Tentang Agama dan Iman




Cum eadem spes
Sicut tua, te amo.
Spes me semper salvat
Cum religio non iam satis sit.

-----------------------------

Dengan iman yang sama
Seperti imanmu, aku menyayangimu.
Iman senantiasa menyelamatkan
Aku ketika agama tak lagi cukup.


Tentang syair ini, Mario Lawi pernah berterus terang, bahwa 'cinta beda agama'-lah yang melatari bangunan pemaknaannya. Namun, syair tetaplah syair, puisi tetaplah puisi. Penyair selalu sudah langsung mati ketika ia menyajikan syair yang ditulisnya (dengan otoritas pemaknaan) kepada semua yang mengapresiasi karya itu. Yang tertinggal hanyalah syair yang dihadapi oleh begitu banyak pembaca, penikmat, pendengar, dan semua yang memberi waktu untuk sekedar merenungkannya. Dengan demikian, makna tak lagi tunggal. Makna perlahan menyebar, merambat, membekas, di otak, hati, hingga gerak laku semua yang mengambil syair itu menjadi miliknya. Mario mungkin sudah mati bersama 'cinta beda agama-nya', ketika beberapa saat sebelum tulisan ini purna, syair ini menggema di langit malam halaman rumah Sonia.

Feurbach mungkin benar soal pernyataanya bahwa Allah adalah hasil proyeksi manusia-manusia yang kehilangan harapan dan daya untuk hidup. Manusia yang terbatas, selalu melihat diri dalam dualisme antara ketidakmampuannya, dengan sesuatu yang lain yang lebih luas dari kemampuannya. Manusia lantas memproyeksikan 'sesuatu yang tak terbatas' sebagai yang ada, berdiri sendiri, dan berkuasa di luar dirinya. 'Sesuatu yang tak terbatas' itu diberi karakter manusiawi, dipersonifikasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sosok patronis, tempat manusia meletakan segala beban dalam hidup yang keras. Manusia menyembahnya, menjadikan dia sandaran dan penopang: sesuatu yang menurut Feurbach menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri. 'Manusia mengakui dalam Tuhan, sesuatu yang diingkari dari dirinya sendiri'. Karen itu, manusia beragama yang menyembah adanya sesuatu yang disebut Tuhan selalu sudah terasing dengan dari dirinya sendiri.

Marx yang dicerhakan oleh Feurbach, pun tidak main-main mengeritik agama sebagai candu bagi masyarakat. Agama semakin meninabobokan manusia, yang secara negatif dalam kerangka pemahaman Marx dapat dipahami sebagai 'the suffering being'. Manusia sebagai makhluk yang terbatas, adalah makhluk yang menderita. Namun, Marx tidak hanya berhenti pada kritik terhadap agama. Menurut Marx, pelarian yang dilakukan oleh manusia selalu didorong oleh realitas yang tidak memberi jaminan kepada manusia untuk hidup sesuai dengan fitrah dan pilihan bebasnya. Kritik pada agama adalah tumpul, tanpa kritik terhadap sistem-sistem dalam masyarakat. Kritik terhadap surga adalah sia-sia, tanpa adanya kritik terhadap dunia. Marx ingin mengubah dunia, karena interprtasi selalu tidak cukup. Marx ingin agar realitas yang telah terdistorsi oleh kelas-kelas sosial, ekonomi kapitalis yang secara tidak langsung maupun langsung mendapat legitimasinya dalam agama dan kebudayaan, harus segera diakhiri dengan satu aksi revolusioner bercorak sosialisme ilmiah, demi tercapainya 'kerajaan kebebasan'. Bagi Marx,kesetaraan kelas adalah segalanya, dan manusia pada akhirnya adalah materi, dan selalu hanya materi. Manusia adalah economic animal.

Bagi Mario, agama bisa menjadi sangat terbatas. Agama bisa menjadi tak cukup. Bagi Mario, agama dalam arti tertentu bisa menjadi penghalang, atau tembok yang memenjarakan. Marx mungkin mendasari kritiknya akan agama dengan melihat situasi Gereja yang amburadul pada masa itu. Gereja yang menjanjikan pembebasan, justru melegitimasi ketertindasan dan tidak memiliki opsi terhadap yang menderita, kecuali pelajaran moral yang sama sekali tidak mengubah sistem dalam realitas masyarakat. Ini sudah barang tentu tidak akan mengubah taraf kesejahteraan hidup manusia. Kisah tentang Allah pembebas yang lewat nabi-nabinya, bahkan Putra-Nya sendiri membebaskan penderitaan para janda dan anak-anak yatim piatu agaknya hanya menjadi nostalgia semata. Marx meragukan keberpihakan Gereja, dan mempertanyakan janji kebangkitan jiwa-badan, yang selalu berarti manusia akan mengalami transformasi secara keseluruhan sebagai pribadi. Agama bagi Marx, menjanjikan sesuatu yang pada kenyataannya tidak dapat diusahakannya sendiri.

Marx mungkin akan semakin tertawa jika tahu, bahwa telah banyak manusia di dunia ini yang hidup dalam agama dengan suatu kesadaran palsu. Kesadaran palsu itu yang membuat manusia selalu membuat kapling-kapling eksklusif, mengidentifikasi dirinya sebagai yang lain dari yang lain, yang benar dari yang bidaah, yang baik dari yang buruk, dan yang suci dari yang najis. Marx akan semakin berbangga diri sembari mencibir ketika melihat doktrin-doktirn agama menjadi basis legitimasi berbagai jenis teror, pembunuhan, perang, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Agama masa kini adalah agama dalam ideal Marx, agama yang menjadi candu bagi masyarakat. Siapa saja yang hidup dalam candu, kemabukan, dan kesadaran palsu, berpotensi arogan dan reaksional jika berhadapan dengan yang lain, yang dianggap mengancam eksistensinya. Sekali lagi, Marx mungkin akan tertawa dengan sangat nikmat jika fenomena seperti ini bisa diamatinya.

Namun, apakah Marx bisa membatalkan, kalau manusia juga selalu punya apetitus naturalis, sebuah kerinduan (keterarahan) yang sifatnya alamiah kepada kebahagiaan dan kedamaian sempurna, yang selamanya tidak bisa dipuaskan oleh barang-barang ekonomis semata? Marx mungkin bisa menghapus kapitalisme pun secara utopis, tetapi apakah Marx, dengan sistem ekonominya bisa membatalkan sebuah factum primum, bahwa manusia secara ontologis memiliki keterbatasan yang paling radikal dari eksistensinya sebagai manusia, yang oleh karenanya selalu terbuka kepada Yang Transenden, sebagai cakrawala tak terbatas, tempat ia mengeksplorasi kerinduan-kerinduannya? Keterbukaan kepada Yang Transenden sebagai cakrawala yang tidak terbatas tidak serta merta membuktikan adanya Tuhan, tetapi juga tidak bisa membatalkan begitu saja adanya Tuhan. Intinya, manusia selalu melebihi yang materi semata. Manusia selalu bermatra epistemologis, etis, dan estetis.

Dan iman selalu hadir sebagai sebuah keberanian berkonsistensi terhadap sesuatu yang diyakini, yang juga selalu berpaut erat dengan harapan sebagai sebuah cakrawala, kaki langit kemungkinan dan cinta sebagai daya yang mempersatukan. Iman selalu menuntut adanya keterbukaan, merasakan sesuatu yang tak terbatas. Iman selalu berarti penyingkapan diri yang total terhadap sesuatu yang transenden, yang hanya bisa diterima keberadaannya dengan seluruh diri dan sangat pribadi. Iman pun menuntut adanya pemberian diri terhadap yang lain, kebersediaan untuk berkomunikasi dengan yang lain sebagai yang setara dalam komunitas kosmik.

Manusia tidak serta merta bisa direduksikan sebagai economic animal, tidak juga bisa dikerangkakan dalam tembok-tembok keagamaan yang sempit. Manusia adalah substansi dan subjek multidimensional yang tidak hanya bisa ditakar secara material, tetapi satu-kesatuan jiwa-badan yang bertindih tepat. Materialisme Marx sesungguhnya kontradiktoris dalam dirinya sendiri, ketika di satu sisi berusaha mengkampanyekan kemampuan manusia mengenal esensi materialnya, dan dalam memprediksikan hakikat serta tujuan akhir sejarah, tetapi di sisi yang lain bersikukuh bahwa pengethuan manusia hanya bersumber dari hal-hal empiris, pengalaman indrawi saat ini. Manusia bukanlah makhluk yang menyerah pada determinisme alam. Manusia bisa melampauinya, dengan rasionalitas dan imannya. Manusia pun terbuka pada keterbatasannya. Manusia terbuka pada kekurangannya. Manusia mentransendensi dirinya, terbuka pada pelbagai kemungkinan kebahagiaan, kedamaian, dengan cinta sebagai kekuatan utama mencapai cita-cita kesempurnaan itu. Sehingga, dalam wujud yang paling nyata, keterbukaan itu melahirkan penerimaan kepada yang lain sebagai partner, sebagai sebuah penolong yang sepadan, sebagai yang satu dalam komunitas kosmik.

Manusia mungkin perlu agama sebagai panduan yang mengarahkannya untuk membuka diri kepada yang lain, juga kepada Yang Transenden. Agama yang statis, bisa menjadi penjaga ritme, pembentuk kebiasaan, dan juga bisa menjadi penuntun dalam membangun sistem nilai yang bisa dihidupi oleh manusia dalam keterbatasannya, dalam ruang serta waktu yang terbatas pula selama ia hidup di dunia ini. Namun agama lewat doktirnnya tidak bisa membatasi interelasi manusia sebagai yang sama-sama hadir dalam komunitas kosmik, yang selalu menuntut adanya komunikasi, saling pengertian, tenggang rasa, dan sikap saling berbagi. Iman lebih yang bersifat liquid, yang adequat dengan cinta serta harapan adalah penyambung asa, jembatan, dan landasan komunikasi ketika doktrin agama menjadi penghalang, sistem dan kelas ekonomi menjadi pemisah, dan perbedaan suku serta ras menjadi tameng untuk saling menutup diri. Manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, manusia bisa hidup tanpa kekayaan harta benda, tetapi manusia sama sekali tidak bisa hidup tanpa iman, harap, dan kasih sebagai satu kesatuan adequat yang menopang keterbatasn ontologis manusia.

Saya menulis ini ketika selesai menghadiri sebuah perayaan perpisahan seseorang yang baru saya kenal beberapa hari yang lalu. Tentu diupacara itu saya membacakan syair di atas untuknya. Saya tidak mengenalnya secara personal. Kami pun baru beberapa kali bercakap-cakap. Namun, dari kesan kolektif yang timbul, yang tentunya saya amati dari respon teman-teman saya yang lain, orang ini sejatinya punya keterbukaan yang luar biasa terhadap sesama saudaranya yang lain. Dia Muslim, dan sebagian besar sahabatnya (di sini) adalah Katolik. Dia tidak dari Flores, tetapi berbuat banyak bagi warga Maumere, lewat karya profetisnya sebagai dokter, lewat inspirasi dan aksi sosial-karitatifnya dalam komunitas Shoes for Flores, dalam kampanye-kampanye pedagogisnya di Radio Sonia FM, serta dedikasinya yang tulus dalam membangun persahabatan dengan orang-orang di sekitar. Dia akan berpisah secara fisik (pergi dari Maumere), tetapi akan sangat dekat dalam memori dan doa sahabat-sahabatnya di sini

Ini catatan ringan dari saya buat kenangan akan Mario dan juga buat Dokter Indah. Puisi Mario saya kadokan buat perjalanan dokter Indah. Penulisnya sudah mati, syairnya bukan milik dia lagi. Jadi, Bu Dokter Indah tidak perlu sungkan untuk membawa syair ini dalam kehidupan yang selalu menyediakan tantangan tak terduga.