Hidupkan Kearifan Lokal Lewat Seni (Festival Seni Budaya dan Konser Kolaborasi Musik Etnis Kabupaten Sikka 2015)
Kabupaten Sikka kaya akan keanekaragaman etnis dan kultur yang meliputinya. Salah satu keanekaragaman itu diekspresikan lewat seni yang juga menjadi unsur universal sebuah kebudayaan. Demi kembali menggali, memelihara, dan melestarikan berbagai kearifan lokal yang termanifestasi dalam bentuk-bentuk ekspresi kesenian itu, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sikka mengadakan suatu program tahunan bertajuk Pentas Seni Budaya Kabupaten Sikka. Pada tahun ini, pemerintah menegaskan kembali spirit ‘Ayo Kerja’ yang mendasari seluruh visi dan misi pembangunan lima tahun di kabupaten ini dalam seluruh perhelatan Festival Seni Budaya dan Konser Kolaborasi Musik Etnis Sikka, 2015.
Festival kali ini melibatkan sedikitnya 28 sanggar seni yang dikelola oleh sekolah-sekolah maupun komunitas-komunitas sanggar yang terbuka untuk umum. Event ini mementaskan berbagai ragam kesenian seperti seni tari, musik kampung (orchestra daerah), permainan rakyat, dan seni sastra (teater, pantun-kleteng latar, latung lawang, naruk I’e sora, drama, dan komedi) serta dibuka pula ruang untuk pameran hasil-hasil kerajinan tangan, kuliner, dan inovasi-inovasi kreatif dari putra-putri daerah. Event yang berlangsung pada tanggal 3 dan 5 September ini didahului dengan pawai alegori dan parade seni (devile) sepanjang jalan dari Gelora Samodor hingga Panggung Pertunjukan Rakyat dan Pusat Jajanan Lokal Daerah, di Jalan El Tari, tempat seluruh pentas seni berlangsung. Pawai dibuka oleh kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sikka dan seluruh perarakan dipimpin oleh drum band dari SDI Wairklau dan SMAK John Paul II Maumere.
Dalam sambutan pembukaan rangkaian acara ini, Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera menegaskan, “Pentas Seni Budaya ini dilakukan agar kita bisa lebih mencintai kebudayaan kita, yang bisa kita pelihara dalam rangka menimba karakter kita dikaitkan dengan arus globalisasi yang semakin luar biasa. Selain itu kita juga bisa memperkenalkan ke beragai pihak bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya, sekaligus menjadi aset untuk menggali minat para wisatawan, baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara”.
Event yang berlangsung selama dua hari ini mendapat atensi yang sangat besar dari masyarakat Kabupaten Sikka. Pameran yang dibuka sepanjang hari berhasil menarik banyak pengunjung. Pentas seni di malam hari pun menjadi hiburan yang disimak oleh begitu banyak orang, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Para peserta kongres GMNI XIX Maumere pun menjadi tamu spesial yang diperkenalkan secara langsung oleh Wakil Bupati Nong Susar pada malam kedua dilangsungkannya festival.
Keseluruhan pagelaran ini bersifat non-lomba, tetapi dipilih 6 penampilan terbaik tanpa peringkat dari enam kategori penilaian yang diputuskan oleh tim pengamat yang terdiri dari budayawan, akademisi, dan praktisi seni. Enam yang terpilih sebagai penampil terbaik antara lain, Tarian Nusantara dari Sanggar Munianse (nominasi tata busana terbaik), Tarian Tetok Alu Ier Pare dari Sanggar Kibo Libok Kelurahan Wairotang (nominsai koreografi terbaik), Musik Kolaborasi dari Sanggar Depo Hagong Munerana (nominasi musik pengring terbaik), Musik Tuke Nian Jaga Natar dari grup musik Bunga Nukak (nominasi pemain musik terbaik), Tarian Bebing dari Sanggar Raga Dara Hokor (nominsai tarian tradisional terbaik), dan Ruha Mbaleng Waeng (nominasi tarian garapan terbaik). Para penampil terbaik diberikan penghargaan berupa sejumlah uang tunai di samping uang pembinaan yang diberikan kepada setiap partisipan festival seni.
Mendapat Kunjungan Mendagri
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang berkunjung ke Maumere (5/9), menyempatkan diri singgah untuk melihat-lihat sejenak perhelatan festival dan pameran seni budaya yang diadakan di kompleks Panggung Pertunjukan Rakyat dan Pusat Jajanan Lokal Daerah, di Jalan El Tari. Mendagri bersama rombongannya diterima dan selanjutnya didampingi untuk melihat-lihat oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sikka, Wilhelmus Sirilus.
Pada kesempatan itu, Mendagri bersama Gubernur NTT Frans Leburaya, dan Andreas Hugo Pareira dipersilahkan menikmati iringan orkes musik kampung sambil mengunjungi beberapa lokasi pameran. Stan pameran yang dikunjungi Mendagri dan rombongan antara lain stan kuliner khas Nusa Tenggara Timur yang menyajikan berbagai masakan bercita rasa Nusa tenggara Timur, stan dari Partners for Resilience Indonesia, stan kerajinan tangan lokal para penyandang cacat, dan stan tenunan tradisional Sikka.
Di stan dari Partners for Resilience Indonesia, Mendagri memperhatikan dengan serius penjelasan mengenai program irigasi dan air bersih bagi masyarakat yang dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat tersebut bekerjasama dengan pemerintah daerah. Di beberapa wilayah sasaran seperti desa Bu Utara dan Bu Selatan di Kecamatan Tana Wawo, telah dikembangkan saluran-saluran irigasi yang baik bagi pertanian serta perkebunan sayur-sayuran dan juga program penyulingan air bersih bagi masyarakat.
Mendagri juga mengunjungi stan kerajinan tangan para penyandang cacat, dan melihat hasil-hasil karya mereka. Stan yang dikelola oleh BARA JP (Barisan Jalan Perubahan) ini mengakomodasi para penyandang cacat, orang-orang dengan gangguan mental, dan kaum telantar untuk diberi pelatiah dan pembinaan sesuai kebutuhan dan keterampilan mereka masing-masing. Susilowati, salah satu penggerak lembaga swadaya masyarakat ini memperkenalkan kepada Mendagri karya-karya yang dipamerkan seperti, aneka kuliner, alat-alat terapi alami, pupuk-pupuk organik, berbagai jenis perabot rumah tangga, mebel, hingga lukisan dan kain tenun yang dibuat oleh para penyandang cacat yang dibina di lembaga ini. Kepada Mendagri, Susilowati menjelaskan bahwa lembaga ini bermaksud menggali potensi para penyandang cacat dan dengan begitu mereka bisa mendapat kedudukan profesional yang setara dengan orang-orang normal. Para penyandang cacat ini juga memberikan bingkisan berupa karya-karya mereka kepada Mendagri dan juga Presiden Jokowi yang tidak sempat hadir
Di akhir kunjungan, Mendagri dan rombongan menyempatkan diri mengujungi stan pameran kain tenun tradisional etnis-etnis di Kabupaten Sikka. Mendagri meluangkan waktu sejenak mendengarkan penjelasan singkat dan melihat proses pengolah benang menjadi sarung. Sebagai bentuk apresiasi, Medagri membeli beberapa kain sarung yang diberikan kepada rombongannya.
Mendagri menyambut baik kegiatan seperti ini karena membuka ruang bagi para pengrajin lokal untuk meningkatkan perekonomian secara lebih kraetif. Selain itu, berbagai program seperti irigasi dan penyulingan air bersih, serta pelatihan bagi penyandang cacat dilihat sebagai suatu yang baik dan harus ditingkatkan lagi. Mitra dengan pemerintah daerah adalah hal yang harus terus digalakan demi pembangunan jangka panjang yang lebih bermutu.
Saatnya Sastrawan NTT Terlibat (Catatan Jurnalistik Seputar Festival dan Temu II sastrawan NTT)
Geliat sastra di Nusa Tenggara Timur yang sudah sejak lima tahun terakhir dianggap sangat tampak perkembangannya, mendapat perhatian serius dari Kantor Bahasa Provinsi NTT. Kantor Bahasa NTT yang merupakan UPT dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menciptakan suatu ruang komunikasi di antara para sastrawan dan penulis-penulis sastra pemula. Selain itu, Kantor Bahasa NTT juga berupaya memasyarakatkan sastra NTT (yang selama ini dianggap hidup di dunia privat para sastrawan atau penulis sastra) kepada kalangan luas melalui lembaga-lembaga pendidikan. Ruang komunikasi dan sosialisasi itu dikemas dalam bentuk Festival Sastra dan Temu Sastrawan NTT. Komitmen ini disampaikan oleh M. Luthfi Baihaqi, Kepala Kantor Bahasa NTT di hadapan Wakil Bupati dan Muspida Ende sebagai wakil pemerintah provinsi NTT, para sastrawan dan penikmat sastra, para peserta festival, serta mahasiswa Universitas Flores, pada pembukaan Temu II Sastrawan NTT.
Kegiatan ini telah menjadi agenda tetap dua tahunan sejak pertama kali kegiatan Temu Sastrawan NTT diadakan di Kupang pada tahun 2013. Kegiatan Festival dan Temu II Sastrawan NTT tahun 2015, diadakan di Kota Ende pada tanggal 5-10 Oktober 2015, bekerja sama dengan Universitas Flores.
Festival Sastra NTT
Kegiatan Festival Sastra yang dilaksanakan pada tanggal 5-8 Oktober 2015 dibuka secara resmi dan simbolis oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, M. Luthfi Baihaqi dan Rektor Universitas Flores, Stephanus Djawanai melalui pengguntingan pita dan pembukaan baliho mini di Auditorium Universitas Flores pada Senin, (5/10).
Festival ini melibatkan sejumlah siswa-siswi dan guru dari berbagai lembaga pendidikan tingkat PAUD hingga perguruan tinggi. Secara rinci, festival ini meliputi lomba membaca puisi tingkat SD dengan jumlah peserta sebanyak 43 orang, lomba menulis opini/esai sebanyak 19 orang, lomba bercerita cerita rakyat tingkat SMP sebanyak 30 orang, lomba mendongeng bagi guru PAUD/TKK dan SD sebanyak 5 orang, lomba menulis kritik sastra tingkat perguruan tinggi sebanyak 15 orang, dan lomba musikalisasi puisi dari berbagai sekolah yang diikuti oleh 16 grup musik, serta perlombaan dan pertunjukan majalah dinding kreatif oleh sekolah-sekolah menegah atas yang ada di kabupaten Ende.
Kegiatan non-lomba yang juga dilakukan dalam rangkaian Festival Sastra NTT kali ini meliputi beberapa kelas dan bengkel sastra yang dipandu oleh para sastrawan nasional yang turun dan terlibat langsung bersama para peserta yang umumnya berasal dari Universitas Flores. Bengkel sastra penulisan cerpen diasuh oleh sastrawan kondang asal NTT, Gerson Poyk dan putrinya yang juga seorang cerpenis dan novelis terkemuka Fanny Poyk. Mario F. Lawi, seorang sastrawan muda NTT yang telah banyak menghasilkan karya-karya puisi yang diakui secara luas (nasional) berbagi keahliannya dalam bengkel sastra penulisan puisi. Bengkel sastra penulisan kritik sastra diasuh oleh akademisi sastra dan linguistik asal NTT, Dr. Yoseph Yapi Taum serta kritikus dan sastrawan berpengalaman, AS Laksana yang mengaku sudah jatuh cinta dengan NTT sejak pertama kali hadir di Festival Sastra Santarang 2015, di Kupang.
Rangkaian acara Festival Sastra NTT dilanjutkan dengan bincang-bincang sastra dan peluncuran buku antologi sastrawan NTT. Buku antologi sastrawan NTT itu terdiri dari tiga judul, yaitu Nyanyian Sasando (Antologi Puisi Sastrawan NTT), Cerita dari Selat Gonsalu (Antologi Cerpen Sastrawan NTT), dan Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar (Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT). Peluncuran buku ini ditandai dengan penyerahan buku antologi kepada para sastrawan, akademisi dan narasumber, rektor Unflor, dan segenap peserta Temu II Sastrawan NTT yang hadir.
Marieta B. Larasati, sebagai ketua panitia, dalam penyampaian laporan kegiatan mengapresiasi antusiasme yang tinggi dari berbagai lembaga pendidikan di kota Ende, yang nyata dalam keaktivan mengikuti berbagai festival sastra ini. Pada kesempatan lain, Dr. Yoseph Yapi Taum menjelaskan bahwa dari pengamatannya selama hari-hari perlombaan, sangat terlihat perkembangan yang menarik dalam hal apresiasi sastra di kalangan masyarakat, khususnya di sekolah-sekolah. Meski demikian, ia juga memberi catatan khusus dalam bidang perlombaan kritik sastra, yang menurut pengamatannya masih butuh banyak pendalaman. Atmosfir apresiasi sastra yang baik ini selayaknya dirawat dan ditingkatkan dari hari ke hari.
Temu II Sastrawan NTT
Kegiatan Temu II Sastrawan NTT (8-10 Oktober 2015) dibuka secara resmi oleh pemerintah Provinsi NTT yang diwakili oleh Wakil Bupati Ende, bersama dengan Gerson Poyk, sebagai sesepuh dan tokoh sastra NTT lewat pemukulan gong. Sebelumnya, para sastrawan dan segenap peserta Temu II Sastrawan NTT diterima oleh pemerintah daerah, dan selanjutnya oleh keluarga besar Universitas Flores, dalam seremoni adat Lio.
Kegiatan diawali oleh sambutan dari berbagai pihak, salah satunya sambutan Gubernur NTT yang dibacakan oleh Wakil Bupati Ende. Setelah acara pembukaan, dilanjutkan dengan penyerahan penghargaan kepada pemerintah dan Universitas Flores oleh Kantor Bahasa NTT atas kerjasama dalam berbagai kegiatan pengembangan sastra NTT. Diberikan pula penghargaan kepada Gerson Poyk sebagai Tokoh Sastra NTT 2015. Gerson Poyk dinobatkan sebagai perintis sastra dan sastrawan NTT modern oleh karena karya perdananya yang terbit pada 1961 ‘membuka jalan’ bagi sastrawan lain asal NTT selanjutnya, hingga saat ini. Selain itu, tanggal 16 Juni (tanggal kelahiran Gerson Poyk) ditetapkan sebagai Hari Sastra NTT. Pada kesempatan ini pula, diadakan penyerahan hadiah kepada para pemenang berbagai kategori lomba pada Festival Sastra NTT 2015. Selanjutnya, rangkain kegiatan Temu II Sastrawan NTT meliputi seminar dan diskusi, safari sastra (penulisan puisi bertema ‘Ende dalam Kebersamaan’), serta penetapan rekomendasi serta putusan hasil Temu II Sastrawan dan Malam Pembacaan Puisi bersama sastrawan NTT.
Kegiatan seminar dan diskusi (9/10) di Aula Unflor berlangsung dalam dua sesi. Seminar I membahas tiga tema, antara lain Sastra sebagai Penumbuh Budi Pekerti dan Pendukung Gerakan Literasi Indonesia oleh Drs. I Wayan Tama, M.Hum – Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali, Sastra sebagai Pendukung Pendidikan Karakter Masyarakat NTT oleh Prof. Stefanus Djawanai, Ph. D – Rektor Unflor, serta Sastra dan Media: Mendorong Karya Sastra NTT Lebih Go-Media oleh Hermien Y. Kleden, jurnalis Tempo Media Group.
Hermien Y. Kleden dalam kapasitasnya sebagai jurnalis memberikan apresiasi kepada sastrawan NTT yang karya-karyanya mulai berbicara di pentas sastra nasional. Hermien Y. Kleden menyoroti penulis-penulis muda NTT antara lain Mario F. Lawi dan Anastasia Fransiska Eka.
Mario F. Lawi telah menulis buku-buku kumpulan puisi antara lain, Memoria (IBC, 2013), Ekaristi (PlotPoint, 2014), dan Lelaki Bukan Malaikat (GPU, 2015). Buku pertama dipilih sebagai salah satu Buku Puisi Rekomendasi Tempo 2013. Setahun kemudian, buku kedua terpilih sebagai Buku Puisi Pilihan sekaligus membuatnya dinobatkan Tokoh Seni (Sastra) 2014 oleh majalah yang sama. Sedangkan Anastasia Fransiska Eka dianggap memiliki visi perjuangan feminis dalam karya-karya cerpennya. Hermien Y. Kleden yakin bahwa masyarakat NTT secara kolektif memiliki tradisi berbahasa Indonesia yang baik, dimulai dari keluarga, dan didukung pula oleh tradisi pendidikan katolik yang tertanam kuat di bumi NTT. Bagi Hermin, sejauh ini seminari-seminari menjadi lumbug-lumbung penulis dan sastrawan NTT, dan asumsi ini didukung oleh data yang disampaikan Dr. Yoseph Yapi Taum, bahwa lebih dari 70% penulis sastra di NTT sekurang-kurangnya pernah mengenyam pendidikan seminari.
Seminar II yang berlangsung lebih menarik membahas tiga tema antara lain, Karya Sastra dan Tanggungjawab Sosial: Wacana Kritis Merespon Masalah Sosial Budaya dalam Masyarakat NTT disajikan oleh Dr Yoseph Yapi Taum – Dosen dan Peneliti dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sastra Digital sebagai Media Alternatif: Batasan, Prospek, dan Komunitas Pendukungnya oleh Samsul Hari - Pengajar Sastra Digital, dan Perkembangan Sastra Mutakhir Indonesia oleh Narudin Pituin -sastrawan, penerjemah, dan kritikus sastra.
Dr. Yoseph Yapi Taum membahas pentingnya peran sastrawan lewat karya-karya mereka bagi pendidikan sosial masyarakat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dr. Yapi Taum memaparkan contoh dan menekankan beberapa poin penting yang diambil dari disertasi doktoralnya, mengenai bagaimana tragedi 1965 terrepresentasi dalam karya-karya sastra masa itu. Menurut Dr. Yapi Taum, sudah selayaknya sastrawan NTT mengambil bagian dalam kampanye-kampanye sosial menanggapi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, perdagangan orang, hingga rekonsiliasi tragedi 1965 di wilayah NTT yang juga menjadi wacana nasional.
Rekomendasi dan Putusan
Temu II Sastrawan NTT menghasilkan beberapa rekomendasi dan putusan penting. Beberapa putusan itu menyangkut komitmen bersama dalam upaya memperkenalkan sastra NTT lewat berbagai promosi, pembiayaan, pendidikan, dan pengembangan untuk berbagai event di tingkat nasional serta internasional, sebagai bahan pembelajaran di sekolah-sekolah, pengembangan komunitas sastra dalam rangka sosialisasi dan beberapa hal teknis lain.
Kepada awak media, Dr. Yoseph Yapi Taum mewakili segenap sastrawan NTT juga menyampaikan kekecewaan kepada pemerintah Provinsi NTT yang kurang memberikan perhatian dan berpartisipasi dalam seluruh rangkaian kegiatan Festival dan Temu II Sastrawan NTT. Menanggapi hal ini, diajaukan suatu rekomendasi kepada pemerintah dan masayarakat untuk turut dalam pengembangan kesusastraan dan menjamin kebebasan berekspresi para sastrawan.
Kantor Bahasa NTT juga menjalin kontrak kerjasama selama lima tahun dengan Universitas Flores, yang ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh M. Luthfi Baihaqi Kepala Kantor Bahasa NTT dan Prof Stefanus Djawanai, Ph. D – Rektor Unflor. Kerja sama itu meliputi program literasi masyarakat NTT, dokumentasi bahasa dan sastra lisan daerah, berbagai penelitian linguistik serta berbagai program menyangkut pembinaan dan pengembangan bahasa. Rangkaian kegiatan Festival dan Temu II Sastrawan NTT ditutup dengan acara makan malam dan pentas puisi bersama, yang melibatkan para sastrawan NTT, beberapa pelajar, mahasiswa Unflor, para pegiat di komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE), dan peminat sastra di seputar kota Ende.
‘Si Kulit Bundar’ di Bumi Nian Tana (Catatan Seputar El Tari Memorial Cup XXVII-2015)
Di tengah kisruh PSSI yang mengguncang persepakbolaan nasional, masyarakat pegiat, pencinta, dan penikmat sepak bola NTT kembali dihibur dengan perhelatan akbar sarat tradisi bertajuk El Tari Memorial Cup. Salah satu turnamen sepak bola yang menjadi barometer perkembangan sepak bola Nusa Tenggara Timur ini diadakan untuk ke 27 kalinya pada tahun 2015. Kabupaten Sikka, dalam hal ini KONI Sikka, PSSI Cabang Sikka, dan pemerintah daerah dipercayakan sebagai penyelenggara turnamen yang kini menjadi event olahraga dua tahunan dan selalu mendapat atensi luas dari masayarakat NTT. Terhitung sejak tanggal 20 Oktober-13 November 2015, bumi Nian Tana menjadi saksi pertarungan memainkan si kulit bundar, penuh gensi dan ambisi, dari tujuhbelas kesebelasan kabupaten dan kota yang ada di Provinsi NTT.
Geliat ETMC XXVII
ETMC XXVII di Maumere diikuti oleh tujuhbelas tim sepak bola se-Nusa Tenggara Timur, dengan rincian 389 atlet dan 94 orang manejer/pelatih/official. Jika ditambah dengan 26 wasit yang memimpin jalannya pertandingan-pertandingan selama turnamen ini, maka jumah peserta formal menjadi 483 orang. Sebanyak 70 pertandingan diadakan di stadion tunggal Gelora Samador, Maumere. Hanya 5 Kabupaten yang tidak bisa terlibat dalam ETMC kali ini, yaitu Sabu Raijua, Sumba Barat, Sumba Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Belu.
Tujuh belas tim yang ikut terbagi dalam empat pool yaitu:
Pool 1 : Sikka, Sumba Barat Daya, Ende, Manggarai Timur, Sumba Timur
Pool 2 : Malaka, Manggarai, TTU dan Kupang
Pool 3 : Lembata, Alor, Flotim dan Kupang Kota
Pool 4 : Ngada, Nagekeo, Rote Ndao dan Manggarai Barat.
Pertarungan memainkan si kulit bundar pada ETMC kali ini semakin menarik karena para pecinta sepak bola dapat melihat aksi beberapa punggawa Indonesia Super Liga (ISL) dan Tim Nasional Indonesia seperti Heru Nerly (PSN Ngada), Korinus Fingkreuw (Perse Ende), dan Yabes Rony Malaifani (Persap Alor), serta pemain-pemain lain yang didatangkan dariluar NTT, juga para pemain keturunan NTT yang mengikuti training dengan klub-klub nasional seperti Andreas Ado (Persami), atau beberapa pemain PSK Kupanng yang terpilih dalam seleksi Bali United.
Sejak babak penyisihan, atmosfir kompetisi sarat gensi dan tradisi terasa sangat kental. Di pertandingan pembukaan (20/10) tuan rumah Persami-Maumere yang berhadapan dengan Persedaya Sumba Barat Daya dipaksa menerima kekalahan. Anak-anak asuhan Fredy MBW yang turun ke lapangan dengan tekanan yang tinggi dari suporter tidak dapat memainkan bola dengan lugas, dan akhirnya kalah dengan skor 1-2. Persaingan di Pool I pun harus berlangsung sampai pertandingan-pertandingan terakhir dengan selisih peralihan poin yang ketat antara masing-masing tim. Setelah kekalahan perdananya, Persami akhirnya bangkit dengan mengalahkan lawan-lawan selanjutnya dan manjuarai Pool I. Persami bahkan mencetak rekor cleen sheet sebanyak 5 pertandingan berturut-turut sebelum kebobolan lagi di babak final. Kabupten Ende menemani tuan rumah sebagai runner up, itu pun sebagai konsekuensi dari kekalahan Persedaya Sumba Barat daya atas Persematim-Manggarai Timur di laga terakhir mereka. Ende lolos dengan mengumpulkan poin 7 dibuntuti Persedaya dengan Poin 5.
Di Pool II, Persemal Malaka yang sejauh ini menjadi anak bungsu di provinsi Nusa Tenggara Timur membuat kejutan dengan tampil sebagai juara pool dengan mengantongi poin 7, hasil sekali seri dan dua kali menang. Goyang tebe meramairiahkan lapangan Gelora Samador da Cunha, usai tim ini mengalahkan PS Kabupaten Kupang dengan skor 3-0 dan memastikan diri lolos ke putaran kedua. Tim lain yang menemani Malaka ke putaran kedua adalah TTU yang mengantongi poin 6, hasil dua kali kemenangan, masing-masing melawan PS Kabupaten Kupang dan Persim Manggarai.
PSK Kota Kupang yang menjadi runner up Liga Desa 2015 di Belitung berhasil memimpin perolehan nilai di pool III yang disebut-sebut sebagai ‘Pool Neraka’. PSK berhasil menghempaskan perlawanan tiga tim kuat lain, Persebata Lembata, Perseftim Flores Timur, serta Persap Alor, dan meraih poin penuh 9. Perseftim yang dianggap tampil di bawah performa terbaiknya pada ETMC kali ini juga berhasil lolos ke babak selanjutnya setelah meraih dua kemenangan. Yabes, punggawa Timnas U-19 tidak mampu membawa Persap Alor ke prestasi yang lebih tinggi, meskipun pasukan-pasukan muda dari tim ini menampilkan tontonan yang atraktif selama penyisihan.
PSN Ngada yang selalu tampil superior membuktikan diri sebagai raksasa sepakbola setelah berhasil keluar sebagai juara pool IV. PSN Ngada berhasil mncetak 9 gol dari dua kemenangan dan sekali seri ketika menghadapi juara bertahan Persamba Manggarai Barat. Pertandingan antara PSN melawan Persamba berlangsung tegang dan sedikit ricuh, padahal kedua tim yang bertemu pada laga terakhir pool ini sudah memastikan diri lolos ke babak selanjutnya. Hal ini menunjukkan tensi dan gensi yang tinggi dari perhelatan ETMC. Persamba sendiri lolos ke babak selanjutnya setelah mengumpulkan poin 5, meyisihkan tim kuat lain, Persena Nagekeo yang tampil buruk.
Di putaran selanjutnya Persami Maumere berhasil melangkah ke semifinal setelah mengatasi perlawanan anak-anak Nagi dengan skor 2-0. Persami berjumpa dengan Persemal Malaka yang secara mengejutkan mengalahkan juara bertahan Persamba Manggarai Barat lewat drama adu penalti yang menegangkan. Persemal menang 4-3. PSN Ngada tanpa kesulitan melaju ke semifinal setelah menang 3-0 dengan TTU, dan berhadapan dengan Perse Ende yang melalui pertandingan berat dengan PSK Kota Kupang. Perse menang adu penalti 4-3 setelah pada waktu normal di tambah perpanjangan waktu, kedua tim berbagi angka 0-0. Di semifinal, goyang Tebe anak-anak Malaka dihentikan oleh Laskar Nian Tana dengan skor 2-0. Di pertandingan lain, superioritas PSN dengan pola permainan kick and rush dipatahkan oleh permainan tiki-taka mengandalkan kecepatan dan keakuratan dari Perse Ende. Ende menang tipis 1-0. Persami dan Perse berjumpa di final. PSN yang diasuh oleh legenda tim ini, Jhoni Dopo harus puas berada di tempat ketiga setelah mengalahkan Malaka dengan skor tipis 2-1, dalam pertandingan 90 menit yang sangat atraktif sekaligus menegangkan.
Penantian 31 Tahun Persami Tertuntaskan
Gensi, ambisi, dan rivalitas Persami dan Perse yang berlaga di babak final sangat kental terasa dan mempengaruhi atmosfer pertandingan. Ketegangan sudah dimulai sejak pertandingan belum dilangsungkan, nyata dari rivalitas supporter yang memadati Stadion Gelora Samador Maumere. Persami Mania yang sejak kekalahan Persami di laga pembuka terus mendukung tim kesayangan dengan berbagai yel-yel, spanduk, nyanyian, serta aksesoris, ditantang oleh ribuan supporter Perse yang datang jauh-jauh dalam bentuk rombongan dan dilepaskan secara resmi oleh pemerintah daerah. Sebanyak ribuan penonton hadir di Maumere yang menyebabkan arus lalu lintas di seputran stadion Gelora Samador terganggu selama beberapa saat.
Dahaga Persami Maumere yang tertahankan selama 31 tahun, setelah terakhir menjuarai ETMC pada tahun 1984 akhirnya terpuaskan setelah Laskar Nian Tana berhasil mengalahkan Laskar Kelimutu dalam 90 dengan skor tipis 2-1. Pertandingan berlangsung sangat panas dan beberapa kali harus dihentikan akibat kericuhan yang terjadi. Permainan atraktif namun keras dipertontonkan oleh kedua tim. Ende lebih dahulu mencetak gol di menit ke-16 setelah Muhammad Sidik Saimima dijatuhkan di dalam kotak pinalti. Wasit Antonius Rismiadji pun menunjuk titik putih. Terjadi protes oleh beberapa pemain Persami yang mengakibatkan kericuhan kecil dan berbuah beberapa kartu kuning dari wasit. Yoga Ramadhan yang mengeksekusi penalty tersebut dengan tenang menuntaskan rekor cleen sheet Timmy, kipper Persami. Persami baru bisa mengejar ketertinggalan di menit ke 35, setelah Iqbal Al Fadihla mencetak gol memanfaatkan kelengahan pertahanan tim Perse. Gol ini sempat mendapat protes tim Perse, karena banyak pemain Perse maupun Persami masih berkonsentrasi dengan pelanggaran yang sebelumnya terjadi, tetapi wasit tetap mensahkan gol ini. Gol pamungkas dari Persami datang dari tendangan bebas jarak jauh yang dieksekusi oleh Vian Watu. Tendangan keras melengkung dan terarah dari Vian merobek jala Perse dan memecahkan ketegangan penonton di Gelora Samador. Perse malakukan serang bertubi-tubi ke gawang Persami pada sisa pertandingan. Persami hanya sesekali melakukan serangan balik cepat ke gawang Perse. Persami akhirnya keluar sebagai juara bertahan ketika wasit meniupkan peluit panjang di babak kedua setelah terlebih dahulu mendapat tambahan waktu 2 menit.
Keluar sebagai juara, Persami berhak meraih piala bergilir El Tari Memorial Cup, Piala tetap dan mendapat hadiah uang pembinaan sebesar 105 juta rupiah. Perse yang menjadi runner up mendapat hadiah sebanyak 67,5 juta rupiah dan PSN Ngada sebagai juara ketiga mendapatkan hadiah uang sebesar 47,5 juta rupiah. Sementara itu, tim underdog Persemal Malaka yang menempati peringkat ke empat berhak atas uang tunai sejumlah 30 juta rupiah. Di samping hadiah bagi para juara, panita juga memberi pengharhaan dalam beberapa kategori lainnya. Gelar pemain terbaik sepanjang ETMC diberkan kepada Andreas Ado (Persami). Pemain berusia 19 tahun ini tampil konsisten dan memberi kontribusi berharga bagi tim dengan mencetak 5 gol dan beberapa di antaranya menjadi penentu kemenangan tim. Andre berhak atas uang senilai 10 juta rupiah. Top scorer diraih duet maut lini depan PSN Ngada, Yoris Nono dan Okta Pone, Keduanya sama-sama mengoleksi 7 gol dari enam pertandingan yang dilakoni tim PSN dan berhak atas uang masing-masing senilai 5 juta rupiah. Kategori lain yang dinilai panitia adalah tim fair play yang dianugerhakan kepada Manggarai Barat, sehingga mereka berhak atas uang senilai 10 juta rupiah.
Kemenangan Persami menjadi kado spesial bagi Persami Mania yang dukungannya menjadi warna baru dalam sejarah perhelatan ETMC. Selain itu, ETMC XXVII menjadi perhelatan dengan penonton terbanyak serta turnamen dengan nilai total hadiah terbesar sepanjang sejarah. Pembukaan ETMC menjadi semarak karena diwarnai oleh penampilan 1000 penari Gemu Fa mi Re, dari berbagai sanggar seni dan sekolah di Sikka. Namun disamping itu, masih banyak juga evaluasi atas penyelenggaraan turnamen ini, di antaranya soal pengaturan pembatasan pemain dari luar NTT, kinerja wasit dan penyelenggara pertandingan yang dinilai masih perlu ditingkatkan, dan juga akses serta pelayanan publik yang harus diperbaiki oleh panitia penyelenggara pada perhelatan-perhelatan selanjutnya. ETMC XVVIII akan dilaksanakan pada tahun 2017 dengan Ende sebagai tuan rumah penyelenggara.
Catatan Kilas Balik EL Tari Memorial Cup (ETMC)
El Tari Memoial Cup pada dasarnya merupakan suatu turnamen yang dimaksudkan untuk menjalin tali silahturami persaudaraan antar kabupaten dan kota di provinsi NTT, lewat media olahraga, khususnya sepak bola. Turnamen ini pada mulanya bercikal-bakal pada El Tari Cup yang digagas oleh salah satu mantan gubernur kharismatik provinsi NTT, El Tari (menjabat pada periode 1966-1978). Turnamen El Tari Cup pertama kali digelar di Kupang pada tahun 1969. Perseftim Flores Timur, keluar sebagai juara pada perhelatan perdana event ini. Selanjutnya, perhelatan El Tari Cup dilaksanakan sebanyak tiga kali lagi, yaitu pada tahun 1970, 1972, 1976, dengan masing-masing turnamaen menghasilkan juara-juara baru antara lain PSN Ngada, PSK Kupang (saat itu kota dan kabupaten masih bergabung), dan Persami Maumere. Setahun setelah wafatnya Gubernur El Tari, tepatnya tahun 1978, turnamen El Tari Cup, diganti namanya menjadi El Tari Memorial Cup (ETMC). Turnamen El Tari Memorial Cup didedikasikan khusus untuk menghidupkan selalu semangat yang telah ditanamkan Gubernur El Tari dalam membina persaudaraan antar kabupaten dan kota, sekaligus menjadikan ajang ini sebagai ajang peningkatan dan pengembangan pembangunan khusunya dalam hal prestasi sepak bola Nusa Tenggara Timur.
Sejak awal perhelatan ETMC tahun 1979 hingga saat ini, hanya tiga tim dari daratan Flores-Lembata yang belum mencatatkan namanya sebagai juara, yaitu tiga kabupaten baru Persematim (Manggarai Timur), Persena (Nagekeo) dan Persebata (Lembata). PSN Ngada menjadi tim raksasa, terbukti dengan enam gelar yang berhasil diperolehnya, masing-masing pada tahun 1982, 1986, 1997, 2001, 2003, 2007. Tim lain dari Flores yang berhasil meraih gelar juara antara lain Persami-Maumere (1984,2015), Perse-Ende (1999), Persim-Manggarai Tengah (2005), Perseftim-Flores Timur (2009), dan Persamba Manggarai Barat, sebagai juara bertahan ETMC XXVI, 2013.
Dari daratan Timor, PS Kota Kupang menjadi tim yang mendominasi perolehan gelar juara ETMC. Sebanyak tujuh gelar juara telah dipersembahkan kesebelasan kota karang ini bagi para pencintanya, yaitu sejak pertama kali turnamen ini berubah nama tahun 1979, dan selanjutnya 1988, 1991, 1993, 1995, 2002, dan 2010). PSK Kota Kupang menjadi satu-satunya tim yang berhasil mempertahankan gelar juara selama empat perhelatan berturut-turut, dan mentahtakan hampir sebelas tahun piala ETMC di kota karang, yaitu sejak tahun 1988 hingga PSN merebut kembali gelar itu tahun 1997. Sejak berpisah dengan PSK Kota Kupang tahun 1995, PS Kabupaten Kupang belum sekalipun menunjukkan prestasi yang gemilang, Kekuatan baru dari wilayah Timor yang muncul pada periode 2000-an adalah Perss-Soe yang meraih gelar juara pada perhelatan ETMC XV tahun 2000.
Persap-Alor, satu-satunya wakil dari Pulau Alor baru menunjukan kelasnya sebagai tim yang mampu menjegal tim-tim kuat sejak perhelatan ETMC tahun 2001. Selanjutnya, Persap selalu tampil konsisten sehingga dengan amunisi-amunisi mudanya, tim ini menjuarai ETMC tahun 2006. Pada periode 1970an-1990an, dua tim dari Sumba yaitu Persewa Waingapu dan Persesba Waikabubak selalu menjadi lumbung gol tim-tim lawan. Sama seperti Persap Alor, kebangkitan sepakbola Sumba baru terlihat di awal tahun 2000. Sejauh ini tim dari dataran Sumba baru dua kali menjuarai ETMC, yaitu Persewa-Waingapu pada tahun 2004 dan Persedaya-Sumba Barat Daya tahun 2011.
Doa
Tuhanku
Di dalam rumah hatiku
Ku sediakan potongan-potongan harta jiwaku
Segunung dosa
Ingin ku pindahkan ke lautan cinta-Mu
Beri aku sebesar biji sesawi saja.
Tuhan
Pada persinggahan-Mu malam ini
Pulang
biarkan saja hujan yang jatuh menemukan kekasihnya
di balik gersang rerumputan
dan kita terus saja menulis
pada serpi-serpih lontar yang kian menguning kering
gerimis adalah tanda yang diam
dan pada kemarau yang lapar
adalah berkah yang membuat
doa-doa para pekerja ladang serupa hening
kita bertanya-tanya kapan Elia segera kembali
pulang, sebab dosa-dosa kita
tak terbayar oleh tangisan dan hujatan yang lirih
di pinggir tembok-tembok ratapan yang berkisah tentang dua dunia
anak--anak yang terlantar
dan ibu-ibu serta bapak-bapak yang habis
dalam cengkraman pelahap-pelahap
kita berdoa supaya hujan lekas turun
supaya kita tak lagi menagis
sebab hujan adalah doa yang tak selalu terjawab
dan pulang sebagai hening yang tentram
Think Big, Start Small, and Move Fast : Revitalisasi SMAK John Paul II
Pada tahun 2015 ini, sepak terjang SMAK John Paul II di dunia pendidikan NTT, khususnya di Nian Tana Kabupaten Sikka, memasuki usianya yang ke 26. Sepanjang tahun-tahun pengabdiannya, sekolah ini telah melalui banyak pengalaman dan situasi suka-duka, sukses-gagal. Sekolah milik SANPUKAT (Yayasan Persekutuan Umat Katolik) yang sekarang dikelola oleh Keuskupan Maumere ini dahulunya adalah peralihan dari SPG Don Bosco Maumere. Sejak 1989, dari tahun ke tahun, sekolah yang pada tahun 2012 mendapat akreditasi ‘A’ ini mengalami berbagai kemunduran dari segi kualitas, kuantitas, mutu guru, dan program pembelajaran. Pada dekade 2000-2010, sekolah ini bahkan sempat dijuluki sebagai ‘sekolah murid buangan’, karena sering menjadi harapan terakhir bagi siswa-siswa tahan kelas dan bermasalah dari berbagai sekolah lain di Maumere. Keadaan diperparah dengan buruknya evaluasi belajar yang berdampak pada sangat rendahnya tingkat kelulusan, hingga pada tahun 2009/2010, timbul wacana bahwa sekolah ini hendak ditutup karena krisis finansial dan minimnya siswa yang mendaftar, yaitu hanya 48 orang. Atas dasar ini, segenap perangkat pendidik dan semua yang mengabdi sekolah ini mengadakan suatu revitalisasi yang efeknya sangat kelihatan sejak enam tahun silam.
Ulasan di atas adalah petikan dari presentasi dan shering mengenai revitalisasi SMAK John Paul II, yang disampaikan oleh Rm. Fidelis Dua, Pr, kepala sekolah SMAK John Paul II, dalam salah satu kegiatan pendidikan di Hotel Sylvia pada 3 Juni 2015, yang lalu. Berbagai uraian, shering dan presentasi dalam kegiatan itu dimaksudkan untuk menggambarkan keseluruhan upaya pengembangan SMAK John Paul II, sejak ditangani oleh Keuskupan Maumere dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa revitalisasi dalam pengertiannya selalu memuat unsur pembaruan, menghidupkan kembali, memberdayakan kembali, menyegarkan kembali sesuatu yang pernah hidup dan sangat berdaya tetapi mengalami kemunduran. Sehingga, dalam konteks sebagai lembaga pendidikan, sekolah sudah seharusnya memaksimalkan semua unsur yang dimiliki untuk menjadi lebih vital atau terberdaya tinggi demi tercapainya sasaran dan tujuan dari proses pendidikan yang dilakukan saat ini dan di masa depan. SMAK John Paul II sendiri memijakkan segenap usaha perubahan dan revitalisasinya pada filosofi ‘Duc in Altum’ dengan sebuah paradigma baru “Think Big, Start Small, and Move Fast”. Secara spesifik, SMAK John Paul II mencoba menghidupi dan menjalankan visi, misi, dan berbagai program kerja yang diarahkan sepenuhnya untuk pengembangan manajemen sekolah serta para peserta didik.
Romo Fidel menerangkan bahwa transformasi cara berpikir yang coba digalakan di sekolah ini pertama-tama dilakukan dengan upaya menghidupi sebuah visi kolektif yaitu membangun SMAK John Paul II yang setia pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa, berciri khas Katolik, unggul (smart), berkarakter (conscience and compassion), spiritual (spiritual), dan mandiri (competence). Dalam terang visi ini, misi-misi pendidikan yang diemban sekolah ini berusaha dijalankan. Dalam konteks revitalisasi, ada beberapa hal umum yang digalakan. Pembenahan penampilan dan perwajahan sekolah adalah yang paling tampak. Selanjutnnya, seperti yang terdapat dalam misinya, seluruh proses yang terjadi di sekolah ini diarahkan kepada upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang menekankan proses untuk membentuk intelek yang unggul bagi semua peserta didik sesuai dengan standar nasional pendidikan, menegakkan disiplin semua warga sekolah dalam seluruh kegiatan sekolah, serta mengembangkan bakat, minat, dan ketrampilan bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan pengembangan diri demi membentuk pribadi yang mandiri. Selain itu, SMAk John Paul II juga mengembangkan sekolah dengan ciri utama pendidikan nilai, paradigma “student centered learning”, pendidikan multikultural, penguasaan bahasa internasional dan ICT bagi semua peserta didik dan berupaya menanamkan semangat kasih, rela berkorban, kekeluargaan dan solidaritas di kalangan segenap aktor pendidikannya untuk membentuk wawasan Kristiani, kebangsaan, dan cinta tanah air.
Dalam presentasi ini juga dijelaskan bahwa orientasi dari revitalisasi yang digalakan sekolah ini adalah menampakkan kembali eksistensi SMAK John Paul II yang mengemban tujuan besar yaitu mewujudkan pendidikan intelektual dan pendidikan karakter (nilai) yang bermutu bagi peserta didik untuk menjadi kader Gereja dan bangsa. Memiliki kurikulum yang berstandar nasional, dengan tenaga pendidik dan kependidikan yang professional, serta ditunjang oleh sarana prasarana pembelajaran yang berbasis ICT (Information Communication Technology) juga menjadi suatu tradisi sekaligus cita-cita yang selalu dihidupi dan ingin diraih oleh SMAK John Paul II. Salah satu hal yang juga telah dijalankan di sekolah ini adalah pelaksanakan proses pembelajaran dengan sistem penilaian yang ketat, teliti, dan komperhensif serta memiliki sistem pendokumentasian perangkat pembelajaran, dan penilaian yang terkomputerisasi. SMAK John Paul II, dalam keseluruhan proses revitalisasi sekolah senantiasa membangun kerjasama kerjasama dengan komite dan alumni sekolah untuk menggali dana demi pengembangan sekolah, saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam catatan akhir yang disampaikannya, Rm. Fidel menerangkan bahwa segenap visi, misi, tujuan, dan segala kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, serta menajerial-administratif yang dihidupi dan dilaksanakan pada kenyataannya menjadi pedoman sekaligus aksi nyata sekolah ini untuk terus hadir sekaligus memberi warna baru di dunia pendidikan dalam skala lokal maupun nasional. Berbagai peningkatan prestasi akademik maupun non akademik yang diraih dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini adalah bukti kesungguhan dari revitalisasi yang diperjuangkan. Dengan semuanya ini, SMAK John Paul II menyatakan komitmennya, mengabdi dalam dunia pendidikan di Kabupaten Sikka. Komitmen ini senantiasa berusaha dijiwai dan hanya bisa terwujud oleh karena suatu energi yang besar, niat yang ikhlas, integritas, serta komitmen semua komponen sekolah disertai usaha yang sungguh dan pengorbanan diri yang tinggi.
Masyarakat boleh jadi punya harapan bahwa SMAK John Paul II bisa senantiasa hadir dan berkarya demi membangun manusia-manusia Nian Tana, manusia-manusia Indonesia, sesuai dengan semboyannya, Totus Tuus! SMAK John Paul II, seutuhnya milikmu!
Ulasan di atas adalah petikan dari presentasi dan shering mengenai revitalisasi SMAK John Paul II, yang disampaikan oleh Rm. Fidelis Dua, Pr, kepala sekolah SMAK John Paul II, dalam salah satu kegiatan pendidikan di Hotel Sylvia pada 3 Juni 2015, yang lalu. Berbagai uraian, shering dan presentasi dalam kegiatan itu dimaksudkan untuk menggambarkan keseluruhan upaya pengembangan SMAK John Paul II, sejak ditangani oleh Keuskupan Maumere dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa revitalisasi dalam pengertiannya selalu memuat unsur pembaruan, menghidupkan kembali, memberdayakan kembali, menyegarkan kembali sesuatu yang pernah hidup dan sangat berdaya tetapi mengalami kemunduran. Sehingga, dalam konteks sebagai lembaga pendidikan, sekolah sudah seharusnya memaksimalkan semua unsur yang dimiliki untuk menjadi lebih vital atau terberdaya tinggi demi tercapainya sasaran dan tujuan dari proses pendidikan yang dilakukan saat ini dan di masa depan. SMAK John Paul II sendiri memijakkan segenap usaha perubahan dan revitalisasinya pada filosofi ‘Duc in Altum’ dengan sebuah paradigma baru “Think Big, Start Small, and Move Fast”. Secara spesifik, SMAK John Paul II mencoba menghidupi dan menjalankan visi, misi, dan berbagai program kerja yang diarahkan sepenuhnya untuk pengembangan manajemen sekolah serta para peserta didik.
Romo Fidel menerangkan bahwa transformasi cara berpikir yang coba digalakan di sekolah ini pertama-tama dilakukan dengan upaya menghidupi sebuah visi kolektif yaitu membangun SMAK John Paul II yang setia pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa, berciri khas Katolik, unggul (smart), berkarakter (conscience and compassion), spiritual (spiritual), dan mandiri (competence). Dalam terang visi ini, misi-misi pendidikan yang diemban sekolah ini berusaha dijalankan. Dalam konteks revitalisasi, ada beberapa hal umum yang digalakan. Pembenahan penampilan dan perwajahan sekolah adalah yang paling tampak. Selanjutnnya, seperti yang terdapat dalam misinya, seluruh proses yang terjadi di sekolah ini diarahkan kepada upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang menekankan proses untuk membentuk intelek yang unggul bagi semua peserta didik sesuai dengan standar nasional pendidikan, menegakkan disiplin semua warga sekolah dalam seluruh kegiatan sekolah, serta mengembangkan bakat, minat, dan ketrampilan bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan pengembangan diri demi membentuk pribadi yang mandiri. Selain itu, SMAk John Paul II juga mengembangkan sekolah dengan ciri utama pendidikan nilai, paradigma “student centered learning”, pendidikan multikultural, penguasaan bahasa internasional dan ICT bagi semua peserta didik dan berupaya menanamkan semangat kasih, rela berkorban, kekeluargaan dan solidaritas di kalangan segenap aktor pendidikannya untuk membentuk wawasan Kristiani, kebangsaan, dan cinta tanah air.
Dalam presentasi ini juga dijelaskan bahwa orientasi dari revitalisasi yang digalakan sekolah ini adalah menampakkan kembali eksistensi SMAK John Paul II yang mengemban tujuan besar yaitu mewujudkan pendidikan intelektual dan pendidikan karakter (nilai) yang bermutu bagi peserta didik untuk menjadi kader Gereja dan bangsa. Memiliki kurikulum yang berstandar nasional, dengan tenaga pendidik dan kependidikan yang professional, serta ditunjang oleh sarana prasarana pembelajaran yang berbasis ICT (Information Communication Technology) juga menjadi suatu tradisi sekaligus cita-cita yang selalu dihidupi dan ingin diraih oleh SMAK John Paul II. Salah satu hal yang juga telah dijalankan di sekolah ini adalah pelaksanakan proses pembelajaran dengan sistem penilaian yang ketat, teliti, dan komperhensif serta memiliki sistem pendokumentasian perangkat pembelajaran, dan penilaian yang terkomputerisasi. SMAK John Paul II, dalam keseluruhan proses revitalisasi sekolah senantiasa membangun kerjasama kerjasama dengan komite dan alumni sekolah untuk menggali dana demi pengembangan sekolah, saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam catatan akhir yang disampaikannya, Rm. Fidel menerangkan bahwa segenap visi, misi, tujuan, dan segala kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, serta menajerial-administratif yang dihidupi dan dilaksanakan pada kenyataannya menjadi pedoman sekaligus aksi nyata sekolah ini untuk terus hadir sekaligus memberi warna baru di dunia pendidikan dalam skala lokal maupun nasional. Berbagai peningkatan prestasi akademik maupun non akademik yang diraih dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini adalah bukti kesungguhan dari revitalisasi yang diperjuangkan. Dengan semuanya ini, SMAK John Paul II menyatakan komitmennya, mengabdi dalam dunia pendidikan di Kabupaten Sikka. Komitmen ini senantiasa berusaha dijiwai dan hanya bisa terwujud oleh karena suatu energi yang besar, niat yang ikhlas, integritas, serta komitmen semua komponen sekolah disertai usaha yang sungguh dan pengorbanan diri yang tinggi.
Masyarakat boleh jadi punya harapan bahwa SMAK John Paul II bisa senantiasa hadir dan berkarya demi membangun manusia-manusia Nian Tana, manusia-manusia Indonesia, sesuai dengan semboyannya, Totus Tuus! SMAK John Paul II, seutuhnya milikmu!
TAHUN LITURGI DALAM PERSPEKTIF SACROSANCTUM CONCILIUM : Refleksi dan Catatan Kritis Terhadap Penghayatan serta Praktik Liturgi Umat
1. Pengantar
“Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan pembaruan dan pengembangan liturgi”, (SC.1). Cita-cita luhur ini termuat dalam Sacrosanctum Concilium sebagai buah sulung Konsili Vatikan II yang memuat asas-asas umum mengenai Liturgi Suci Gereja Katolik. Asas-asas yang termuat dalam konstitusi ini mengusung suatu semangat, yakni “ingin mengusahakan dengan saksama pembaruan umum liturgi”, (SC.21). Salah satu aspek yang diperhatikan adalah pemaknaan dan penataan kembali tahun dan masa-masa liturgi, yang kemudian terjabarkan melalui strukturisasi penanggalan liturgi, pembagian masa-masa khusus, pengklasifikasian tingkatan hari Minggu, hari raya, pesta dan peringatan orang kudus, (bdk. SC.102-111). Hal ini diusahakan Gereja untuk mengenangkan, mengakui, menghadirkan dan melaksanakan karya penyelamatan Allah yang dimulai sejak awal penciptaan, berlangsung dalam sejarah bangsa terpilih, tergenapi dalam inkarnasi Yesus Kristus, yang mencapai puncak pada wafat dan kebangkitan-Nya, berlangsung dalam sejarah Gereja, hingga kini serta oleh karena iman, harap, dan kasih selalu mengarahkan mempelai-Nya pada perjamuan abadi di surga.
Setelah 50 tahun Sacrosanctum Concilium dilahirkan, memang ada berbagai pembaruan dan pengembangan liturgi secara khusus dalam hal pemaknaan dan penataan kembali masa-masa liturgi. Namun pertanyaannya, apakah usaha ini sampai, dan berakar pada penghayatan serta praktek liturgi umat? Adakah aspek-aspek yang kurang diperhatikan atau menjadi penghambat dalam proses pembaruan liturgi seturut semangat Sacrosantum Concilium?
2. Sejarah Masa dan Tahun Liturgi
2.1. Penanggalan Umum
Penanggalan umum yang saat ini dipakai secara internasional dibuat oleh Julius Caesar pada tahun 46 SM. Penanggalan ini didasarkan pada perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Untuk sekali berevolusi, bumi membutuhkan waktu satu tahun atau 365 ¼ hari. Dalam sekali berevolusi, bumi dikitari oleh bulan selama 12 kali (revolusi bulan). Oleh karena itu, hari-hari dalam setahun yang jumlahnya 365 itu dibagi ke dalam 12 bulan. Sisanya ¼ hari setiap empat tahun (tahun kabisat). Penanggalan umum ini berlaku universal dan disebut juga penanggalan Masehi.
2.2. Penanggalan Liturgi
Penanggalan Liturgi yang kita kenal sekarang ini lahir dari berbagai proses adaptasi dan inkulturasi yang begitu panjang sejak zaman Gereja perdana. Adaptasi dan inkulturasi itu terutama dari berbagai perayan hari raya dan pesta Yahudi, hari Minggu, perayaan-perayaan pagan yang diberi isi Kristiani, devosi kepada orang-orang kudus dan juga macam-macam olah kesalehan umat. Hasil adaptasi dan inkulturasi itu kemudian diterima dan dijadikan bagian dari liturgi Gereja dalam sebuah penanggalan yang sistematis.
Pembentukan masa liturgi Kristiani sebenarnya memiliki dua akar pokok yang berasal dari tradisi Yahudi, yaitu lingkaran perayaan liturgi mingguan; siklus tujuh hari menurut pola hari Sabat Yahudi dan lingkaran perayaan liturgi tahunan; perayaan hari-hari raya dan pesta Kristiani menurut pola-pola hari raya Yahudi.
Dalam Kitab Suci kita dapat melihat bahwa pada masa hidup-Nya, Kristus bersama para murid ikut merayakan Paskah Yahudi, (bdk. Mat, 26:17-25; Luk, 22:7-25). Setelah kebangkitan Kristus, tradisi ini tetap dipertahankan oleh orang-orang Kristen Yahudi. Namun, pada zaman jemaat Kristen awal, hanya Kristuslah realitas kultis yang penting (bdk. Kol, 2:16); di sini termasuk juga sabda-Nya yang memberi hidup (bdk. Yoh. 6:63), perintah-Nya untuk saling mengasihi (bdk. Yoh. 13:34), dan kegiatan-kegiatan ritual yang Ia amanatkan untuk mengenang Dia (bdk. 1Kor, 11:24-26). Semua yang lain; hari dan bulan, musim dan tahun, pesta, bulan baru, makanan dan minuman (Gal, 4:10, Kol 2:16-19), semuanya bersifat sekunder.
Pada abad II muncul praktek perayaan Paskah tahunan dan Pentakosta 50 hari setelahnya. Penghormatan terhadap para martir, orang-orang yang sudah meninggal dan juga beberapa bentuk penghormatan kepada St. Maria sudah mulai dipraktekan.
Pada abad III dan IV perayaan Paskah dan peringatan para Martir masuk dalam ritmus masa liturgi. Khusus pada abad ke IV, ada tiga perkembangan perayaan tahunan. Pertama, terjadi Kristenisasi hari raya kafir ‘pesta dewa matahari yang tak terkalahkan’ pada tanggal 25 Desember di Gereja Barat menjadi hari raya Natal. Pada tanggal 6 Januari di Gereja Timur menjadi hari raya penampakan Tuhan. Kedua, pengembangan tematis perayaan Paskah tahunan ke dalam Tri Hari Suci dan Pekan Suci, Pentakosta, Oktaf Paskah dan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Ketiga, munculnya masa persiapan 40 hari bagi para katekumen yang akan menerima baptisan dengan melakukan tobat dan laku tobat.
Pada abad V-VII, terjadi pembentukan liturgi Romawi kuno dengan munculnya masa Adven dan pesta-pesta lain. Hal ini dipicu oleh merebaknya protestanisme sehingga Konsili Trente mengeluarkan sebuah program pastoral, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Tahata Suci dan Para Uskup, yang dimuat dalam Dekrit Reformatione Generali. Dekrit ini menunjukan pembaruan yang besar dalam liturgi dan teraplikasi pada waktu yang relatif singkat, dari 1568-1614, lewat revisi buku Liturgi Romawi. Pada abad ke X terjadi kecenderungan pengisolasian dan tumpang tindihnya hari-hari raya, dan hari-hari pesta yang diadopsi dari olah kesalehan umat.
Untuk pertama kalinya nama Tahun Gereja (bahasa Jerman: Kirchenjahr) digunakan oleh Johannes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran, pada tahun 1589 untuk menyebut keseluruhan perayaan liturgi sepanjang tahun. Di Perancis muncul nama AnnẻeChrẻtienne pada abad XVII, Annẻ spirituelle pada akhir abad XVIII dan AnnẻeLiturgique (Tahun Liturgi) dalam abad XIX. Mungkin istilah Tahun Liturgi pertama kali digunakan dalam dokumen resmi Gereja Katolik dalam ensiklik Pius XII: Mediator Dei pada tahun 1948. Akhirnya istilah Tahun Liturgi digunakan secara resmi dan meriah dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Litutgi. Dengan Konstitusi Liturgi dari Vatikan II pengertian tahun liturgi disusun dan dikembangkan. Sejak itu Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun.
Dalam aplikasi praktis, Tahun Liturgi disistematisasikan dalam bentuk penanggalan liturgi. Penanggalan Liturgi adalah daftar rumusan doa dan bacaan Ekaristi, ibadat harian (ofisi), warna pakaian liturgi, upacara-upacara khusus, dan berbagai hal yang berhubungan dengan perayaan liturgi.
3. Tahun Liturgi dalam Perspektif Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II
3.1. Makna Tahun Liturgi (SC 102-105)
Sacrosanctum Concilium artikel 102 menegaskan makna keseluruhan Tahun Liturgi sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Dalam teologi misteri, Kristus dipahami sbagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu. Dengan amat indah dan urut Tahun Liturgi Gereja menghadirkan aspek-aspek misteri Kristus itu, seolah-olah satu persatu, agar umat beriman terbuka kepada kekayaan, keutamaan dan pahala Tuhannya dan dengan demikian misteri-misteri Kristus itu dapat hadir dengan cara tertentu.
Perayaan karya keselamatan ini dirayakan dalam dua pola umum. Pertama, lingkaran satu pekan dengan hari Minggu yang disebut ‘Hari Tuhan’ sebagai saat “Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun pada hari raya agung Paskah juga dirayakannya dengan sengsara-Nya yang suci.” ( SC 102). Kedua, lingkaran perayaan liturgis tahunan dengan dua pilar utama yaitu lingkaran Natal dan lingkaran Paskah. Di antara kedua lingkaran ini ada Masa Biasa. Dalam keseluruhan masa ini Gereja terutama mengenagkan misteri Paskah Kristus, juga dalam berbagai hari raya serta pesta Tuhan dan dalam hari raya, pesta, dan peringatan para Kudus (bdk. SC 104). Dalam hal ini, St. Perawan Maria mendapat tempat istimewa di kalangan para Kudus karena seluruh keterlibatan dan pemberian diri-Nya dalam karya penyelamatan Allah (bdk. SC 103).
Pemaknaan Tahun Liturgi dalam perspektif Sacrosanctum Concilium juga menggarisbawahi “pembinaan iman umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat, dan amal belaskasihan” (bdk SC 105), yang secara keseluruhannya diarahkan dengan tujuan “membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya”, sehingga, “umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan” (SC 102).
3.2. Penekanan Kembali Makna Hari Minggu (SC 106)
“Berdasarkan tradisis para rasul yang berasal mula pada kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut hari Tuhan atau hari Minggu.” (SC 106). Penekanan kembali makna hari Minggu dilatarbelakangi oleh praktek kesalehan umat, devosi-devosi rohani serta berbagai perayaan pesta dan hari raya para Kudus dengan tema-tema khusus yang dirayakan dan menggeser perayaan Ekaristi hari Minggu. Hal ini menyebabkan terabaikannya makna hari Minggu sebagai “dasar dan inti segenap Tahun Liturgi”, saat ketika “umat beriman wajib berkumpul dan untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat kebangkitan Yesus dari antara orang mati.” Perayaan tematis mengakibatkan tergantinya bacaan-bacaan Mingguan yang sebenarnya telah ditempatkan untuk diperdengarkan kepada jemaat selama sepanjang tahun yang merepresentasikan seluruh karya dan kehadiran Yesus Kristus.
Dengan demikian, Konsili Vatikan II, melalui Sacrosanctum Concilium (106) menegaskan kembali makna pengudusan hari Minggu, sebagai saat yang bermakna bagi umat Kristen untuk mengenangkan dan mengucap syukur atas karya penyelamatan Allah yang terjadi dan tampak dalam kebangkitan Kristus dari wafat-Nya, sekaligus memberi harapan kebangkitan dan kebahagiaan kekal bagi yang percaya kepada-Nya.
3.3. Peninjauan Kembali Tahun Liturgi (SC 107-108)
Pada poin ini Gereja dalam Konsili Vatikan II menampakan ciri pembaruannya dibidang liturgi dengan mengakomodasi berbagai tradisi maupun perubahan dalam olah kesalehan, inkulturasi budaya, penggunaan bahasa setempat, sakramentali, musik liturgi, dan berbagai aspek liturgis yang sering dipraktekan oleh umat pada “masa-masa suci” dengan berbagai penyesuaian sebagaimana diatur dalam SC 39 dan 40. Semuanya ini dijalankan untuk “sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri penebusan Kristiani terutama misteri Paskah”, (SC 107).
Walaupun ada penyesuaian antara tradisi dan berbagai pembaruan, Konsili tetap menegaskan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
3.4. Masa Prapaskah (SC 109)
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konsili Vatikan II menyatakan, “dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa”,(SC 109).
Konsili Vatikan II menganggap urgensi masa Prapaskah ini hendaknya diberi perhatian penuh oleh Gereja dalam aksi pastoralnya melalui katekese-katekese yang menekankan penanaman kesadaran umat beriman akan “dampak sosial dosa maupun hakikat pertobatan, yakni menolak pertobatan sebagai penghinaan terhadap Allah”, (SC 109). Konsili Vatikan II juga menegaskan pentingnya peran serta Gereja dalam tindakan pertobatan serta doa-doa bagi para pendosa.
Konsili Vatikan II sangat menekankan puasa sebagai hal yang dianggap “keramat”, dan hendaknya wajib dilaksanakan pada “hari Jumat kenangan akan sengsara Tuhan dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu Suci”, (SC 109). “Adapun praktik pertobatan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dengan pelbagai daerah pun juga situasi umat beriman hendaknya dihgairahkan dan dianjurkan oleh pimpinan Gerejawi”, (SC 110). Selama masa Prapaskah, kesalehan umat memberi perhatian pada misteri-misteri kemanusiaan Kristus, dan selama masa Prapaskah, kaum beriman memberi perhatian besar pada Sengsara dan Wafat Tuhan. Gereja juga menghendaki agar praktik pertobatan tidak hanya dilakukan secara individual-batiniah tetapi juga harus dilakukakan secara sosial-lahiriah. Hal ini menunjukan dimensi persekutuan Gereja yang menyelamatkan semua orang yang berhimpun di dalamnya dan yang memiliki kehendak baik. Semua ulah tobat dan laku tapa ini sepenuhnya diarahkan agar hati umat “terangkat dan terbuka untuk menyambut kegembiraan hari kebangkitan Tuhan.” (Bdk. SC 110).
3.5. Pesta Para Kudus (SC 111)
Dalam tahun Liturgi, “perayaan misteri Paskah adalah saat yang paling istimewa dalam perayaan harian, minguan, dan tahunan ibadat Kristiani.” Oleh karena itu, keunggulan Tahun Liturgi atas setiap bentuk devosional lain harus dihargai sebagai titik tolak untuk hubungan antara liturgi dan kesalehan umat, termasuk di dalamnya perayaan-perayaan hari raya, pesta dan peringatan para kudus yang diakomodasi ke dalam Liturgi Gereja.
Ada tiga makna penting yang mau dikenangkan Gereja, yang tertuang dalam Sacrosanctum Concilium berkaitan dengan perayaan para kudus. Pertama, dalam diri orang kudus, Gereja mengagumi dan memuliakan buah penebusan yang unggul dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dirindukan dan dicita-citakan sekarang ini (bdk. SC 103). Hal ini berarti Gereja mewartakan Misteri Paskah yang telah dihidupi oleh para kudus itu. Kedua, Gereja menggabungkan diri dengan para kudus dalam memuji dan memuliakan Allah serta memohon mereka menjadi pendoa kita di Surga. Hal ini menampilkan dua dimensi Gereja sebagai satu persekutuan yaitu dimensi peziarah dan dimensi eskatologis Gereja. Ketiga, kepada orang beriman Gereja menyajikan hidup orang kudus sebagai teladan hidup beriman.
Perlu digarisbawahi bahwa Gereja sama sekali tidak memperkenankan pereduksian makna hari Minggu atau makna hari-hari raya Tuhan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi oleh karena adanya perayaan para kudus. Hari Mnggu tetap mendapat tempat nomor satu di antara perayaan-perayaan para kudus. Gereja juga memberi dispensasi bagi Ordinaris wilayah, dalam hal ini Uskup atau Konferensi para Uskup untuk merayakan peringatan para kudus secara lokal. Komunitas religius, konggregasi maupun Ordo juga boleh merayakan pesta atau peringatan para kudus mereka sesuai denga ketentuan yang diatur daalam SC 22, dengan catatan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
4. Catatan Kritis Mengenai Pengahyatan dan Praktik Liturgi Umat dalam Hubungan dengan Tahun Liturgi.
4.1. Catatan Umum
Berkaitan dengan pengahayatan dan praktik liturgi umat dalam hubungannya dengan Tahun Liturgi, ada beberapa hal umum yang perlu diperhatikan.
Pertama. Sesuai dengan semangat pembaruan Konsili Vatikan II, katekese liturgi mengenai Tahun dan Masa Liturgi hendaknya digiatkan dan praktekan entah secara formal dalam Pendidikan Agama Katolik maupun secara nonformal dalam pertemuan di KBG atau Paroki, rekoleksi, pembinaan dan kegiatan pastoral kategorial lainnya. Banyak umat yang tidak memahami makna dari perayaan dalam masa-masa liturgi, sehingga yang sering terjadi, dalam perayaan ritus maupun penghayatan hidup praktis semagat iman yang hendak ditanamkan dan buah liturgi yang hendak dihasilkan tidak tercapai.
Kedua. Pada kegiatan Pendalaman Dokumen-Dokumen Konsilis Vatikan II bagi Para Imam dan Frater TOP di Keuskupan Maumere, Komisi Liturgi KWI menegaskan supaya dinamika ritus-ritus menuntut penyelarasan agar diperjelas makna ritual demi penghayatan umat beriman pada saat itu dan pada Masa Liturgi yang bersangkutan, terutama dalam hal nyanyian, musik, rumusan dan doa-doa, suasana ruangan gereja, dekorasi, dan tata gerak tubuh.
Ketiga. Ada trend yang sedang terjadi yaitu sekularisasi dan komersialisasi perayaan Natal tahunan. Yang terjadi memang tidak ada hubungan dengan ritus Liturgi namun punya pengaruh terhadap pola hidup dan penghayatan masa Natal. Harus diantisipasi agar sakralitas Masa Natal tidak tereduksi oleh trend life style, serta hal-hal komersialyang fenomenal dalam masyarakat. Ada juga tendensi yang mereduksi nilai Paskah oleh karena familiarnya Natal. Dalam hal ini perlu ditegaskan lagi bahwa inti seluruh Liturgi, Tahun Liturgi dan iman Katolik adalah Kebangkitan Tuhan yang puncaknya dirayakan pada hari raya Paskah.
Keempat. Misa harian perlu mendapat perhatian. Misa harian di samping Ibadat Harian menjadi bentuk nyata upaya kita mengenang, menghayati dan menghadirkan seluruh misteri penyelamatan Kristus dalam horison waktu. Dalam hal merayakan liturgi, perlu diperhatikan kesetiaan pada persyaratan yang benar dan baik misalnya, selalu ada Mazmur Tanggapan, Alleluya harus dinyanyikan (bukan oleh imam), dan homili singkat. Hal ini terutama harus dipraktekan di seminari-seminari dan biara-biara.
Kelima. Beredarnya secara luas berbagai bentuk penanggalan Liturgi Gereja Katolik dan buku-buku penuntun seperti Ruah, Ziarah Batin, Café Rohani, atau buku-buku sejenis, sangat membantu mengarahkan umat dalam penghayatan liturgi sepanjang tahun. Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah kehadiran panduan ini tidak menjadikan penghayatan dan olah kesalehan umat dilakukan secara personal di rumah masing-masing. Aspek komunal dan persekutuan sebagi tubuh mistik Kristus harus diutamakan.
4.2. Penghayatan dan Praktek Liturgi Hari Minggu
Beberapa catatan kritis mengenai penghayatan dan praktek Liturgi hari Minggu.
Pertama. Umumnya umat menyadari arti penting hari Minggu sebagai hari Tuhan. Ekaristi maupun Ibadat Sabda di pandang sebagai saat yang penuh makna sebagai bentuk ucapan syukur dan kesempatan menerima berkat Tuhan terutama lewat Sabda serta Tubuh dan Darah Kristus. Umat di kampung-kampung, misalnya di Paroki MKK Buu Nuaria, menghayati dengan penuh kerinduan Sakramen Ekaristi pada hari Minggu. Bahkan pada hari Minggu, ada kebiasaan untuk benar-benar beristirahat dari kerja dan menjadi saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga.
Kedua. Perayaan Ekaristi bersama mempererat aspek komunitas umat beriman. Kegiatan-kegiatan pertemuan di tingkat stasi hingga paroki juga turut mewarnai hari Minggu. Selain itu, kegiatan pastoral kategorial seperti SEKAMI, pembinaan OMK, St. Anna dan yang lainnya menjadi bentuk-bentuk yang sering dijumpai di tengah umat. Hal ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketiga. Di samping hal-hal positif itu, seringkali juga dijumpai banyak umat yang acuh terhadap Ekaristi dan kegiatan Gerejani pada hari Minggu. Penekanan terhadap Masa Pakah juga Natal membuat banyak umat yang berprinsip “NAPAS”, yaitu menghadiri Ekaristi hanya pada hari Natal dan Paskah. Selain itu, oleh karena faktor keterdesakan ekonomi, banyak orang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Gereja.
Keempat. Keterbatasan jumlah imam seringkali menghalangi dilaksanakannya Ekaristi pada hari Minggu khususnya di tempat-tempat pastoral yang terpencil dan sulit.
Kelima. Ada polemik mengenai perayaan Ekaristi kematian pada hari Minggu. Di keuskupan Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD selaku Uskup Maumere telah mengeluarkan kebijakan mengenai Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani dalam peraturan bernomor No. 155/KUM/III/030314. Dalam peraturan ini, dijelaskan makna dan tingktan perayaan Liturgi sehubungan dengan perayaan Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani serta berbagai ketentuannya sesuai dengan PUMR dan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Hal ini sangat baik untuk menjawabi kebingungan dan kebutuhan umat.
Kelima. Perayaan Ekaristi hari Minggu seringkali tidak dipersiapkan dengan baik entah dari umat penanggung Liturgi maupun imam yang merayakan Misa. Ini seringkali membuat umat memilih mengikuti perayaan Ekaristi berdasarkan imam yang merayakan Misa atau umat penanggung Liturgi.
4.3. Penghayatan dan Praktek Liturgi Masa Prapaskah
Pertama. Praktek masa persiapan empat puluh hari kurang dimaknai sebagai masa tobat dan refleksi akan janji baptis yang pernah diucapkan. Puasa sebagai olah kesalehan yang sangat dianjurkan seringkali tidak dipraktikan karena berbagai alasan.
Kedua. Kebanyakan umat Gereja Flores khususnya Maumere dibaptis sesaat setelah kelahirannya sehingga praktek persiapan katekumen sangat jarang ditemukan dalam umat. Umat seringkali tidak memahami makna persiapan dan kenangan akan pembaptisan sehingga tidak ada refleksi yang mendalam pada masa empat puluh hari mengenai hal ini. Katekese mengenai dua makna inti Prapaskah perlu ditingkatkan dan diperhatikan lagi.
Ketiga. Praktik devosional umat seperti Jalan Salib, pembacaan maupun pementasan Kisah Sengsara Tuhan, berbagai bentuk doa tematis dan olah kesalehan lainnya sangat subur bertumbuh. Namun perlu juga ditekankan katekese umat sehubungan dengan perayaan tematis selama masa Prapaskah agar tidak mereduksi makna liturgi.
Keempat. Penghayataa dan pemaknaan Aksi Puasa Pembangunan seringkali hanyalah sekadar konsep tanpa adanya langkah tindak lanjut, padahal Konsili Vatikan II menekankan olah tobat tidak hanya dilakukan secara personal-batiniah tetapi juga sosisial-lahiriah. Sangat baik dan bermanfaat bahwa APP Keuskupan Maumere Tahun 2014 ini masih sejalan dengan rencana tindak lanjut Sinode I Keuskupan Maumere, sehingga diharapkan menjadi refleksi batin sekaligus dapat diaplikasikan secara konkret dam social dengan baik.
4.4. Penghayatan dan Praktek Liturgi pada Pesta dan Peringatan Orang Kudus
Pertama. Banyak umat yang kurang menghayati pesta maupun peringatan serta hari raya orang kudus sebagai sesuatu yang penting dalam Liturgi Gereja sehingga prakteknya pun tidak mendapat perhatian.
Kedua. Olah kesalehan maupun penghormatan terhadap bulan Maria bertumbuh begitu subur. Hal ini baik, namun tidak boleh mereduksi makna Liturgi sebagai sumber dan puncak kahidupan menggereja. Ada umat yang karena keterbatasan pengetahuan mengenai Masa Liturgi mengganggap bulan Mei dan Oktober yang didevosikan bagi Maria sebagai Lingkaran Masa Liturgi sendiri.
Ketiga. Dangkalnya penghayatan dan praktik Liturgi dalam kaitan dengan hari raya, pesta dan peringatan para Kudus menjadikan penghayatan serta upaya meneladani cara hidup mereka pun menjadi dangkal. Nama baptis yang mengadopsi nama para Kudus hanyalah sekadar nama. Jika nama pribadi saja tidak dimaknai dengan baik jelas nama paroki maupun segala sesuatu yang ada di luar diri yang mengadopsi atau merefleksikan orang kudus tertentu praktis sulit dimaknai.
Keempat. Seminari-seminari atau biara-biara harus menjadi model umat dalam hal katekese Liturgi mengenai perayaan, pesta maupun peringatan orang kudus. Misalnya, di biara Karmel Maumere, setiap Sabtu bersama umat diadakan misa votif St. Perawan Maria dari Gunung Karmel. Pada hari Minggu di setiap akhir perayaan Ekaristi, diumumkan peringatan, pesta maupun perayaan para Kudus yang dirayakan sepanjang sepekan agar umat tahu dan bisa berpartisipasi dalam misa maupun devosi lainnya.
5. Penutup
Karya penyelamatan Allah telah berlangsung dalam sejarah, sedang berlangsung saat ini dan akan terus berlangsung dalam horison waktu. KeseluruhanTahun Liturgi dimaknai sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Kristus harus dipahami sebagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu.
Dalam penghayatan dan prakteknya, banyak hal yang berkaitan dengan Tahun Liturgi telah dimaknai dengan baik oleh umat. Namun tidak sedikit pula yang diabaikan, tidak diperhatikan dan dimaknai sehingga buah yang seharusnya diperoleh pun akhirnya tidak dapat dinikmati. Perlu adanya katekese Liturgis terus-menerus agar dapat memberi pemahaman yang lebih baik kepada umat sehingga penghayatan dan praktik Liturgi mereka pun semakin baik dan buah dari itu dapat dinikmati demi keselamatan jiwa-jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Boli Ujan, Bernardus dan Kirchberger, Georg. (ed). Liturgi Autentik dan Relevan, Cet. ke-2, Maumere: Ledalero, 2011.
Boso da Cunha. Sacrosanctum Consilium. Materi Pendalaman Dokumen Konsili Vatikan II untuk Para Imam da Frater TOP Keuskupan Maumere, (diktat). Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2013.
Martasudjita, E. Makna Liturgi bagi Kehidupan Sehari-hari. Memahami Liturgi Secara Kontekstual, Seri Pendalaman Liturgi-1, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_________. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Lturgi. Cet. Ke-8, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________. Pengantar Liturgi: Memahami Simbol-Simbol Liturgi, Seri Pendalaman Liturgi-2, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Penerbitan-Percetakan Kanisius (comp). Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Windhu, I. Marsana. Mengenal Tahun Liturgi, Seri Bina Iman-Liturgi 1, Cet. Ke-8 Yogyakarta: Kanisisus. 2004.
2. Dokumen-Dokumen
Codex Iuris Canonici: Kitab Hukum Kanonik.
Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-Asas dan Pedoman.
Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci.
3. Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pra-Paskah
http://www.indocell.net/yesaya/id73.htm
http://pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=703&next=39
“Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan pembaruan dan pengembangan liturgi”, (SC.1). Cita-cita luhur ini termuat dalam Sacrosanctum Concilium sebagai buah sulung Konsili Vatikan II yang memuat asas-asas umum mengenai Liturgi Suci Gereja Katolik. Asas-asas yang termuat dalam konstitusi ini mengusung suatu semangat, yakni “ingin mengusahakan dengan saksama pembaruan umum liturgi”, (SC.21). Salah satu aspek yang diperhatikan adalah pemaknaan dan penataan kembali tahun dan masa-masa liturgi, yang kemudian terjabarkan melalui strukturisasi penanggalan liturgi, pembagian masa-masa khusus, pengklasifikasian tingkatan hari Minggu, hari raya, pesta dan peringatan orang kudus, (bdk. SC.102-111). Hal ini diusahakan Gereja untuk mengenangkan, mengakui, menghadirkan dan melaksanakan karya penyelamatan Allah yang dimulai sejak awal penciptaan, berlangsung dalam sejarah bangsa terpilih, tergenapi dalam inkarnasi Yesus Kristus, yang mencapai puncak pada wafat dan kebangkitan-Nya, berlangsung dalam sejarah Gereja, hingga kini serta oleh karena iman, harap, dan kasih selalu mengarahkan mempelai-Nya pada perjamuan abadi di surga.
Setelah 50 tahun Sacrosanctum Concilium dilahirkan, memang ada berbagai pembaruan dan pengembangan liturgi secara khusus dalam hal pemaknaan dan penataan kembali masa-masa liturgi. Namun pertanyaannya, apakah usaha ini sampai, dan berakar pada penghayatan serta praktek liturgi umat? Adakah aspek-aspek yang kurang diperhatikan atau menjadi penghambat dalam proses pembaruan liturgi seturut semangat Sacrosantum Concilium?
2. Sejarah Masa dan Tahun Liturgi
2.1. Penanggalan Umum
Penanggalan umum yang saat ini dipakai secara internasional dibuat oleh Julius Caesar pada tahun 46 SM. Penanggalan ini didasarkan pada perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Untuk sekali berevolusi, bumi membutuhkan waktu satu tahun atau 365 ¼ hari. Dalam sekali berevolusi, bumi dikitari oleh bulan selama 12 kali (revolusi bulan). Oleh karena itu, hari-hari dalam setahun yang jumlahnya 365 itu dibagi ke dalam 12 bulan. Sisanya ¼ hari setiap empat tahun (tahun kabisat). Penanggalan umum ini berlaku universal dan disebut juga penanggalan Masehi.
2.2. Penanggalan Liturgi
Penanggalan Liturgi yang kita kenal sekarang ini lahir dari berbagai proses adaptasi dan inkulturasi yang begitu panjang sejak zaman Gereja perdana. Adaptasi dan inkulturasi itu terutama dari berbagai perayan hari raya dan pesta Yahudi, hari Minggu, perayaan-perayaan pagan yang diberi isi Kristiani, devosi kepada orang-orang kudus dan juga macam-macam olah kesalehan umat. Hasil adaptasi dan inkulturasi itu kemudian diterima dan dijadikan bagian dari liturgi Gereja dalam sebuah penanggalan yang sistematis.
Pembentukan masa liturgi Kristiani sebenarnya memiliki dua akar pokok yang berasal dari tradisi Yahudi, yaitu lingkaran perayaan liturgi mingguan; siklus tujuh hari menurut pola hari Sabat Yahudi dan lingkaran perayaan liturgi tahunan; perayaan hari-hari raya dan pesta Kristiani menurut pola-pola hari raya Yahudi.
Dalam Kitab Suci kita dapat melihat bahwa pada masa hidup-Nya, Kristus bersama para murid ikut merayakan Paskah Yahudi, (bdk. Mat, 26:17-25; Luk, 22:7-25). Setelah kebangkitan Kristus, tradisi ini tetap dipertahankan oleh orang-orang Kristen Yahudi. Namun, pada zaman jemaat Kristen awal, hanya Kristuslah realitas kultis yang penting (bdk. Kol, 2:16); di sini termasuk juga sabda-Nya yang memberi hidup (bdk. Yoh. 6:63), perintah-Nya untuk saling mengasihi (bdk. Yoh. 13:34), dan kegiatan-kegiatan ritual yang Ia amanatkan untuk mengenang Dia (bdk. 1Kor, 11:24-26). Semua yang lain; hari dan bulan, musim dan tahun, pesta, bulan baru, makanan dan minuman (Gal, 4:10, Kol 2:16-19), semuanya bersifat sekunder.
Pada abad II muncul praktek perayaan Paskah tahunan dan Pentakosta 50 hari setelahnya. Penghormatan terhadap para martir, orang-orang yang sudah meninggal dan juga beberapa bentuk penghormatan kepada St. Maria sudah mulai dipraktekan.
Pada abad III dan IV perayaan Paskah dan peringatan para Martir masuk dalam ritmus masa liturgi. Khusus pada abad ke IV, ada tiga perkembangan perayaan tahunan. Pertama, terjadi Kristenisasi hari raya kafir ‘pesta dewa matahari yang tak terkalahkan’ pada tanggal 25 Desember di Gereja Barat menjadi hari raya Natal. Pada tanggal 6 Januari di Gereja Timur menjadi hari raya penampakan Tuhan. Kedua, pengembangan tematis perayaan Paskah tahunan ke dalam Tri Hari Suci dan Pekan Suci, Pentakosta, Oktaf Paskah dan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Ketiga, munculnya masa persiapan 40 hari bagi para katekumen yang akan menerima baptisan dengan melakukan tobat dan laku tobat.
Pada abad V-VII, terjadi pembentukan liturgi Romawi kuno dengan munculnya masa Adven dan pesta-pesta lain. Hal ini dipicu oleh merebaknya protestanisme sehingga Konsili Trente mengeluarkan sebuah program pastoral, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Tahata Suci dan Para Uskup, yang dimuat dalam Dekrit Reformatione Generali. Dekrit ini menunjukan pembaruan yang besar dalam liturgi dan teraplikasi pada waktu yang relatif singkat, dari 1568-1614, lewat revisi buku Liturgi Romawi. Pada abad ke X terjadi kecenderungan pengisolasian dan tumpang tindihnya hari-hari raya, dan hari-hari pesta yang diadopsi dari olah kesalehan umat.
Untuk pertama kalinya nama Tahun Gereja (bahasa Jerman: Kirchenjahr) digunakan oleh Johannes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran, pada tahun 1589 untuk menyebut keseluruhan perayaan liturgi sepanjang tahun. Di Perancis muncul nama AnnẻeChrẻtienne pada abad XVII, Annẻ spirituelle pada akhir abad XVIII dan AnnẻeLiturgique (Tahun Liturgi) dalam abad XIX. Mungkin istilah Tahun Liturgi pertama kali digunakan dalam dokumen resmi Gereja Katolik dalam ensiklik Pius XII: Mediator Dei pada tahun 1948. Akhirnya istilah Tahun Liturgi digunakan secara resmi dan meriah dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Litutgi. Dengan Konstitusi Liturgi dari Vatikan II pengertian tahun liturgi disusun dan dikembangkan. Sejak itu Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun.
Dalam aplikasi praktis, Tahun Liturgi disistematisasikan dalam bentuk penanggalan liturgi. Penanggalan Liturgi adalah daftar rumusan doa dan bacaan Ekaristi, ibadat harian (ofisi), warna pakaian liturgi, upacara-upacara khusus, dan berbagai hal yang berhubungan dengan perayaan liturgi.
3. Tahun Liturgi dalam Perspektif Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II
3.1. Makna Tahun Liturgi (SC 102-105)
Sacrosanctum Concilium artikel 102 menegaskan makna keseluruhan Tahun Liturgi sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Dalam teologi misteri, Kristus dipahami sbagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu. Dengan amat indah dan urut Tahun Liturgi Gereja menghadirkan aspek-aspek misteri Kristus itu, seolah-olah satu persatu, agar umat beriman terbuka kepada kekayaan, keutamaan dan pahala Tuhannya dan dengan demikian misteri-misteri Kristus itu dapat hadir dengan cara tertentu.
Perayaan karya keselamatan ini dirayakan dalam dua pola umum. Pertama, lingkaran satu pekan dengan hari Minggu yang disebut ‘Hari Tuhan’ sebagai saat “Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun pada hari raya agung Paskah juga dirayakannya dengan sengsara-Nya yang suci.” ( SC 102). Kedua, lingkaran perayaan liturgis tahunan dengan dua pilar utama yaitu lingkaran Natal dan lingkaran Paskah. Di antara kedua lingkaran ini ada Masa Biasa. Dalam keseluruhan masa ini Gereja terutama mengenagkan misteri Paskah Kristus, juga dalam berbagai hari raya serta pesta Tuhan dan dalam hari raya, pesta, dan peringatan para Kudus (bdk. SC 104). Dalam hal ini, St. Perawan Maria mendapat tempat istimewa di kalangan para Kudus karena seluruh keterlibatan dan pemberian diri-Nya dalam karya penyelamatan Allah (bdk. SC 103).
Pemaknaan Tahun Liturgi dalam perspektif Sacrosanctum Concilium juga menggarisbawahi “pembinaan iman umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat, dan amal belaskasihan” (bdk SC 105), yang secara keseluruhannya diarahkan dengan tujuan “membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya”, sehingga, “umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan” (SC 102).
3.2. Penekanan Kembali Makna Hari Minggu (SC 106)
“Berdasarkan tradisis para rasul yang berasal mula pada kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut hari Tuhan atau hari Minggu.” (SC 106). Penekanan kembali makna hari Minggu dilatarbelakangi oleh praktek kesalehan umat, devosi-devosi rohani serta berbagai perayaan pesta dan hari raya para Kudus dengan tema-tema khusus yang dirayakan dan menggeser perayaan Ekaristi hari Minggu. Hal ini menyebabkan terabaikannya makna hari Minggu sebagai “dasar dan inti segenap Tahun Liturgi”, saat ketika “umat beriman wajib berkumpul dan untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat kebangkitan Yesus dari antara orang mati.” Perayaan tematis mengakibatkan tergantinya bacaan-bacaan Mingguan yang sebenarnya telah ditempatkan untuk diperdengarkan kepada jemaat selama sepanjang tahun yang merepresentasikan seluruh karya dan kehadiran Yesus Kristus.
Dengan demikian, Konsili Vatikan II, melalui Sacrosanctum Concilium (106) menegaskan kembali makna pengudusan hari Minggu, sebagai saat yang bermakna bagi umat Kristen untuk mengenangkan dan mengucap syukur atas karya penyelamatan Allah yang terjadi dan tampak dalam kebangkitan Kristus dari wafat-Nya, sekaligus memberi harapan kebangkitan dan kebahagiaan kekal bagi yang percaya kepada-Nya.
3.3. Peninjauan Kembali Tahun Liturgi (SC 107-108)
Pada poin ini Gereja dalam Konsili Vatikan II menampakan ciri pembaruannya dibidang liturgi dengan mengakomodasi berbagai tradisi maupun perubahan dalam olah kesalehan, inkulturasi budaya, penggunaan bahasa setempat, sakramentali, musik liturgi, dan berbagai aspek liturgis yang sering dipraktekan oleh umat pada “masa-masa suci” dengan berbagai penyesuaian sebagaimana diatur dalam SC 39 dan 40. Semuanya ini dijalankan untuk “sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri penebusan Kristiani terutama misteri Paskah”, (SC 107).
Walaupun ada penyesuaian antara tradisi dan berbagai pembaruan, Konsili tetap menegaskan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
3.4. Masa Prapaskah (SC 109)
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konsili Vatikan II menyatakan, “dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa”,(SC 109).
Konsili Vatikan II menganggap urgensi masa Prapaskah ini hendaknya diberi perhatian penuh oleh Gereja dalam aksi pastoralnya melalui katekese-katekese yang menekankan penanaman kesadaran umat beriman akan “dampak sosial dosa maupun hakikat pertobatan, yakni menolak pertobatan sebagai penghinaan terhadap Allah”, (SC 109). Konsili Vatikan II juga menegaskan pentingnya peran serta Gereja dalam tindakan pertobatan serta doa-doa bagi para pendosa.
Konsili Vatikan II sangat menekankan puasa sebagai hal yang dianggap “keramat”, dan hendaknya wajib dilaksanakan pada “hari Jumat kenangan akan sengsara Tuhan dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu Suci”, (SC 109). “Adapun praktik pertobatan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dengan pelbagai daerah pun juga situasi umat beriman hendaknya dihgairahkan dan dianjurkan oleh pimpinan Gerejawi”, (SC 110). Selama masa Prapaskah, kesalehan umat memberi perhatian pada misteri-misteri kemanusiaan Kristus, dan selama masa Prapaskah, kaum beriman memberi perhatian besar pada Sengsara dan Wafat Tuhan. Gereja juga menghendaki agar praktik pertobatan tidak hanya dilakukan secara individual-batiniah tetapi juga harus dilakukakan secara sosial-lahiriah. Hal ini menunjukan dimensi persekutuan Gereja yang menyelamatkan semua orang yang berhimpun di dalamnya dan yang memiliki kehendak baik. Semua ulah tobat dan laku tapa ini sepenuhnya diarahkan agar hati umat “terangkat dan terbuka untuk menyambut kegembiraan hari kebangkitan Tuhan.” (Bdk. SC 110).
3.5. Pesta Para Kudus (SC 111)
Dalam tahun Liturgi, “perayaan misteri Paskah adalah saat yang paling istimewa dalam perayaan harian, minguan, dan tahunan ibadat Kristiani.” Oleh karena itu, keunggulan Tahun Liturgi atas setiap bentuk devosional lain harus dihargai sebagai titik tolak untuk hubungan antara liturgi dan kesalehan umat, termasuk di dalamnya perayaan-perayaan hari raya, pesta dan peringatan para kudus yang diakomodasi ke dalam Liturgi Gereja.
Ada tiga makna penting yang mau dikenangkan Gereja, yang tertuang dalam Sacrosanctum Concilium berkaitan dengan perayaan para kudus. Pertama, dalam diri orang kudus, Gereja mengagumi dan memuliakan buah penebusan yang unggul dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dirindukan dan dicita-citakan sekarang ini (bdk. SC 103). Hal ini berarti Gereja mewartakan Misteri Paskah yang telah dihidupi oleh para kudus itu. Kedua, Gereja menggabungkan diri dengan para kudus dalam memuji dan memuliakan Allah serta memohon mereka menjadi pendoa kita di Surga. Hal ini menampilkan dua dimensi Gereja sebagai satu persekutuan yaitu dimensi peziarah dan dimensi eskatologis Gereja. Ketiga, kepada orang beriman Gereja menyajikan hidup orang kudus sebagai teladan hidup beriman.
Perlu digarisbawahi bahwa Gereja sama sekali tidak memperkenankan pereduksian makna hari Minggu atau makna hari-hari raya Tuhan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi oleh karena adanya perayaan para kudus. Hari Mnggu tetap mendapat tempat nomor satu di antara perayaan-perayaan para kudus. Gereja juga memberi dispensasi bagi Ordinaris wilayah, dalam hal ini Uskup atau Konferensi para Uskup untuk merayakan peringatan para kudus secara lokal. Komunitas religius, konggregasi maupun Ordo juga boleh merayakan pesta atau peringatan para kudus mereka sesuai denga ketentuan yang diatur daalam SC 22, dengan catatan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
4. Catatan Kritis Mengenai Pengahyatan dan Praktik Liturgi Umat dalam Hubungan dengan Tahun Liturgi.
4.1. Catatan Umum
Berkaitan dengan pengahayatan dan praktik liturgi umat dalam hubungannya dengan Tahun Liturgi, ada beberapa hal umum yang perlu diperhatikan.
Pertama. Sesuai dengan semangat pembaruan Konsili Vatikan II, katekese liturgi mengenai Tahun dan Masa Liturgi hendaknya digiatkan dan praktekan entah secara formal dalam Pendidikan Agama Katolik maupun secara nonformal dalam pertemuan di KBG atau Paroki, rekoleksi, pembinaan dan kegiatan pastoral kategorial lainnya. Banyak umat yang tidak memahami makna dari perayaan dalam masa-masa liturgi, sehingga yang sering terjadi, dalam perayaan ritus maupun penghayatan hidup praktis semagat iman yang hendak ditanamkan dan buah liturgi yang hendak dihasilkan tidak tercapai.
Kedua. Pada kegiatan Pendalaman Dokumen-Dokumen Konsilis Vatikan II bagi Para Imam dan Frater TOP di Keuskupan Maumere, Komisi Liturgi KWI menegaskan supaya dinamika ritus-ritus menuntut penyelarasan agar diperjelas makna ritual demi penghayatan umat beriman pada saat itu dan pada Masa Liturgi yang bersangkutan, terutama dalam hal nyanyian, musik, rumusan dan doa-doa, suasana ruangan gereja, dekorasi, dan tata gerak tubuh.
Ketiga. Ada trend yang sedang terjadi yaitu sekularisasi dan komersialisasi perayaan Natal tahunan. Yang terjadi memang tidak ada hubungan dengan ritus Liturgi namun punya pengaruh terhadap pola hidup dan penghayatan masa Natal. Harus diantisipasi agar sakralitas Masa Natal tidak tereduksi oleh trend life style, serta hal-hal komersialyang fenomenal dalam masyarakat. Ada juga tendensi yang mereduksi nilai Paskah oleh karena familiarnya Natal. Dalam hal ini perlu ditegaskan lagi bahwa inti seluruh Liturgi, Tahun Liturgi dan iman Katolik adalah Kebangkitan Tuhan yang puncaknya dirayakan pada hari raya Paskah.
Keempat. Misa harian perlu mendapat perhatian. Misa harian di samping Ibadat Harian menjadi bentuk nyata upaya kita mengenang, menghayati dan menghadirkan seluruh misteri penyelamatan Kristus dalam horison waktu. Dalam hal merayakan liturgi, perlu diperhatikan kesetiaan pada persyaratan yang benar dan baik misalnya, selalu ada Mazmur Tanggapan, Alleluya harus dinyanyikan (bukan oleh imam), dan homili singkat. Hal ini terutama harus dipraktekan di seminari-seminari dan biara-biara.
Kelima. Beredarnya secara luas berbagai bentuk penanggalan Liturgi Gereja Katolik dan buku-buku penuntun seperti Ruah, Ziarah Batin, Café Rohani, atau buku-buku sejenis, sangat membantu mengarahkan umat dalam penghayatan liturgi sepanjang tahun. Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah kehadiran panduan ini tidak menjadikan penghayatan dan olah kesalehan umat dilakukan secara personal di rumah masing-masing. Aspek komunal dan persekutuan sebagi tubuh mistik Kristus harus diutamakan.
4.2. Penghayatan dan Praktek Liturgi Hari Minggu
Beberapa catatan kritis mengenai penghayatan dan praktek Liturgi hari Minggu.
Pertama. Umumnya umat menyadari arti penting hari Minggu sebagai hari Tuhan. Ekaristi maupun Ibadat Sabda di pandang sebagai saat yang penuh makna sebagai bentuk ucapan syukur dan kesempatan menerima berkat Tuhan terutama lewat Sabda serta Tubuh dan Darah Kristus. Umat di kampung-kampung, misalnya di Paroki MKK Buu Nuaria, menghayati dengan penuh kerinduan Sakramen Ekaristi pada hari Minggu. Bahkan pada hari Minggu, ada kebiasaan untuk benar-benar beristirahat dari kerja dan menjadi saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga.
Kedua. Perayaan Ekaristi bersama mempererat aspek komunitas umat beriman. Kegiatan-kegiatan pertemuan di tingkat stasi hingga paroki juga turut mewarnai hari Minggu. Selain itu, kegiatan pastoral kategorial seperti SEKAMI, pembinaan OMK, St. Anna dan yang lainnya menjadi bentuk-bentuk yang sering dijumpai di tengah umat. Hal ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketiga. Di samping hal-hal positif itu, seringkali juga dijumpai banyak umat yang acuh terhadap Ekaristi dan kegiatan Gerejani pada hari Minggu. Penekanan terhadap Masa Pakah juga Natal membuat banyak umat yang berprinsip “NAPAS”, yaitu menghadiri Ekaristi hanya pada hari Natal dan Paskah. Selain itu, oleh karena faktor keterdesakan ekonomi, banyak orang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Gereja.
Keempat. Keterbatasan jumlah imam seringkali menghalangi dilaksanakannya Ekaristi pada hari Minggu khususnya di tempat-tempat pastoral yang terpencil dan sulit.
Kelima. Ada polemik mengenai perayaan Ekaristi kematian pada hari Minggu. Di keuskupan Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD selaku Uskup Maumere telah mengeluarkan kebijakan mengenai Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani dalam peraturan bernomor No. 155/KUM/III/030314. Dalam peraturan ini, dijelaskan makna dan tingktan perayaan Liturgi sehubungan dengan perayaan Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani serta berbagai ketentuannya sesuai dengan PUMR dan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Hal ini sangat baik untuk menjawabi kebingungan dan kebutuhan umat.
Kelima. Perayaan Ekaristi hari Minggu seringkali tidak dipersiapkan dengan baik entah dari umat penanggung Liturgi maupun imam yang merayakan Misa. Ini seringkali membuat umat memilih mengikuti perayaan Ekaristi berdasarkan imam yang merayakan Misa atau umat penanggung Liturgi.
4.3. Penghayatan dan Praktek Liturgi Masa Prapaskah
Pertama. Praktek masa persiapan empat puluh hari kurang dimaknai sebagai masa tobat dan refleksi akan janji baptis yang pernah diucapkan. Puasa sebagai olah kesalehan yang sangat dianjurkan seringkali tidak dipraktikan karena berbagai alasan.
Kedua. Kebanyakan umat Gereja Flores khususnya Maumere dibaptis sesaat setelah kelahirannya sehingga praktek persiapan katekumen sangat jarang ditemukan dalam umat. Umat seringkali tidak memahami makna persiapan dan kenangan akan pembaptisan sehingga tidak ada refleksi yang mendalam pada masa empat puluh hari mengenai hal ini. Katekese mengenai dua makna inti Prapaskah perlu ditingkatkan dan diperhatikan lagi.
Ketiga. Praktik devosional umat seperti Jalan Salib, pembacaan maupun pementasan Kisah Sengsara Tuhan, berbagai bentuk doa tematis dan olah kesalehan lainnya sangat subur bertumbuh. Namun perlu juga ditekankan katekese umat sehubungan dengan perayaan tematis selama masa Prapaskah agar tidak mereduksi makna liturgi.
Keempat. Penghayataa dan pemaknaan Aksi Puasa Pembangunan seringkali hanyalah sekadar konsep tanpa adanya langkah tindak lanjut, padahal Konsili Vatikan II menekankan olah tobat tidak hanya dilakukan secara personal-batiniah tetapi juga sosisial-lahiriah. Sangat baik dan bermanfaat bahwa APP Keuskupan Maumere Tahun 2014 ini masih sejalan dengan rencana tindak lanjut Sinode I Keuskupan Maumere, sehingga diharapkan menjadi refleksi batin sekaligus dapat diaplikasikan secara konkret dam social dengan baik.
4.4. Penghayatan dan Praktek Liturgi pada Pesta dan Peringatan Orang Kudus
Pertama. Banyak umat yang kurang menghayati pesta maupun peringatan serta hari raya orang kudus sebagai sesuatu yang penting dalam Liturgi Gereja sehingga prakteknya pun tidak mendapat perhatian.
Kedua. Olah kesalehan maupun penghormatan terhadap bulan Maria bertumbuh begitu subur. Hal ini baik, namun tidak boleh mereduksi makna Liturgi sebagai sumber dan puncak kahidupan menggereja. Ada umat yang karena keterbatasan pengetahuan mengenai Masa Liturgi mengganggap bulan Mei dan Oktober yang didevosikan bagi Maria sebagai Lingkaran Masa Liturgi sendiri.
Ketiga. Dangkalnya penghayatan dan praktik Liturgi dalam kaitan dengan hari raya, pesta dan peringatan para Kudus menjadikan penghayatan serta upaya meneladani cara hidup mereka pun menjadi dangkal. Nama baptis yang mengadopsi nama para Kudus hanyalah sekadar nama. Jika nama pribadi saja tidak dimaknai dengan baik jelas nama paroki maupun segala sesuatu yang ada di luar diri yang mengadopsi atau merefleksikan orang kudus tertentu praktis sulit dimaknai.
Keempat. Seminari-seminari atau biara-biara harus menjadi model umat dalam hal katekese Liturgi mengenai perayaan, pesta maupun peringatan orang kudus. Misalnya, di biara Karmel Maumere, setiap Sabtu bersama umat diadakan misa votif St. Perawan Maria dari Gunung Karmel. Pada hari Minggu di setiap akhir perayaan Ekaristi, diumumkan peringatan, pesta maupun perayaan para Kudus yang dirayakan sepanjang sepekan agar umat tahu dan bisa berpartisipasi dalam misa maupun devosi lainnya.
5. Penutup
Karya penyelamatan Allah telah berlangsung dalam sejarah, sedang berlangsung saat ini dan akan terus berlangsung dalam horison waktu. KeseluruhanTahun Liturgi dimaknai sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Kristus harus dipahami sebagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu.
Dalam penghayatan dan prakteknya, banyak hal yang berkaitan dengan Tahun Liturgi telah dimaknai dengan baik oleh umat. Namun tidak sedikit pula yang diabaikan, tidak diperhatikan dan dimaknai sehingga buah yang seharusnya diperoleh pun akhirnya tidak dapat dinikmati. Perlu adanya katekese Liturgis terus-menerus agar dapat memberi pemahaman yang lebih baik kepada umat sehingga penghayatan dan praktik Liturgi mereka pun semakin baik dan buah dari itu dapat dinikmati demi keselamatan jiwa-jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Boli Ujan, Bernardus dan Kirchberger, Georg. (ed). Liturgi Autentik dan Relevan, Cet. ke-2, Maumere: Ledalero, 2011.
Boso da Cunha. Sacrosanctum Consilium. Materi Pendalaman Dokumen Konsili Vatikan II untuk Para Imam da Frater TOP Keuskupan Maumere, (diktat). Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2013.
Martasudjita, E. Makna Liturgi bagi Kehidupan Sehari-hari. Memahami Liturgi Secara Kontekstual, Seri Pendalaman Liturgi-1, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_________. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Lturgi. Cet. Ke-8, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________. Pengantar Liturgi: Memahami Simbol-Simbol Liturgi, Seri Pendalaman Liturgi-2, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Penerbitan-Percetakan Kanisius (comp). Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Windhu, I. Marsana. Mengenal Tahun Liturgi, Seri Bina Iman-Liturgi 1, Cet. Ke-8 Yogyakarta: Kanisisus. 2004.
2. Dokumen-Dokumen
Codex Iuris Canonici: Kitab Hukum Kanonik.
Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-Asas dan Pedoman.
Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci.
3. Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pra-Paskah
http://www.indocell.net/yesaya/id73.htm
http://pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=703&next=39
Karmelit INTIM ‘On Stage’
Para Karmelit memang dikenal sebagai biarawan Katolik yang menghidupi spiritualitas kontemplatif yang cukup ketat. Namun siapa sangka, di balik clausura biara, mereka berusaha mengasah potensi musikal yang mumpuni. Hal ini ditunjukan oleh para Karmelit Indonesia Timur (INTIM), khususnya para frater Biara Karmel Bo. Dionisius Maumere dalam sebuah konser Paskah yang digelar di Gedung OMK, Paroki San Juan, Lebao, Keuskupan Larantuka. Konser yang digelar pada Rabu, 6 April 20015 ini bertujuan menggalang dana pendidikan bagi para Karmelit muda. Konser ini mendapat antusiasme yang tinggi dari warga dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur.
Dalam konser kali ini, para Karmelit membawakan lagu-lagu Paskah dari zaman klasik, modern, hingga inkulturasi dan berbagai lagu hiburan. Konser yang dibagi ke dalam tiga babak ini disusun dengan sangat taktis, mulai dari lagu-lagu bernuansa sendu dan tobat khas Karmel, lagu-lagu kebangkitan dan berpuncak pada persembahan lagu-lagu hiburan rakyat. Bo. Dionisius Choir yang dipimpin oleh Fr. Yoman Sungga, O.Carm mampu mengaduk-aduk emosi penonton dari lagu ke lagu. Acara semakin meriah ketika Redion Voice tampil dengan berbagai lagu hiburan tradisional seperti Lui E, Mogi Deo Keze Walo, Bale Nagi, hingga Kelimutu. Kelompok vokal grup Karmel yang berdiri pada tahun 2007 dan telah merilis tiga album pop rohani ini juga membawakan lagu-lagu dari album-album mereka. Penonton dipaksa beranjak dari tempat duduk mereka dan ikut bergoyang mengikuti irama Ja’i hingga Dolo-Dolo yang dibawakan oleh Redion Voice diiringi oleh para pemusik dari Redion Acoustic.
Bagi para Karmelit sendiri, konser ini menjadi suatu bentuk usaha mandiri para frater dalam menggalang dana bagi proses formasi dan pendidikan yang sedang mereka geluti. Lebih jauh dari pada itu, konser ini merupakan suatu bentuk promosi panggilan yang cukup efektif. Penampilan para Karmelit dengan gaya khas mereka adalah suatu bentuk ekspresi spiritualitas yang menggerakkan hati umat untuk mengenal dan mengalami hidup doa, persaudaraan, dan pelayanan yang hadir sebagai kharisma Karmel. Kehadiran para Karmelit di kota Reinha adalah sebuah panggilan bagi umat, panggilan untuk mengikuti semangat Injil Yesus Kristus dalam pendakian menuju puncak Gunung Karmel.
Dalam konser kali ini, para Karmelit membawakan lagu-lagu Paskah dari zaman klasik, modern, hingga inkulturasi dan berbagai lagu hiburan. Konser yang dibagi ke dalam tiga babak ini disusun dengan sangat taktis, mulai dari lagu-lagu bernuansa sendu dan tobat khas Karmel, lagu-lagu kebangkitan dan berpuncak pada persembahan lagu-lagu hiburan rakyat. Bo. Dionisius Choir yang dipimpin oleh Fr. Yoman Sungga, O.Carm mampu mengaduk-aduk emosi penonton dari lagu ke lagu. Acara semakin meriah ketika Redion Voice tampil dengan berbagai lagu hiburan tradisional seperti Lui E, Mogi Deo Keze Walo, Bale Nagi, hingga Kelimutu. Kelompok vokal grup Karmel yang berdiri pada tahun 2007 dan telah merilis tiga album pop rohani ini juga membawakan lagu-lagu dari album-album mereka. Penonton dipaksa beranjak dari tempat duduk mereka dan ikut bergoyang mengikuti irama Ja’i hingga Dolo-Dolo yang dibawakan oleh Redion Voice diiringi oleh para pemusik dari Redion Acoustic.
Bagi para Karmelit sendiri, konser ini menjadi suatu bentuk usaha mandiri para frater dalam menggalang dana bagi proses formasi dan pendidikan yang sedang mereka geluti. Lebih jauh dari pada itu, konser ini merupakan suatu bentuk promosi panggilan yang cukup efektif. Penampilan para Karmelit dengan gaya khas mereka adalah suatu bentuk ekspresi spiritualitas yang menggerakkan hati umat untuk mengenal dan mengalami hidup doa, persaudaraan, dan pelayanan yang hadir sebagai kharisma Karmel. Kehadiran para Karmelit di kota Reinha adalah sebuah panggilan bagi umat, panggilan untuk mengikuti semangat Injil Yesus Kristus dalam pendakian menuju puncak Gunung Karmel.
Memeperkenalkan Lokalitas NTT Lewat Sastra (Christian Senda)
Christian Senda sungguh percaya bahwa sastra memiliki daya yang sangat kuat sebagai media promosi daerah Nusa Tenggara Timur. Bagi pria yang akrab disapa Dicky ini, sastra efektif dalam mempromosikan NTT karena sastra selalu bebicara tentang nilai, tentang kemanusiaan, dan kehidupan itu sendiri. Hal inilah yang mendorong Dicky terus bergiat di dunia sastra, dan berusaha mempromosikan lokalitas Nusa Tenggara Timur lewat cerpen-cerpennya.
Dicky mengaku tetarik untuk menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai mengenal dan menggeluti sastra secara lebih baik ketika ia mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara, Ende. Menurutnya, iklim yang dibangun di sekolah itu sangat mendukung perkembangan kecintaan dan keseriusannya dalam menggeluti dunia sastra. “Ketika di Syuradikara saya beruntung punya kepala sekolah dan bapak asrama yang juga akrab dengan dunia sastra. Tentu saja dari merekalah saya berkenalan dengan beberapa tokoh sastra mutakhir lewat buku-buku yang dipinjamkan kepada saya. Saya ingat betul pertama kali menulis cerpen ketika selesai membaca Saman, novel Ayu Utami, milik seorang frater TOP di Syuradikara”. Proses kreatifnya dalam menulis mulai meningkat saat ia kuliah di Yogyakarta. Hal ini didukung oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku, sharing, dan diskusi serta pentas karya sastra. Ketika pindah dan menetap di Kupang pada 2012, Dicky lalu terlibat dalam suatu komunitas sastra, yakni komunitas Dusun Flobamora. “Di komunitas ini saya bertemu Mario Lawi, dkk. Pengaruh komunitas ternyata sangat luar biasa. Bergiat bersama di komunitas membawa pengaruh pada motivasi dan produktivitas. Banyak diskusi dan baca buku, tentu saja membuka wawasan dan justru membuat saya mulai peka dengan diri sendiri. Berkomunitas bukan saja mengasah kemampuan saya sebagai penulis, tetapi juga memberi kesempatan untuk berjejaring dengan lebih banyak orang. Sejak itulah saya mulai membuka diri dengan penulis lain khususnya dari luar NTT, termasuk berkesempatan ikut dalam beberapa forum atau festival sastra. Dari sana kesempatan terbuka lebar. Selalu ada semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri.”
Bagi sarjana psikologi ini, motivasi untuk mengangkat tema lokalitas NTT dalam karya-karya sastranya pertama-tama bersumber dari kehidupan keluarga. “Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat kental dengan lokalitas. Nenek saya orang Jawa, dukun beranak dan sangat lekat dengan tradisi serta ritual Kejawen. Keluarga besar bapak di Flores dan mama di Timor juga sangat lekat dengan tradisi. Sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Mollo, TTS, yang masih sangat kental dengan budaya suku Dawan. Semua itu telah memberi warna tersendiri bagi jejak karya saya selama ini. Ya, sejauh ini ide atau inspirasi menulis cerpen selalu berawal dari rumah, dari keluarga.”
Meski karya-karyanya sangat kental dengan budaya Timor dan Flores, Dicky juga mengalami kesulitan ketika ingin menulis tentang kebudayaan Dawan yang sangat menarik perhatiannya. Kesulitan ini salah satunya disebabkan karena ia tidak fasih berbahasa daerah. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya tidak diperbiasakan menggunakan bahasa daerah, baik Dawan maupun Flores. Ia juga menyadari bahwa generasi-generasi saat ini sangat ketinggalan dalam memahami budaya lokal. Untuk mengejar ketertinggalan itu ia melakukan berbagai riset dan wawancara dengan penutur-penutur asli yang kian sedikit jumlahnya. “Dari sana (riset dan wawancara) saya menemukan banyak dongeng dan mitos yang masih memiliki pengaruh besar di alam bawah sadar orang Mollo. Misalnya, kebanggaan bahwa orang Mollo adalah penjaga gunung dan hutan. Ada konsep ‘oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.’ Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Wilayah Mollo adalah gunung-gunung marmer yang menyimpan air bagi setengah dari pulau Timor. Maka tak heran ketika pemerintah membawa perusahaan tambang masuk ke Mollo, para penjaga hutan dan penjaga gununglah yang gigih mengusir penambang angkat kaki dari Mollo. Lewat sastra, tema-tema ekologi yang khas dari Mollo saya angkat kembali, baik di buku kumpulan cerpen Kanuku Leon maupun di buku kumpulan cerpen terbaru saya, Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Di buku baru ini, kayu cendana bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan konflik. Saya coba memperkenalkan Timor yang disebut ‘hau fo meni’—negeri berbau harum, dan cendana yang telah memasyurkan Timor ke Cina, Arab hingga Eropa.”
Dicky aktif menulis di beberapa media seperti Bali Post dan Jurnal Sastra Santarang. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan dalam antologi cerpen 5900 Langkah, dan antologi cerpen Kematian Sasando. Sejauh ini Dicky telah mempublikasikan tiga buah buku masing-masing sebuah kumpulan puisi berjudul Cerah Hati (2011), dan dua buah kumpulan cerpen berjudul Kanuku Leon (2013), serta Haukamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Ia juga terlibat aktif, baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event serta festival sastra, seperti Temu II Sastrawan NTT 2013, Makassar International Writers Festival 2013, Asean Literary Festival 2014, Festival Sastra Santarang 2015 dan Sumba Art Gathering 2015.
Selain bergelut di dunia sastra, Dicky juga berpartisipasi dalam beberapa karya sosial-edukatif yang digalakan oleh komunitas-komunitas kreatif di Kupang dan sekitarnya. “Saat ini saya tergabung di komunitas sastra Dusun Flobamora, setelah sebelumnya turut serta mengembangkan Komunitas Blogger NTT. Dalam bidang sosial-kemanusiaan dan pengembangan kaum muda, saya ikut bergiat di Forum SoE Peduli, #KupangBagarak, Solidaritas Giovanni Paolo dan Gerakan Mari Berbagi. Saya sangat menikmati hidup sebagai penulis dan aktif mendorong pengembangan kaum muda di NTT. Bersama dengan teman-teman, kami terus berjejaring dan mempromosikan semua potensi dan gerakan positif kaum muda di NTT lewat media sosial. Kami sudah membuktikan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu menyatukan simpul-simpul komunitas lintas daerah.” Bagi Dicky, pengalaman berjejaring dengan komunitas anak muda di berbagai daerah di NTT telah membuka banyak peluang kerjasama, kolaborasi ide, dan mewujudkan mimpi bersama-sama. Dicky pun telah mengalami betapa jejaring ini mampu memberikan kontirbusi luar biasa bagi pengembangan dan promosi NTT. Pria yang punya hobi memask dan nonton film ini berharap jejaring komunitas yang telah digagas anak muda terus dihidupkan dan mendapat berbagai dukungan dari pihak-pihak yang peduli akan pengembangan dan promosi NTT.
Dicky mengaku tetarik untuk menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai mengenal dan menggeluti sastra secara lebih baik ketika ia mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara, Ende. Menurutnya, iklim yang dibangun di sekolah itu sangat mendukung perkembangan kecintaan dan keseriusannya dalam menggeluti dunia sastra. “Ketika di Syuradikara saya beruntung punya kepala sekolah dan bapak asrama yang juga akrab dengan dunia sastra. Tentu saja dari merekalah saya berkenalan dengan beberapa tokoh sastra mutakhir lewat buku-buku yang dipinjamkan kepada saya. Saya ingat betul pertama kali menulis cerpen ketika selesai membaca Saman, novel Ayu Utami, milik seorang frater TOP di Syuradikara”. Proses kreatifnya dalam menulis mulai meningkat saat ia kuliah di Yogyakarta. Hal ini didukung oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku, sharing, dan diskusi serta pentas karya sastra. Ketika pindah dan menetap di Kupang pada 2012, Dicky lalu terlibat dalam suatu komunitas sastra, yakni komunitas Dusun Flobamora. “Di komunitas ini saya bertemu Mario Lawi, dkk. Pengaruh komunitas ternyata sangat luar biasa. Bergiat bersama di komunitas membawa pengaruh pada motivasi dan produktivitas. Banyak diskusi dan baca buku, tentu saja membuka wawasan dan justru membuat saya mulai peka dengan diri sendiri. Berkomunitas bukan saja mengasah kemampuan saya sebagai penulis, tetapi juga memberi kesempatan untuk berjejaring dengan lebih banyak orang. Sejak itulah saya mulai membuka diri dengan penulis lain khususnya dari luar NTT, termasuk berkesempatan ikut dalam beberapa forum atau festival sastra. Dari sana kesempatan terbuka lebar. Selalu ada semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri.”
Bagi sarjana psikologi ini, motivasi untuk mengangkat tema lokalitas NTT dalam karya-karya sastranya pertama-tama bersumber dari kehidupan keluarga. “Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat kental dengan lokalitas. Nenek saya orang Jawa, dukun beranak dan sangat lekat dengan tradisi serta ritual Kejawen. Keluarga besar bapak di Flores dan mama di Timor juga sangat lekat dengan tradisi. Sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Mollo, TTS, yang masih sangat kental dengan budaya suku Dawan. Semua itu telah memberi warna tersendiri bagi jejak karya saya selama ini. Ya, sejauh ini ide atau inspirasi menulis cerpen selalu berawal dari rumah, dari keluarga.”
Meski karya-karyanya sangat kental dengan budaya Timor dan Flores, Dicky juga mengalami kesulitan ketika ingin menulis tentang kebudayaan Dawan yang sangat menarik perhatiannya. Kesulitan ini salah satunya disebabkan karena ia tidak fasih berbahasa daerah. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya tidak diperbiasakan menggunakan bahasa daerah, baik Dawan maupun Flores. Ia juga menyadari bahwa generasi-generasi saat ini sangat ketinggalan dalam memahami budaya lokal. Untuk mengejar ketertinggalan itu ia melakukan berbagai riset dan wawancara dengan penutur-penutur asli yang kian sedikit jumlahnya. “Dari sana (riset dan wawancara) saya menemukan banyak dongeng dan mitos yang masih memiliki pengaruh besar di alam bawah sadar orang Mollo. Misalnya, kebanggaan bahwa orang Mollo adalah penjaga gunung dan hutan. Ada konsep ‘oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.’ Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Wilayah Mollo adalah gunung-gunung marmer yang menyimpan air bagi setengah dari pulau Timor. Maka tak heran ketika pemerintah membawa perusahaan tambang masuk ke Mollo, para penjaga hutan dan penjaga gununglah yang gigih mengusir penambang angkat kaki dari Mollo. Lewat sastra, tema-tema ekologi yang khas dari Mollo saya angkat kembali, baik di buku kumpulan cerpen Kanuku Leon maupun di buku kumpulan cerpen terbaru saya, Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Di buku baru ini, kayu cendana bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan konflik. Saya coba memperkenalkan Timor yang disebut ‘hau fo meni’—negeri berbau harum, dan cendana yang telah memasyurkan Timor ke Cina, Arab hingga Eropa.”
Dicky aktif menulis di beberapa media seperti Bali Post dan Jurnal Sastra Santarang. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan dalam antologi cerpen 5900 Langkah, dan antologi cerpen Kematian Sasando. Sejauh ini Dicky telah mempublikasikan tiga buah buku masing-masing sebuah kumpulan puisi berjudul Cerah Hati (2011), dan dua buah kumpulan cerpen berjudul Kanuku Leon (2013), serta Haukamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Ia juga terlibat aktif, baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event serta festival sastra, seperti Temu II Sastrawan NTT 2013, Makassar International Writers Festival 2013, Asean Literary Festival 2014, Festival Sastra Santarang 2015 dan Sumba Art Gathering 2015.
Selain bergelut di dunia sastra, Dicky juga berpartisipasi dalam beberapa karya sosial-edukatif yang digalakan oleh komunitas-komunitas kreatif di Kupang dan sekitarnya. “Saat ini saya tergabung di komunitas sastra Dusun Flobamora, setelah sebelumnya turut serta mengembangkan Komunitas Blogger NTT. Dalam bidang sosial-kemanusiaan dan pengembangan kaum muda, saya ikut bergiat di Forum SoE Peduli, #KupangBagarak, Solidaritas Giovanni Paolo dan Gerakan Mari Berbagi. Saya sangat menikmati hidup sebagai penulis dan aktif mendorong pengembangan kaum muda di NTT. Bersama dengan teman-teman, kami terus berjejaring dan mempromosikan semua potensi dan gerakan positif kaum muda di NTT lewat media sosial. Kami sudah membuktikan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu menyatukan simpul-simpul komunitas lintas daerah.” Bagi Dicky, pengalaman berjejaring dengan komunitas anak muda di berbagai daerah di NTT telah membuka banyak peluang kerjasama, kolaborasi ide, dan mewujudkan mimpi bersama-sama. Dicky pun telah mengalami betapa jejaring ini mampu memberikan kontirbusi luar biasa bagi pengembangan dan promosi NTT. Pria yang punya hobi memask dan nonton film ini berharap jejaring komunitas yang telah digagas anak muda terus dihidupkan dan mendapat berbagai dukungan dari pihak-pihak yang peduli akan pengembangan dan promosi NTT.
Hidup dari Spirit ‘Sako Seng’ (Kelompok Tani ‘Mage Wolot’)
Derasnya arus ekonomi global dengan segala macam motif dan pesaingan yang begitu hebat, tidak pernah menyurutkan perjuangan para petani sederhana dari Dusun Napung Metit-Habibola, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka untuk membangun asa bagi hidup mereka. Berbekal kecakapan alami dan juga yang mereka dapat dari pengalaman hidup, para petani yang masih sangat tradisional ini punya cara jitu dalam menyikapi ketidakstabilan ekonomi yang hampir selalu terjadi. Cara jitu yang mereka tempuh adalah membangun organisasi tani ‘akar rumput’ yang mereka beri nama ‘Kelompok Tani Mage Wolot’. Organisasi ini menjadi sangat istimewa, karena digerakkan oleh spirit ‘sako seng’, suatu tradisi gotong royong masyarakat etnis Krowe-Krowin dalam mengelola lahan pertanian.
“Mulanya kami menjalankan tradisi sako seng. Hari ini kerja di kebun saya, besok kerja di kebun saudara yang lain, lusa kerja di kebun saudara yang lainnya lagi. Begitu seterusnya sampai semua kebun dari semua saudara habis tergarap. Setelah bertahun-tahun baru kami mulai berpikir untuk membuat satu kelompok tani yang lebih tertata rapi”, demikian dengan sangat polos dan sederhana Bapak Romanus Mitan menjelaskan awal berdirinya kelompok tani ini.
Aktivitas kelompok ini mulai dijalankan pada tahun 1997, beranggotakan belasan orang. Setiap anggota wajib membayar upah tertentu (uang) per orang setiap kali kebunnya digarap. Uang hasil pembayaran ini dimasukkan ke dalam kas kelompok. Tidak hanya di kebun, kelompok juga terlibat dalam berbagai kegiatan, misalnya pembangunan rumah warga anggota kelompok maupun non anggota kelompok serta pembangunan lain yang dijalankan di desa. Seperti biasa upah kerja dimasukkan ke dalam kas kelompok. Ini menjadi modal awal operasional kelompok.
Kelompok ini sempat mandek pada awal tahun 2000 akibat terbengkalainya administrasi keuangan. Pada tahun 2007 pembaruan dan penertiban administrasi dilakukan dengan Bapak Wilibrodus Susar sebagai ketua dan bapak Romanus Mitan sebagai bendahara dengan 25 anggota. Sejak saat itu kelompok mulai mengembangkan berbagai program bekerjasama dengan pemerintahan Desa dan Dinas Pertanian. Hampir setiap tahun mereka mendapat bantuan tetap berupa bibit (jagung hibrida dan kacang), pupuk, pestisida untuk tanaman umur panjang (mente dan kelapa), tanaman-tanaman hortikultura uji coba serta berbagai pelatihan agrikultural kontemporer. Bahkan Dinas Peternakan pun meberikan bantuan berupa kredit kambing.
Untuk kesejahteraan anggotanya, kelompok tani ini mengembangkan berbagai program seperti simpan pinjam, pengadaan perlengkapan makan hingga memasak untuk disewakan, dan dana duka. Dana duka melibatkan tidak hanya anggota tetapi juga masyarakat non anggota. Setiap anggota program dana duka akan memberikan kepada anggota lainnya yang mengalami kedukaan sumbangan berupa beras 5 kg dan uang Rp.10.000,- dan juga sumbangan tenaga untuk mengurus segala hal yang perlu hingga upacara pemakaman selesai.
Meskipun cukup eksis, kelompok tani yang sangat sederhana ini masih menghadapi banyak kendala seperti kurangnya sumber air, akses jalan yang buruk dengan biaya transportasi yang mahal, administrasi khususnya di bagian simpan pinjam yang belum tertata baik, juga masalah kekuatan manajemen internal yang diharapkan bisa mengatasi tekanan harga yang ditentukan para pemilik modal. Mereka masih membutuhkan perhatian pemerintah daerah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Harapan besar mereka letakan pada pundak putra-putri Nian Tana yang telah mengenyam pendidikan untuk pulang membangun daerahnya, dan turut menyambung asa bagi kelangsungan kerja serta hidup mereka; sekali lagi, dalam spirit ‘Sako Seng’!!
Virgin Coconut Oil: Khasiat Penyembuhan dari Kaki Gunung Egon
Hampir semua cerita tentang kisah penciptaan di seluruh kebudayaan menggambarkan alam sebagai suatu ruang yang diciptakan untuk kelangsungan hidup manusia. Alam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia, mulai dari kebutuhan akan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan. Suatu kesadaran akan tanggungjawab melestarikan dan mengolah alam ditanamkan ke dalam diri manusia meski kadang manusia menjadi buta oleh karena berbagai sebab.
Mama Matha Dhai dan Bapak Kasianus Lado, pasangan suami istri yang tinggal di kaki gunung Egon, khususnya di Dusun Blidid, Kecamatan Waigete-Kabupaten Sikka, menyadari dengan sungguh betapa alam Egon menyediakan sesuatu untuk mereka olah. Pasangan suami istri yang aktif dalam berbagai kelompok tani hortikultura di dusunnya, dan juga pemandu wisata alam Egon ini, berusaha membudidayakan tanaman kelapa masyarakat sekitar untuk dijadikan obat-obatan herbal yang memiliki banyak khasiat. Obat-obatan alternatif-herbal yang dibudidayakan ini dikenal dengan nama Virgin Coconut Oil (VCO), atau minyak kelapa murni.
Usaha ini mulai dijalankan sejak akhir tahun 2009, setelah mama Martha Dhai diundang untuk mengikuti suatu program pelatihan yang diprakarsai oleh YAKKUM Emergency Unit, suatu organisasi sosial bertaraf internasional yang khusus memperhatikan pemberdayaan masyarakat daerah rawan bencana (bencana alam, perang, konflik etnis, dll) dalam berbagai aspek terutama dalam situasi gawat darurat. Mama Martha Dahai yang menyadari betul situasi alam Egon yang kaya akan tanaman kelapa memberi perhatian khusus pada program VCO. Pada awalnya, produksi VCO dibuat hanya untuk dikonsumsi dalam keluarga. Namun, atas pengarahan Bapak Siswo Pranoto, salah satu fasilitator, Mama Martha Dhai mulai melihat aspek komersialnya, demi pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Kemudian, Mama Martha Dhai mengajak para tetangga dan beberapa kerabatnya untuk menjalankan suatu industri rumah tangga yang memproduksi VCO dalam jumlah yang lebih besar. Industri yang diberi nama ‘Egon Sakti’ ini diawali dengan modal swadaya dan perlengkapan kerja seadanya, kemudian berkembang dan selama beberapa tahun ini mendapat dukungan dari Komisi Pengembanagan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Maumere.
VCO sendiri terbuat dari daging kelapa segar yang diolah dalam suhu rendah atau tanpa melalui pemanasan (Cold Expelled Coconut Oil/CECNO), sehingga kandungan yang penting dalam minyak tetap dipertahankan, mempunyai warna lebih jernih, dan dapat tahan selama lebih dari dua tahun (2 tahun) tanpa menjadi tengik. VCO mengandung berbagai macam lemak non-kolesterol yang dibutuhkan oleh tubuh dan juga kaya akan Medium Chain Triglyseride (MCT), dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG): 1 sendok makan 14 gr mengandung 1 gr lemak jenuh rantai panjang, 0,5 gr lemak jenuh rantai pendek, dan Vitamin 300 ppn. VCO telah melalui uji laboratorium BPOM dan terbukti ampuh sebagai antivirus, anti-bakteri dan Protozoa. VCO sendiri mampu menambah dan menjaga daya tahan tubuh, menjaga sistem koordinasi, melancarkan pencernaan, dan mencegah serta menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik penyakit luar maupun penyakit dalam, serta sebagai bahan kosmetik.
Selain menawarkan produk obat herbal yang tentunya bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, industri VCO yang dijalankan oleh mama Martha Dhai dan Bapak Kasianus Lado memiliki prospek yang sangat bagus untuk ekonomi keluarga maupun masyarkat sekitar Dusun Blidid. Lewat industri ini, Mama Martha Dhai dan Bapak Kasianus Lado membuka lapangan kerja dan menjadi contoh produktif bagi masyarakat sekitar. Melalui industri dan produk-produk mereka, Mama Martha Dhai dan Bapak Kasianus Lado pun berusaha memperkenalkan wisata alam Egon yang meliputi pendakian gunung vulkanik Egon, pemandian air panas, dan pemandian alami pada bendungan Waigete, suatu upaya luhur untuk mengembangkan pariwisata daerah mereka yang masih sangat alami dan eksotik serta memberi kesegaran rohani, tetapi belum dikenal luas. Bagi para pembaca yang berminat silahkan datang, lihat, dan alamilah khasiat penyembuhan dari kaki gunung Egon!!!
Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan Dunianya
Diterbitkan dalam buku 'Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar', Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT, pada Temu II Sastarwan NTT
Dalam berbagai diskusi, lokakarya, maupun kegiatan-kegiatan sastra lainnya di NTT, masih saja terdengar komentar-komentar serta asumsi-asumsi bahwa para penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan NTT ‘hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri’. Anggapan seperti ini umumnya timbul sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kurangnya gema dan efek dari daya transformatif-konkret karya-karya para sastrawan NTT terhadap kehidupan sosial masayarakat, atau mungkin juga karena faktor apresiasi-resepsi yang sangat terbatas dari masyarakat atas karya-karya para sastrawan NTT. Untuk memahami fenomena ini, mungkin perlu dibuat suatu kajian yang lebih komprehensif. Namun, secara lebih sederhana, jika saja fenomena ini dilihat dari sudut pandang yang lebih positif dan personal dengan mengacu pada karya-karya para sastrawan NTT, akan ditemukan suatu horizon pemahaman yang lebih positif tentang nilai sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’. ‘Sabtu Kelabu’, Sebuah Kumpulan Cerpen (2011) yang merupakan karya sulung penulis muda Erlyn Lasar, bisa menjadi suatu contoh yang menarik tentang dimensi sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’.
Sabtu Kelabu memuat tujuh belas cerpen Erlyn yang ditulisnya antara tahun 2007-2011. Erlyn yang dalam rentang waktu itu berusia belasan tahun (remaja), coba menampilkan cerpen-cerpen yang diangakat dari pengalaman hidupnya sendiri. Yang ada di dunia remajanya dan yang asyik digelutinya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi titik berangkat seluruh narasi yang coba ia bangun. Cerpen-cerpen Erlyn menampilkan wawasan yang luas dan refleksi yang tajam atas realitas sosial masyarakat, dari berbagai segi kehidupan. Meski demikian, dua hal yang bisa digali dari cerpen-cerpennya, terutama yang menyoroti realitas kemiskinan masyarakat dan upaya menggali lalu menegaskan jati diri-kebudayaan lokal NTT, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kematangan karya-karya Erlyn, tampak jelas dalam nuansa realisme yang dihidupkan dalam mayoritas cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang lugas, Erlyn mencoba membangun alur-alur yang indah, dengan berbagai gejolak yang merangsang rasa penasaran serta logika yang utuh dan konsisten tertata. Yang menarik, Erlyn tidak memaksakan diri membahas masalah-masalah yang diangkat dalam cerpennya dari perspektif di luar kapasitasnya, tetapi mencoba menatap masalah-masalah itu dari sudut pandang seorang remaja, lantas memberi ruang bagi para pembaca untuk menarik makna yang lebih dalam bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari sebagian besar tokoh dan penokohan dalam cerpen-cerpennya yang relatif berusia remaja hingga dewasa awal, dengan ketegangan kisah berlatar kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh dengan sudut pandang masing-masing.
Nilai sosial ‘keasyikan’ Erlyn dengan dunia masa remajanya yang sederhana di kota Yogyakarta dan Maumere melahirkan karya-karya yang mengangkat ke permukaan sekaligus mengeritik kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi antara yang kaya dan yang miskin dari sudut pandang kehidupan remaja. Dalam cerpen ‘Aku’, ‘Ah’, dan ‘Kejujuran di Jalanan’, Erlyn mencoba mengangkat kisah-kisah anak-anak pemulung dengan segala perjuangan hidupnya. Dalam cerpen-cerpennnya ini, Erlyn menarasikan impian-impian kecil anak-anak miskin tentang boneka, tentang sekolah, tentang mimpi membahagiakan orang tua, yang dikonfrontasikan dengan berbagai wacana dan program-prgram perlindungan hak anak, serta program-program peningkatan kesejahteraan hidup rakyat kecil yang cenderung sebatas verbalisme belaka. Terhadap realitas sosial yang miris sekaligus ironis ini, Erlyn memosisikan tokoh-tokohnya dalam berbagai disposisi batin: sedih, optimis, teguh dan terus berjuang. Lewat cerpen-cerpennya, jelas terlihat, ‘keasyikan’ Erlyn dengan masa remajanya yang penuh diwarnai oleh pemandangan kehidupan anak-anak pemulung dan orang-orang miskin, memuarakan seluruh refleksinya pada titik empati, solider, dan beraksi untuk menggemakan realitas ini ke tengah-tengah masyarakat pembaca. Realitas kemiskinan yang ditawarkan Erlyn dibalut dengan pelajaran akan tenggang rasa, kesetiakawanan, dan ugahari.
Erlyn juga memperkenalkan lokalitas NTT dengan berbagai cara. Filu Merah Putih, Maafkan Ryanti ‘Kak, Moan Henyo, Gadis Tumbal, dan Takdir Berhikmah, adalah contoh-contoh cerpen yang mengangkat lokalitas NTT lewat berbagai model penceritaan. Erlyn menceritakan kembali dongeng rakyat Ine Pare dari Palue, dengan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang sang ibu, dalam cerpen Takdir Berhikmah. Lewat cerpen ini, Erlyn memperkenalkan kembali mitos seorang gadis Palu’e yang mengorbankan dirinya sehingga menjadi padi yang dimakan bangsa manusia umumnya, tentang padi yang konon tidak dapat tumbuh di tanah Palu’e akibat nazar sang ibu, sekaligus menggali kembali nilai penghormatan yang tinggi akan kerja, dan segala bentuk pengorbanan demi mempertahankan kehidupan. Dalam cerpen Gadis Tumbal, diangkat kembali dongeng tentang kisah cinta Kapalelu dan Moan Jiro Jaro. Ada pesan pengorbanan, cinta yang dibalut dalam awasan untuk menjaga dan melestarikan alam.
Erlyn juga mengkonfrontasikan wawasan kedaerahan dengan wawasan nasional-nusantara dalam Filu Merah Putih dan Maafkan Ryanti. Kedua cerpen ini mencoba mengatasi sikap-sikap minder, inferior, dan kurang percaya diri anak-anak NTT akan jati diri kedaerahan mereka berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang kelihatan lebih maju. Filu merah Putih menampilkan keraguan seorang remaja yang menyaksikan ibunya mengikuti lomba memasak makanan tradisional, yang melibatkan ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya, saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Keraguan itu lenyap seketika, dan kepercayaan dirinya tumbuh ketika ia akhirnya tahu bahwa ibunya membuat kue filu khas Ende-Lio, makanan kesukaannya. Dengan cara yang berbeda, cerpen Maafkan Rianty ‘Kak, menuntaskan konfrontasi seorang remaja Maumere yang dibesarkan di tanah rantau dalam peradaban yang jauh lebih maju dengan kebudayaan tempat asalnya, lewat kesalahan kecil di acara pernikahan kakaknya. Nyata sekali, pengalaman Erlyn hidup di pulau Jawa, turut memberi rangsangan bagi kreasi cerpen-cerpennya ini. Kepada sesama saudaranya, Erlyn ingin menitipkan pesan agar berani dan berbanggalah dengan jati diri kedaerahanmu!
Buku ‘Sabtu Kalabu’, karya Erlyn Lasar bisa membuktikan bahwa ‘sastrawan yang asyik dengan dunianya sendiri’ bisa menciptakan sesuatu yang punya nilai sosial yang sangat tinggi. Bukankah hakikat sastra juga selalu berdimensi sosial, sebagaimana seni pada umumnya selalu bersifat dulce et utile? Sastra haruslah indah sekaligus berguna. Dalam bahasa Aristoteles, sastra sebagaimana musik, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang secara esensial memiliki aspek sosial dalam dirinya. Sastra haruslah bisa menghadirkan hiburan (paidia), membentuk karakter dan cara berpikir (paideia), dan memurnikan komunitas masyarakat dari hal-hal yang buruk secara moral (katharsis). Secara lebih ekstrem, Satyagraha Hoerip dengan ‘sastra terlibatnya’ ingin agar sastrawan tampil pada garda yang paling depan dalam upaya pendidikan moral bangsanya. Masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek sastra, ilham sekaligus tujuan, sumber sekaligus muara semua nilai yang diangkat oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka.
Keluhan bahwa sastrawan, khususnya para sastrawan NTT asyik dengan dunianya sendiri, sesungguhnya adalah unkapan dahaga masyarakat akan sastra yang terlibat. Jika sastrawan, penulis muda seperti Erlyn sudah menulis dengan idealisme sosial yang demikian tinggi, pertanyaan lai yang timbul adalah sebarapa dapat dan jauh usaha masyarakat mengapresiasinya?
Dalam berbagai diskusi, lokakarya, maupun kegiatan-kegiatan sastra lainnya di NTT, masih saja terdengar komentar-komentar serta asumsi-asumsi bahwa para penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan NTT ‘hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri’. Anggapan seperti ini umumnya timbul sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kurangnya gema dan efek dari daya transformatif-konkret karya-karya para sastrawan NTT terhadap kehidupan sosial masayarakat, atau mungkin juga karena faktor apresiasi-resepsi yang sangat terbatas dari masyarakat atas karya-karya para sastrawan NTT. Untuk memahami fenomena ini, mungkin perlu dibuat suatu kajian yang lebih komprehensif. Namun, secara lebih sederhana, jika saja fenomena ini dilihat dari sudut pandang yang lebih positif dan personal dengan mengacu pada karya-karya para sastrawan NTT, akan ditemukan suatu horizon pemahaman yang lebih positif tentang nilai sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’. ‘Sabtu Kelabu’, Sebuah Kumpulan Cerpen (2011) yang merupakan karya sulung penulis muda Erlyn Lasar, bisa menjadi suatu contoh yang menarik tentang dimensi sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’.
Sabtu Kelabu memuat tujuh belas cerpen Erlyn yang ditulisnya antara tahun 2007-2011. Erlyn yang dalam rentang waktu itu berusia belasan tahun (remaja), coba menampilkan cerpen-cerpen yang diangakat dari pengalaman hidupnya sendiri. Yang ada di dunia remajanya dan yang asyik digelutinya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi titik berangkat seluruh narasi yang coba ia bangun. Cerpen-cerpen Erlyn menampilkan wawasan yang luas dan refleksi yang tajam atas realitas sosial masyarakat, dari berbagai segi kehidupan. Meski demikian, dua hal yang bisa digali dari cerpen-cerpennya, terutama yang menyoroti realitas kemiskinan masyarakat dan upaya menggali lalu menegaskan jati diri-kebudayaan lokal NTT, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kematangan karya-karya Erlyn, tampak jelas dalam nuansa realisme yang dihidupkan dalam mayoritas cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang lugas, Erlyn mencoba membangun alur-alur yang indah, dengan berbagai gejolak yang merangsang rasa penasaran serta logika yang utuh dan konsisten tertata. Yang menarik, Erlyn tidak memaksakan diri membahas masalah-masalah yang diangkat dalam cerpennya dari perspektif di luar kapasitasnya, tetapi mencoba menatap masalah-masalah itu dari sudut pandang seorang remaja, lantas memberi ruang bagi para pembaca untuk menarik makna yang lebih dalam bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari sebagian besar tokoh dan penokohan dalam cerpen-cerpennya yang relatif berusia remaja hingga dewasa awal, dengan ketegangan kisah berlatar kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh dengan sudut pandang masing-masing.
Nilai sosial ‘keasyikan’ Erlyn dengan dunia masa remajanya yang sederhana di kota Yogyakarta dan Maumere melahirkan karya-karya yang mengangkat ke permukaan sekaligus mengeritik kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi antara yang kaya dan yang miskin dari sudut pandang kehidupan remaja. Dalam cerpen ‘Aku’, ‘Ah’, dan ‘Kejujuran di Jalanan’, Erlyn mencoba mengangkat kisah-kisah anak-anak pemulung dengan segala perjuangan hidupnya. Dalam cerpen-cerpennnya ini, Erlyn menarasikan impian-impian kecil anak-anak miskin tentang boneka, tentang sekolah, tentang mimpi membahagiakan orang tua, yang dikonfrontasikan dengan berbagai wacana dan program-prgram perlindungan hak anak, serta program-program peningkatan kesejahteraan hidup rakyat kecil yang cenderung sebatas verbalisme belaka. Terhadap realitas sosial yang miris sekaligus ironis ini, Erlyn memosisikan tokoh-tokohnya dalam berbagai disposisi batin: sedih, optimis, teguh dan terus berjuang. Lewat cerpen-cerpennya, jelas terlihat, ‘keasyikan’ Erlyn dengan masa remajanya yang penuh diwarnai oleh pemandangan kehidupan anak-anak pemulung dan orang-orang miskin, memuarakan seluruh refleksinya pada titik empati, solider, dan beraksi untuk menggemakan realitas ini ke tengah-tengah masyarakat pembaca. Realitas kemiskinan yang ditawarkan Erlyn dibalut dengan pelajaran akan tenggang rasa, kesetiakawanan, dan ugahari.
Erlyn juga memperkenalkan lokalitas NTT dengan berbagai cara. Filu Merah Putih, Maafkan Ryanti ‘Kak, Moan Henyo, Gadis Tumbal, dan Takdir Berhikmah, adalah contoh-contoh cerpen yang mengangkat lokalitas NTT lewat berbagai model penceritaan. Erlyn menceritakan kembali dongeng rakyat Ine Pare dari Palue, dengan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang sang ibu, dalam cerpen Takdir Berhikmah. Lewat cerpen ini, Erlyn memperkenalkan kembali mitos seorang gadis Palu’e yang mengorbankan dirinya sehingga menjadi padi yang dimakan bangsa manusia umumnya, tentang padi yang konon tidak dapat tumbuh di tanah Palu’e akibat nazar sang ibu, sekaligus menggali kembali nilai penghormatan yang tinggi akan kerja, dan segala bentuk pengorbanan demi mempertahankan kehidupan. Dalam cerpen Gadis Tumbal, diangkat kembali dongeng tentang kisah cinta Kapalelu dan Moan Jiro Jaro. Ada pesan pengorbanan, cinta yang dibalut dalam awasan untuk menjaga dan melestarikan alam.
Erlyn juga mengkonfrontasikan wawasan kedaerahan dengan wawasan nasional-nusantara dalam Filu Merah Putih dan Maafkan Ryanti. Kedua cerpen ini mencoba mengatasi sikap-sikap minder, inferior, dan kurang percaya diri anak-anak NTT akan jati diri kedaerahan mereka berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang kelihatan lebih maju. Filu merah Putih menampilkan keraguan seorang remaja yang menyaksikan ibunya mengikuti lomba memasak makanan tradisional, yang melibatkan ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya, saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Keraguan itu lenyap seketika, dan kepercayaan dirinya tumbuh ketika ia akhirnya tahu bahwa ibunya membuat kue filu khas Ende-Lio, makanan kesukaannya. Dengan cara yang berbeda, cerpen Maafkan Rianty ‘Kak, menuntaskan konfrontasi seorang remaja Maumere yang dibesarkan di tanah rantau dalam peradaban yang jauh lebih maju dengan kebudayaan tempat asalnya, lewat kesalahan kecil di acara pernikahan kakaknya. Nyata sekali, pengalaman Erlyn hidup di pulau Jawa, turut memberi rangsangan bagi kreasi cerpen-cerpennya ini. Kepada sesama saudaranya, Erlyn ingin menitipkan pesan agar berani dan berbanggalah dengan jati diri kedaerahanmu!
Buku ‘Sabtu Kalabu’, karya Erlyn Lasar bisa membuktikan bahwa ‘sastrawan yang asyik dengan dunianya sendiri’ bisa menciptakan sesuatu yang punya nilai sosial yang sangat tinggi. Bukankah hakikat sastra juga selalu berdimensi sosial, sebagaimana seni pada umumnya selalu bersifat dulce et utile? Sastra haruslah indah sekaligus berguna. Dalam bahasa Aristoteles, sastra sebagaimana musik, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang secara esensial memiliki aspek sosial dalam dirinya. Sastra haruslah bisa menghadirkan hiburan (paidia), membentuk karakter dan cara berpikir (paideia), dan memurnikan komunitas masyarakat dari hal-hal yang buruk secara moral (katharsis). Secara lebih ekstrem, Satyagraha Hoerip dengan ‘sastra terlibatnya’ ingin agar sastrawan tampil pada garda yang paling depan dalam upaya pendidikan moral bangsanya. Masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek sastra, ilham sekaligus tujuan, sumber sekaligus muara semua nilai yang diangkat oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka.
Keluhan bahwa sastrawan, khususnya para sastrawan NTT asyik dengan dunianya sendiri, sesungguhnya adalah unkapan dahaga masyarakat akan sastra yang terlibat. Jika sastrawan, penulis muda seperti Erlyn sudah menulis dengan idealisme sosial yang demikian tinggi, pertanyaan lai yang timbul adalah sebarapa dapat dan jauh usaha masyarakat mengapresiasinya?
Langganan:
Postingan (Atom)