MENCINTAI TUBUH, MENCINTAI ALLAH, MENCINTAI KEHIDUPAN (Refleksi atas Ajaran Teologi Tubuh Beato Yohanes Paulus II)



1. Biografi Singkat
Yohanes Paulus II yang bernama asli Karol Josef Wojtyla lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia Selatan. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 1 November 1946. Pada tanggal 13 Januari 1963 ia ditahbiskan menjadi Uskup Agung Krakow. Pada periode ini ia mengambil bagian secara aktif dan memberi banyak kontribusi dalam Konsili Vatikan II. Tak lama berselang tepatnya pada tanggal 16 Oktober 1976, ia dipilih sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma (Paus). Selama masa kepausannya, ia mengeluarkan 12 ensiklik. Ia juga telah mengadakan kunjungan pastoral ke 129 negara, mengadakan dialog lintas budaya, agama, kepercayaan dan  bahkan ideologi. Ia membeatifikasi 1.340 orang dan mengkanonisasi 483 orang kudus. Ia wafat pada tanggal 2 April 2005 lalu pada tanggal 19 Desember 2009 dinyatakan sebagai venerabilis. Kemudian, Paus Benediktus XVI sebagai penggantinya membeatifikasinya pada tanggal 1 Mei 2011.

2. Intisari Ajaran Teologi Tubuh Beato Yohanes Paulus II
        Ajaran Teologi Tubuh Beato Yohanes Paulus II merupakan suatu tanggapan atas degradasi nilai moral dan penghargaan terhadap martabat luhur manusia yang terjadi dalam kehidupan dunia dewasa ini. Pergaulan dan seks bebas, komersialisasi tubuh manusia dalam bentuk prostitusi, pornografi dan pornoaksi, kasus-kasus kriminal-seksual, masalah keretakan dan kekerasan dalam rumah tangga, hingga krisis panggilan maupun penghayatan hidup selibat bagi kaum religius merupakan akibat dari kurangnya pemahaman dan penghayatan akan makna sakral tubuh manusia.
Yohanes Paulus II mencoba membuka pikiran dan hati manusia yang mengalami falasi akan konsep tubuh. Konsep tentang makna sakral realitas tubuh manusia dalam pandangan Yohanes Paulus II dijelaskan sebagai berikut:
Tubuh adalah teologi. Tubuh fisik manusia adalah sebuah penjelasan, perkataan, firman dan ungkapan kasih (logos) dari dan tentang Allah (theos). Allah tidak terlihat. Salah satu cara menghadirkan dan menjelaskan kenyataan Allah yang tak terlihat itu adalah melalui tubuh manusia.[1] Melalui kenyataan bahwa Sabda Allah telah menjadi daging, tubuh manusia secara langsung disucikan dan menjadi pintu gerbang utama untuk masuk dalam realitas Allah.[2] Inkarnasi Kristus adalah sebuah wujud  pewartaan sekaligus perutusan bagi manusia untuk mengahayati dan memberi arti sakral bahwa tubuh adalah sebuah teologi.
Tubuh adalah pemberian. Sejak awal penciptaan, manusia dianugerahi tubuh dengan segala aspeknya. Hasrat seksual dan segala daya biologis yang ada dalam diri manusia adalah pemberian Allah, anugerah cinta-Nya. Fakta bahwa manusia diciptakan dalam kesendirian asali menegaskan bahwa ia butuh menjalin relasi dengan yang lain dalam kehidupannya. Relasi cinta itu hanya bisa diwujudkan dengan adanya pemberian diri secara total dan penuh cinta. Pemberian diri yang total tidak dapat terjadi tanpa penerimaan dan penghargaan diri yang total. Pemberian dan penerimaan diri ini mencakup keseluruhan tubuh dengan segala pengungkapan hasrat-hasrat dan daya-daya seksual-biologis yang ada.
Hidup Kristus menjadi tanda pemberian diri yang total. Lebih dari pada itu, model pemberian diri ini juga terwujud dalam relasi cinta Tritunggal Mahakudus. Manusia hanya bisa menjadi manusia secara utuh  bila memberikan tubuhnya sebagaimana hubungan cinta di dalam diri Allah Tritunggal sendiri.[3]
Tubuh adalah sakramen. Sakramen dipahami sebagai tanda atau wujud nyata kehadiran Allah di tengah-tengah dunia. Dalam Teologi Tubuh, sakramen dapat dipahami dalam dua arti. Pertama, merujuk pada sakramen pernikahan, sebagai salah satu dari ketujuh sakramen. Kedua, arti yang lebih dalam, sakramen dilihat sebagai Sakramen Agung, yaitu berkaitan dengan tubuh manusia sendiri.[4]
Tubuh menjadi representasi kehadiran Allah. Ini terjadi sejak awal mula manusia diciptakan dengan tubuhnya sebagai laki-laki dan perempuan. Ini terjadi ketika inkarnasi, Sang Sabda menjadi daging, mengambil rupa nyata sebagai manusia. Ini terjadi dalam persatuan Kristus dan Gereja-Nya. Akhirnya, hal inipun nyata dalam hubungan cinta sebagai suami isteri serta hidup wadat demi Kerajaan Allah.

3. Relevansi Ajaran Teologi Tubuh dengan Kehidupan Manusia Zaman Ini
Dalam konteks lokal masyarakat NTT cukup marak terjadi tindakan-tindakan amoral yang bernuansa melecehkan martabat manusia secara khusus aspek seksualitasnya. Kasus-kasus pelecehan seksual dan pembunuhan oleh Herman Juma, seorang mantan imam, kasus video porno yang melibatkan pegawai Dinas Kependudukan Kabupaten Sikka, kasus prostitusi liar di beberapa universitas di kota Kupang, kasus kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai tindakan amoral lainnya dalam kehidupan sehari-hari yang tak tercatat media, menjadi cerminan betapa sangat dibutuhkannya pemahaman yang lebih baik akan makna sakral tubuh manusia. Sekurang-kurangnya ada beberapa relevansi ajaran Teologi Tubuh bagi kehidupan manusia dewasa ini, yakni:
·         Ajaran Teologi Tubuh menjadi landasan bagi pendidikan nilai moral-budi pekerti baik dalam keluarga maupun jenjang pendidikan formal, secara khusus dalam memahami makna tubuh yang sakral. Pemahaman yang benar tentang tubuh menjadi landasan bagi penerimaan dan penghargaan terhadap diri sendiri yang kemudian mengarahkan setiap pribadi untuk mengungkapkan diri secara benar dan memberikan diri secara total dengan penuh cinta bagi sesamanya. Apabila hal demikian dapat terlaksana maka sekurang-kurangnya fenomena kebingungan tentang identitas diri yang mengarah pada seks dan pergaulan bebas, homoseksualitas, komersialisasi tubuh, pemenuhan hasrat seks yang dangkal lewat praktek onani, sodomi dan tindakan pelecehan seksual lainnya dapat diatasi atau bahkan dihilangkan sama sekali.
·         Dalam konteks kehidupan keluarga, ajaran tentang Teologi Tubuh mengajak suami- isteri untuk memaknai perkawinan sebagai hubungan cinta, saling memberikan diri dan memiliki arti penting bagi kelanjutan kehidupan manusia. Pemberian diri yang total itu bukan lewat kekerasan, paksaan dan keinginan untuk menguasai. Ajaran Teologi Tubuh senantiasa menjadi penyejuk serta pembaharu makna dan tujuan mulia sakramen pernikahan. Para orang tua juga akhirnya bisa mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta sembari menanamkan dalam diri anak-anaknya rasa berharga dan percaya diri akan kemaskulinitas dan kefeminimitas yang mereka miliki.
·         Ajaran Teologi Tubuh menjadi kacamata baru dalam melihat sisi hidup religius sebagai suatu panggilan yang mulia. Ajaran ini menegaskan bahwa seks bukanlah suatu hasrat yang harus selalu diungkapkan dalam praktek hubungan intim. Bahwa pemberian diri yang total tidaklah semata-mata diungkapkan dalam hubungan badan. Selibat adalah sebuah pilihan bebas untuk mempersembahkan diri secara total bagi Kerajaan Allah. Ajaran Teologi Tubuh meneguhkan sekaligus meyakinkan kaum selibat akan konsekuensi pilihan mereka bahwa cinta mereka adalah model cinta yang universal sebagaimana tertuang dalam pelayanan kepada semua orang, pemberian diri bagi semua orang serta menjadi Sakramen Agung yang menghadirkan model hidup Kristus dan communion Tritunggal yang Mahakudus.
Akhirnya, suatu pesan akhir dari ajaran Teologi Tubuh kembali menegaskan seruan Rasul Paulus bagi segenap umat manusia, “karena itu, muliakanlah Allah dengan tubuhmu.” Kita mencintai tubuh, mencintai Allah dan mencintai kehidupan.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Cahyadi. Gereja, Teologi dan Kehidupan. Yogyakarta: Obor, 2010.


Ramdhani, Deshi. Adam Harus Bicara. Yogyakarta: Kanisius, 2009.


----------------------. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. Yogyakarta: Kanisius, 2009.


Yohanes Paulus II. Doa dan Devosi : Meditasi 365 Hari. Jakarta: Erlangga, 1995.


Catatan Kaki:
   [1]Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku : Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p.22.
       [2]Cahyadi, Gereja, Teologi dan Kehidupan (Yogyakarta: Obor, 2010), p.26.
       [3]Deshi Ramadhani, Op.Cit., p.31.
       [4] Ibid., p.35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar