Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan Dunianya

Diterbitkan dalam buku 'Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar', Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT, pada Temu II Sastarwan NTT


Dalam berbagai diskusi, lokakarya, maupun kegiatan-kegiatan sastra lainnya di NTT, masih saja terdengar komentar-komentar serta asumsi-asumsi bahwa para penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan NTT ‘hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri’. Anggapan seperti ini umumnya timbul sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kurangnya gema dan efek dari daya transformatif-konkret karya-karya para sastrawan NTT terhadap kehidupan sosial masayarakat, atau mungkin juga karena faktor apresiasi-resepsi yang sangat terbatas dari masyarakat atas karya-karya para sastrawan NTT. Untuk memahami fenomena ini, mungkin perlu dibuat suatu kajian yang lebih komprehensif. Namun, secara lebih sederhana, jika saja fenomena ini dilihat dari sudut pandang yang lebih positif dan personal dengan mengacu pada karya-karya para sastrawan NTT, akan ditemukan suatu horizon pemahaman yang lebih positif tentang nilai sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’. ‘Sabtu Kelabu’, Sebuah Kumpulan Cerpen (2011) yang merupakan karya sulung penulis muda Erlyn Lasar, bisa menjadi suatu contoh yang menarik tentang dimensi sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’.

Sabtu Kelabu memuat tujuh belas cerpen Erlyn yang ditulisnya antara tahun 2007-2011. Erlyn yang dalam rentang waktu itu berusia belasan tahun (remaja), coba menampilkan cerpen-cerpen yang diangakat dari pengalaman hidupnya sendiri. Yang ada di dunia remajanya dan yang asyik digelutinya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi titik berangkat seluruh narasi yang coba ia bangun. Cerpen-cerpen Erlyn menampilkan wawasan yang luas dan refleksi yang tajam atas realitas sosial masyarakat, dari berbagai segi kehidupan. Meski demikian, dua hal yang bisa digali dari cerpen-cerpennya, terutama yang menyoroti realitas kemiskinan masyarakat dan upaya menggali lalu menegaskan jati diri-kebudayaan lokal NTT, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kematangan karya-karya Erlyn, tampak jelas dalam nuansa realisme yang dihidupkan dalam mayoritas cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang lugas, Erlyn mencoba membangun alur-alur yang indah, dengan berbagai gejolak yang merangsang rasa penasaran serta logika yang utuh dan konsisten tertata. Yang menarik, Erlyn tidak memaksakan diri membahas masalah-masalah yang diangkat dalam cerpennya dari perspektif di luar kapasitasnya, tetapi mencoba menatap masalah-masalah itu dari sudut pandang seorang remaja, lantas memberi ruang bagi para pembaca untuk menarik makna yang lebih dalam bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari sebagian besar tokoh dan penokohan dalam cerpen-cerpennya yang relatif berusia remaja hingga dewasa awal, dengan ketegangan kisah berlatar kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh dengan sudut pandang masing-masing.

Nilai sosial ‘keasyikan’ Erlyn dengan dunia masa remajanya yang sederhana di kota Yogyakarta dan Maumere melahirkan karya-karya yang mengangkat ke permukaan sekaligus mengeritik kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi antara yang kaya dan yang miskin dari sudut pandang kehidupan remaja. Dalam cerpen ‘Aku’, ‘Ah’, dan ‘Kejujuran di Jalanan’, Erlyn mencoba mengangkat kisah-kisah anak-anak pemulung dengan segala perjuangan hidupnya. Dalam cerpen-cerpennnya ini, Erlyn menarasikan impian-impian kecil anak-anak miskin tentang boneka, tentang sekolah, tentang mimpi membahagiakan orang tua, yang dikonfrontasikan dengan berbagai wacana dan program-prgram perlindungan hak anak, serta program-program peningkatan kesejahteraan hidup rakyat kecil yang cenderung sebatas verbalisme belaka. Terhadap realitas sosial yang miris sekaligus ironis ini, Erlyn memosisikan tokoh-tokohnya dalam berbagai disposisi batin: sedih, optimis, teguh dan terus berjuang. Lewat cerpen-cerpennya, jelas terlihat, ‘keasyikan’ Erlyn dengan masa remajanya yang penuh diwarnai oleh pemandangan kehidupan anak-anak pemulung dan orang-orang miskin, memuarakan seluruh refleksinya pada titik empati, solider, dan beraksi untuk menggemakan realitas ini ke tengah-tengah masyarakat pembaca. Realitas kemiskinan yang ditawarkan Erlyn dibalut dengan pelajaran akan tenggang rasa, kesetiakawanan, dan ugahari.

Erlyn juga memperkenalkan lokalitas NTT dengan berbagai cara. Filu Merah Putih, Maafkan Ryanti ‘Kak, Moan Henyo, Gadis Tumbal, dan Takdir Berhikmah, adalah contoh-contoh cerpen yang mengangkat lokalitas NTT lewat berbagai model penceritaan. Erlyn menceritakan kembali dongeng rakyat Ine Pare dari Palue, dengan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang sang ibu, dalam cerpen Takdir Berhikmah. Lewat cerpen ini, Erlyn memperkenalkan kembali mitos seorang gadis Palu’e yang mengorbankan dirinya sehingga menjadi padi yang dimakan bangsa manusia umumnya, tentang padi yang konon tidak dapat tumbuh di tanah Palu’e akibat nazar sang ibu, sekaligus menggali kembali nilai penghormatan yang tinggi akan kerja, dan segala bentuk pengorbanan demi mempertahankan kehidupan. Dalam cerpen Gadis Tumbal, diangkat kembali dongeng tentang kisah cinta Kapalelu dan Moan Jiro Jaro. Ada pesan pengorbanan, cinta yang dibalut dalam awasan untuk menjaga dan melestarikan alam.
Erlyn juga mengkonfrontasikan wawasan kedaerahan dengan wawasan nasional-nusantara dalam Filu Merah Putih dan Maafkan Ryanti. Kedua cerpen ini mencoba mengatasi sikap-sikap minder, inferior, dan kurang percaya diri anak-anak NTT akan jati diri kedaerahan mereka berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang kelihatan lebih maju. Filu merah Putih menampilkan keraguan seorang remaja yang menyaksikan ibunya mengikuti lomba memasak makanan tradisional, yang melibatkan ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya, saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Keraguan itu lenyap seketika, dan kepercayaan dirinya tumbuh ketika ia akhirnya tahu bahwa ibunya membuat kue filu khas Ende-Lio, makanan kesukaannya. Dengan cara yang berbeda, cerpen Maafkan Rianty ‘Kak, menuntaskan konfrontasi seorang remaja Maumere yang dibesarkan di tanah rantau dalam peradaban yang jauh lebih maju dengan kebudayaan tempat asalnya, lewat kesalahan kecil di acara pernikahan kakaknya. Nyata sekali, pengalaman Erlyn hidup di pulau Jawa, turut memberi rangsangan bagi kreasi cerpen-cerpennya ini. Kepada sesama saudaranya, Erlyn ingin menitipkan pesan agar berani dan berbanggalah dengan jati diri kedaerahanmu!

Buku ‘Sabtu Kalabu’, karya Erlyn Lasar bisa membuktikan bahwa ‘sastrawan yang asyik dengan dunianya sendiri’ bisa menciptakan sesuatu yang punya nilai sosial yang sangat tinggi. Bukankah hakikat sastra juga selalu berdimensi sosial, sebagaimana seni pada umumnya selalu bersifat dulce et utile? Sastra haruslah indah sekaligus berguna. Dalam bahasa Aristoteles, sastra sebagaimana musik, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang secara esensial memiliki aspek sosial dalam dirinya. Sastra haruslah bisa menghadirkan hiburan (paidia), membentuk karakter dan cara berpikir (paideia), dan memurnikan komunitas masyarakat dari hal-hal yang buruk secara moral (katharsis). Secara lebih ekstrem, Satyagraha Hoerip dengan ‘sastra terlibatnya’ ingin agar sastrawan tampil pada garda yang paling depan dalam upaya pendidikan moral bangsanya. Masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek sastra, ilham sekaligus tujuan, sumber sekaligus muara semua nilai yang diangkat oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka.
Keluhan bahwa sastrawan, khususnya para sastrawan NTT asyik dengan dunianya sendiri, sesungguhnya adalah unkapan dahaga masyarakat akan sastra yang terlibat. Jika sastrawan, penulis muda seperti Erlyn sudah menulis dengan idealisme sosial yang demikian tinggi, pertanyaan lai yang timbul adalah sebarapa dapat dan jauh usaha masyarakat mengapresiasinya?

2 komentar:

  1. Dede Aton, keren dan saya senang membacanya. Kalimat terakhir itu yang menohok sekali. Bagian dari tanggung jawab kita juga e. Salam kreatif. Kita tentunya menunggu karya Erlyn selanjutnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sedang pikir kapan ujian selesai. Dan kita realisasikan potongan-potongan mimpi kita :)

      Hapus