1. Pengantar
“Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan pembaruan dan pengembangan liturgi”, (SC.1). Cita-cita luhur ini termuat dalam Sacrosanctum Concilium sebagai buah sulung Konsili Vatikan II yang memuat asas-asas umum mengenai Liturgi Suci Gereja Katolik. Asas-asas yang termuat dalam konstitusi ini mengusung suatu semangat, yakni “ingin mengusahakan dengan saksama pembaruan umum liturgi”, (SC.21). Salah satu aspek yang diperhatikan adalah pemaknaan dan penataan kembali tahun dan masa-masa liturgi, yang kemudian terjabarkan melalui strukturisasi penanggalan liturgi, pembagian masa-masa khusus, pengklasifikasian tingkatan hari Minggu, hari raya, pesta dan peringatan orang kudus, (bdk. SC.102-111). Hal ini diusahakan Gereja untuk mengenangkan, mengakui, menghadirkan dan melaksanakan karya penyelamatan Allah yang dimulai sejak awal penciptaan, berlangsung dalam sejarah bangsa terpilih, tergenapi dalam inkarnasi Yesus Kristus, yang mencapai puncak pada wafat dan kebangkitan-Nya, berlangsung dalam sejarah Gereja, hingga kini serta oleh karena iman, harap, dan kasih selalu mengarahkan mempelai-Nya pada perjamuan abadi di surga.
Setelah 50 tahun Sacrosanctum Concilium dilahirkan, memang ada berbagai pembaruan dan pengembangan liturgi secara khusus dalam hal pemaknaan dan penataan kembali masa-masa liturgi. Namun pertanyaannya, apakah usaha ini sampai, dan berakar pada penghayatan serta praktek liturgi umat? Adakah aspek-aspek yang kurang diperhatikan atau menjadi penghambat dalam proses pembaruan liturgi seturut semangat Sacrosantum Concilium?
2. Sejarah Masa dan Tahun Liturgi
2.1. Penanggalan Umum
Penanggalan umum yang saat ini dipakai secara internasional dibuat oleh Julius Caesar pada tahun 46 SM. Penanggalan ini didasarkan pada perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Untuk sekali berevolusi, bumi membutuhkan waktu satu tahun atau 365 ¼ hari. Dalam sekali berevolusi, bumi dikitari oleh bulan selama 12 kali (revolusi bulan). Oleh karena itu, hari-hari dalam setahun yang jumlahnya 365 itu dibagi ke dalam 12 bulan. Sisanya ¼ hari setiap empat tahun (tahun kabisat). Penanggalan umum ini berlaku universal dan disebut juga penanggalan Masehi.
2.2. Penanggalan Liturgi
Penanggalan Liturgi yang kita kenal sekarang ini lahir dari berbagai proses adaptasi dan inkulturasi yang begitu panjang sejak zaman Gereja perdana. Adaptasi dan inkulturasi itu terutama dari berbagai perayan hari raya dan pesta Yahudi, hari Minggu, perayaan-perayaan pagan yang diberi isi Kristiani, devosi kepada orang-orang kudus dan juga macam-macam olah kesalehan umat. Hasil adaptasi dan inkulturasi itu kemudian diterima dan dijadikan bagian dari liturgi Gereja dalam sebuah penanggalan yang sistematis.
Pembentukan masa liturgi Kristiani sebenarnya memiliki dua akar pokok yang berasal dari tradisi Yahudi, yaitu lingkaran perayaan liturgi mingguan; siklus tujuh hari menurut pola hari Sabat Yahudi dan lingkaran perayaan liturgi tahunan; perayaan hari-hari raya dan pesta Kristiani menurut pola-pola hari raya Yahudi.
Dalam Kitab Suci kita dapat melihat bahwa pada masa hidup-Nya, Kristus bersama para murid ikut merayakan Paskah Yahudi, (bdk. Mat, 26:17-25; Luk, 22:7-25). Setelah kebangkitan Kristus, tradisi ini tetap dipertahankan oleh orang-orang Kristen Yahudi. Namun, pada zaman jemaat Kristen awal, hanya Kristuslah realitas kultis yang penting (bdk. Kol, 2:16); di sini termasuk juga sabda-Nya yang memberi hidup (bdk. Yoh. 6:63), perintah-Nya untuk saling mengasihi (bdk. Yoh. 13:34), dan kegiatan-kegiatan ritual yang Ia amanatkan untuk mengenang Dia (bdk. 1Kor, 11:24-26). Semua yang lain; hari dan bulan, musim dan tahun, pesta, bulan baru, makanan dan minuman (Gal, 4:10, Kol 2:16-19), semuanya bersifat sekunder.
Pada abad II muncul praktek perayaan Paskah tahunan dan Pentakosta 50 hari setelahnya. Penghormatan terhadap para martir, orang-orang yang sudah meninggal dan juga beberapa bentuk penghormatan kepada St. Maria sudah mulai dipraktekan.
Pada abad III dan IV perayaan Paskah dan peringatan para Martir masuk dalam ritmus masa liturgi. Khusus pada abad ke IV, ada tiga perkembangan perayaan tahunan. Pertama, terjadi Kristenisasi hari raya kafir ‘pesta dewa matahari yang tak terkalahkan’ pada tanggal 25 Desember di Gereja Barat menjadi hari raya Natal. Pada tanggal 6 Januari di Gereja Timur menjadi hari raya penampakan Tuhan. Kedua, pengembangan tematis perayaan Paskah tahunan ke dalam Tri Hari Suci dan Pekan Suci, Pentakosta, Oktaf Paskah dan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Ketiga, munculnya masa persiapan 40 hari bagi para katekumen yang akan menerima baptisan dengan melakukan tobat dan laku tobat.
Pada abad V-VII, terjadi pembentukan liturgi Romawi kuno dengan munculnya masa Adven dan pesta-pesta lain. Hal ini dipicu oleh merebaknya protestanisme sehingga Konsili Trente mengeluarkan sebuah program pastoral, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Tahata Suci dan Para Uskup, yang dimuat dalam Dekrit Reformatione Generali. Dekrit ini menunjukan pembaruan yang besar dalam liturgi dan teraplikasi pada waktu yang relatif singkat, dari 1568-1614, lewat revisi buku Liturgi Romawi. Pada abad ke X terjadi kecenderungan pengisolasian dan tumpang tindihnya hari-hari raya, dan hari-hari pesta yang diadopsi dari olah kesalehan umat.
Untuk pertama kalinya nama Tahun Gereja (bahasa Jerman: Kirchenjahr) digunakan oleh Johannes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran, pada tahun 1589 untuk menyebut keseluruhan perayaan liturgi sepanjang tahun. Di Perancis muncul nama AnnẻeChrẻtienne pada abad XVII, Annẻ spirituelle pada akhir abad XVIII dan AnnẻeLiturgique (Tahun Liturgi) dalam abad XIX. Mungkin istilah Tahun Liturgi pertama kali digunakan dalam dokumen resmi Gereja Katolik dalam ensiklik Pius XII: Mediator Dei pada tahun 1948. Akhirnya istilah Tahun Liturgi digunakan secara resmi dan meriah dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Litutgi. Dengan Konstitusi Liturgi dari Vatikan II pengertian tahun liturgi disusun dan dikembangkan. Sejak itu Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun.
Dalam aplikasi praktis, Tahun Liturgi disistematisasikan dalam bentuk penanggalan liturgi. Penanggalan Liturgi adalah daftar rumusan doa dan bacaan Ekaristi, ibadat harian (ofisi), warna pakaian liturgi, upacara-upacara khusus, dan berbagai hal yang berhubungan dengan perayaan liturgi.
3. Tahun Liturgi dalam Perspektif Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II
3.1. Makna Tahun Liturgi (SC 102-105)
Sacrosanctum Concilium artikel 102 menegaskan makna keseluruhan Tahun Liturgi sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Dalam teologi misteri, Kristus dipahami sbagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu. Dengan amat indah dan urut Tahun Liturgi Gereja menghadirkan aspek-aspek misteri Kristus itu, seolah-olah satu persatu, agar umat beriman terbuka kepada kekayaan, keutamaan dan pahala Tuhannya dan dengan demikian misteri-misteri Kristus itu dapat hadir dengan cara tertentu.
Perayaan karya keselamatan ini dirayakan dalam dua pola umum. Pertama, lingkaran satu pekan dengan hari Minggu yang disebut ‘Hari Tuhan’ sebagai saat “Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun pada hari raya agung Paskah juga dirayakannya dengan sengsara-Nya yang suci.” ( SC 102). Kedua, lingkaran perayaan liturgis tahunan dengan dua pilar utama yaitu lingkaran Natal dan lingkaran Paskah. Di antara kedua lingkaran ini ada Masa Biasa. Dalam keseluruhan masa ini Gereja terutama mengenagkan misteri Paskah Kristus, juga dalam berbagai hari raya serta pesta Tuhan dan dalam hari raya, pesta, dan peringatan para Kudus (bdk. SC 104). Dalam hal ini, St. Perawan Maria mendapat tempat istimewa di kalangan para Kudus karena seluruh keterlibatan dan pemberian diri-Nya dalam karya penyelamatan Allah (bdk. SC 103).
Pemaknaan Tahun Liturgi dalam perspektif Sacrosanctum Concilium juga menggarisbawahi “pembinaan iman umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat, dan amal belaskasihan” (bdk SC 105), yang secara keseluruhannya diarahkan dengan tujuan “membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya”, sehingga, “umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan” (SC 102).
3.2. Penekanan Kembali Makna Hari Minggu (SC 106)
“Berdasarkan tradisis para rasul yang berasal mula pada kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut hari Tuhan atau hari Minggu.” (SC 106). Penekanan kembali makna hari Minggu dilatarbelakangi oleh praktek kesalehan umat, devosi-devosi rohani serta berbagai perayaan pesta dan hari raya para Kudus dengan tema-tema khusus yang dirayakan dan menggeser perayaan Ekaristi hari Minggu. Hal ini menyebabkan terabaikannya makna hari Minggu sebagai “dasar dan inti segenap Tahun Liturgi”, saat ketika “umat beriman wajib berkumpul dan untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat kebangkitan Yesus dari antara orang mati.” Perayaan tematis mengakibatkan tergantinya bacaan-bacaan Mingguan yang sebenarnya telah ditempatkan untuk diperdengarkan kepada jemaat selama sepanjang tahun yang merepresentasikan seluruh karya dan kehadiran Yesus Kristus.
Dengan demikian, Konsili Vatikan II, melalui Sacrosanctum Concilium (106) menegaskan kembali makna pengudusan hari Minggu, sebagai saat yang bermakna bagi umat Kristen untuk mengenangkan dan mengucap syukur atas karya penyelamatan Allah yang terjadi dan tampak dalam kebangkitan Kristus dari wafat-Nya, sekaligus memberi harapan kebangkitan dan kebahagiaan kekal bagi yang percaya kepada-Nya.
3.3. Peninjauan Kembali Tahun Liturgi (SC 107-108)
Pada poin ini Gereja dalam Konsili Vatikan II menampakan ciri pembaruannya dibidang liturgi dengan mengakomodasi berbagai tradisi maupun perubahan dalam olah kesalehan, inkulturasi budaya, penggunaan bahasa setempat, sakramentali, musik liturgi, dan berbagai aspek liturgis yang sering dipraktekan oleh umat pada “masa-masa suci” dengan berbagai penyesuaian sebagaimana diatur dalam SC 39 dan 40. Semuanya ini dijalankan untuk “sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri penebusan Kristiani terutama misteri Paskah”, (SC 107).
Walaupun ada penyesuaian antara tradisi dan berbagai pembaruan, Konsili tetap menegaskan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
3.4. Masa Prapaskah (SC 109)
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konsili Vatikan II menyatakan, “dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa”,(SC 109).
Konsili Vatikan II menganggap urgensi masa Prapaskah ini hendaknya diberi perhatian penuh oleh Gereja dalam aksi pastoralnya melalui katekese-katekese yang menekankan penanaman kesadaran umat beriman akan “dampak sosial dosa maupun hakikat pertobatan, yakni menolak pertobatan sebagai penghinaan terhadap Allah”, (SC 109). Konsili Vatikan II juga menegaskan pentingnya peran serta Gereja dalam tindakan pertobatan serta doa-doa bagi para pendosa.
Konsili Vatikan II sangat menekankan puasa sebagai hal yang dianggap “keramat”, dan hendaknya wajib dilaksanakan pada “hari Jumat kenangan akan sengsara Tuhan dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu Suci”, (SC 109). “Adapun praktik pertobatan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dengan pelbagai daerah pun juga situasi umat beriman hendaknya dihgairahkan dan dianjurkan oleh pimpinan Gerejawi”, (SC 110). Selama masa Prapaskah, kesalehan umat memberi perhatian pada misteri-misteri kemanusiaan Kristus, dan selama masa Prapaskah, kaum beriman memberi perhatian besar pada Sengsara dan Wafat Tuhan. Gereja juga menghendaki agar praktik pertobatan tidak hanya dilakukan secara individual-batiniah tetapi juga harus dilakukakan secara sosial-lahiriah. Hal ini menunjukan dimensi persekutuan Gereja yang menyelamatkan semua orang yang berhimpun di dalamnya dan yang memiliki kehendak baik. Semua ulah tobat dan laku tapa ini sepenuhnya diarahkan agar hati umat “terangkat dan terbuka untuk menyambut kegembiraan hari kebangkitan Tuhan.” (Bdk. SC 110).
3.5. Pesta Para Kudus (SC 111)
Dalam tahun Liturgi, “perayaan misteri Paskah adalah saat yang paling istimewa dalam perayaan harian, minguan, dan tahunan ibadat Kristiani.” Oleh karena itu, keunggulan Tahun Liturgi atas setiap bentuk devosional lain harus dihargai sebagai titik tolak untuk hubungan antara liturgi dan kesalehan umat, termasuk di dalamnya perayaan-perayaan hari raya, pesta dan peringatan para kudus yang diakomodasi ke dalam Liturgi Gereja.
Ada tiga makna penting yang mau dikenangkan Gereja, yang tertuang dalam Sacrosanctum Concilium berkaitan dengan perayaan para kudus. Pertama, dalam diri orang kudus, Gereja mengagumi dan memuliakan buah penebusan yang unggul dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dirindukan dan dicita-citakan sekarang ini (bdk. SC 103). Hal ini berarti Gereja mewartakan Misteri Paskah yang telah dihidupi oleh para kudus itu. Kedua, Gereja menggabungkan diri dengan para kudus dalam memuji dan memuliakan Allah serta memohon mereka menjadi pendoa kita di Surga. Hal ini menampilkan dua dimensi Gereja sebagai satu persekutuan yaitu dimensi peziarah dan dimensi eskatologis Gereja. Ketiga, kepada orang beriman Gereja menyajikan hidup orang kudus sebagai teladan hidup beriman.
Perlu digarisbawahi bahwa Gereja sama sekali tidak memperkenankan pereduksian makna hari Minggu atau makna hari-hari raya Tuhan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi oleh karena adanya perayaan para kudus. Hari Mnggu tetap mendapat tempat nomor satu di antara perayaan-perayaan para kudus. Gereja juga memberi dispensasi bagi Ordinaris wilayah, dalam hal ini Uskup atau Konferensi para Uskup untuk merayakan peringatan para kudus secara lokal. Komunitas religius, konggregasi maupun Ordo juga boleh merayakan pesta atau peringatan para kudus mereka sesuai denga ketentuan yang diatur daalam SC 22, dengan catatan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
4. Catatan Kritis Mengenai Pengahyatan dan Praktik Liturgi Umat dalam Hubungan dengan Tahun Liturgi.
4.1. Catatan Umum
Berkaitan dengan pengahayatan dan praktik liturgi umat dalam hubungannya dengan Tahun Liturgi, ada beberapa hal umum yang perlu diperhatikan.
Pertama. Sesuai dengan semangat pembaruan Konsili Vatikan II, katekese liturgi mengenai Tahun dan Masa Liturgi hendaknya digiatkan dan praktekan entah secara formal dalam Pendidikan Agama Katolik maupun secara nonformal dalam pertemuan di KBG atau Paroki, rekoleksi, pembinaan dan kegiatan pastoral kategorial lainnya. Banyak umat yang tidak memahami makna dari perayaan dalam masa-masa liturgi, sehingga yang sering terjadi, dalam perayaan ritus maupun penghayatan hidup praktis semagat iman yang hendak ditanamkan dan buah liturgi yang hendak dihasilkan tidak tercapai.
Kedua. Pada kegiatan Pendalaman Dokumen-Dokumen Konsilis Vatikan II bagi Para Imam dan Frater TOP di Keuskupan Maumere, Komisi Liturgi KWI menegaskan supaya dinamika ritus-ritus menuntut penyelarasan agar diperjelas makna ritual demi penghayatan umat beriman pada saat itu dan pada Masa Liturgi yang bersangkutan, terutama dalam hal nyanyian, musik, rumusan dan doa-doa, suasana ruangan gereja, dekorasi, dan tata gerak tubuh.
Ketiga. Ada trend yang sedang terjadi yaitu sekularisasi dan komersialisasi perayaan Natal tahunan. Yang terjadi memang tidak ada hubungan dengan ritus Liturgi namun punya pengaruh terhadap pola hidup dan penghayatan masa Natal. Harus diantisipasi agar sakralitas Masa Natal tidak tereduksi oleh trend life style, serta hal-hal komersialyang fenomenal dalam masyarakat. Ada juga tendensi yang mereduksi nilai Paskah oleh karena familiarnya Natal. Dalam hal ini perlu ditegaskan lagi bahwa inti seluruh Liturgi, Tahun Liturgi dan iman Katolik adalah Kebangkitan Tuhan yang puncaknya dirayakan pada hari raya Paskah.
Keempat. Misa harian perlu mendapat perhatian. Misa harian di samping Ibadat Harian menjadi bentuk nyata upaya kita mengenang, menghayati dan menghadirkan seluruh misteri penyelamatan Kristus dalam horison waktu. Dalam hal merayakan liturgi, perlu diperhatikan kesetiaan pada persyaratan yang benar dan baik misalnya, selalu ada Mazmur Tanggapan, Alleluya harus dinyanyikan (bukan oleh imam), dan homili singkat. Hal ini terutama harus dipraktekan di seminari-seminari dan biara-biara.
Kelima. Beredarnya secara luas berbagai bentuk penanggalan Liturgi Gereja Katolik dan buku-buku penuntun seperti Ruah, Ziarah Batin, Café Rohani, atau buku-buku sejenis, sangat membantu mengarahkan umat dalam penghayatan liturgi sepanjang tahun. Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah kehadiran panduan ini tidak menjadikan penghayatan dan olah kesalehan umat dilakukan secara personal di rumah masing-masing. Aspek komunal dan persekutuan sebagi tubuh mistik Kristus harus diutamakan.
4.2. Penghayatan dan Praktek Liturgi Hari Minggu
Beberapa catatan kritis mengenai penghayatan dan praktek Liturgi hari Minggu.
Pertama. Umumnya umat menyadari arti penting hari Minggu sebagai hari Tuhan. Ekaristi maupun Ibadat Sabda di pandang sebagai saat yang penuh makna sebagai bentuk ucapan syukur dan kesempatan menerima berkat Tuhan terutama lewat Sabda serta Tubuh dan Darah Kristus. Umat di kampung-kampung, misalnya di Paroki MKK Buu Nuaria, menghayati dengan penuh kerinduan Sakramen Ekaristi pada hari Minggu. Bahkan pada hari Minggu, ada kebiasaan untuk benar-benar beristirahat dari kerja dan menjadi saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga.
Kedua. Perayaan Ekaristi bersama mempererat aspek komunitas umat beriman. Kegiatan-kegiatan pertemuan di tingkat stasi hingga paroki juga turut mewarnai hari Minggu. Selain itu, kegiatan pastoral kategorial seperti SEKAMI, pembinaan OMK, St. Anna dan yang lainnya menjadi bentuk-bentuk yang sering dijumpai di tengah umat. Hal ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketiga. Di samping hal-hal positif itu, seringkali juga dijumpai banyak umat yang acuh terhadap Ekaristi dan kegiatan Gerejani pada hari Minggu. Penekanan terhadap Masa Pakah juga Natal membuat banyak umat yang berprinsip “NAPAS”, yaitu menghadiri Ekaristi hanya pada hari Natal dan Paskah. Selain itu, oleh karena faktor keterdesakan ekonomi, banyak orang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Gereja.
Keempat. Keterbatasan jumlah imam seringkali menghalangi dilaksanakannya Ekaristi pada hari Minggu khususnya di tempat-tempat pastoral yang terpencil dan sulit.
Kelima. Ada polemik mengenai perayaan Ekaristi kematian pada hari Minggu. Di keuskupan Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD selaku Uskup Maumere telah mengeluarkan kebijakan mengenai Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani dalam peraturan bernomor No. 155/KUM/III/030314. Dalam peraturan ini, dijelaskan makna dan tingktan perayaan Liturgi sehubungan dengan perayaan Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani serta berbagai ketentuannya sesuai dengan PUMR dan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Hal ini sangat baik untuk menjawabi kebingungan dan kebutuhan umat.
Kelima. Perayaan Ekaristi hari Minggu seringkali tidak dipersiapkan dengan baik entah dari umat penanggung Liturgi maupun imam yang merayakan Misa. Ini seringkali membuat umat memilih mengikuti perayaan Ekaristi berdasarkan imam yang merayakan Misa atau umat penanggung Liturgi.
4.3. Penghayatan dan Praktek Liturgi Masa Prapaskah
Pertama. Praktek masa persiapan empat puluh hari kurang dimaknai sebagai masa tobat dan refleksi akan janji baptis yang pernah diucapkan. Puasa sebagai olah kesalehan yang sangat dianjurkan seringkali tidak dipraktikan karena berbagai alasan.
Kedua. Kebanyakan umat Gereja Flores khususnya Maumere dibaptis sesaat setelah kelahirannya sehingga praktek persiapan katekumen sangat jarang ditemukan dalam umat. Umat seringkali tidak memahami makna persiapan dan kenangan akan pembaptisan sehingga tidak ada refleksi yang mendalam pada masa empat puluh hari mengenai hal ini. Katekese mengenai dua makna inti Prapaskah perlu ditingkatkan dan diperhatikan lagi.
Ketiga. Praktik devosional umat seperti Jalan Salib, pembacaan maupun pementasan Kisah Sengsara Tuhan, berbagai bentuk doa tematis dan olah kesalehan lainnya sangat subur bertumbuh. Namun perlu juga ditekankan katekese umat sehubungan dengan perayaan tematis selama masa Prapaskah agar tidak mereduksi makna liturgi.
Keempat. Penghayataa dan pemaknaan Aksi Puasa Pembangunan seringkali hanyalah sekadar konsep tanpa adanya langkah tindak lanjut, padahal Konsili Vatikan II menekankan olah tobat tidak hanya dilakukan secara personal-batiniah tetapi juga sosisial-lahiriah. Sangat baik dan bermanfaat bahwa APP Keuskupan Maumere Tahun 2014 ini masih sejalan dengan rencana tindak lanjut Sinode I Keuskupan Maumere, sehingga diharapkan menjadi refleksi batin sekaligus dapat diaplikasikan secara konkret dam social dengan baik.
4.4. Penghayatan dan Praktek Liturgi pada Pesta dan Peringatan Orang Kudus
Pertama. Banyak umat yang kurang menghayati pesta maupun peringatan serta hari raya orang kudus sebagai sesuatu yang penting dalam Liturgi Gereja sehingga prakteknya pun tidak mendapat perhatian.
Kedua. Olah kesalehan maupun penghormatan terhadap bulan Maria bertumbuh begitu subur. Hal ini baik, namun tidak boleh mereduksi makna Liturgi sebagai sumber dan puncak kahidupan menggereja. Ada umat yang karena keterbatasan pengetahuan mengenai Masa Liturgi mengganggap bulan Mei dan Oktober yang didevosikan bagi Maria sebagai Lingkaran Masa Liturgi sendiri.
Ketiga. Dangkalnya penghayatan dan praktik Liturgi dalam kaitan dengan hari raya, pesta dan peringatan para Kudus menjadikan penghayatan serta upaya meneladani cara hidup mereka pun menjadi dangkal. Nama baptis yang mengadopsi nama para Kudus hanyalah sekadar nama. Jika nama pribadi saja tidak dimaknai dengan baik jelas nama paroki maupun segala sesuatu yang ada di luar diri yang mengadopsi atau merefleksikan orang kudus tertentu praktis sulit dimaknai.
Keempat. Seminari-seminari atau biara-biara harus menjadi model umat dalam hal katekese Liturgi mengenai perayaan, pesta maupun peringatan orang kudus. Misalnya, di biara Karmel Maumere, setiap Sabtu bersama umat diadakan misa votif St. Perawan Maria dari Gunung Karmel. Pada hari Minggu di setiap akhir perayaan Ekaristi, diumumkan peringatan, pesta maupun perayaan para Kudus yang dirayakan sepanjang sepekan agar umat tahu dan bisa berpartisipasi dalam misa maupun devosi lainnya.
5. Penutup
Karya penyelamatan Allah telah berlangsung dalam sejarah, sedang berlangsung saat ini dan akan terus berlangsung dalam horison waktu. KeseluruhanTahun Liturgi dimaknai sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Kristus harus dipahami sebagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu.
Dalam penghayatan dan prakteknya, banyak hal yang berkaitan dengan Tahun Liturgi telah dimaknai dengan baik oleh umat. Namun tidak sedikit pula yang diabaikan, tidak diperhatikan dan dimaknai sehingga buah yang seharusnya diperoleh pun akhirnya tidak dapat dinikmati. Perlu adanya katekese Liturgis terus-menerus agar dapat memberi pemahaman yang lebih baik kepada umat sehingga penghayatan dan praktik Liturgi mereka pun semakin baik dan buah dari itu dapat dinikmati demi keselamatan jiwa-jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Boli Ujan, Bernardus dan Kirchberger, Georg. (ed). Liturgi Autentik dan Relevan, Cet. ke-2, Maumere: Ledalero, 2011.
Boso da Cunha. Sacrosanctum Consilium. Materi Pendalaman Dokumen Konsili Vatikan II untuk Para Imam da Frater TOP Keuskupan Maumere, (diktat). Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2013.
Martasudjita, E. Makna Liturgi bagi Kehidupan Sehari-hari. Memahami Liturgi Secara Kontekstual, Seri Pendalaman Liturgi-1, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_________. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Lturgi. Cet. Ke-8, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________. Pengantar Liturgi: Memahami Simbol-Simbol Liturgi, Seri Pendalaman Liturgi-2, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Penerbitan-Percetakan Kanisius (comp). Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Windhu, I. Marsana. Mengenal Tahun Liturgi, Seri Bina Iman-Liturgi 1, Cet. Ke-8 Yogyakarta: Kanisisus. 2004.
2. Dokumen-Dokumen
Codex Iuris Canonici: Kitab Hukum Kanonik.
Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-Asas dan Pedoman.
Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci.
3. Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pra-Paskah
http://www.indocell.net/yesaya/id73.htm
http://pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=703&next=39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar