahan dan selanjutnya merespon lingkungan.

Latihan VI:
1. Para peserta diberi kesempatan 5 menit untuk menulis tentang dirinya, (biografi singkat). Biografi singkat tadi kemudian dihafalkan. Setelah dihafalkan, narasi tentang diri tadi kemudian dipresentasikan di depan para anggota lainnya. 
2. Masih dengan bentuk latihan yang sama. Beberapa hal ditambahkan dalam ruangan, seperti orang-orang, kursi, dalam beberapa posisi. 

Foto: Kurnia Yaumil Fajar-Dokumentasi Teater Garasi


Kesan awal yang dialami oleh para peserta beraneka ragam. Ada yang merasa bahwa struktur yang dibangun dalam training ini (prosenium) memengaruhi perasaan para penampil. Ada semacam rasa gugup dan tegang berhadapan dengan situasi seperti ini. Ada juga yang berpendapat bahwa nafas yang susah diatur memengaruhi presentasi penampil. Ada yang merasa bahwa tatapan 'para penonton' membuatnya gugup. Ada juga yang merasa tuntutan menghafal tulisan membuat penampilannya terlalu terpaku pada tulisan. Penampil merasa terlalu banyak berpikir.

Latihan ini sebenarnya bertujuan untuk secara sederhana merangkum beberapa latihan sebelumnya. Latihan ini mengarahkan peserta untuk coba hadir dalam ruang yang telah ditetapkan untuk memainkan narasi tentang dirinya sendiri. Satu hal yang ditemukan para peserta adalah dalam konteks presentasi di panggung, selalu ada jarak antara performer dan repertoar sekalipun  repertoar yang coba dipresentasikan adalah cerita hidup performer sendiri.

Pada latihan ini, peserta diarahkan untuk memaksimalkan kehadirannya. Para peserta diminta untuk selalu menyadari dan mengatur nafas, menyadari ruangan, menyadari interaksi dengan penonton, dan menjaga tubuh agak tetap rileks.

Selanjutnya, beberapa  improvisasi dilakukan, seperti menambah beberapa orang di panggung dengan pose tertentu. Pengembangan-pengembangan ini memengaruhi penampakan visual di panggung, yang kemudian berpengaruh juga terhadap interaksi dan imajinasi atas narasi-narasi yang mungkin direpresentasikan oleh penampakan visual yang baru tersebut.

Presentasi narasi diri dengan menambahkan beberapa unsur di panggung (Latihan VI.2)
Foto: Kurnia Yaumil Fajar-Dokumentasi Teater Garasi

Beberapa kata kunci dalam workshop dekonstruksi:
1. restored behaviour
2. truthful behaviour
3. akulturasi-inkulturasi
4. ordinary-extraordinary
5. kesadaran-kehadiran
6. conditioning
7. given circumstances

Workshop Dekonstruksi (I)

Bagian I dari Rangkaian Studio Performer Teater Garasi 2017
Fasilitator : Yudhi Ahmad Tajudin

Senin, 19 Juli 2017


Latihan I:
Tiap peserta diminta mengulangi kembali aktivitas yang dilakukan 4-5 menit terakhir sebelum kegiatan dimulai. Aktivitas itu dilakukan secara fisik saja, menyertakan benda-benda yang dibawa (properti), tanpa mengeluarkan suara. 

Pada dasarnya teater atau art performing, adalah sebuah peristiwa bersama. Dalam peristiwa bersama (latiahan I) yang dilakukan sebelumnya, sekurang-kurangnya ada beberapa unsur teater/pertunjukan yang dijumpai, yaitu ada aktor/performer, seperangkat aturan 'repertoar', ada batasan waktu, ada 'given circumstances' (lingkungan yang ditentukan). Kesan-kesan yang timbul dalam latihan yang dilakukan antara lain aneh, tidak sinkron (waktu, interaksi), tidak natural/wajar. Hal ini selain terjadi karena tidak adanya latihan, seorang pemimpin yang mengatur jalannya latihan, dan komunikasi/diskusi sebelumnya, juga terutama karena tidak jelasnya 'repertoar'/ teks/ ide cerita yang menjadi rujukan oleh masing-masing pelaku, yang juga mempengaruhi interaksi satu sama lain. Dengan demikian, referensi untuk menilai 'kewajaran' sebuah aktivitas pertunjukan adalah kesesuaiannya dengan repertoar. Repertoar atau teks, atau ide cerita itu sendiri dapat dikonsturksi dari berbagai macam sumber, seperti peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari (ordinary experience) dan hal-hal luar biasa (extraordinary things) seperti mitos, tradisi, dan lain-lain. Repertoar dan tubuh performer pada dasarnya selalu memiliki jarak. Jarak ini bisa didekatkan (proses embodiment) melalui latihan-latihan. Dalam proses kreatifnya, teater Garasi membedakan dua jenis latihan, yaitu rehersal, dan training (pre-ekspresivity). Rehersal adalah latihan yang dilakukan dalam rangka produksi sebuah teater, yang berangkat dari kosa tubuh performer, sedangkan training memuat aspek yang lebih luas yaitu latihan sehari-hari yang bertujuan memperkaya kosatubuh, yang bisa bersumber dari 'pengalaman tubuh', pengalaman membaca, pengalaman mendengarkan, dan berbagai macam pengalaman lainnya. Prinsip ordinary dan extraordinary juga berlaku dalam proses memperkaya kosa tubuh. Kosa tubuh, 'pengalaman ketubuhan' bisa bereferensi pada tindakan-tindakan yang biasa dilakukan sehari-hari, atau latihan-latihan ketubuhan yang berlawanan dengan tindakan yang biasa dilakukan sehari-hari. Teater Garasi menekankan pentingnya training, sebagai basis dari penghayatan keaktoran.

Berangkat dari pemahaman ini, teater/seni pertunjukan sesungguhnya juga disebut sebagai restored behaviour (perilaku yang dipulihkan) atau truthful behaviour dalam kaitannya dengan repertoar. Dan karena repertoar selalu memiliki jarak dengan modal-modal dasar yang dimiliki performer, maka perlu dilakukan sebuah "dekonstruksi" dalam tahap awal latihan menjadi seorang performer. Dekonstruksi adalah proses pembongkaran modal-modal dasar yang dimiliki oleh performer. Proses pembongkaran ini tidak bermaksud 'menghancurkan' yang sudah ada dan dimiliki oleh performer, tetapi lebih sebagai bentuk pengenalan dan usaha menyadari modal dasar yang dimiliki masing-masing performer.  Dalam produksi seni pertunjukannya, Teater Garasi selalu berangkat dari tubuh-suara-ide/pikiran, dari yang material-konkret, kepada yang abstrak.



Latihan II:
Mengambil jarak di luar studio Garasi. Setiap peserta ditutup matanya (diikat dengan kain hitam) kemudian diminta berjalan dari posisi yang sudah diacak oleh para fasilitator, menuju titik terakhir tempat masing-masing peserta berdiri sebelumnya. 

Mengapa tubuh perlu didekonstruksi?
Tubuh seseorang pada dasarnya memiliki sejarah. Tubuh yang ada saat ini adalah hasil dari sebuah pengkondisian yang berasal dari masa ke masa sebelum saat ini. Konstruksi tubuh saat ini sekurang-kurangnya dikondisikan faktor-faktor biologis, sosio-kultural, dan faktor-faktor geografis.

Dalam kaitannya dengan tubuh, proses dekonstruksi dimaksudkan untuk mengenali sejarah tubuh seseorang, kelemahan dan kelebihannya, sehingga, kesadaran akan tubuh ini bisa menjadi alasan bagi seorang performer 'berkompromi' dengan tuntutan-tuntutan repertoar. Lebih mendasar dari pada itu, pengenalan yang lebih mendalam akan tubuh sendiri membantu seseorang dalam proses mengaktifkan organ-organ tubuh yang lainnya, yang selama ini diabaikan, dan tidak bekerja atau tidak mengalami pengalaman ketubuhan tertentu.

Latihan II bertujuan untuk mengatasi ketergantungan akan mata sebagai organ paling dominan yang digunakan oleh seseorang, sekaligus merangsang para aktor untuk mengaktifkan indera-indera lain berhadapan dengan satu fokus (tujuan) tertentu.
Foto: Kurnia Yaumil Fajar-Dokumentasi Teater Garasi


Latihan III:
1. Para peserta berbaris. Ada seseorang yang berdiri lebih ke depan untuk menjadi model. Model melakukan suatu gerakan dan yang lain mengikuti gerakan tersebut.
2. Para peserta berpasang-pasangan, berdiri berhadap-hadapan. Yang satu menjadi model yang lain menjadi cermin. Ketika model beregerak, cermin meniru gerakan model. Gerakan menggunakan prinsip cermin. (latihan ini dibuat beberapa kali dengan menambahkan parameter jarak) 
3. Masih seperti prinsip nomor 2, tetapi kedua pasangan saling membelakangi. 


Ada dua jenis gerakan. Ada gerakan yang dinamakan akulturasi dan ada gerakan yang dinamakan inkulturasi. Akulturasi dan inkulturasi dalam kaitan dengan latihan ini memiliki definisi yang berbeda dengan yang berlaku umum. Akulturasi berarti gerakan yang diambil dari luar, yang ditiru, diadaptasi, dan dijadikan gerakan sendiri. Inkulturasi berarti gerakan yang dimiliki oleh seorang performer, yang diekspresikannya keluar dan dikembangkan terus-menerus. Agar tidak membingungkan, gerakan inkulturasi disebut dengan istilah improvisasi.


Latiahan 1 dan 2 dimaksudkan untuk melatih interaksi dan komunikasi antara performer lewat dua model gerakan tadi. Sedangkan latihan 3, memasukan indikator baru, yaitu tubuh belakang yang hampir pasti tidak pernah diolah. Mengolah tubuh belakang sama pentingnya dengan mengolah tubuh depan (yang seperti mata menjadi satu hal yang dominan dalam aktivasinya). Semua ini mesti dilakukan dengan intensitas yang lebih, yang tidak hanya mengandalkan mata, tetapi juga rasa dan intuisi. Latihan-latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehadiran seorang performer di atas panggung dan dimana saja ia berada.

Latihan III:
1. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kepada masing-masing kelompok secara bergantian diperdengarkan instrumen musik jazz. Para peserta dari masing-masing kelompok diminta untuk mendengarkan dengan seksama suara instrumen ini, kemudian menirukan bunyi yang ditangkap. 
2. Para peserta diminta membuat sebuah komposisi musik dari modal dasar suara yang dimiliki. (Pada pengulangan latihan ini, komposisi yang dihasilkan ditambah lagi dengan beberapa parameter seperti dinamika dan tempo).


Modal dasar kedua yang dimiliki oleh manusia adalah suara. Suara pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bersifat material-konkret, tetapi tetap memiliki sifat dan karakter fisikal, yaitu sebagai gelombang. Karena karakter fisikal inilah, suara bisa direkam. Manusia dapat menghasilkan suara melalui resonansi yang dihasilkan oleh pita suara. Meskipun secara 'sound' manusia memiliki keterbatasan, tetapi sebenarnya modal dasar suara ini bisa sekali dikomposisikan menjadi satu komposisi yang enak didengar (indah) dan bermanfaat untuk pertunjukan. Suara juga sebenarnya merupakan salah satu elemen penting dalam teater, khususnya yang menggunakan teks verbal (dialog maupun monolog). Dekonstruksi suara membantu performer melihat  dan mengenali batasan suara yang dimiliki oleh masing-masing performer, antara lain, warna suara, jangkauan nada, kekuatan, dialek, dan sebagainya yang juga ditentukan oleh faktor-faktor yang sama yang membangun konstruksi tubuh di atas.


Latihan III, sebenarnya menggali keterbatasan sekaligus mengoptimalkan modal dasar suara-suara yang ada. Sekaligus lewat latihan ini juga, para peserta diarahkan untuk memahami dengan seksama pentingnya kesadaran dan feeling akan dinamika, tempo, ritme, nada, interaksi setiap aktor (sumber bunyi adalah juga aktor, atau repertoar) dalam menghasilkan komposisi sebuah pertunjukan.


Refleksi Pribadi: