Memeperkenalkan Lokalitas NTT Lewat Sastra (Christian Senda)

Christian Senda sungguh percaya bahwa sastra memiliki daya yang sangat kuat sebagai media promosi daerah Nusa Tenggara Timur. Bagi pria yang akrab disapa Dicky ini, sastra efektif dalam mempromosikan NTT karena sastra selalu bebicara tentang nilai, tentang kemanusiaan, dan kehidupan itu sendiri. Hal inilah yang mendorong Dicky terus bergiat di dunia sastra, dan berusaha mempromosikan lokalitas Nusa Tenggara Timur lewat cerpen-cerpennya.

Dicky mengaku tetarik untuk menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai mengenal dan menggeluti sastra secara lebih baik ketika ia mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara, Ende. Menurutnya, iklim yang dibangun di sekolah itu sangat mendukung perkembangan kecintaan dan keseriusannya dalam menggeluti dunia sastra. “Ketika di Syuradikara saya beruntung punya kepala sekolah dan bapak asrama yang juga akrab dengan dunia sastra. Tentu saja dari merekalah saya berkenalan dengan beberapa tokoh sastra mutakhir lewat buku-buku yang dipinjamkan kepada saya. Saya ingat betul pertama kali menulis cerpen ketika selesai membaca Saman, novel Ayu Utami, milik seorang frater TOP di Syuradikara”. Proses kreatifnya dalam menulis mulai meningkat saat ia kuliah di Yogyakarta. Hal ini didukung oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku, sharing, dan diskusi serta pentas karya sastra. Ketika pindah dan menetap di Kupang pada 2012, Dicky lalu terlibat dalam suatu komunitas sastra, yakni komunitas Dusun Flobamora. “Di komunitas ini saya bertemu Mario Lawi, dkk. Pengaruh komunitas ternyata sangat luar biasa. Bergiat bersama di komunitas membawa pengaruh pada motivasi dan produktivitas. Banyak diskusi dan baca buku, tentu saja membuka wawasan dan justru membuat saya mulai peka dengan diri sendiri. Berkomunitas bukan saja mengasah kemampuan saya sebagai penulis, tetapi juga memberi kesempatan untuk berjejaring dengan lebih banyak orang. Sejak itulah saya mulai membuka diri dengan penulis lain khususnya dari luar NTT, termasuk berkesempatan ikut dalam beberapa forum atau festival sastra. Dari sana kesempatan terbuka lebar. Selalu ada semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri.”

Bagi sarjana psikologi ini, motivasi untuk mengangkat tema lokalitas NTT dalam karya-karya sastranya pertama-tama bersumber dari kehidupan keluarga. “Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat kental dengan lokalitas. Nenek saya orang Jawa, dukun beranak dan sangat lekat dengan tradisi serta ritual Kejawen. Keluarga besar bapak di Flores dan mama di Timor juga sangat lekat dengan tradisi. Sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Mollo, TTS, yang masih sangat kental dengan budaya suku Dawan. Semua itu telah memberi warna tersendiri bagi jejak karya saya selama ini. Ya, sejauh ini ide atau inspirasi menulis cerpen selalu berawal dari rumah, dari keluarga.”

Meski karya-karyanya sangat kental dengan budaya Timor dan Flores, Dicky juga mengalami kesulitan ketika ingin menulis tentang kebudayaan Dawan yang sangat menarik perhatiannya. Kesulitan ini salah satunya disebabkan karena ia tidak fasih berbahasa daerah. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya tidak diperbiasakan menggunakan bahasa daerah, baik Dawan maupun Flores. Ia juga menyadari bahwa generasi-generasi saat ini sangat ketinggalan dalam memahami budaya lokal. Untuk mengejar ketertinggalan itu ia melakukan berbagai riset dan wawancara dengan penutur-penutur asli yang kian sedikit jumlahnya. “Dari sana (riset dan wawancara) saya menemukan banyak dongeng dan mitos yang masih memiliki pengaruh besar di alam bawah sadar orang Mollo. Misalnya, kebanggaan bahwa orang Mollo adalah penjaga gunung dan hutan. Ada konsep ‘oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.’ Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Wilayah Mollo adalah gunung-gunung marmer yang menyimpan air bagi setengah dari pulau Timor. Maka tak heran ketika pemerintah membawa perusahaan tambang masuk ke Mollo, para penjaga hutan dan penjaga gununglah yang gigih mengusir penambang angkat kaki dari Mollo. Lewat sastra, tema-tema ekologi yang khas dari Mollo saya angkat kembali, baik di buku kumpulan cerpen Kanuku Leon maupun di buku kumpulan cerpen terbaru saya, Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Di buku baru ini, kayu cendana bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan konflik. Saya coba memperkenalkan Timor yang disebut ‘hau fo meni’—negeri berbau harum, dan cendana yang telah memasyurkan Timor ke Cina, Arab hingga Eropa.”

Dicky aktif menulis di beberapa media seperti Bali Post dan Jurnal Sastra Santarang. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan dalam antologi cerpen 5900 Langkah, dan antologi cerpen Kematian Sasando. Sejauh ini Dicky telah mempublikasikan tiga buah buku masing-masing sebuah kumpulan puisi berjudul Cerah Hati (2011), dan dua buah kumpulan cerpen berjudul Kanuku Leon (2013), serta Haukamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Ia juga terlibat aktif, baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event serta festival sastra, seperti Temu II Sastrawan NTT 2013, Makassar International Writers Festival 2013, Asean Literary Festival 2014, Festival Sastra Santarang 2015 dan Sumba Art Gathering 2015.

Selain bergelut di dunia sastra, Dicky juga berpartisipasi dalam beberapa karya sosial-edukatif yang digalakan oleh komunitas-komunitas kreatif di Kupang dan sekitarnya. “Saat ini saya tergabung di komunitas sastra Dusun Flobamora, setelah sebelumnya turut serta mengembangkan Komunitas Blogger NTT. Dalam bidang sosial-kemanusiaan dan pengembangan kaum muda, saya ikut bergiat di Forum SoE Peduli, #KupangBagarak, Solidaritas Giovanni Paolo dan Gerakan Mari Berbagi. Saya sangat menikmati hidup sebagai penulis dan aktif mendorong pengembangan kaum muda di NTT. Bersama dengan teman-teman, kami terus berjejaring dan mempromosikan semua potensi dan gerakan positif kaum muda di NTT lewat media sosial. Kami sudah membuktikan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu menyatukan simpul-simpul komunitas lintas daerah.” Bagi Dicky, pengalaman berjejaring dengan komunitas anak muda di berbagai daerah di NTT telah membuka banyak peluang kerjasama, kolaborasi ide, dan mewujudkan mimpi bersama-sama. Dicky pun telah mengalami betapa jejaring ini mampu memberikan kontirbusi luar biasa bagi pengembangan dan promosi NTT. Pria yang punya hobi memask dan nonton film ini berharap jejaring komunitas yang telah digagas anak muda terus dihidupkan dan mendapat berbagai dukungan dari pihak-pihak yang peduli akan pengembangan dan promosi NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar