PEMENANG TERAKHIR (CERPEN)


Lama sudah Rika terpaku, tak jelas menatap apa dari balik jendela kamarnya. Cuma ada satu hal yang dipikirkannya: Jo. Rika tak kuasa menahan air matanya setiap kali mengingat bagaimana ia dan suaminya begitu bahagia dengan kelahiran Jo. Ia adalah anak sekaligus malaikat yang telah menyelamatkan pernikahan Rika dan suaminya setelah selama sebelas tahun mereka bersama tanpa kehadiran seorang anakpun. Keduanya telah berjanji bahwa mereka akan menjaga Jo seperti menjaga biji mata mereka sendiri, karena seperti mata yang membuat mereka dapat melihat, Jo telah membuat Rika dan suaminya melihat sebuah alasan yang meyakinkan mereka bahwa mereka tidak pernah melakukan sesuatu yang sia-sia dengan pernikahan mereka, selalu ada satu hal berharga yang membuat apa yang  dilakukan dengan cinta yang tulus berhak dipertahankan sampai kapanpun.  
            Perasaan bersalah sekaligus sedih dan marah campur aduk membuat Rika menyesali pertemuannya dengan teman-teman perkumpulannya itu. Pertemuan dengan perkumpulan itu telah mengubah seluruh hidupnya, termasuk juga pernikahan dengan suaminya itu. Rika telah bertahun-tahun mencari jawaban yang bisa menghentikan pertanyaan yang terus dilontarkan suaminya, kapan kita bisa punya anak? Rika tahu ia tidak bisa marah mendengar pertanyaan itu walaupun sesungguhnya pertanyaan itu terlalu menyakitkan buatnya. Bukan karena dia tidak bisa memberi anak, melainkan karena dia tak tega meminta suaminya menunggu sepuluh tahun lamanya. Seandainya kelak anak itu datang, bagaimana mungkin Rika dapat meyakinkan bahwa inilah anak yang mereka nantikan selama lebih dari sepuluh tahun. Tapi apakah pantas ia menyesali pertemuannya itu. Pertemuan yang sungguh membuatnya mampu melihat hidup ini dengan lebih baik.
            Rika memang sejak lama tahu bahwa penglihatan manusia banyak kali menipu. Apa yang tampil di hadapannya kadang  justru hanya jebakan yang menghantar pada petaka jika dia mencoba percaya begitu saja. Itulah yang selalu membuat Rika gelisah, bagaimanapun juga dunia ini tidak mungkin berisi kebohongan saja. Apa jadinya kalau dunia ini didirikan di atas kenyataan yang semuanya palsu? Mengapa kita bisa mengatakan sesuatu itu palsu atau tidak? Rika ingin sekali mencari sesuatu atau seseorang yang bisa membuatnya mampu melihat kenyataan dan khayalan tanpa perlu mempersalahan siapa-siapa.
***
            Mereka tidak pernah sepakat bahwa mereka harus mencari cara menolong orang lain dengan menceritakan apa yang merekalihat. Mereka yakin, merekalah yang pertama-tama harus disembuhkan. Menyebarkan ketidakpastian yang membuat orang lain cemas hanya akan menambah luka yang membuat mereka semakin menderita. Beberapa di antara mereka sangat yakin bahwa hidup dipelajari supaya kita bisa mengalaminya dengan damai, tak perlu bertengkar dengan hidupmu sendiri. Itulah yang sempat membuat Rika sadar bahwa sesuatu dalam dirinya ingin melawan apa yang diyakini teman-teman perkumpulan. Mengapa kita mesti mengalami ini semua jika sejak awal kita hanya ingin yakin bahwa kita tidak bisa berdiskusi dengan kehidupan ini? Apakah kehidupan ini memang begitu kejam sampai tak memperbolehkan kita memberi pertimbangan padanya?
            Seperti biasa, selasa pertama setiap bulan, mereka berkumpul lagi. Orang-orang yang yakin bahwa mereka mempunyai kemampuan lebih dalam melihat kenyataan hidup di dunia ini. Justru dalam kegelapan dan kekaburan, mereka mampu melihat dengan begitu jelas. Awalnya mereka tidak memberi nama untuk perkumpulan mereka itu. Setelah beberapa pertemuan, semua akhirnya sepakat memberi nama untuk perkumpulan ini. ”Perkumpulan Sebelum Berjaga”. Nama itu memang kedengaran aneh, tapi mereka semua sepakat itu nama yang paling cocok, karena mereka selalu bisa  melihat sesuatu bahkan sebelum berjaga.
Perkumpulan itu dimulai ketika Yoman dan Marta bertemu di kampus tempat mereka kuliah. Singkat cerita mereka akhirnya bercerita tentang pengalaman mereka yang mirip. Lalu, muncullah ide untuk bertemu sekali sebulan dan mulai berbagi apa saja. Mereka kemudian sepakat untuk menerima siapa saja yang ingin bergabung sebab mereka tahu betapa berat penderitaan yang harus dialami ketika orang-orang tidak percaya pada apa yang sungguh-sungguh dialami seseorang. Maka bergabunglah kemudian Rora, Fandy, Iki, dan Rika. Sudah hampir lima tahun mereka menjalani hari-hari perkumpulan yang sangat menolong mereka. Setidaknya mereka bisa lega karena mereka bukan satu-satunya orang aneh di dunia ini. Mereka selalu merindukan setiap pertemuan karena mereka tidak hanya sekedar berbagi, tetapi mereka  menjadi semakin mengenali diri masing-masing dan bagaimana mengenali sesuatu yang bersemayam dalam diri mereka yang membuat mereka berbeda dari orang-orang lain.
Dan kini giliran Rika berbicara. Tidak ada paksaan dalam bentuk tema pembicaraan yang harus membingkai seluruh isi pembicaraan. Rika bisa berbicara apa saja, bebas mengutarakan pendapatnya tentang siapa atau apa saja, bahkan juga menceritakan hal remeh-temeh yang  dialami di rumahnya. Setelah itu, yang lain bisa memberi komentar. Rika ingin membicarakan sesuatu yang penting hari ini. Dan Rika tidak perlu berpura-pura lagi. Salah satu atau bahkan kebanyakan mereka sudah tahu bahwa Rika memang akan membicarkan sesuatu yang amat penting bagi hidupnya sendiri dan terutama, bagi kehidupan perkumpulan ini.
            “Apa kabar Rika hari ini?”, Yoman segera membuka percapakan ketika Rika mengambil tempat.
            “Baik. Aku ingin berbicara sesuatu yang penting sekali hari ini”
            “Tentu saja, kami juga sudah tidak sabar. Kau kan jarang bicara yang penting-penting”, timpal Marta sambil tersenyum kecil”
            “Baiklah. Pertama sekali aku ingin menceritakan apa yang aku lihat akhir-akhir ini. Kalian semua tahu bagaimana aku dan suamiku memperjuangkan pernikahan kami dengan susah payah. Dan aku lebih kesulitan lagi karena menanggung sesuatu yang tidak pernah aku ceritakan kecuali pada kalian. Semua itu berubah menjadi kegembiraan yang begitu berarti ketika lepas tahun yang kesepuluh Jo lahir. Kalian juga tahu bahwa Jo adalah satu-satunya alasan kami yakin bahwa kami tidak salah memilih.”
            “Kau melihat Jo atau suamimu?”, Rora segera menyerang Rika sebelum ia melanjutkan kata-katanya. Sesungguhnya, itulah pertanyaan yang tidak ingin didengarnya hari ini. Rika tak ingin semuanya menjadi begitu jelas seolah dirinya telah mengalami lebih dulu kenyataan yang tertunda, sebelum berjaga.
            “Jo telah mengatakan bahwa ini perjalanan yang sangat berarti baginya. Ia ingin membuat perayaan ulang tahunnya sepanjang perjalanan dan aku tidak bisa lagi menghentikan keinginannya. Kami terlalu lama mengurungnya di dalam rumah dan menjadikannya anak manis yang selalu patuh pada ayah dan ibunya. Kali ini aku tidak akan lagi menghalangi keinginan Jo. Ayahnya juga setuju bahwa sudah saatnya kami membiarkan Jo pergi bersama teman-temannya. Tapi aku tetap tak bisa mempercayai segala yang telah aku lihat dan aku lakukan”.
             “Kau hanya perlu menenangkan dirimu sebelum segalanya terjadi. Kaulah yang paling paham bagaimana cara berdamai dengan hidupmu sendiri. Ini memang pengalaman pertama yang akan segera mengubah hidupmu, tetapi kau tidak perlu merasa bersalah karena kau membiarkannya terjadi”.
            “Yoman, kalian semua juga tahu masalahku. Aku ingin bisa sebentar saja bisa mengutarakan pendapatku pada kehidupan ini”.
            “Dia tak akan mau kau ajak bicara. Kami sudah mencoba berulang kali”.
            “Lalu untuk apa kita semua duduk di sini dan sesumbar soal kelebihan yang kita miliki padahal sebenarnya kita ini jahat. Orang lain menginginkan  melakukan sesuatu supaya bisa menyelamatkan banyak orang, tetapi mereka tak sanggup. Sementara kita yang sanggup menyerah begitu saja. Bukankah kita jahat? Atau sebenarnya, kita hanya sedang asyik menikmati acara bioskop di sini? Kita ingin sungguh sadar sebelum berjaga bukan?”
            Semuanya diam. Iki dan fandy tak tega menatap Rika. Rora masih bengong menatap ke arah pintu. Ia seperti tak percaya pada apa yang barusan  dikatakan Rika. Lama mereka diam lalu Yoman segera membuka percakapan itu lagi.
            “Percayalah Rika. Hanya kau yang paling tahu caranya. Kami tidak ingin membuatmu kecewa. Tapi kau tidak bisa menyangkal bahwa apa yang kaumiliki dalam hidupmu tidak perlu menjadi alasan bagimu untuk tidak mempercayai hidupmu sendiri. Hidupmu sudah begitu bijaksana menempatkan segala sesuatu pada tempatnya di saat yang sesuai”
***
Sejak pertemuan terakhirnya dengan teman-teman perkumpulannya, Rika merasa tidak ada lagi yang harus dibicarakan dengan teman-temannya itu. Rika sadar dirinya ingin menjadikan segala sesuatu seturut kehendaknya dan itulah yang sekarang membuatnya menderita. Dia kenal betul dengan anak satu-satunya itu. Hingga usia limabelas, Jo tidak mahir bersepeda. Ia selalu diantar dan dijemput dengan mobil ketika hendak ke sekolah atau kembali dari sekolahnya. Rika tahu betul bagaimana anaknya itu telah bertahun-tahun menahan keinginannya untuk bisa membawa motor seperti teman-teman sekolahnya. Itulah sebabnya, Rika merasa tidak adil jika mereka menolak keinginan Jo agar dibelikan motor untuk dipakainya sejak ia berusia tujuhbelas tahun nanti. Jo ingin menunjukkan bahwa mulai hari itu, ia bukan lagi anak rumahan yag setiap hari harus diantar-jemput dengan mobil. Rika tahu semua keinginan anaknya itu.  
“Kamu mimpi buruk lagi ya?”
“Iya. Aku mimpi Jo”
“Kita bilang saja pada Jo, kita ganti hadiah lain saja.”
“Tapi nanti Jo bisa kecewa. Kamu tahu kan bagaimana gejolak anak muda seperti Jo. Dia pasti malu sekali pada teman-temannya. Apalagi mereka sudah janji membuat pawai untuk ulang tahunnya di jalanan”
“Aku tidak ingin percaya pada mimpimu, Rika. Tapi, kalau kamu tidak nyaman dengan semua itu, kita bisa bicarakan baik-baik dengan Jo”
“Tak usah. Aku baik-baik saja. Kau tahu kan kecemasan seorang ibu pada anak tunggalnya. Ini pertama kali kita melepaskan Jo ke jalanan. Jadi, wajar kalau aku begitu takut”
“Baiklah kalau begitu”.
***
             Jam sudah menunjukkan pukul duabelas lewat sembilan menit. Rika masih tak mau beranjak dari tempatnya sejak tadi. Suaminya tidak ingin berbicara banyak sebab ia yakin Rika tidak sedang memerlukan kata-katanya. Sambil memejamkan matanya, Rika menarik nafas panjang dengan sedikit tangis yang tak ingin dihembuskannya. Ada teriak yang panjang sekali keluar dari dalam tubuhnya. Rika semakin tidak kuasa menahan sesuatu dalam dirinya. Apakah aku harus menyesal?
            “Mengapa kau tak pernah mau kuajak bicara? Kau tahu bukan bahwa kau akan mengambil seseorang yang sangat berharga dalam hidupku. Mengapa kau mengambilnya dengan cara menipuku, mengajakku berdamai denganmu supaya kau bisa seenaknya memperlakukannya”, teriak Rika makin kuat menembus jendela dan dinding-dinding rumahnya, melesat begitu cepat entah ke mana, mencari-cari jawaban yang harus segera ditemuinya.
            Rika semakin hebat berteriak menyesali perbuatannya sendiri. Ia berbalik memandang suaminya yang juga sedang duduk diam menatap dirinya seja tadi.
            “Kau masih mencemaskan Jo?”
            “Iya. Ini semua salahku. Jo tidak begitu mahir naik motor. Dia juga tidak punya SIM dan aku tidak mengingatkannya untuk mengenakan helm tadi. Kau lihat kan tadi bagaimana motor-motor itu melaju begitu ngeri seperti di arena balapan. Bagaimana aku bisa tenang jika ada begitu banyak bahaya yang kubiarkan mendekati Jo?”
            “Rika, kita sudah tahu semua ini sejak awal. Kau ingin Jo bahagia, begitupun dengan aku. Karena itu, kita harus siap dengan segala risiko yang mungkin terjadi. Kau yakin Jo akan mengalami hal buruk pada ulangtahunnya?”
            “Ya, tapi setidaknya kita masih bisa mencegah itu semua sebelum terlambat. Kita bisa saja menjadi pembunuh Jo karena kita membiarkannya pergi menyongsong bahaya.”
            “Kenapa bicaramu seperti itu? Kalau kau yakin sekali bahwa Jo akan mengalami bahaya, mengapa tidak kau katakan itu padanya, ada apa denganmu Rika? Apa kau bisa melihat kehidupan ini begitu jelas? Apa yang sesungguhnya akan terjadi tidak benar-benar ada dalam jangkauan kita. Jadi, kau tak perlu merasa begitu ketakutan. Lagipula Jo tidak sendirian, ada teman-temannya yang ikut bersamanya”.
            Rika berbalik kembali tak ingin melihat suaminya. Sekarang teriaknya sudah habis. Hanya ngilu yang semakin menusuk dirasakannya di sekujur tubuhnya. Ia begitu ngeri membayangkan bagaimana semua ini akan berakhir. Dia sendiri telah melihat bagaimana semua akan terjadi dan berharap akan ada mukjizat yang terjadi.
***
            Sudah tiga tahun Rika meninggalkan perkumpulan dan tidak ada satu hal pun yang berubah dalam hidupnya. Kehilangan Jo bukanlah alasan yang membuatnya enggan bergabung lagi dengan teman-teman  ‘Sebelum berjaga’nya. Rika tak tega kembali dengan membawa luka yang sebenarnya bisa disembuhkannya sendiri, untuk disembuhkan teman-temannya. Tiga tahun sudah Jo, mutiara dan malaikat bagi Rika dan suaminya, meninggalkan mereka. Dan sampai hari ini, bagaimanapun, Rika tetap menanti jawaban dari teriaknya yang belum juga kembali sejak tiga tahun lalu. Teriak yang telah memekakkan semesta yang heran melihat Rika.

            Rika belum juga ingin mengakhiri perseteruannya dengan sosok yang disebutnya kehidupan. Rika masih tetap yakin bahwa kehidupan selalu ingin menang dengan cara apapun, termasuk cara yang curang. Kehidupan memberinya kemampuan mengetahui sesuatu yang buruk akan terjadi dan dia harus menerimanya, tapi kehidupan juga menyediakan padanya cara untuk mencegah semua itu terjadi dan itu berarti dia mesti melawan kehidupan yang selalu ingin menang. Rika merasa dikhianati oleh pilihan-pilihan yang disediakan kehidupan baginya. Seharusnya, Rika bisa menjaga dan menyelamatkan Jo, tetapi kehidupan selalu ingin menang. Rika masih tetap yakin, kehidupan selalu sadar lebih awal sebelum dirinya sempat berjaga. Dialah yang akan selalu menang pada akhirnya, karena Rika terlalu terlambat menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi.


(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar