Komunitas, Sastra, dan Kemanusiaan (Catatan Apresiatif untuk Festival Sastra Santarang)
Pada tanggal 2-4 Juni yang lalu, saya berkesempatan mengikuti Festival Sastra Santarang (FSS) yang diadakan di Kupang. Festival ini diselenggarakan atas prakarsa dan kerja sama Komunitas Dusun Flobamora Kupang dan Komunitas Salihara Jakarta. Bagi saya, festival ini merupakan salah suatu festival sastra besar dan berkualitas yang pernah diselenggarakan di bumi NTT. Festival ini sebenarnya merupakan suatu respons positif bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT, yang eksistensinya sudah mendapat pengakuan nasional bahkan internasional. Festival ini menghadirkan Ayu Utami, Hasif Amini, AS Laksana, para sastrawan NTT (Mario Lawi, Dicky Senda, Ishack Sonlay), akademisi, serta kepala Kantor Bahasa NTT dan diikuti oleh berbagai komunitas yang ada di NTT (Kupang, Maumere, Ruteng, Soe, Kefamenanu, dll.). Festival ini juga bertujuan mengobarkan kembali semangat berkomunitas (lintas bidang dan genre) kaum muda dan masyarakat NTT umumnya, serta membangun jejaring antar komunitas tersebut. Komunitas dan sastra sebagai topik festival ini dirangkum dalam berbagai kegiatan seperti sarasehan pengembangan komunitas-komunitas di NTT, seminar dan workshop sastra serta kepenulisan kreatif, pentas seni dan hiburan, serta media visit.
Geliat pertumbuhan dan perkembangan komunitas-komunitas dengan berbagai genre dan bidang gelutan di NTT menjadi fenomena yang harus direspon secara positif. Komunitas (Lat: communio) pada hakikatnya berarti persekutuan. Persekutuan ini sebenarnya membentuk persatuan dan kesatuan dari pluralitas individu (unity in diversity). Setiap individu dengan personalitasnya masing-masing membentuk komunitas atas dasar dorongan motivasi, cita-cita, tujuan dan idealisme yang sama. Lebih jauh, komunitas hanya bisa terbentuk apabila individu melibatkan diri dalam jalinan relasi yang terbentuk lewat komunikasi. Komunikasi yang ideal dalam suatu komunitas bersifat interpersonal. Menyitir Martin Buber, relasi antar anggota dalam komunitas hendaknya bersifat aku-engkau. Ada cinta sejati dalam relasi ini. ‘Yang lain’ diterima dengan segala keunikannya dan dianggap bernilai, sehingga diriku pun terarah kepada ‘yang lain’. Romo Amanche dalam makalahnya menegaskan hal ini dalam ungkapan menarik: ‘In and trough love, I make the others be and the others make me be’. Lewat komunitas, dimensi sosialitas seseorang ditopang, sekaligus personalitasnya mendapat tempat untuk dikembangkan. Komunitas menegaskan hakikat manusia sebagai makhluk personal-komuniter. FSS yang merekam geliat pertumbuhan komunitas-komunitas lintas bidang dan genre di NTT memberi ruang refleksi, diskusi sekaligus konsolidasi bagi komunitas-komunitas ini. Lebih jauh, FSS memiliki visi menjalin relasi ad extra serta jaringan antar dan inter-komunitas.
FSS sendiri menyadari dan menegaskan sastra sebagai instrumen yang baik dalam memberi sumbangan bagi perkembangan NTT. Jika dirunut lebih jauh, sejak dahulu sastra sudah menjadi suatu instrumen dalam pengembangan kepribadian manusia. Sastra dengan muatan epistemologis, estetis, dan etis berdaya guna dalam pembentukan karakter individu. Sebagai contoh, humanisme Eropa yang berlangsung pada abad 15 melihat litterae humane (sastra) sebagai paradigma segala pembentukan rohani manusia. FSS menilik secara khusus komunitas sastra yang dianggap memainkan peranan sentral dalam pertumbuhan dan perkembangan satra NTT. Sastra mungkin identik dengan karya personal, tetapi adanya komunitas sastra sebenarnya menjadi suatu ruang pematangan karya personal itu sehingga tidak hanya berdimensi subjektif tetapi menjadi milik semua yang mengapresiasinya. Komunitas bagi para pegiat sastra adalah keluarga, ruang mereka menjalin kasih persaudaraan, bertukar ide dan gagasan, serta saling mendewasakan lewat motivasi serta kritik demi produktivitas karya yang indah dan berguna. Komunitas-komunitas sastra sesungguhnya telah banyak berkembang di NTT, sebut saja Dusun Flobamora, Filokalia Seminari Tinggi ST.Mikhael, dan Rumah Poetica di Kupang, beberapa komunitas sastra di Ende yang digerakkan oleh mahasiswa UNFLOR dan pegiat sastra Ende, komunitas sastra di berbagai biara dan seminari di Maumere seperti Teater Tanya-Ritapiret, Aletheia-Ledalero, atau Vigilantia-Karmel, LG Corner di Ruteng, Lopo BIINMAFO, dan komunitas-komunitas sastra sekolah dan lainnya yang mungkin luput dari pengetahuan penulis.
Pada akhirnya semua komunitas yang ada di NTT, secara khusus komunitas sastra bisa berarti apabila mengusung suatu misi yang sama yaitu mengembangkan kemanusiaan masyarakat NTT dalam segala matranya (epistemologis, estetis, dan etis,). Pengembangan masyarakat NTT bisa menjadi roh penghubung komunikasi inter-komunitas di NTT. Komunitas-komunitas, secara khusus yang bergerak di bidang sastra, bisa menjadi motor perwujudan ide Aristoteles akan terciptanya suatu kota (polis) di NTT, yang kreatif dan membahagiakan karena memanfaatkan tiga dimensi fungsional sastra sebagai yang menghibur (paidia), membentuk karakter (paideia), dan memunrnikan polis dari aksi kriminalitas (katharsis). Kota yang demikian dapat menjadi tempat setiap individu mengembangkan potensi dirinya. Selain itu, melalui sastra, lokalitas NTT bisa diangkat ke permukaan, tidak hanya sebagai bentuk promosi tetapi suatu penegasan bahwa NTT bisa memberi sumbangan pemikiran bagi dunia lewat local genius-nya (epistemologis, estetis, etis) yang selalu memiliki dimensi universal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar