Doa
Tuhanku
Di dalam rumah hatiku
Ku sediakan potongan-potongan harta jiwaku
Segunung dosa
Ingin ku pindahkan ke lautan cinta-Mu
Beri aku sebesar biji sesawi saja.
Tuhan
Pada persinggahan-Mu malam ini
Pulang
biarkan saja hujan yang jatuh menemukan kekasihnya
di balik gersang rerumputan
dan kita terus saja menulis
pada serpi-serpih lontar yang kian menguning kering
gerimis adalah tanda yang diam
dan pada kemarau yang lapar
adalah berkah yang membuat
doa-doa para pekerja ladang serupa hening
kita bertanya-tanya kapan Elia segera kembali
pulang, sebab dosa-dosa kita
tak terbayar oleh tangisan dan hujatan yang lirih
di pinggir tembok-tembok ratapan yang berkisah tentang dua dunia
anak--anak yang terlantar
dan ibu-ibu serta bapak-bapak yang habis
dalam cengkraman pelahap-pelahap
kita berdoa supaya hujan lekas turun
supaya kita tak lagi menagis
sebab hujan adalah doa yang tak selalu terjawab
dan pulang sebagai hening yang tentram
Think Big, Start Small, and Move Fast : Revitalisasi SMAK John Paul II
Pada tahun 2015 ini, sepak terjang SMAK John Paul II di dunia pendidikan NTT, khususnya di Nian Tana Kabupaten Sikka, memasuki usianya yang ke 26. Sepanjang tahun-tahun pengabdiannya, sekolah ini telah melalui banyak pengalaman dan situasi suka-duka, sukses-gagal. Sekolah milik SANPUKAT (Yayasan Persekutuan Umat Katolik) yang sekarang dikelola oleh Keuskupan Maumere ini dahulunya adalah peralihan dari SPG Don Bosco Maumere. Sejak 1989, dari tahun ke tahun, sekolah yang pada tahun 2012 mendapat akreditasi ‘A’ ini mengalami berbagai kemunduran dari segi kualitas, kuantitas, mutu guru, dan program pembelajaran. Pada dekade 2000-2010, sekolah ini bahkan sempat dijuluki sebagai ‘sekolah murid buangan’, karena sering menjadi harapan terakhir bagi siswa-siswa tahan kelas dan bermasalah dari berbagai sekolah lain di Maumere. Keadaan diperparah dengan buruknya evaluasi belajar yang berdampak pada sangat rendahnya tingkat kelulusan, hingga pada tahun 2009/2010, timbul wacana bahwa sekolah ini hendak ditutup karena krisis finansial dan minimnya siswa yang mendaftar, yaitu hanya 48 orang. Atas dasar ini, segenap perangkat pendidik dan semua yang mengabdi sekolah ini mengadakan suatu revitalisasi yang efeknya sangat kelihatan sejak enam tahun silam.
Ulasan di atas adalah petikan dari presentasi dan shering mengenai revitalisasi SMAK John Paul II, yang disampaikan oleh Rm. Fidelis Dua, Pr, kepala sekolah SMAK John Paul II, dalam salah satu kegiatan pendidikan di Hotel Sylvia pada 3 Juni 2015, yang lalu. Berbagai uraian, shering dan presentasi dalam kegiatan itu dimaksudkan untuk menggambarkan keseluruhan upaya pengembangan SMAK John Paul II, sejak ditangani oleh Keuskupan Maumere dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa revitalisasi dalam pengertiannya selalu memuat unsur pembaruan, menghidupkan kembali, memberdayakan kembali, menyegarkan kembali sesuatu yang pernah hidup dan sangat berdaya tetapi mengalami kemunduran. Sehingga, dalam konteks sebagai lembaga pendidikan, sekolah sudah seharusnya memaksimalkan semua unsur yang dimiliki untuk menjadi lebih vital atau terberdaya tinggi demi tercapainya sasaran dan tujuan dari proses pendidikan yang dilakukan saat ini dan di masa depan. SMAK John Paul II sendiri memijakkan segenap usaha perubahan dan revitalisasinya pada filosofi ‘Duc in Altum’ dengan sebuah paradigma baru “Think Big, Start Small, and Move Fast”. Secara spesifik, SMAK John Paul II mencoba menghidupi dan menjalankan visi, misi, dan berbagai program kerja yang diarahkan sepenuhnya untuk pengembangan manajemen sekolah serta para peserta didik.
Romo Fidel menerangkan bahwa transformasi cara berpikir yang coba digalakan di sekolah ini pertama-tama dilakukan dengan upaya menghidupi sebuah visi kolektif yaitu membangun SMAK John Paul II yang setia pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa, berciri khas Katolik, unggul (smart), berkarakter (conscience and compassion), spiritual (spiritual), dan mandiri (competence). Dalam terang visi ini, misi-misi pendidikan yang diemban sekolah ini berusaha dijalankan. Dalam konteks revitalisasi, ada beberapa hal umum yang digalakan. Pembenahan penampilan dan perwajahan sekolah adalah yang paling tampak. Selanjutnnya, seperti yang terdapat dalam misinya, seluruh proses yang terjadi di sekolah ini diarahkan kepada upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang menekankan proses untuk membentuk intelek yang unggul bagi semua peserta didik sesuai dengan standar nasional pendidikan, menegakkan disiplin semua warga sekolah dalam seluruh kegiatan sekolah, serta mengembangkan bakat, minat, dan ketrampilan bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan pengembangan diri demi membentuk pribadi yang mandiri. Selain itu, SMAk John Paul II juga mengembangkan sekolah dengan ciri utama pendidikan nilai, paradigma “student centered learning”, pendidikan multikultural, penguasaan bahasa internasional dan ICT bagi semua peserta didik dan berupaya menanamkan semangat kasih, rela berkorban, kekeluargaan dan solidaritas di kalangan segenap aktor pendidikannya untuk membentuk wawasan Kristiani, kebangsaan, dan cinta tanah air.
Dalam presentasi ini juga dijelaskan bahwa orientasi dari revitalisasi yang digalakan sekolah ini adalah menampakkan kembali eksistensi SMAK John Paul II yang mengemban tujuan besar yaitu mewujudkan pendidikan intelektual dan pendidikan karakter (nilai) yang bermutu bagi peserta didik untuk menjadi kader Gereja dan bangsa. Memiliki kurikulum yang berstandar nasional, dengan tenaga pendidik dan kependidikan yang professional, serta ditunjang oleh sarana prasarana pembelajaran yang berbasis ICT (Information Communication Technology) juga menjadi suatu tradisi sekaligus cita-cita yang selalu dihidupi dan ingin diraih oleh SMAK John Paul II. Salah satu hal yang juga telah dijalankan di sekolah ini adalah pelaksanakan proses pembelajaran dengan sistem penilaian yang ketat, teliti, dan komperhensif serta memiliki sistem pendokumentasian perangkat pembelajaran, dan penilaian yang terkomputerisasi. SMAK John Paul II, dalam keseluruhan proses revitalisasi sekolah senantiasa membangun kerjasama kerjasama dengan komite dan alumni sekolah untuk menggali dana demi pengembangan sekolah, saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam catatan akhir yang disampaikannya, Rm. Fidel menerangkan bahwa segenap visi, misi, tujuan, dan segala kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, serta menajerial-administratif yang dihidupi dan dilaksanakan pada kenyataannya menjadi pedoman sekaligus aksi nyata sekolah ini untuk terus hadir sekaligus memberi warna baru di dunia pendidikan dalam skala lokal maupun nasional. Berbagai peningkatan prestasi akademik maupun non akademik yang diraih dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini adalah bukti kesungguhan dari revitalisasi yang diperjuangkan. Dengan semuanya ini, SMAK John Paul II menyatakan komitmennya, mengabdi dalam dunia pendidikan di Kabupaten Sikka. Komitmen ini senantiasa berusaha dijiwai dan hanya bisa terwujud oleh karena suatu energi yang besar, niat yang ikhlas, integritas, serta komitmen semua komponen sekolah disertai usaha yang sungguh dan pengorbanan diri yang tinggi.
Masyarakat boleh jadi punya harapan bahwa SMAK John Paul II bisa senantiasa hadir dan berkarya demi membangun manusia-manusia Nian Tana, manusia-manusia Indonesia, sesuai dengan semboyannya, Totus Tuus! SMAK John Paul II, seutuhnya milikmu!
Ulasan di atas adalah petikan dari presentasi dan shering mengenai revitalisasi SMAK John Paul II, yang disampaikan oleh Rm. Fidelis Dua, Pr, kepala sekolah SMAK John Paul II, dalam salah satu kegiatan pendidikan di Hotel Sylvia pada 3 Juni 2015, yang lalu. Berbagai uraian, shering dan presentasi dalam kegiatan itu dimaksudkan untuk menggambarkan keseluruhan upaya pengembangan SMAK John Paul II, sejak ditangani oleh Keuskupan Maumere dalam kurun waktu kurang lebih enam tahun. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa revitalisasi dalam pengertiannya selalu memuat unsur pembaruan, menghidupkan kembali, memberdayakan kembali, menyegarkan kembali sesuatu yang pernah hidup dan sangat berdaya tetapi mengalami kemunduran. Sehingga, dalam konteks sebagai lembaga pendidikan, sekolah sudah seharusnya memaksimalkan semua unsur yang dimiliki untuk menjadi lebih vital atau terberdaya tinggi demi tercapainya sasaran dan tujuan dari proses pendidikan yang dilakukan saat ini dan di masa depan. SMAK John Paul II sendiri memijakkan segenap usaha perubahan dan revitalisasinya pada filosofi ‘Duc in Altum’ dengan sebuah paradigma baru “Think Big, Start Small, and Move Fast”. Secara spesifik, SMAK John Paul II mencoba menghidupi dan menjalankan visi, misi, dan berbagai program kerja yang diarahkan sepenuhnya untuk pengembangan manajemen sekolah serta para peserta didik.
Romo Fidel menerangkan bahwa transformasi cara berpikir yang coba digalakan di sekolah ini pertama-tama dilakukan dengan upaya menghidupi sebuah visi kolektif yaitu membangun SMAK John Paul II yang setia pada usaha pencerdasan kehidupan bangsa, berciri khas Katolik, unggul (smart), berkarakter (conscience and compassion), spiritual (spiritual), dan mandiri (competence). Dalam terang visi ini, misi-misi pendidikan yang diemban sekolah ini berusaha dijalankan. Dalam konteks revitalisasi, ada beberapa hal umum yang digalakan. Pembenahan penampilan dan perwajahan sekolah adalah yang paling tampak. Selanjutnnya, seperti yang terdapat dalam misinya, seluruh proses yang terjadi di sekolah ini diarahkan kepada upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang menekankan proses untuk membentuk intelek yang unggul bagi semua peserta didik sesuai dengan standar nasional pendidikan, menegakkan disiplin semua warga sekolah dalam seluruh kegiatan sekolah, serta mengembangkan bakat, minat, dan ketrampilan bagi peserta didik melalui berbagai kegiatan pengembangan diri demi membentuk pribadi yang mandiri. Selain itu, SMAk John Paul II juga mengembangkan sekolah dengan ciri utama pendidikan nilai, paradigma “student centered learning”, pendidikan multikultural, penguasaan bahasa internasional dan ICT bagi semua peserta didik dan berupaya menanamkan semangat kasih, rela berkorban, kekeluargaan dan solidaritas di kalangan segenap aktor pendidikannya untuk membentuk wawasan Kristiani, kebangsaan, dan cinta tanah air.
Dalam presentasi ini juga dijelaskan bahwa orientasi dari revitalisasi yang digalakan sekolah ini adalah menampakkan kembali eksistensi SMAK John Paul II yang mengemban tujuan besar yaitu mewujudkan pendidikan intelektual dan pendidikan karakter (nilai) yang bermutu bagi peserta didik untuk menjadi kader Gereja dan bangsa. Memiliki kurikulum yang berstandar nasional, dengan tenaga pendidik dan kependidikan yang professional, serta ditunjang oleh sarana prasarana pembelajaran yang berbasis ICT (Information Communication Technology) juga menjadi suatu tradisi sekaligus cita-cita yang selalu dihidupi dan ingin diraih oleh SMAK John Paul II. Salah satu hal yang juga telah dijalankan di sekolah ini adalah pelaksanakan proses pembelajaran dengan sistem penilaian yang ketat, teliti, dan komperhensif serta memiliki sistem pendokumentasian perangkat pembelajaran, dan penilaian yang terkomputerisasi. SMAK John Paul II, dalam keseluruhan proses revitalisasi sekolah senantiasa membangun kerjasama kerjasama dengan komite dan alumni sekolah untuk menggali dana demi pengembangan sekolah, saat ini dan di masa yang akan datang.
Dalam catatan akhir yang disampaikannya, Rm. Fidel menerangkan bahwa segenap visi, misi, tujuan, dan segala kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, serta menajerial-administratif yang dihidupi dan dilaksanakan pada kenyataannya menjadi pedoman sekaligus aksi nyata sekolah ini untuk terus hadir sekaligus memberi warna baru di dunia pendidikan dalam skala lokal maupun nasional. Berbagai peningkatan prestasi akademik maupun non akademik yang diraih dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini adalah bukti kesungguhan dari revitalisasi yang diperjuangkan. Dengan semuanya ini, SMAK John Paul II menyatakan komitmennya, mengabdi dalam dunia pendidikan di Kabupaten Sikka. Komitmen ini senantiasa berusaha dijiwai dan hanya bisa terwujud oleh karena suatu energi yang besar, niat yang ikhlas, integritas, serta komitmen semua komponen sekolah disertai usaha yang sungguh dan pengorbanan diri yang tinggi.
Masyarakat boleh jadi punya harapan bahwa SMAK John Paul II bisa senantiasa hadir dan berkarya demi membangun manusia-manusia Nian Tana, manusia-manusia Indonesia, sesuai dengan semboyannya, Totus Tuus! SMAK John Paul II, seutuhnya milikmu!
TAHUN LITURGI DALAM PERSPEKTIF SACROSANCTUM CONCILIUM : Refleksi dan Catatan Kritis Terhadap Penghayatan serta Praktik Liturgi Umat
1. Pengantar
“Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan pembaruan dan pengembangan liturgi”, (SC.1). Cita-cita luhur ini termuat dalam Sacrosanctum Concilium sebagai buah sulung Konsili Vatikan II yang memuat asas-asas umum mengenai Liturgi Suci Gereja Katolik. Asas-asas yang termuat dalam konstitusi ini mengusung suatu semangat, yakni “ingin mengusahakan dengan saksama pembaruan umum liturgi”, (SC.21). Salah satu aspek yang diperhatikan adalah pemaknaan dan penataan kembali tahun dan masa-masa liturgi, yang kemudian terjabarkan melalui strukturisasi penanggalan liturgi, pembagian masa-masa khusus, pengklasifikasian tingkatan hari Minggu, hari raya, pesta dan peringatan orang kudus, (bdk. SC.102-111). Hal ini diusahakan Gereja untuk mengenangkan, mengakui, menghadirkan dan melaksanakan karya penyelamatan Allah yang dimulai sejak awal penciptaan, berlangsung dalam sejarah bangsa terpilih, tergenapi dalam inkarnasi Yesus Kristus, yang mencapai puncak pada wafat dan kebangkitan-Nya, berlangsung dalam sejarah Gereja, hingga kini serta oleh karena iman, harap, dan kasih selalu mengarahkan mempelai-Nya pada perjamuan abadi di surga.
Setelah 50 tahun Sacrosanctum Concilium dilahirkan, memang ada berbagai pembaruan dan pengembangan liturgi secara khusus dalam hal pemaknaan dan penataan kembali masa-masa liturgi. Namun pertanyaannya, apakah usaha ini sampai, dan berakar pada penghayatan serta praktek liturgi umat? Adakah aspek-aspek yang kurang diperhatikan atau menjadi penghambat dalam proses pembaruan liturgi seturut semangat Sacrosantum Concilium?
2. Sejarah Masa dan Tahun Liturgi
2.1. Penanggalan Umum
Penanggalan umum yang saat ini dipakai secara internasional dibuat oleh Julius Caesar pada tahun 46 SM. Penanggalan ini didasarkan pada perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Untuk sekali berevolusi, bumi membutuhkan waktu satu tahun atau 365 ¼ hari. Dalam sekali berevolusi, bumi dikitari oleh bulan selama 12 kali (revolusi bulan). Oleh karena itu, hari-hari dalam setahun yang jumlahnya 365 itu dibagi ke dalam 12 bulan. Sisanya ¼ hari setiap empat tahun (tahun kabisat). Penanggalan umum ini berlaku universal dan disebut juga penanggalan Masehi.
2.2. Penanggalan Liturgi
Penanggalan Liturgi yang kita kenal sekarang ini lahir dari berbagai proses adaptasi dan inkulturasi yang begitu panjang sejak zaman Gereja perdana. Adaptasi dan inkulturasi itu terutama dari berbagai perayan hari raya dan pesta Yahudi, hari Minggu, perayaan-perayaan pagan yang diberi isi Kristiani, devosi kepada orang-orang kudus dan juga macam-macam olah kesalehan umat. Hasil adaptasi dan inkulturasi itu kemudian diterima dan dijadikan bagian dari liturgi Gereja dalam sebuah penanggalan yang sistematis.
Pembentukan masa liturgi Kristiani sebenarnya memiliki dua akar pokok yang berasal dari tradisi Yahudi, yaitu lingkaran perayaan liturgi mingguan; siklus tujuh hari menurut pola hari Sabat Yahudi dan lingkaran perayaan liturgi tahunan; perayaan hari-hari raya dan pesta Kristiani menurut pola-pola hari raya Yahudi.
Dalam Kitab Suci kita dapat melihat bahwa pada masa hidup-Nya, Kristus bersama para murid ikut merayakan Paskah Yahudi, (bdk. Mat, 26:17-25; Luk, 22:7-25). Setelah kebangkitan Kristus, tradisi ini tetap dipertahankan oleh orang-orang Kristen Yahudi. Namun, pada zaman jemaat Kristen awal, hanya Kristuslah realitas kultis yang penting (bdk. Kol, 2:16); di sini termasuk juga sabda-Nya yang memberi hidup (bdk. Yoh. 6:63), perintah-Nya untuk saling mengasihi (bdk. Yoh. 13:34), dan kegiatan-kegiatan ritual yang Ia amanatkan untuk mengenang Dia (bdk. 1Kor, 11:24-26). Semua yang lain; hari dan bulan, musim dan tahun, pesta, bulan baru, makanan dan minuman (Gal, 4:10, Kol 2:16-19), semuanya bersifat sekunder.
Pada abad II muncul praktek perayaan Paskah tahunan dan Pentakosta 50 hari setelahnya. Penghormatan terhadap para martir, orang-orang yang sudah meninggal dan juga beberapa bentuk penghormatan kepada St. Maria sudah mulai dipraktekan.
Pada abad III dan IV perayaan Paskah dan peringatan para Martir masuk dalam ritmus masa liturgi. Khusus pada abad ke IV, ada tiga perkembangan perayaan tahunan. Pertama, terjadi Kristenisasi hari raya kafir ‘pesta dewa matahari yang tak terkalahkan’ pada tanggal 25 Desember di Gereja Barat menjadi hari raya Natal. Pada tanggal 6 Januari di Gereja Timur menjadi hari raya penampakan Tuhan. Kedua, pengembangan tematis perayaan Paskah tahunan ke dalam Tri Hari Suci dan Pekan Suci, Pentakosta, Oktaf Paskah dan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Ketiga, munculnya masa persiapan 40 hari bagi para katekumen yang akan menerima baptisan dengan melakukan tobat dan laku tobat.
Pada abad V-VII, terjadi pembentukan liturgi Romawi kuno dengan munculnya masa Adven dan pesta-pesta lain. Hal ini dipicu oleh merebaknya protestanisme sehingga Konsili Trente mengeluarkan sebuah program pastoral, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Tahata Suci dan Para Uskup, yang dimuat dalam Dekrit Reformatione Generali. Dekrit ini menunjukan pembaruan yang besar dalam liturgi dan teraplikasi pada waktu yang relatif singkat, dari 1568-1614, lewat revisi buku Liturgi Romawi. Pada abad ke X terjadi kecenderungan pengisolasian dan tumpang tindihnya hari-hari raya, dan hari-hari pesta yang diadopsi dari olah kesalehan umat.
Untuk pertama kalinya nama Tahun Gereja (bahasa Jerman: Kirchenjahr) digunakan oleh Johannes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran, pada tahun 1589 untuk menyebut keseluruhan perayaan liturgi sepanjang tahun. Di Perancis muncul nama AnnẻeChrẻtienne pada abad XVII, Annẻ spirituelle pada akhir abad XVIII dan AnnẻeLiturgique (Tahun Liturgi) dalam abad XIX. Mungkin istilah Tahun Liturgi pertama kali digunakan dalam dokumen resmi Gereja Katolik dalam ensiklik Pius XII: Mediator Dei pada tahun 1948. Akhirnya istilah Tahun Liturgi digunakan secara resmi dan meriah dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Litutgi. Dengan Konstitusi Liturgi dari Vatikan II pengertian tahun liturgi disusun dan dikembangkan. Sejak itu Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun.
Dalam aplikasi praktis, Tahun Liturgi disistematisasikan dalam bentuk penanggalan liturgi. Penanggalan Liturgi adalah daftar rumusan doa dan bacaan Ekaristi, ibadat harian (ofisi), warna pakaian liturgi, upacara-upacara khusus, dan berbagai hal yang berhubungan dengan perayaan liturgi.
3. Tahun Liturgi dalam Perspektif Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II
3.1. Makna Tahun Liturgi (SC 102-105)
Sacrosanctum Concilium artikel 102 menegaskan makna keseluruhan Tahun Liturgi sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Dalam teologi misteri, Kristus dipahami sbagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu. Dengan amat indah dan urut Tahun Liturgi Gereja menghadirkan aspek-aspek misteri Kristus itu, seolah-olah satu persatu, agar umat beriman terbuka kepada kekayaan, keutamaan dan pahala Tuhannya dan dengan demikian misteri-misteri Kristus itu dapat hadir dengan cara tertentu.
Perayaan karya keselamatan ini dirayakan dalam dua pola umum. Pertama, lingkaran satu pekan dengan hari Minggu yang disebut ‘Hari Tuhan’ sebagai saat “Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun pada hari raya agung Paskah juga dirayakannya dengan sengsara-Nya yang suci.” ( SC 102). Kedua, lingkaran perayaan liturgis tahunan dengan dua pilar utama yaitu lingkaran Natal dan lingkaran Paskah. Di antara kedua lingkaran ini ada Masa Biasa. Dalam keseluruhan masa ini Gereja terutama mengenagkan misteri Paskah Kristus, juga dalam berbagai hari raya serta pesta Tuhan dan dalam hari raya, pesta, dan peringatan para Kudus (bdk. SC 104). Dalam hal ini, St. Perawan Maria mendapat tempat istimewa di kalangan para Kudus karena seluruh keterlibatan dan pemberian diri-Nya dalam karya penyelamatan Allah (bdk. SC 103).
Pemaknaan Tahun Liturgi dalam perspektif Sacrosanctum Concilium juga menggarisbawahi “pembinaan iman umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat, dan amal belaskasihan” (bdk SC 105), yang secara keseluruhannya diarahkan dengan tujuan “membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya”, sehingga, “umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan” (SC 102).
3.2. Penekanan Kembali Makna Hari Minggu (SC 106)
“Berdasarkan tradisis para rasul yang berasal mula pada kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut hari Tuhan atau hari Minggu.” (SC 106). Penekanan kembali makna hari Minggu dilatarbelakangi oleh praktek kesalehan umat, devosi-devosi rohani serta berbagai perayaan pesta dan hari raya para Kudus dengan tema-tema khusus yang dirayakan dan menggeser perayaan Ekaristi hari Minggu. Hal ini menyebabkan terabaikannya makna hari Minggu sebagai “dasar dan inti segenap Tahun Liturgi”, saat ketika “umat beriman wajib berkumpul dan untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat kebangkitan Yesus dari antara orang mati.” Perayaan tematis mengakibatkan tergantinya bacaan-bacaan Mingguan yang sebenarnya telah ditempatkan untuk diperdengarkan kepada jemaat selama sepanjang tahun yang merepresentasikan seluruh karya dan kehadiran Yesus Kristus.
Dengan demikian, Konsili Vatikan II, melalui Sacrosanctum Concilium (106) menegaskan kembali makna pengudusan hari Minggu, sebagai saat yang bermakna bagi umat Kristen untuk mengenangkan dan mengucap syukur atas karya penyelamatan Allah yang terjadi dan tampak dalam kebangkitan Kristus dari wafat-Nya, sekaligus memberi harapan kebangkitan dan kebahagiaan kekal bagi yang percaya kepada-Nya.
3.3. Peninjauan Kembali Tahun Liturgi (SC 107-108)
Pada poin ini Gereja dalam Konsili Vatikan II menampakan ciri pembaruannya dibidang liturgi dengan mengakomodasi berbagai tradisi maupun perubahan dalam olah kesalehan, inkulturasi budaya, penggunaan bahasa setempat, sakramentali, musik liturgi, dan berbagai aspek liturgis yang sering dipraktekan oleh umat pada “masa-masa suci” dengan berbagai penyesuaian sebagaimana diatur dalam SC 39 dan 40. Semuanya ini dijalankan untuk “sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri penebusan Kristiani terutama misteri Paskah”, (SC 107).
Walaupun ada penyesuaian antara tradisi dan berbagai pembaruan, Konsili tetap menegaskan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
3.4. Masa Prapaskah (SC 109)
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konsili Vatikan II menyatakan, “dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa”,(SC 109).
Konsili Vatikan II menganggap urgensi masa Prapaskah ini hendaknya diberi perhatian penuh oleh Gereja dalam aksi pastoralnya melalui katekese-katekese yang menekankan penanaman kesadaran umat beriman akan “dampak sosial dosa maupun hakikat pertobatan, yakni menolak pertobatan sebagai penghinaan terhadap Allah”, (SC 109). Konsili Vatikan II juga menegaskan pentingnya peran serta Gereja dalam tindakan pertobatan serta doa-doa bagi para pendosa.
Konsili Vatikan II sangat menekankan puasa sebagai hal yang dianggap “keramat”, dan hendaknya wajib dilaksanakan pada “hari Jumat kenangan akan sengsara Tuhan dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu Suci”, (SC 109). “Adapun praktik pertobatan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dengan pelbagai daerah pun juga situasi umat beriman hendaknya dihgairahkan dan dianjurkan oleh pimpinan Gerejawi”, (SC 110). Selama masa Prapaskah, kesalehan umat memberi perhatian pada misteri-misteri kemanusiaan Kristus, dan selama masa Prapaskah, kaum beriman memberi perhatian besar pada Sengsara dan Wafat Tuhan. Gereja juga menghendaki agar praktik pertobatan tidak hanya dilakukan secara individual-batiniah tetapi juga harus dilakukakan secara sosial-lahiriah. Hal ini menunjukan dimensi persekutuan Gereja yang menyelamatkan semua orang yang berhimpun di dalamnya dan yang memiliki kehendak baik. Semua ulah tobat dan laku tapa ini sepenuhnya diarahkan agar hati umat “terangkat dan terbuka untuk menyambut kegembiraan hari kebangkitan Tuhan.” (Bdk. SC 110).
3.5. Pesta Para Kudus (SC 111)
Dalam tahun Liturgi, “perayaan misteri Paskah adalah saat yang paling istimewa dalam perayaan harian, minguan, dan tahunan ibadat Kristiani.” Oleh karena itu, keunggulan Tahun Liturgi atas setiap bentuk devosional lain harus dihargai sebagai titik tolak untuk hubungan antara liturgi dan kesalehan umat, termasuk di dalamnya perayaan-perayaan hari raya, pesta dan peringatan para kudus yang diakomodasi ke dalam Liturgi Gereja.
Ada tiga makna penting yang mau dikenangkan Gereja, yang tertuang dalam Sacrosanctum Concilium berkaitan dengan perayaan para kudus. Pertama, dalam diri orang kudus, Gereja mengagumi dan memuliakan buah penebusan yang unggul dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dirindukan dan dicita-citakan sekarang ini (bdk. SC 103). Hal ini berarti Gereja mewartakan Misteri Paskah yang telah dihidupi oleh para kudus itu. Kedua, Gereja menggabungkan diri dengan para kudus dalam memuji dan memuliakan Allah serta memohon mereka menjadi pendoa kita di Surga. Hal ini menampilkan dua dimensi Gereja sebagai satu persekutuan yaitu dimensi peziarah dan dimensi eskatologis Gereja. Ketiga, kepada orang beriman Gereja menyajikan hidup orang kudus sebagai teladan hidup beriman.
Perlu digarisbawahi bahwa Gereja sama sekali tidak memperkenankan pereduksian makna hari Minggu atau makna hari-hari raya Tuhan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi oleh karena adanya perayaan para kudus. Hari Mnggu tetap mendapat tempat nomor satu di antara perayaan-perayaan para kudus. Gereja juga memberi dispensasi bagi Ordinaris wilayah, dalam hal ini Uskup atau Konferensi para Uskup untuk merayakan peringatan para kudus secara lokal. Komunitas religius, konggregasi maupun Ordo juga boleh merayakan pesta atau peringatan para kudus mereka sesuai denga ketentuan yang diatur daalam SC 22, dengan catatan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
4. Catatan Kritis Mengenai Pengahyatan dan Praktik Liturgi Umat dalam Hubungan dengan Tahun Liturgi.
4.1. Catatan Umum
Berkaitan dengan pengahayatan dan praktik liturgi umat dalam hubungannya dengan Tahun Liturgi, ada beberapa hal umum yang perlu diperhatikan.
Pertama. Sesuai dengan semangat pembaruan Konsili Vatikan II, katekese liturgi mengenai Tahun dan Masa Liturgi hendaknya digiatkan dan praktekan entah secara formal dalam Pendidikan Agama Katolik maupun secara nonformal dalam pertemuan di KBG atau Paroki, rekoleksi, pembinaan dan kegiatan pastoral kategorial lainnya. Banyak umat yang tidak memahami makna dari perayaan dalam masa-masa liturgi, sehingga yang sering terjadi, dalam perayaan ritus maupun penghayatan hidup praktis semagat iman yang hendak ditanamkan dan buah liturgi yang hendak dihasilkan tidak tercapai.
Kedua. Pada kegiatan Pendalaman Dokumen-Dokumen Konsilis Vatikan II bagi Para Imam dan Frater TOP di Keuskupan Maumere, Komisi Liturgi KWI menegaskan supaya dinamika ritus-ritus menuntut penyelarasan agar diperjelas makna ritual demi penghayatan umat beriman pada saat itu dan pada Masa Liturgi yang bersangkutan, terutama dalam hal nyanyian, musik, rumusan dan doa-doa, suasana ruangan gereja, dekorasi, dan tata gerak tubuh.
Ketiga. Ada trend yang sedang terjadi yaitu sekularisasi dan komersialisasi perayaan Natal tahunan. Yang terjadi memang tidak ada hubungan dengan ritus Liturgi namun punya pengaruh terhadap pola hidup dan penghayatan masa Natal. Harus diantisipasi agar sakralitas Masa Natal tidak tereduksi oleh trend life style, serta hal-hal komersialyang fenomenal dalam masyarakat. Ada juga tendensi yang mereduksi nilai Paskah oleh karena familiarnya Natal. Dalam hal ini perlu ditegaskan lagi bahwa inti seluruh Liturgi, Tahun Liturgi dan iman Katolik adalah Kebangkitan Tuhan yang puncaknya dirayakan pada hari raya Paskah.
Keempat. Misa harian perlu mendapat perhatian. Misa harian di samping Ibadat Harian menjadi bentuk nyata upaya kita mengenang, menghayati dan menghadirkan seluruh misteri penyelamatan Kristus dalam horison waktu. Dalam hal merayakan liturgi, perlu diperhatikan kesetiaan pada persyaratan yang benar dan baik misalnya, selalu ada Mazmur Tanggapan, Alleluya harus dinyanyikan (bukan oleh imam), dan homili singkat. Hal ini terutama harus dipraktekan di seminari-seminari dan biara-biara.
Kelima. Beredarnya secara luas berbagai bentuk penanggalan Liturgi Gereja Katolik dan buku-buku penuntun seperti Ruah, Ziarah Batin, Café Rohani, atau buku-buku sejenis, sangat membantu mengarahkan umat dalam penghayatan liturgi sepanjang tahun. Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah kehadiran panduan ini tidak menjadikan penghayatan dan olah kesalehan umat dilakukan secara personal di rumah masing-masing. Aspek komunal dan persekutuan sebagi tubuh mistik Kristus harus diutamakan.
4.2. Penghayatan dan Praktek Liturgi Hari Minggu
Beberapa catatan kritis mengenai penghayatan dan praktek Liturgi hari Minggu.
Pertama. Umumnya umat menyadari arti penting hari Minggu sebagai hari Tuhan. Ekaristi maupun Ibadat Sabda di pandang sebagai saat yang penuh makna sebagai bentuk ucapan syukur dan kesempatan menerima berkat Tuhan terutama lewat Sabda serta Tubuh dan Darah Kristus. Umat di kampung-kampung, misalnya di Paroki MKK Buu Nuaria, menghayati dengan penuh kerinduan Sakramen Ekaristi pada hari Minggu. Bahkan pada hari Minggu, ada kebiasaan untuk benar-benar beristirahat dari kerja dan menjadi saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga.
Kedua. Perayaan Ekaristi bersama mempererat aspek komunitas umat beriman. Kegiatan-kegiatan pertemuan di tingkat stasi hingga paroki juga turut mewarnai hari Minggu. Selain itu, kegiatan pastoral kategorial seperti SEKAMI, pembinaan OMK, St. Anna dan yang lainnya menjadi bentuk-bentuk yang sering dijumpai di tengah umat. Hal ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketiga. Di samping hal-hal positif itu, seringkali juga dijumpai banyak umat yang acuh terhadap Ekaristi dan kegiatan Gerejani pada hari Minggu. Penekanan terhadap Masa Pakah juga Natal membuat banyak umat yang berprinsip “NAPAS”, yaitu menghadiri Ekaristi hanya pada hari Natal dan Paskah. Selain itu, oleh karena faktor keterdesakan ekonomi, banyak orang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Gereja.
Keempat. Keterbatasan jumlah imam seringkali menghalangi dilaksanakannya Ekaristi pada hari Minggu khususnya di tempat-tempat pastoral yang terpencil dan sulit.
Kelima. Ada polemik mengenai perayaan Ekaristi kematian pada hari Minggu. Di keuskupan Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD selaku Uskup Maumere telah mengeluarkan kebijakan mengenai Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani dalam peraturan bernomor No. 155/KUM/III/030314. Dalam peraturan ini, dijelaskan makna dan tingktan perayaan Liturgi sehubungan dengan perayaan Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani serta berbagai ketentuannya sesuai dengan PUMR dan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Hal ini sangat baik untuk menjawabi kebingungan dan kebutuhan umat.
Kelima. Perayaan Ekaristi hari Minggu seringkali tidak dipersiapkan dengan baik entah dari umat penanggung Liturgi maupun imam yang merayakan Misa. Ini seringkali membuat umat memilih mengikuti perayaan Ekaristi berdasarkan imam yang merayakan Misa atau umat penanggung Liturgi.
4.3. Penghayatan dan Praktek Liturgi Masa Prapaskah
Pertama. Praktek masa persiapan empat puluh hari kurang dimaknai sebagai masa tobat dan refleksi akan janji baptis yang pernah diucapkan. Puasa sebagai olah kesalehan yang sangat dianjurkan seringkali tidak dipraktikan karena berbagai alasan.
Kedua. Kebanyakan umat Gereja Flores khususnya Maumere dibaptis sesaat setelah kelahirannya sehingga praktek persiapan katekumen sangat jarang ditemukan dalam umat. Umat seringkali tidak memahami makna persiapan dan kenangan akan pembaptisan sehingga tidak ada refleksi yang mendalam pada masa empat puluh hari mengenai hal ini. Katekese mengenai dua makna inti Prapaskah perlu ditingkatkan dan diperhatikan lagi.
Ketiga. Praktik devosional umat seperti Jalan Salib, pembacaan maupun pementasan Kisah Sengsara Tuhan, berbagai bentuk doa tematis dan olah kesalehan lainnya sangat subur bertumbuh. Namun perlu juga ditekankan katekese umat sehubungan dengan perayaan tematis selama masa Prapaskah agar tidak mereduksi makna liturgi.
Keempat. Penghayataa dan pemaknaan Aksi Puasa Pembangunan seringkali hanyalah sekadar konsep tanpa adanya langkah tindak lanjut, padahal Konsili Vatikan II menekankan olah tobat tidak hanya dilakukan secara personal-batiniah tetapi juga sosisial-lahiriah. Sangat baik dan bermanfaat bahwa APP Keuskupan Maumere Tahun 2014 ini masih sejalan dengan rencana tindak lanjut Sinode I Keuskupan Maumere, sehingga diharapkan menjadi refleksi batin sekaligus dapat diaplikasikan secara konkret dam social dengan baik.
4.4. Penghayatan dan Praktek Liturgi pada Pesta dan Peringatan Orang Kudus
Pertama. Banyak umat yang kurang menghayati pesta maupun peringatan serta hari raya orang kudus sebagai sesuatu yang penting dalam Liturgi Gereja sehingga prakteknya pun tidak mendapat perhatian.
Kedua. Olah kesalehan maupun penghormatan terhadap bulan Maria bertumbuh begitu subur. Hal ini baik, namun tidak boleh mereduksi makna Liturgi sebagai sumber dan puncak kahidupan menggereja. Ada umat yang karena keterbatasan pengetahuan mengenai Masa Liturgi mengganggap bulan Mei dan Oktober yang didevosikan bagi Maria sebagai Lingkaran Masa Liturgi sendiri.
Ketiga. Dangkalnya penghayatan dan praktik Liturgi dalam kaitan dengan hari raya, pesta dan peringatan para Kudus menjadikan penghayatan serta upaya meneladani cara hidup mereka pun menjadi dangkal. Nama baptis yang mengadopsi nama para Kudus hanyalah sekadar nama. Jika nama pribadi saja tidak dimaknai dengan baik jelas nama paroki maupun segala sesuatu yang ada di luar diri yang mengadopsi atau merefleksikan orang kudus tertentu praktis sulit dimaknai.
Keempat. Seminari-seminari atau biara-biara harus menjadi model umat dalam hal katekese Liturgi mengenai perayaan, pesta maupun peringatan orang kudus. Misalnya, di biara Karmel Maumere, setiap Sabtu bersama umat diadakan misa votif St. Perawan Maria dari Gunung Karmel. Pada hari Minggu di setiap akhir perayaan Ekaristi, diumumkan peringatan, pesta maupun perayaan para Kudus yang dirayakan sepanjang sepekan agar umat tahu dan bisa berpartisipasi dalam misa maupun devosi lainnya.
5. Penutup
Karya penyelamatan Allah telah berlangsung dalam sejarah, sedang berlangsung saat ini dan akan terus berlangsung dalam horison waktu. KeseluruhanTahun Liturgi dimaknai sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Kristus harus dipahami sebagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu.
Dalam penghayatan dan prakteknya, banyak hal yang berkaitan dengan Tahun Liturgi telah dimaknai dengan baik oleh umat. Namun tidak sedikit pula yang diabaikan, tidak diperhatikan dan dimaknai sehingga buah yang seharusnya diperoleh pun akhirnya tidak dapat dinikmati. Perlu adanya katekese Liturgis terus-menerus agar dapat memberi pemahaman yang lebih baik kepada umat sehingga penghayatan dan praktik Liturgi mereka pun semakin baik dan buah dari itu dapat dinikmati demi keselamatan jiwa-jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Boli Ujan, Bernardus dan Kirchberger, Georg. (ed). Liturgi Autentik dan Relevan, Cet. ke-2, Maumere: Ledalero, 2011.
Boso da Cunha. Sacrosanctum Consilium. Materi Pendalaman Dokumen Konsili Vatikan II untuk Para Imam da Frater TOP Keuskupan Maumere, (diktat). Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2013.
Martasudjita, E. Makna Liturgi bagi Kehidupan Sehari-hari. Memahami Liturgi Secara Kontekstual, Seri Pendalaman Liturgi-1, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_________. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Lturgi. Cet. Ke-8, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________. Pengantar Liturgi: Memahami Simbol-Simbol Liturgi, Seri Pendalaman Liturgi-2, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Penerbitan-Percetakan Kanisius (comp). Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Windhu, I. Marsana. Mengenal Tahun Liturgi, Seri Bina Iman-Liturgi 1, Cet. Ke-8 Yogyakarta: Kanisisus. 2004.
2. Dokumen-Dokumen
Codex Iuris Canonici: Kitab Hukum Kanonik.
Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-Asas dan Pedoman.
Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci.
3. Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pra-Paskah
http://www.indocell.net/yesaya/id73.htm
http://pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=703&next=39
“Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan pembaruan dan pengembangan liturgi”, (SC.1). Cita-cita luhur ini termuat dalam Sacrosanctum Concilium sebagai buah sulung Konsili Vatikan II yang memuat asas-asas umum mengenai Liturgi Suci Gereja Katolik. Asas-asas yang termuat dalam konstitusi ini mengusung suatu semangat, yakni “ingin mengusahakan dengan saksama pembaruan umum liturgi”, (SC.21). Salah satu aspek yang diperhatikan adalah pemaknaan dan penataan kembali tahun dan masa-masa liturgi, yang kemudian terjabarkan melalui strukturisasi penanggalan liturgi, pembagian masa-masa khusus, pengklasifikasian tingkatan hari Minggu, hari raya, pesta dan peringatan orang kudus, (bdk. SC.102-111). Hal ini diusahakan Gereja untuk mengenangkan, mengakui, menghadirkan dan melaksanakan karya penyelamatan Allah yang dimulai sejak awal penciptaan, berlangsung dalam sejarah bangsa terpilih, tergenapi dalam inkarnasi Yesus Kristus, yang mencapai puncak pada wafat dan kebangkitan-Nya, berlangsung dalam sejarah Gereja, hingga kini serta oleh karena iman, harap, dan kasih selalu mengarahkan mempelai-Nya pada perjamuan abadi di surga.
Setelah 50 tahun Sacrosanctum Concilium dilahirkan, memang ada berbagai pembaruan dan pengembangan liturgi secara khusus dalam hal pemaknaan dan penataan kembali masa-masa liturgi. Namun pertanyaannya, apakah usaha ini sampai, dan berakar pada penghayatan serta praktek liturgi umat? Adakah aspek-aspek yang kurang diperhatikan atau menjadi penghambat dalam proses pembaruan liturgi seturut semangat Sacrosantum Concilium?
2. Sejarah Masa dan Tahun Liturgi
2.1. Penanggalan Umum
Penanggalan umum yang saat ini dipakai secara internasional dibuat oleh Julius Caesar pada tahun 46 SM. Penanggalan ini didasarkan pada perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Untuk sekali berevolusi, bumi membutuhkan waktu satu tahun atau 365 ¼ hari. Dalam sekali berevolusi, bumi dikitari oleh bulan selama 12 kali (revolusi bulan). Oleh karena itu, hari-hari dalam setahun yang jumlahnya 365 itu dibagi ke dalam 12 bulan. Sisanya ¼ hari setiap empat tahun (tahun kabisat). Penanggalan umum ini berlaku universal dan disebut juga penanggalan Masehi.
2.2. Penanggalan Liturgi
Penanggalan Liturgi yang kita kenal sekarang ini lahir dari berbagai proses adaptasi dan inkulturasi yang begitu panjang sejak zaman Gereja perdana. Adaptasi dan inkulturasi itu terutama dari berbagai perayan hari raya dan pesta Yahudi, hari Minggu, perayaan-perayaan pagan yang diberi isi Kristiani, devosi kepada orang-orang kudus dan juga macam-macam olah kesalehan umat. Hasil adaptasi dan inkulturasi itu kemudian diterima dan dijadikan bagian dari liturgi Gereja dalam sebuah penanggalan yang sistematis.
Pembentukan masa liturgi Kristiani sebenarnya memiliki dua akar pokok yang berasal dari tradisi Yahudi, yaitu lingkaran perayaan liturgi mingguan; siklus tujuh hari menurut pola hari Sabat Yahudi dan lingkaran perayaan liturgi tahunan; perayaan hari-hari raya dan pesta Kristiani menurut pola-pola hari raya Yahudi.
Dalam Kitab Suci kita dapat melihat bahwa pada masa hidup-Nya, Kristus bersama para murid ikut merayakan Paskah Yahudi, (bdk. Mat, 26:17-25; Luk, 22:7-25). Setelah kebangkitan Kristus, tradisi ini tetap dipertahankan oleh orang-orang Kristen Yahudi. Namun, pada zaman jemaat Kristen awal, hanya Kristuslah realitas kultis yang penting (bdk. Kol, 2:16); di sini termasuk juga sabda-Nya yang memberi hidup (bdk. Yoh. 6:63), perintah-Nya untuk saling mengasihi (bdk. Yoh. 13:34), dan kegiatan-kegiatan ritual yang Ia amanatkan untuk mengenang Dia (bdk. 1Kor, 11:24-26). Semua yang lain; hari dan bulan, musim dan tahun, pesta, bulan baru, makanan dan minuman (Gal, 4:10, Kol 2:16-19), semuanya bersifat sekunder.
Pada abad II muncul praktek perayaan Paskah tahunan dan Pentakosta 50 hari setelahnya. Penghormatan terhadap para martir, orang-orang yang sudah meninggal dan juga beberapa bentuk penghormatan kepada St. Maria sudah mulai dipraktekan.
Pada abad III dan IV perayaan Paskah dan peringatan para Martir masuk dalam ritmus masa liturgi. Khusus pada abad ke IV, ada tiga perkembangan perayaan tahunan. Pertama, terjadi Kristenisasi hari raya kafir ‘pesta dewa matahari yang tak terkalahkan’ pada tanggal 25 Desember di Gereja Barat menjadi hari raya Natal. Pada tanggal 6 Januari di Gereja Timur menjadi hari raya penampakan Tuhan. Kedua, pengembangan tematis perayaan Paskah tahunan ke dalam Tri Hari Suci dan Pekan Suci, Pentakosta, Oktaf Paskah dan Hari Raya Kenaikan Tuhan. Ketiga, munculnya masa persiapan 40 hari bagi para katekumen yang akan menerima baptisan dengan melakukan tobat dan laku tobat.
Pada abad V-VII, terjadi pembentukan liturgi Romawi kuno dengan munculnya masa Adven dan pesta-pesta lain. Hal ini dipicu oleh merebaknya protestanisme sehingga Konsili Trente mengeluarkan sebuah program pastoral, yang pelaksanaannya dipercayakan kepada Tahata Suci dan Para Uskup, yang dimuat dalam Dekrit Reformatione Generali. Dekrit ini menunjukan pembaruan yang besar dalam liturgi dan teraplikasi pada waktu yang relatif singkat, dari 1568-1614, lewat revisi buku Liturgi Romawi. Pada abad ke X terjadi kecenderungan pengisolasian dan tumpang tindihnya hari-hari raya, dan hari-hari pesta yang diadopsi dari olah kesalehan umat.
Untuk pertama kalinya nama Tahun Gereja (bahasa Jerman: Kirchenjahr) digunakan oleh Johannes Pomarius, seorang ahli liturgi dari Gereja Lutheran, pada tahun 1589 untuk menyebut keseluruhan perayaan liturgi sepanjang tahun. Di Perancis muncul nama AnnẻeChrẻtienne pada abad XVII, Annẻ spirituelle pada akhir abad XVIII dan AnnẻeLiturgique (Tahun Liturgi) dalam abad XIX. Mungkin istilah Tahun Liturgi pertama kali digunakan dalam dokumen resmi Gereja Katolik dalam ensiklik Pius XII: Mediator Dei pada tahun 1948. Akhirnya istilah Tahun Liturgi digunakan secara resmi dan meriah dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Litutgi. Dengan Konstitusi Liturgi dari Vatikan II pengertian tahun liturgi disusun dan dikembangkan. Sejak itu Tahun Liturgi dimengerti sebagai perayaan Gereja yang mengenangkan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus dalam rangka perjalanan peredaran lingkaran tahun.
Dalam aplikasi praktis, Tahun Liturgi disistematisasikan dalam bentuk penanggalan liturgi. Penanggalan Liturgi adalah daftar rumusan doa dan bacaan Ekaristi, ibadat harian (ofisi), warna pakaian liturgi, upacara-upacara khusus, dan berbagai hal yang berhubungan dengan perayaan liturgi.
3. Tahun Liturgi dalam Perspektif Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II
3.1. Makna Tahun Liturgi (SC 102-105)
Sacrosanctum Concilium artikel 102 menegaskan makna keseluruhan Tahun Liturgi sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Dalam teologi misteri, Kristus dipahami sbagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu. Dengan amat indah dan urut Tahun Liturgi Gereja menghadirkan aspek-aspek misteri Kristus itu, seolah-olah satu persatu, agar umat beriman terbuka kepada kekayaan, keutamaan dan pahala Tuhannya dan dengan demikian misteri-misteri Kristus itu dapat hadir dengan cara tertentu.
Perayaan karya keselamatan ini dirayakan dalam dua pola umum. Pertama, lingkaran satu pekan dengan hari Minggu yang disebut ‘Hari Tuhan’ sebagai saat “Gereja mengenangkan kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun pada hari raya agung Paskah juga dirayakannya dengan sengsara-Nya yang suci.” ( SC 102). Kedua, lingkaran perayaan liturgis tahunan dengan dua pilar utama yaitu lingkaran Natal dan lingkaran Paskah. Di antara kedua lingkaran ini ada Masa Biasa. Dalam keseluruhan masa ini Gereja terutama mengenagkan misteri Paskah Kristus, juga dalam berbagai hari raya serta pesta Tuhan dan dalam hari raya, pesta, dan peringatan para Kudus (bdk. SC 104). Dalam hal ini, St. Perawan Maria mendapat tempat istimewa di kalangan para Kudus karena seluruh keterlibatan dan pemberian diri-Nya dalam karya penyelamatan Allah (bdk. SC 103).
Pemaknaan Tahun Liturgi dalam perspektif Sacrosanctum Concilium juga menggarisbawahi “pembinaan iman umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat, dan amal belaskasihan” (bdk SC 105), yang secara keseluruhannya diarahkan dengan tujuan “membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhannya”, sehingga, “umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan” (SC 102).
3.2. Penekanan Kembali Makna Hari Minggu (SC 106)
“Berdasarkan tradisis para rasul yang berasal mula pada kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut hari Tuhan atau hari Minggu.” (SC 106). Penekanan kembali makna hari Minggu dilatarbelakangi oleh praktek kesalehan umat, devosi-devosi rohani serta berbagai perayaan pesta dan hari raya para Kudus dengan tema-tema khusus yang dirayakan dan menggeser perayaan Ekaristi hari Minggu. Hal ini menyebabkan terabaikannya makna hari Minggu sebagai “dasar dan inti segenap Tahun Liturgi”, saat ketika “umat beriman wajib berkumpul dan untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi dan dengan demikian mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat kebangkitan Yesus dari antara orang mati.” Perayaan tematis mengakibatkan tergantinya bacaan-bacaan Mingguan yang sebenarnya telah ditempatkan untuk diperdengarkan kepada jemaat selama sepanjang tahun yang merepresentasikan seluruh karya dan kehadiran Yesus Kristus.
Dengan demikian, Konsili Vatikan II, melalui Sacrosanctum Concilium (106) menegaskan kembali makna pengudusan hari Minggu, sebagai saat yang bermakna bagi umat Kristen untuk mengenangkan dan mengucap syukur atas karya penyelamatan Allah yang terjadi dan tampak dalam kebangkitan Kristus dari wafat-Nya, sekaligus memberi harapan kebangkitan dan kebahagiaan kekal bagi yang percaya kepada-Nya.
3.3. Peninjauan Kembali Tahun Liturgi (SC 107-108)
Pada poin ini Gereja dalam Konsili Vatikan II menampakan ciri pembaruannya dibidang liturgi dengan mengakomodasi berbagai tradisi maupun perubahan dalam olah kesalehan, inkulturasi budaya, penggunaan bahasa setempat, sakramentali, musik liturgi, dan berbagai aspek liturgis yang sering dipraktekan oleh umat pada “masa-masa suci” dengan berbagai penyesuaian sebagaimana diatur dalam SC 39 dan 40. Semuanya ini dijalankan untuk “sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri penebusan Kristiani terutama misteri Paskah”, (SC 107).
Walaupun ada penyesuaian antara tradisi dan berbagai pembaruan, Konsili tetap menegaskan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
3.4. Masa Prapaskah (SC 109)
Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konsili Vatikan II menyatakan, “dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa”,(SC 109).
Konsili Vatikan II menganggap urgensi masa Prapaskah ini hendaknya diberi perhatian penuh oleh Gereja dalam aksi pastoralnya melalui katekese-katekese yang menekankan penanaman kesadaran umat beriman akan “dampak sosial dosa maupun hakikat pertobatan, yakni menolak pertobatan sebagai penghinaan terhadap Allah”, (SC 109). Konsili Vatikan II juga menegaskan pentingnya peran serta Gereja dalam tindakan pertobatan serta doa-doa bagi para pendosa.
Konsili Vatikan II sangat menekankan puasa sebagai hal yang dianggap “keramat”, dan hendaknya wajib dilaksanakan pada “hari Jumat kenangan akan sengsara Tuhan dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu Suci”, (SC 109). “Adapun praktik pertobatan sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dengan pelbagai daerah pun juga situasi umat beriman hendaknya dihgairahkan dan dianjurkan oleh pimpinan Gerejawi”, (SC 110). Selama masa Prapaskah, kesalehan umat memberi perhatian pada misteri-misteri kemanusiaan Kristus, dan selama masa Prapaskah, kaum beriman memberi perhatian besar pada Sengsara dan Wafat Tuhan. Gereja juga menghendaki agar praktik pertobatan tidak hanya dilakukan secara individual-batiniah tetapi juga harus dilakukakan secara sosial-lahiriah. Hal ini menunjukan dimensi persekutuan Gereja yang menyelamatkan semua orang yang berhimpun di dalamnya dan yang memiliki kehendak baik. Semua ulah tobat dan laku tapa ini sepenuhnya diarahkan agar hati umat “terangkat dan terbuka untuk menyambut kegembiraan hari kebangkitan Tuhan.” (Bdk. SC 110).
3.5. Pesta Para Kudus (SC 111)
Dalam tahun Liturgi, “perayaan misteri Paskah adalah saat yang paling istimewa dalam perayaan harian, minguan, dan tahunan ibadat Kristiani.” Oleh karena itu, keunggulan Tahun Liturgi atas setiap bentuk devosional lain harus dihargai sebagai titik tolak untuk hubungan antara liturgi dan kesalehan umat, termasuk di dalamnya perayaan-perayaan hari raya, pesta dan peringatan para kudus yang diakomodasi ke dalam Liturgi Gereja.
Ada tiga makna penting yang mau dikenangkan Gereja, yang tertuang dalam Sacrosanctum Concilium berkaitan dengan perayaan para kudus. Pertama, dalam diri orang kudus, Gereja mengagumi dan memuliakan buah penebusan yang unggul dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dirindukan dan dicita-citakan sekarang ini (bdk. SC 103). Hal ini berarti Gereja mewartakan Misteri Paskah yang telah dihidupi oleh para kudus itu. Kedua, Gereja menggabungkan diri dengan para kudus dalam memuji dan memuliakan Allah serta memohon mereka menjadi pendoa kita di Surga. Hal ini menampilkan dua dimensi Gereja sebagai satu persekutuan yaitu dimensi peziarah dan dimensi eskatologis Gereja. Ketiga, kepada orang beriman Gereja menyajikan hidup orang kudus sebagai teladan hidup beriman.
Perlu digarisbawahi bahwa Gereja sama sekali tidak memperkenankan pereduksian makna hari Minggu atau makna hari-hari raya Tuhan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi oleh karena adanya perayaan para kudus. Hari Mnggu tetap mendapat tempat nomor satu di antara perayaan-perayaan para kudus. Gereja juga memberi dispensasi bagi Ordinaris wilayah, dalam hal ini Uskup atau Konferensi para Uskup untuk merayakan peringatan para kudus secara lokal. Komunitas religius, konggregasi maupun Ordo juga boleh merayakan pesta atau peringatan para kudus mereka sesuai denga ketentuan yang diatur daalam SC 22, dengan catatan “masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesat para kudus, supaya seluruh lingkaran misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya”, (SC 108).
4. Catatan Kritis Mengenai Pengahyatan dan Praktik Liturgi Umat dalam Hubungan dengan Tahun Liturgi.
4.1. Catatan Umum
Berkaitan dengan pengahayatan dan praktik liturgi umat dalam hubungannya dengan Tahun Liturgi, ada beberapa hal umum yang perlu diperhatikan.
Pertama. Sesuai dengan semangat pembaruan Konsili Vatikan II, katekese liturgi mengenai Tahun dan Masa Liturgi hendaknya digiatkan dan praktekan entah secara formal dalam Pendidikan Agama Katolik maupun secara nonformal dalam pertemuan di KBG atau Paroki, rekoleksi, pembinaan dan kegiatan pastoral kategorial lainnya. Banyak umat yang tidak memahami makna dari perayaan dalam masa-masa liturgi, sehingga yang sering terjadi, dalam perayaan ritus maupun penghayatan hidup praktis semagat iman yang hendak ditanamkan dan buah liturgi yang hendak dihasilkan tidak tercapai.
Kedua. Pada kegiatan Pendalaman Dokumen-Dokumen Konsilis Vatikan II bagi Para Imam dan Frater TOP di Keuskupan Maumere, Komisi Liturgi KWI menegaskan supaya dinamika ritus-ritus menuntut penyelarasan agar diperjelas makna ritual demi penghayatan umat beriman pada saat itu dan pada Masa Liturgi yang bersangkutan, terutama dalam hal nyanyian, musik, rumusan dan doa-doa, suasana ruangan gereja, dekorasi, dan tata gerak tubuh.
Ketiga. Ada trend yang sedang terjadi yaitu sekularisasi dan komersialisasi perayaan Natal tahunan. Yang terjadi memang tidak ada hubungan dengan ritus Liturgi namun punya pengaruh terhadap pola hidup dan penghayatan masa Natal. Harus diantisipasi agar sakralitas Masa Natal tidak tereduksi oleh trend life style, serta hal-hal komersialyang fenomenal dalam masyarakat. Ada juga tendensi yang mereduksi nilai Paskah oleh karena familiarnya Natal. Dalam hal ini perlu ditegaskan lagi bahwa inti seluruh Liturgi, Tahun Liturgi dan iman Katolik adalah Kebangkitan Tuhan yang puncaknya dirayakan pada hari raya Paskah.
Keempat. Misa harian perlu mendapat perhatian. Misa harian di samping Ibadat Harian menjadi bentuk nyata upaya kita mengenang, menghayati dan menghadirkan seluruh misteri penyelamatan Kristus dalam horison waktu. Dalam hal merayakan liturgi, perlu diperhatikan kesetiaan pada persyaratan yang benar dan baik misalnya, selalu ada Mazmur Tanggapan, Alleluya harus dinyanyikan (bukan oleh imam), dan homili singkat. Hal ini terutama harus dipraktekan di seminari-seminari dan biara-biara.
Kelima. Beredarnya secara luas berbagai bentuk penanggalan Liturgi Gereja Katolik dan buku-buku penuntun seperti Ruah, Ziarah Batin, Café Rohani, atau buku-buku sejenis, sangat membantu mengarahkan umat dalam penghayatan liturgi sepanjang tahun. Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah kehadiran panduan ini tidak menjadikan penghayatan dan olah kesalehan umat dilakukan secara personal di rumah masing-masing. Aspek komunal dan persekutuan sebagi tubuh mistik Kristus harus diutamakan.
4.2. Penghayatan dan Praktek Liturgi Hari Minggu
Beberapa catatan kritis mengenai penghayatan dan praktek Liturgi hari Minggu.
Pertama. Umumnya umat menyadari arti penting hari Minggu sebagai hari Tuhan. Ekaristi maupun Ibadat Sabda di pandang sebagai saat yang penuh makna sebagai bentuk ucapan syukur dan kesempatan menerima berkat Tuhan terutama lewat Sabda serta Tubuh dan Darah Kristus. Umat di kampung-kampung, misalnya di Paroki MKK Buu Nuaria, menghayati dengan penuh kerinduan Sakramen Ekaristi pada hari Minggu. Bahkan pada hari Minggu, ada kebiasaan untuk benar-benar beristirahat dari kerja dan menjadi saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga.
Kedua. Perayaan Ekaristi bersama mempererat aspek komunitas umat beriman. Kegiatan-kegiatan pertemuan di tingkat stasi hingga paroki juga turut mewarnai hari Minggu. Selain itu, kegiatan pastoral kategorial seperti SEKAMI, pembinaan OMK, St. Anna dan yang lainnya menjadi bentuk-bentuk yang sering dijumpai di tengah umat. Hal ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Ketiga. Di samping hal-hal positif itu, seringkali juga dijumpai banyak umat yang acuh terhadap Ekaristi dan kegiatan Gerejani pada hari Minggu. Penekanan terhadap Masa Pakah juga Natal membuat banyak umat yang berprinsip “NAPAS”, yaitu menghadiri Ekaristi hanya pada hari Natal dan Paskah. Selain itu, oleh karena faktor keterdesakan ekonomi, banyak orang lebih mementingkan pekerjaan dari pada Gereja.
Keempat. Keterbatasan jumlah imam seringkali menghalangi dilaksanakannya Ekaristi pada hari Minggu khususnya di tempat-tempat pastoral yang terpencil dan sulit.
Kelima. Ada polemik mengenai perayaan Ekaristi kematian pada hari Minggu. Di keuskupan Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD selaku Uskup Maumere telah mengeluarkan kebijakan mengenai Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani dalam peraturan bernomor No. 155/KUM/III/030314. Dalam peraturan ini, dijelaskan makna dan tingktan perayaan Liturgi sehubungan dengan perayaan Misa Arwah dan Pemakaman Gerejani serta berbagai ketentuannya sesuai dengan PUMR dan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Hal ini sangat baik untuk menjawabi kebingungan dan kebutuhan umat.
Kelima. Perayaan Ekaristi hari Minggu seringkali tidak dipersiapkan dengan baik entah dari umat penanggung Liturgi maupun imam yang merayakan Misa. Ini seringkali membuat umat memilih mengikuti perayaan Ekaristi berdasarkan imam yang merayakan Misa atau umat penanggung Liturgi.
4.3. Penghayatan dan Praktek Liturgi Masa Prapaskah
Pertama. Praktek masa persiapan empat puluh hari kurang dimaknai sebagai masa tobat dan refleksi akan janji baptis yang pernah diucapkan. Puasa sebagai olah kesalehan yang sangat dianjurkan seringkali tidak dipraktikan karena berbagai alasan.
Kedua. Kebanyakan umat Gereja Flores khususnya Maumere dibaptis sesaat setelah kelahirannya sehingga praktek persiapan katekumen sangat jarang ditemukan dalam umat. Umat seringkali tidak memahami makna persiapan dan kenangan akan pembaptisan sehingga tidak ada refleksi yang mendalam pada masa empat puluh hari mengenai hal ini. Katekese mengenai dua makna inti Prapaskah perlu ditingkatkan dan diperhatikan lagi.
Ketiga. Praktik devosional umat seperti Jalan Salib, pembacaan maupun pementasan Kisah Sengsara Tuhan, berbagai bentuk doa tematis dan olah kesalehan lainnya sangat subur bertumbuh. Namun perlu juga ditekankan katekese umat sehubungan dengan perayaan tematis selama masa Prapaskah agar tidak mereduksi makna liturgi.
Keempat. Penghayataa dan pemaknaan Aksi Puasa Pembangunan seringkali hanyalah sekadar konsep tanpa adanya langkah tindak lanjut, padahal Konsili Vatikan II menekankan olah tobat tidak hanya dilakukan secara personal-batiniah tetapi juga sosisial-lahiriah. Sangat baik dan bermanfaat bahwa APP Keuskupan Maumere Tahun 2014 ini masih sejalan dengan rencana tindak lanjut Sinode I Keuskupan Maumere, sehingga diharapkan menjadi refleksi batin sekaligus dapat diaplikasikan secara konkret dam social dengan baik.
4.4. Penghayatan dan Praktek Liturgi pada Pesta dan Peringatan Orang Kudus
Pertama. Banyak umat yang kurang menghayati pesta maupun peringatan serta hari raya orang kudus sebagai sesuatu yang penting dalam Liturgi Gereja sehingga prakteknya pun tidak mendapat perhatian.
Kedua. Olah kesalehan maupun penghormatan terhadap bulan Maria bertumbuh begitu subur. Hal ini baik, namun tidak boleh mereduksi makna Liturgi sebagai sumber dan puncak kahidupan menggereja. Ada umat yang karena keterbatasan pengetahuan mengenai Masa Liturgi mengganggap bulan Mei dan Oktober yang didevosikan bagi Maria sebagai Lingkaran Masa Liturgi sendiri.
Ketiga. Dangkalnya penghayatan dan praktik Liturgi dalam kaitan dengan hari raya, pesta dan peringatan para Kudus menjadikan penghayatan serta upaya meneladani cara hidup mereka pun menjadi dangkal. Nama baptis yang mengadopsi nama para Kudus hanyalah sekadar nama. Jika nama pribadi saja tidak dimaknai dengan baik jelas nama paroki maupun segala sesuatu yang ada di luar diri yang mengadopsi atau merefleksikan orang kudus tertentu praktis sulit dimaknai.
Keempat. Seminari-seminari atau biara-biara harus menjadi model umat dalam hal katekese Liturgi mengenai perayaan, pesta maupun peringatan orang kudus. Misalnya, di biara Karmel Maumere, setiap Sabtu bersama umat diadakan misa votif St. Perawan Maria dari Gunung Karmel. Pada hari Minggu di setiap akhir perayaan Ekaristi, diumumkan peringatan, pesta maupun perayaan para Kudus yang dirayakan sepanjang sepekan agar umat tahu dan bisa berpartisipasi dalam misa maupun devosi lainnya.
5. Penutup
Karya penyelamatan Allah telah berlangsung dalam sejarah, sedang berlangsung saat ini dan akan terus berlangsung dalam horison waktu. KeseluruhanTahun Liturgi dimaknai sebagai kerangka waktu yang di dalamnya Gereja merayakan seluruh misteri Kristus; “mulai pada penjelmaan dan kelahiran, pada Kenaikan dan Pentakosta, dan sampai pada penantian penuh harapan dan sukacita kedatangan Tuhan.” Kristus harus dipahami sebagai satu realitas yang utuh dan tak terpisahkan. Sejak inkarnasi, kehidupan masa kecil-Nya yang tersembunyi, karya pewartaan-Nya selama hidup, penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya, dilihat sebagai suatu realitas penyelamatan Allah dalam Roh Kudus sepanjang seluruh horizon waktu di dunia ini. Demikianlah setiap kali kita merayakan liturgi, entah kapan dan dengan ujud dan tema apapun, kita sebenarnya merayakan dan menghadirkan seluruh misteri Kristus itu.
Dalam penghayatan dan prakteknya, banyak hal yang berkaitan dengan Tahun Liturgi telah dimaknai dengan baik oleh umat. Namun tidak sedikit pula yang diabaikan, tidak diperhatikan dan dimaknai sehingga buah yang seharusnya diperoleh pun akhirnya tidak dapat dinikmati. Perlu adanya katekese Liturgis terus-menerus agar dapat memberi pemahaman yang lebih baik kepada umat sehingga penghayatan dan praktik Liturgi mereka pun semakin baik dan buah dari itu dapat dinikmati demi keselamatan jiwa-jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-Buku
Boli Ujan, Bernardus dan Kirchberger, Georg. (ed). Liturgi Autentik dan Relevan, Cet. ke-2, Maumere: Ledalero, 2011.
Boso da Cunha. Sacrosanctum Consilium. Materi Pendalaman Dokumen Konsili Vatikan II untuk Para Imam da Frater TOP Keuskupan Maumere, (diktat). Jakarta: Komisi Liturgi KWI, 2013.
Martasudjita, E. Makna Liturgi bagi Kehidupan Sehari-hari. Memahami Liturgi Secara Kontekstual, Seri Pendalaman Liturgi-1, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_________. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Lturgi. Cet. Ke-8, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
__________. Pengantar Liturgi: Memahami Simbol-Simbol Liturgi, Seri Pendalaman Liturgi-2, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Penerbitan-Percetakan Kanisius (comp). Gereja Indonesia Pasca Vatikan II, Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Windhu, I. Marsana. Mengenal Tahun Liturgi, Seri Bina Iman-Liturgi 1, Cet. Ke-8 Yogyakarta: Kanisisus. 2004.
2. Dokumen-Dokumen
Codex Iuris Canonici: Kitab Hukum Kanonik.
Direktorium Tentang Kesalehan Umat dan Liturgi: Asas-Asas dan Pedoman.
Sacrosanctum Concilium: Konstitusi tentang Liturgi Suci.
3. Website
http://id.wikipedia.org/wiki/Pra-Paskah
http://www.indocell.net/yesaya/id73.htm
http://pondokrenungan.com/isi.php?tipe=Renungan&table=isi&id=703&next=39
Karmelit INTIM ‘On Stage’
Para Karmelit memang dikenal sebagai biarawan Katolik yang menghidupi spiritualitas kontemplatif yang cukup ketat. Namun siapa sangka, di balik clausura biara, mereka berusaha mengasah potensi musikal yang mumpuni. Hal ini ditunjukan oleh para Karmelit Indonesia Timur (INTIM), khususnya para frater Biara Karmel Bo. Dionisius Maumere dalam sebuah konser Paskah yang digelar di Gedung OMK, Paroki San Juan, Lebao, Keuskupan Larantuka. Konser yang digelar pada Rabu, 6 April 20015 ini bertujuan menggalang dana pendidikan bagi para Karmelit muda. Konser ini mendapat antusiasme yang tinggi dari warga dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur.
Dalam konser kali ini, para Karmelit membawakan lagu-lagu Paskah dari zaman klasik, modern, hingga inkulturasi dan berbagai lagu hiburan. Konser yang dibagi ke dalam tiga babak ini disusun dengan sangat taktis, mulai dari lagu-lagu bernuansa sendu dan tobat khas Karmel, lagu-lagu kebangkitan dan berpuncak pada persembahan lagu-lagu hiburan rakyat. Bo. Dionisius Choir yang dipimpin oleh Fr. Yoman Sungga, O.Carm mampu mengaduk-aduk emosi penonton dari lagu ke lagu. Acara semakin meriah ketika Redion Voice tampil dengan berbagai lagu hiburan tradisional seperti Lui E, Mogi Deo Keze Walo, Bale Nagi, hingga Kelimutu. Kelompok vokal grup Karmel yang berdiri pada tahun 2007 dan telah merilis tiga album pop rohani ini juga membawakan lagu-lagu dari album-album mereka. Penonton dipaksa beranjak dari tempat duduk mereka dan ikut bergoyang mengikuti irama Ja’i hingga Dolo-Dolo yang dibawakan oleh Redion Voice diiringi oleh para pemusik dari Redion Acoustic.
Bagi para Karmelit sendiri, konser ini menjadi suatu bentuk usaha mandiri para frater dalam menggalang dana bagi proses formasi dan pendidikan yang sedang mereka geluti. Lebih jauh dari pada itu, konser ini merupakan suatu bentuk promosi panggilan yang cukup efektif. Penampilan para Karmelit dengan gaya khas mereka adalah suatu bentuk ekspresi spiritualitas yang menggerakkan hati umat untuk mengenal dan mengalami hidup doa, persaudaraan, dan pelayanan yang hadir sebagai kharisma Karmel. Kehadiran para Karmelit di kota Reinha adalah sebuah panggilan bagi umat, panggilan untuk mengikuti semangat Injil Yesus Kristus dalam pendakian menuju puncak Gunung Karmel.
Dalam konser kali ini, para Karmelit membawakan lagu-lagu Paskah dari zaman klasik, modern, hingga inkulturasi dan berbagai lagu hiburan. Konser yang dibagi ke dalam tiga babak ini disusun dengan sangat taktis, mulai dari lagu-lagu bernuansa sendu dan tobat khas Karmel, lagu-lagu kebangkitan dan berpuncak pada persembahan lagu-lagu hiburan rakyat. Bo. Dionisius Choir yang dipimpin oleh Fr. Yoman Sungga, O.Carm mampu mengaduk-aduk emosi penonton dari lagu ke lagu. Acara semakin meriah ketika Redion Voice tampil dengan berbagai lagu hiburan tradisional seperti Lui E, Mogi Deo Keze Walo, Bale Nagi, hingga Kelimutu. Kelompok vokal grup Karmel yang berdiri pada tahun 2007 dan telah merilis tiga album pop rohani ini juga membawakan lagu-lagu dari album-album mereka. Penonton dipaksa beranjak dari tempat duduk mereka dan ikut bergoyang mengikuti irama Ja’i hingga Dolo-Dolo yang dibawakan oleh Redion Voice diiringi oleh para pemusik dari Redion Acoustic.
Bagi para Karmelit sendiri, konser ini menjadi suatu bentuk usaha mandiri para frater dalam menggalang dana bagi proses formasi dan pendidikan yang sedang mereka geluti. Lebih jauh dari pada itu, konser ini merupakan suatu bentuk promosi panggilan yang cukup efektif. Penampilan para Karmelit dengan gaya khas mereka adalah suatu bentuk ekspresi spiritualitas yang menggerakkan hati umat untuk mengenal dan mengalami hidup doa, persaudaraan, dan pelayanan yang hadir sebagai kharisma Karmel. Kehadiran para Karmelit di kota Reinha adalah sebuah panggilan bagi umat, panggilan untuk mengikuti semangat Injil Yesus Kristus dalam pendakian menuju puncak Gunung Karmel.
Memeperkenalkan Lokalitas NTT Lewat Sastra (Christian Senda)
Christian Senda sungguh percaya bahwa sastra memiliki daya yang sangat kuat sebagai media promosi daerah Nusa Tenggara Timur. Bagi pria yang akrab disapa Dicky ini, sastra efektif dalam mempromosikan NTT karena sastra selalu bebicara tentang nilai, tentang kemanusiaan, dan kehidupan itu sendiri. Hal inilah yang mendorong Dicky terus bergiat di dunia sastra, dan berusaha mempromosikan lokalitas Nusa Tenggara Timur lewat cerpen-cerpennya.
Dicky mengaku tetarik untuk menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai mengenal dan menggeluti sastra secara lebih baik ketika ia mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara, Ende. Menurutnya, iklim yang dibangun di sekolah itu sangat mendukung perkembangan kecintaan dan keseriusannya dalam menggeluti dunia sastra. “Ketika di Syuradikara saya beruntung punya kepala sekolah dan bapak asrama yang juga akrab dengan dunia sastra. Tentu saja dari merekalah saya berkenalan dengan beberapa tokoh sastra mutakhir lewat buku-buku yang dipinjamkan kepada saya. Saya ingat betul pertama kali menulis cerpen ketika selesai membaca Saman, novel Ayu Utami, milik seorang frater TOP di Syuradikara”. Proses kreatifnya dalam menulis mulai meningkat saat ia kuliah di Yogyakarta. Hal ini didukung oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku, sharing, dan diskusi serta pentas karya sastra. Ketika pindah dan menetap di Kupang pada 2012, Dicky lalu terlibat dalam suatu komunitas sastra, yakni komunitas Dusun Flobamora. “Di komunitas ini saya bertemu Mario Lawi, dkk. Pengaruh komunitas ternyata sangat luar biasa. Bergiat bersama di komunitas membawa pengaruh pada motivasi dan produktivitas. Banyak diskusi dan baca buku, tentu saja membuka wawasan dan justru membuat saya mulai peka dengan diri sendiri. Berkomunitas bukan saja mengasah kemampuan saya sebagai penulis, tetapi juga memberi kesempatan untuk berjejaring dengan lebih banyak orang. Sejak itulah saya mulai membuka diri dengan penulis lain khususnya dari luar NTT, termasuk berkesempatan ikut dalam beberapa forum atau festival sastra. Dari sana kesempatan terbuka lebar. Selalu ada semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri.”
Bagi sarjana psikologi ini, motivasi untuk mengangkat tema lokalitas NTT dalam karya-karya sastranya pertama-tama bersumber dari kehidupan keluarga. “Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat kental dengan lokalitas. Nenek saya orang Jawa, dukun beranak dan sangat lekat dengan tradisi serta ritual Kejawen. Keluarga besar bapak di Flores dan mama di Timor juga sangat lekat dengan tradisi. Sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Mollo, TTS, yang masih sangat kental dengan budaya suku Dawan. Semua itu telah memberi warna tersendiri bagi jejak karya saya selama ini. Ya, sejauh ini ide atau inspirasi menulis cerpen selalu berawal dari rumah, dari keluarga.”
Meski karya-karyanya sangat kental dengan budaya Timor dan Flores, Dicky juga mengalami kesulitan ketika ingin menulis tentang kebudayaan Dawan yang sangat menarik perhatiannya. Kesulitan ini salah satunya disebabkan karena ia tidak fasih berbahasa daerah. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya tidak diperbiasakan menggunakan bahasa daerah, baik Dawan maupun Flores. Ia juga menyadari bahwa generasi-generasi saat ini sangat ketinggalan dalam memahami budaya lokal. Untuk mengejar ketertinggalan itu ia melakukan berbagai riset dan wawancara dengan penutur-penutur asli yang kian sedikit jumlahnya. “Dari sana (riset dan wawancara) saya menemukan banyak dongeng dan mitos yang masih memiliki pengaruh besar di alam bawah sadar orang Mollo. Misalnya, kebanggaan bahwa orang Mollo adalah penjaga gunung dan hutan. Ada konsep ‘oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.’ Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Wilayah Mollo adalah gunung-gunung marmer yang menyimpan air bagi setengah dari pulau Timor. Maka tak heran ketika pemerintah membawa perusahaan tambang masuk ke Mollo, para penjaga hutan dan penjaga gununglah yang gigih mengusir penambang angkat kaki dari Mollo. Lewat sastra, tema-tema ekologi yang khas dari Mollo saya angkat kembali, baik di buku kumpulan cerpen Kanuku Leon maupun di buku kumpulan cerpen terbaru saya, Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Di buku baru ini, kayu cendana bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan konflik. Saya coba memperkenalkan Timor yang disebut ‘hau fo meni’—negeri berbau harum, dan cendana yang telah memasyurkan Timor ke Cina, Arab hingga Eropa.”
Dicky aktif menulis di beberapa media seperti Bali Post dan Jurnal Sastra Santarang. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan dalam antologi cerpen 5900 Langkah, dan antologi cerpen Kematian Sasando. Sejauh ini Dicky telah mempublikasikan tiga buah buku masing-masing sebuah kumpulan puisi berjudul Cerah Hati (2011), dan dua buah kumpulan cerpen berjudul Kanuku Leon (2013), serta Haukamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Ia juga terlibat aktif, baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event serta festival sastra, seperti Temu II Sastrawan NTT 2013, Makassar International Writers Festival 2013, Asean Literary Festival 2014, Festival Sastra Santarang 2015 dan Sumba Art Gathering 2015.
Selain bergelut di dunia sastra, Dicky juga berpartisipasi dalam beberapa karya sosial-edukatif yang digalakan oleh komunitas-komunitas kreatif di Kupang dan sekitarnya. “Saat ini saya tergabung di komunitas sastra Dusun Flobamora, setelah sebelumnya turut serta mengembangkan Komunitas Blogger NTT. Dalam bidang sosial-kemanusiaan dan pengembangan kaum muda, saya ikut bergiat di Forum SoE Peduli, #KupangBagarak, Solidaritas Giovanni Paolo dan Gerakan Mari Berbagi. Saya sangat menikmati hidup sebagai penulis dan aktif mendorong pengembangan kaum muda di NTT. Bersama dengan teman-teman, kami terus berjejaring dan mempromosikan semua potensi dan gerakan positif kaum muda di NTT lewat media sosial. Kami sudah membuktikan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu menyatukan simpul-simpul komunitas lintas daerah.” Bagi Dicky, pengalaman berjejaring dengan komunitas anak muda di berbagai daerah di NTT telah membuka banyak peluang kerjasama, kolaborasi ide, dan mewujudkan mimpi bersama-sama. Dicky pun telah mengalami betapa jejaring ini mampu memberikan kontirbusi luar biasa bagi pengembangan dan promosi NTT. Pria yang punya hobi memask dan nonton film ini berharap jejaring komunitas yang telah digagas anak muda terus dihidupkan dan mendapat berbagai dukungan dari pihak-pihak yang peduli akan pengembangan dan promosi NTT.
Dicky mengaku tetarik untuk menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai mengenal dan menggeluti sastra secara lebih baik ketika ia mengenyam pendidikan di SMA Syuradikara, Ende. Menurutnya, iklim yang dibangun di sekolah itu sangat mendukung perkembangan kecintaan dan keseriusannya dalam menggeluti dunia sastra. “Ketika di Syuradikara saya beruntung punya kepala sekolah dan bapak asrama yang juga akrab dengan dunia sastra. Tentu saja dari merekalah saya berkenalan dengan beberapa tokoh sastra mutakhir lewat buku-buku yang dipinjamkan kepada saya. Saya ingat betul pertama kali menulis cerpen ketika selesai membaca Saman, novel Ayu Utami, milik seorang frater TOP di Syuradikara”. Proses kreatifnya dalam menulis mulai meningkat saat ia kuliah di Yogyakarta. Hal ini didukung oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku, sharing, dan diskusi serta pentas karya sastra. Ketika pindah dan menetap di Kupang pada 2012, Dicky lalu terlibat dalam suatu komunitas sastra, yakni komunitas Dusun Flobamora. “Di komunitas ini saya bertemu Mario Lawi, dkk. Pengaruh komunitas ternyata sangat luar biasa. Bergiat bersama di komunitas membawa pengaruh pada motivasi dan produktivitas. Banyak diskusi dan baca buku, tentu saja membuka wawasan dan justru membuat saya mulai peka dengan diri sendiri. Berkomunitas bukan saja mengasah kemampuan saya sebagai penulis, tetapi juga memberi kesempatan untuk berjejaring dengan lebih banyak orang. Sejak itulah saya mulai membuka diri dengan penulis lain khususnya dari luar NTT, termasuk berkesempatan ikut dalam beberapa forum atau festival sastra. Dari sana kesempatan terbuka lebar. Selalu ada semangat untuk terus meningkatkan kemampuan diri.”
Bagi sarjana psikologi ini, motivasi untuk mengangkat tema lokalitas NTT dalam karya-karya sastranya pertama-tama bersumber dari kehidupan keluarga. “Saya lahir dan besar di lingkungan yang sangat kental dengan lokalitas. Nenek saya orang Jawa, dukun beranak dan sangat lekat dengan tradisi serta ritual Kejawen. Keluarga besar bapak di Flores dan mama di Timor juga sangat lekat dengan tradisi. Sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Mollo, TTS, yang masih sangat kental dengan budaya suku Dawan. Semua itu telah memberi warna tersendiri bagi jejak karya saya selama ini. Ya, sejauh ini ide atau inspirasi menulis cerpen selalu berawal dari rumah, dari keluarga.”
Meski karya-karyanya sangat kental dengan budaya Timor dan Flores, Dicky juga mengalami kesulitan ketika ingin menulis tentang kebudayaan Dawan yang sangat menarik perhatiannya. Kesulitan ini salah satunya disebabkan karena ia tidak fasih berbahasa daerah. Sejak kecil, ia dan saudara-saudaranya tidak diperbiasakan menggunakan bahasa daerah, baik Dawan maupun Flores. Ia juga menyadari bahwa generasi-generasi saat ini sangat ketinggalan dalam memahami budaya lokal. Untuk mengejar ketertinggalan itu ia melakukan berbagai riset dan wawancara dengan penutur-penutur asli yang kian sedikit jumlahnya. “Dari sana (riset dan wawancara) saya menemukan banyak dongeng dan mitos yang masih memiliki pengaruh besar di alam bawah sadar orang Mollo. Misalnya, kebanggaan bahwa orang Mollo adalah penjaga gunung dan hutan. Ada konsep ‘oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.’ Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang. Wilayah Mollo adalah gunung-gunung marmer yang menyimpan air bagi setengah dari pulau Timor. Maka tak heran ketika pemerintah membawa perusahaan tambang masuk ke Mollo, para penjaga hutan dan penjaga gununglah yang gigih mengusir penambang angkat kaki dari Mollo. Lewat sastra, tema-tema ekologi yang khas dari Mollo saya angkat kembali, baik di buku kumpulan cerpen Kanuku Leon maupun di buku kumpulan cerpen terbaru saya, Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi. Di buku baru ini, kayu cendana bisa dilihat dari berbagai sudut pandang dan konflik. Saya coba memperkenalkan Timor yang disebut ‘hau fo meni’—negeri berbau harum, dan cendana yang telah memasyurkan Timor ke Cina, Arab hingga Eropa.”
Dicky aktif menulis di beberapa media seperti Bali Post dan Jurnal Sastra Santarang. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan dalam antologi cerpen 5900 Langkah, dan antologi cerpen Kematian Sasando. Sejauh ini Dicky telah mempublikasikan tiga buah buku masing-masing sebuah kumpulan puisi berjudul Cerah Hati (2011), dan dua buah kumpulan cerpen berjudul Kanuku Leon (2013), serta Haukamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Ia juga terlibat aktif, baik sebagai peserta maupun pembicara di berbagai event serta festival sastra, seperti Temu II Sastrawan NTT 2013, Makassar International Writers Festival 2013, Asean Literary Festival 2014, Festival Sastra Santarang 2015 dan Sumba Art Gathering 2015.
Selain bergelut di dunia sastra, Dicky juga berpartisipasi dalam beberapa karya sosial-edukatif yang digalakan oleh komunitas-komunitas kreatif di Kupang dan sekitarnya. “Saat ini saya tergabung di komunitas sastra Dusun Flobamora, setelah sebelumnya turut serta mengembangkan Komunitas Blogger NTT. Dalam bidang sosial-kemanusiaan dan pengembangan kaum muda, saya ikut bergiat di Forum SoE Peduli, #KupangBagarak, Solidaritas Giovanni Paolo dan Gerakan Mari Berbagi. Saya sangat menikmati hidup sebagai penulis dan aktif mendorong pengembangan kaum muda di NTT. Bersama dengan teman-teman, kami terus berjejaring dan mempromosikan semua potensi dan gerakan positif kaum muda di NTT lewat media sosial. Kami sudah membuktikan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan baru yang mampu menyatukan simpul-simpul komunitas lintas daerah.” Bagi Dicky, pengalaman berjejaring dengan komunitas anak muda di berbagai daerah di NTT telah membuka banyak peluang kerjasama, kolaborasi ide, dan mewujudkan mimpi bersama-sama. Dicky pun telah mengalami betapa jejaring ini mampu memberikan kontirbusi luar biasa bagi pengembangan dan promosi NTT. Pria yang punya hobi memask dan nonton film ini berharap jejaring komunitas yang telah digagas anak muda terus dihidupkan dan mendapat berbagai dukungan dari pihak-pihak yang peduli akan pengembangan dan promosi NTT.
Hidup dari Spirit ‘Sako Seng’ (Kelompok Tani ‘Mage Wolot’)
Derasnya arus ekonomi global dengan segala macam motif dan pesaingan yang begitu hebat, tidak pernah menyurutkan perjuangan para petani sederhana dari Dusun Napung Metit-Habibola, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka untuk membangun asa bagi hidup mereka. Berbekal kecakapan alami dan juga yang mereka dapat dari pengalaman hidup, para petani yang masih sangat tradisional ini punya cara jitu dalam menyikapi ketidakstabilan ekonomi yang hampir selalu terjadi. Cara jitu yang mereka tempuh adalah membangun organisasi tani ‘akar rumput’ yang mereka beri nama ‘Kelompok Tani Mage Wolot’. Organisasi ini menjadi sangat istimewa, karena digerakkan oleh spirit ‘sako seng’, suatu tradisi gotong royong masyarakat etnis Krowe-Krowin dalam mengelola lahan pertanian.
“Mulanya kami menjalankan tradisi sako seng. Hari ini kerja di kebun saya, besok kerja di kebun saudara yang lain, lusa kerja di kebun saudara yang lainnya lagi. Begitu seterusnya sampai semua kebun dari semua saudara habis tergarap. Setelah bertahun-tahun baru kami mulai berpikir untuk membuat satu kelompok tani yang lebih tertata rapi”, demikian dengan sangat polos dan sederhana Bapak Romanus Mitan menjelaskan awal berdirinya kelompok tani ini.
Aktivitas kelompok ini mulai dijalankan pada tahun 1997, beranggotakan belasan orang. Setiap anggota wajib membayar upah tertentu (uang) per orang setiap kali kebunnya digarap. Uang hasil pembayaran ini dimasukkan ke dalam kas kelompok. Tidak hanya di kebun, kelompok juga terlibat dalam berbagai kegiatan, misalnya pembangunan rumah warga anggota kelompok maupun non anggota kelompok serta pembangunan lain yang dijalankan di desa. Seperti biasa upah kerja dimasukkan ke dalam kas kelompok. Ini menjadi modal awal operasional kelompok.
Kelompok ini sempat mandek pada awal tahun 2000 akibat terbengkalainya administrasi keuangan. Pada tahun 2007 pembaruan dan penertiban administrasi dilakukan dengan Bapak Wilibrodus Susar sebagai ketua dan bapak Romanus Mitan sebagai bendahara dengan 25 anggota. Sejak saat itu kelompok mulai mengembangkan berbagai program bekerjasama dengan pemerintahan Desa dan Dinas Pertanian. Hampir setiap tahun mereka mendapat bantuan tetap berupa bibit (jagung hibrida dan kacang), pupuk, pestisida untuk tanaman umur panjang (mente dan kelapa), tanaman-tanaman hortikultura uji coba serta berbagai pelatihan agrikultural kontemporer. Bahkan Dinas Peternakan pun meberikan bantuan berupa kredit kambing.
Untuk kesejahteraan anggotanya, kelompok tani ini mengembangkan berbagai program seperti simpan pinjam, pengadaan perlengkapan makan hingga memasak untuk disewakan, dan dana duka. Dana duka melibatkan tidak hanya anggota tetapi juga masyarakat non anggota. Setiap anggota program dana duka akan memberikan kepada anggota lainnya yang mengalami kedukaan sumbangan berupa beras 5 kg dan uang Rp.10.000,- dan juga sumbangan tenaga untuk mengurus segala hal yang perlu hingga upacara pemakaman selesai.
Meskipun cukup eksis, kelompok tani yang sangat sederhana ini masih menghadapi banyak kendala seperti kurangnya sumber air, akses jalan yang buruk dengan biaya transportasi yang mahal, administrasi khususnya di bagian simpan pinjam yang belum tertata baik, juga masalah kekuatan manajemen internal yang diharapkan bisa mengatasi tekanan harga yang ditentukan para pemilik modal. Mereka masih membutuhkan perhatian pemerintah daerah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Harapan besar mereka letakan pada pundak putra-putri Nian Tana yang telah mengenyam pendidikan untuk pulang membangun daerahnya, dan turut menyambung asa bagi kelangsungan kerja serta hidup mereka; sekali lagi, dalam spirit ‘Sako Seng’!!
Virgin Coconut Oil: Khasiat Penyembuhan dari Kaki Gunung Egon
Hampir semua cerita tentang kisah penciptaan di seluruh kebudayaan menggambarkan alam sebagai suatu ruang yang diciptakan untuk kelangsungan hidup manusia. Alam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia, mulai dari kebutuhan akan sandang, pangan, papan, dan obat-obatan. Suatu kesadaran akan tanggungjawab melestarikan dan mengolah alam ditanamkan ke dalam diri manusia meski kadang manusia menjadi buta oleh karena berbagai sebab.
Mama Matha Dhai dan Bapak Kasianus Lado, pasangan suami istri yang tinggal di kaki gunung Egon, khususnya di Dusun Blidid, Kecamatan Waigete-Kabupaten Sikka, menyadari dengan sungguh betapa alam Egon menyediakan sesuatu untuk mereka olah. Pasangan suami istri yang aktif dalam berbagai kelompok tani hortikultura di dusunnya, dan juga pemandu wisata alam Egon ini, berusaha membudidayakan tanaman kelapa masyarakat sekitar untuk dijadikan obat-obatan herbal yang memiliki banyak khasiat. Obat-obatan alternatif-herbal yang dibudidayakan ini dikenal dengan nama Virgin Coconut Oil (VCO), atau minyak kelapa murni.
Usaha ini mulai dijalankan sejak akhir tahun 2009, setelah mama Martha Dhai diundang untuk mengikuti suatu program pelatihan yang diprakarsai oleh YAKKUM Emergency Unit, suatu organisasi sosial bertaraf internasional yang khusus memperhatikan pemberdayaan masyarakat daerah rawan bencana (bencana alam, perang, konflik etnis, dll) dalam berbagai aspek terutama dalam situasi gawat darurat. Mama Martha Dahai yang menyadari betul situasi alam Egon yang kaya akan tanaman kelapa memberi perhatian khusus pada program VCO. Pada awalnya, produksi VCO dibuat hanya untuk dikonsumsi dalam keluarga. Namun, atas pengarahan Bapak Siswo Pranoto, salah satu fasilitator, Mama Martha Dhai mulai melihat aspek komersialnya, demi pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Kemudian, Mama Martha Dhai mengajak para tetangga dan beberapa kerabatnya untuk menjalankan suatu industri rumah tangga yang memproduksi VCO dalam jumlah yang lebih besar. Industri yang diberi nama ‘Egon Sakti’ ini diawali dengan modal swadaya dan perlengkapan kerja seadanya, kemudian berkembang dan selama beberapa tahun ini mendapat dukungan dari Komisi Pengembanagan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Maumere.
VCO sendiri terbuat dari daging kelapa segar yang diolah dalam suhu rendah atau tanpa melalui pemanasan (Cold Expelled Coconut Oil/CECNO), sehingga kandungan yang penting dalam minyak tetap dipertahankan, mempunyai warna lebih jernih, dan dapat tahan selama lebih dari dua tahun (2 tahun) tanpa menjadi tengik. VCO mengandung berbagai macam lemak non-kolesterol yang dibutuhkan oleh tubuh dan juga kaya akan Medium Chain Triglyseride (MCT), dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG): 1 sendok makan 14 gr mengandung 1 gr lemak jenuh rantai panjang, 0,5 gr lemak jenuh rantai pendek, dan Vitamin 300 ppn. VCO telah melalui uji laboratorium BPOM dan terbukti ampuh sebagai antivirus, anti-bakteri dan Protozoa. VCO sendiri mampu menambah dan menjaga daya tahan tubuh, menjaga sistem koordinasi, melancarkan pencernaan, dan mencegah serta menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik penyakit luar maupun penyakit dalam, serta sebagai bahan kosmetik.
Selain menawarkan produk obat herbal yang tentunya bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, industri VCO yang dijalankan oleh mama Martha Dhai dan Bapak Kasianus Lado memiliki prospek yang sangat bagus untuk ekonomi keluarga maupun masyarkat sekitar Dusun Blidid. Lewat industri ini, Mama Martha Dhai dan Bapak Kasianus Lado membuka lapangan kerja dan menjadi contoh produktif bagi masyarakat sekitar. Melalui industri dan produk-produk mereka, Mama Martha Dhai dan Bapak Kasianus Lado pun berusaha memperkenalkan wisata alam Egon yang meliputi pendakian gunung vulkanik Egon, pemandian air panas, dan pemandian alami pada bendungan Waigete, suatu upaya luhur untuk mengembangkan pariwisata daerah mereka yang masih sangat alami dan eksotik serta memberi kesegaran rohani, tetapi belum dikenal luas. Bagi para pembaca yang berminat silahkan datang, lihat, dan alamilah khasiat penyembuhan dari kaki gunung Egon!!!
Ketika Sastrawan ‘Asyik’ dengan Dunianya
Diterbitkan dalam buku 'Dari Avontur ke Wasiat Kemuhar', Antologi Ulasan Buku Karya Penulis NTT, pada Temu II Sastarwan NTT
Dalam berbagai diskusi, lokakarya, maupun kegiatan-kegiatan sastra lainnya di NTT, masih saja terdengar komentar-komentar serta asumsi-asumsi bahwa para penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan NTT ‘hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri’. Anggapan seperti ini umumnya timbul sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kurangnya gema dan efek dari daya transformatif-konkret karya-karya para sastrawan NTT terhadap kehidupan sosial masayarakat, atau mungkin juga karena faktor apresiasi-resepsi yang sangat terbatas dari masyarakat atas karya-karya para sastrawan NTT. Untuk memahami fenomena ini, mungkin perlu dibuat suatu kajian yang lebih komprehensif. Namun, secara lebih sederhana, jika saja fenomena ini dilihat dari sudut pandang yang lebih positif dan personal dengan mengacu pada karya-karya para sastrawan NTT, akan ditemukan suatu horizon pemahaman yang lebih positif tentang nilai sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’. ‘Sabtu Kelabu’, Sebuah Kumpulan Cerpen (2011) yang merupakan karya sulung penulis muda Erlyn Lasar, bisa menjadi suatu contoh yang menarik tentang dimensi sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’.
Sabtu Kelabu memuat tujuh belas cerpen Erlyn yang ditulisnya antara tahun 2007-2011. Erlyn yang dalam rentang waktu itu berusia belasan tahun (remaja), coba menampilkan cerpen-cerpen yang diangakat dari pengalaman hidupnya sendiri. Yang ada di dunia remajanya dan yang asyik digelutinya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi titik berangkat seluruh narasi yang coba ia bangun. Cerpen-cerpen Erlyn menampilkan wawasan yang luas dan refleksi yang tajam atas realitas sosial masyarakat, dari berbagai segi kehidupan. Meski demikian, dua hal yang bisa digali dari cerpen-cerpennya, terutama yang menyoroti realitas kemiskinan masyarakat dan upaya menggali lalu menegaskan jati diri-kebudayaan lokal NTT, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kematangan karya-karya Erlyn, tampak jelas dalam nuansa realisme yang dihidupkan dalam mayoritas cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang lugas, Erlyn mencoba membangun alur-alur yang indah, dengan berbagai gejolak yang merangsang rasa penasaran serta logika yang utuh dan konsisten tertata. Yang menarik, Erlyn tidak memaksakan diri membahas masalah-masalah yang diangkat dalam cerpennya dari perspektif di luar kapasitasnya, tetapi mencoba menatap masalah-masalah itu dari sudut pandang seorang remaja, lantas memberi ruang bagi para pembaca untuk menarik makna yang lebih dalam bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari sebagian besar tokoh dan penokohan dalam cerpen-cerpennya yang relatif berusia remaja hingga dewasa awal, dengan ketegangan kisah berlatar kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh dengan sudut pandang masing-masing.
Nilai sosial ‘keasyikan’ Erlyn dengan dunia masa remajanya yang sederhana di kota Yogyakarta dan Maumere melahirkan karya-karya yang mengangkat ke permukaan sekaligus mengeritik kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi antara yang kaya dan yang miskin dari sudut pandang kehidupan remaja. Dalam cerpen ‘Aku’, ‘Ah’, dan ‘Kejujuran di Jalanan’, Erlyn mencoba mengangkat kisah-kisah anak-anak pemulung dengan segala perjuangan hidupnya. Dalam cerpen-cerpennnya ini, Erlyn menarasikan impian-impian kecil anak-anak miskin tentang boneka, tentang sekolah, tentang mimpi membahagiakan orang tua, yang dikonfrontasikan dengan berbagai wacana dan program-prgram perlindungan hak anak, serta program-program peningkatan kesejahteraan hidup rakyat kecil yang cenderung sebatas verbalisme belaka. Terhadap realitas sosial yang miris sekaligus ironis ini, Erlyn memosisikan tokoh-tokohnya dalam berbagai disposisi batin: sedih, optimis, teguh dan terus berjuang. Lewat cerpen-cerpennya, jelas terlihat, ‘keasyikan’ Erlyn dengan masa remajanya yang penuh diwarnai oleh pemandangan kehidupan anak-anak pemulung dan orang-orang miskin, memuarakan seluruh refleksinya pada titik empati, solider, dan beraksi untuk menggemakan realitas ini ke tengah-tengah masyarakat pembaca. Realitas kemiskinan yang ditawarkan Erlyn dibalut dengan pelajaran akan tenggang rasa, kesetiakawanan, dan ugahari.
Erlyn juga memperkenalkan lokalitas NTT dengan berbagai cara. Filu Merah Putih, Maafkan Ryanti ‘Kak, Moan Henyo, Gadis Tumbal, dan Takdir Berhikmah, adalah contoh-contoh cerpen yang mengangkat lokalitas NTT lewat berbagai model penceritaan. Erlyn menceritakan kembali dongeng rakyat Ine Pare dari Palue, dengan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang sang ibu, dalam cerpen Takdir Berhikmah. Lewat cerpen ini, Erlyn memperkenalkan kembali mitos seorang gadis Palu’e yang mengorbankan dirinya sehingga menjadi padi yang dimakan bangsa manusia umumnya, tentang padi yang konon tidak dapat tumbuh di tanah Palu’e akibat nazar sang ibu, sekaligus menggali kembali nilai penghormatan yang tinggi akan kerja, dan segala bentuk pengorbanan demi mempertahankan kehidupan. Dalam cerpen Gadis Tumbal, diangkat kembali dongeng tentang kisah cinta Kapalelu dan Moan Jiro Jaro. Ada pesan pengorbanan, cinta yang dibalut dalam awasan untuk menjaga dan melestarikan alam.
Erlyn juga mengkonfrontasikan wawasan kedaerahan dengan wawasan nasional-nusantara dalam Filu Merah Putih dan Maafkan Ryanti. Kedua cerpen ini mencoba mengatasi sikap-sikap minder, inferior, dan kurang percaya diri anak-anak NTT akan jati diri kedaerahan mereka berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang kelihatan lebih maju. Filu merah Putih menampilkan keraguan seorang remaja yang menyaksikan ibunya mengikuti lomba memasak makanan tradisional, yang melibatkan ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya, saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Keraguan itu lenyap seketika, dan kepercayaan dirinya tumbuh ketika ia akhirnya tahu bahwa ibunya membuat kue filu khas Ende-Lio, makanan kesukaannya. Dengan cara yang berbeda, cerpen Maafkan Rianty ‘Kak, menuntaskan konfrontasi seorang remaja Maumere yang dibesarkan di tanah rantau dalam peradaban yang jauh lebih maju dengan kebudayaan tempat asalnya, lewat kesalahan kecil di acara pernikahan kakaknya. Nyata sekali, pengalaman Erlyn hidup di pulau Jawa, turut memberi rangsangan bagi kreasi cerpen-cerpennya ini. Kepada sesama saudaranya, Erlyn ingin menitipkan pesan agar berani dan berbanggalah dengan jati diri kedaerahanmu!
Buku ‘Sabtu Kalabu’, karya Erlyn Lasar bisa membuktikan bahwa ‘sastrawan yang asyik dengan dunianya sendiri’ bisa menciptakan sesuatu yang punya nilai sosial yang sangat tinggi. Bukankah hakikat sastra juga selalu berdimensi sosial, sebagaimana seni pada umumnya selalu bersifat dulce et utile? Sastra haruslah indah sekaligus berguna. Dalam bahasa Aristoteles, sastra sebagaimana musik, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang secara esensial memiliki aspek sosial dalam dirinya. Sastra haruslah bisa menghadirkan hiburan (paidia), membentuk karakter dan cara berpikir (paideia), dan memurnikan komunitas masyarakat dari hal-hal yang buruk secara moral (katharsis). Secara lebih ekstrem, Satyagraha Hoerip dengan ‘sastra terlibatnya’ ingin agar sastrawan tampil pada garda yang paling depan dalam upaya pendidikan moral bangsanya. Masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek sastra, ilham sekaligus tujuan, sumber sekaligus muara semua nilai yang diangkat oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka.
Keluhan bahwa sastrawan, khususnya para sastrawan NTT asyik dengan dunianya sendiri, sesungguhnya adalah unkapan dahaga masyarakat akan sastra yang terlibat. Jika sastrawan, penulis muda seperti Erlyn sudah menulis dengan idealisme sosial yang demikian tinggi, pertanyaan lai yang timbul adalah sebarapa dapat dan jauh usaha masyarakat mengapresiasinya?
Dalam berbagai diskusi, lokakarya, maupun kegiatan-kegiatan sastra lainnya di NTT, masih saja terdengar komentar-komentar serta asumsi-asumsi bahwa para penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan NTT ‘hanya sibuk dan asyik dengan dunianya sendiri’. Anggapan seperti ini umumnya timbul sebagai sebuah bentuk kritik terhadap kurangnya gema dan efek dari daya transformatif-konkret karya-karya para sastrawan NTT terhadap kehidupan sosial masayarakat, atau mungkin juga karena faktor apresiasi-resepsi yang sangat terbatas dari masyarakat atas karya-karya para sastrawan NTT. Untuk memahami fenomena ini, mungkin perlu dibuat suatu kajian yang lebih komprehensif. Namun, secara lebih sederhana, jika saja fenomena ini dilihat dari sudut pandang yang lebih positif dan personal dengan mengacu pada karya-karya para sastrawan NTT, akan ditemukan suatu horizon pemahaman yang lebih positif tentang nilai sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’. ‘Sabtu Kelabu’, Sebuah Kumpulan Cerpen (2011) yang merupakan karya sulung penulis muda Erlyn Lasar, bisa menjadi suatu contoh yang menarik tentang dimensi sosial ‘keasyikan sastrawan dengan dunianya’.
Sabtu Kelabu memuat tujuh belas cerpen Erlyn yang ditulisnya antara tahun 2007-2011. Erlyn yang dalam rentang waktu itu berusia belasan tahun (remaja), coba menampilkan cerpen-cerpen yang diangakat dari pengalaman hidupnya sendiri. Yang ada di dunia remajanya dan yang asyik digelutinya dalam kehidupan sehari-hari, menjadi titik berangkat seluruh narasi yang coba ia bangun. Cerpen-cerpen Erlyn menampilkan wawasan yang luas dan refleksi yang tajam atas realitas sosial masyarakat, dari berbagai segi kehidupan. Meski demikian, dua hal yang bisa digali dari cerpen-cerpennya, terutama yang menyoroti realitas kemiskinan masyarakat dan upaya menggali lalu menegaskan jati diri-kebudayaan lokal NTT, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kematangan karya-karya Erlyn, tampak jelas dalam nuansa realisme yang dihidupkan dalam mayoritas cerpen-cerpennya. Dengan bahasa yang lugas, Erlyn mencoba membangun alur-alur yang indah, dengan berbagai gejolak yang merangsang rasa penasaran serta logika yang utuh dan konsisten tertata. Yang menarik, Erlyn tidak memaksakan diri membahas masalah-masalah yang diangkat dalam cerpennya dari perspektif di luar kapasitasnya, tetapi mencoba menatap masalah-masalah itu dari sudut pandang seorang remaja, lantas memberi ruang bagi para pembaca untuk menarik makna yang lebih dalam bagi dirinya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari sebagian besar tokoh dan penokohan dalam cerpen-cerpennya yang relatif berusia remaja hingga dewasa awal, dengan ketegangan kisah berlatar kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh dengan sudut pandang masing-masing.
Nilai sosial ‘keasyikan’ Erlyn dengan dunia masa remajanya yang sederhana di kota Yogyakarta dan Maumere melahirkan karya-karya yang mengangkat ke permukaan sekaligus mengeritik kesenjangan kehidupan sosial-ekonomi antara yang kaya dan yang miskin dari sudut pandang kehidupan remaja. Dalam cerpen ‘Aku’, ‘Ah’, dan ‘Kejujuran di Jalanan’, Erlyn mencoba mengangkat kisah-kisah anak-anak pemulung dengan segala perjuangan hidupnya. Dalam cerpen-cerpennnya ini, Erlyn menarasikan impian-impian kecil anak-anak miskin tentang boneka, tentang sekolah, tentang mimpi membahagiakan orang tua, yang dikonfrontasikan dengan berbagai wacana dan program-prgram perlindungan hak anak, serta program-program peningkatan kesejahteraan hidup rakyat kecil yang cenderung sebatas verbalisme belaka. Terhadap realitas sosial yang miris sekaligus ironis ini, Erlyn memosisikan tokoh-tokohnya dalam berbagai disposisi batin: sedih, optimis, teguh dan terus berjuang. Lewat cerpen-cerpennya, jelas terlihat, ‘keasyikan’ Erlyn dengan masa remajanya yang penuh diwarnai oleh pemandangan kehidupan anak-anak pemulung dan orang-orang miskin, memuarakan seluruh refleksinya pada titik empati, solider, dan beraksi untuk menggemakan realitas ini ke tengah-tengah masyarakat pembaca. Realitas kemiskinan yang ditawarkan Erlyn dibalut dengan pelajaran akan tenggang rasa, kesetiakawanan, dan ugahari.
Erlyn juga memperkenalkan lokalitas NTT dengan berbagai cara. Filu Merah Putih, Maafkan Ryanti ‘Kak, Moan Henyo, Gadis Tumbal, dan Takdir Berhikmah, adalah contoh-contoh cerpen yang mengangkat lokalitas NTT lewat berbagai model penceritaan. Erlyn menceritakan kembali dongeng rakyat Ine Pare dari Palue, dengan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang sang ibu, dalam cerpen Takdir Berhikmah. Lewat cerpen ini, Erlyn memperkenalkan kembali mitos seorang gadis Palu’e yang mengorbankan dirinya sehingga menjadi padi yang dimakan bangsa manusia umumnya, tentang padi yang konon tidak dapat tumbuh di tanah Palu’e akibat nazar sang ibu, sekaligus menggali kembali nilai penghormatan yang tinggi akan kerja, dan segala bentuk pengorbanan demi mempertahankan kehidupan. Dalam cerpen Gadis Tumbal, diangkat kembali dongeng tentang kisah cinta Kapalelu dan Moan Jiro Jaro. Ada pesan pengorbanan, cinta yang dibalut dalam awasan untuk menjaga dan melestarikan alam.
Erlyn juga mengkonfrontasikan wawasan kedaerahan dengan wawasan nasional-nusantara dalam Filu Merah Putih dan Maafkan Ryanti. Kedua cerpen ini mencoba mengatasi sikap-sikap minder, inferior, dan kurang percaya diri anak-anak NTT akan jati diri kedaerahan mereka berhadapan dengan kebudayaan dan peradaban lain yang kelihatan lebih maju. Filu merah Putih menampilkan keraguan seorang remaja yang menyaksikan ibunya mengikuti lomba memasak makanan tradisional, yang melibatkan ibu-ibu dari berbagai latar belakang budaya, saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Keraguan itu lenyap seketika, dan kepercayaan dirinya tumbuh ketika ia akhirnya tahu bahwa ibunya membuat kue filu khas Ende-Lio, makanan kesukaannya. Dengan cara yang berbeda, cerpen Maafkan Rianty ‘Kak, menuntaskan konfrontasi seorang remaja Maumere yang dibesarkan di tanah rantau dalam peradaban yang jauh lebih maju dengan kebudayaan tempat asalnya, lewat kesalahan kecil di acara pernikahan kakaknya. Nyata sekali, pengalaman Erlyn hidup di pulau Jawa, turut memberi rangsangan bagi kreasi cerpen-cerpennya ini. Kepada sesama saudaranya, Erlyn ingin menitipkan pesan agar berani dan berbanggalah dengan jati diri kedaerahanmu!
Buku ‘Sabtu Kalabu’, karya Erlyn Lasar bisa membuktikan bahwa ‘sastrawan yang asyik dengan dunianya sendiri’ bisa menciptakan sesuatu yang punya nilai sosial yang sangat tinggi. Bukankah hakikat sastra juga selalu berdimensi sosial, sebagaimana seni pada umumnya selalu bersifat dulce et utile? Sastra haruslah indah sekaligus berguna. Dalam bahasa Aristoteles, sastra sebagaimana musik, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang secara esensial memiliki aspek sosial dalam dirinya. Sastra haruslah bisa menghadirkan hiburan (paidia), membentuk karakter dan cara berpikir (paideia), dan memurnikan komunitas masyarakat dari hal-hal yang buruk secara moral (katharsis). Secara lebih ekstrem, Satyagraha Hoerip dengan ‘sastra terlibatnya’ ingin agar sastrawan tampil pada garda yang paling depan dalam upaya pendidikan moral bangsanya. Masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek sastra, ilham sekaligus tujuan, sumber sekaligus muara semua nilai yang diangkat oleh para sastrawan dalam karya-karya mereka.
Keluhan bahwa sastrawan, khususnya para sastrawan NTT asyik dengan dunianya sendiri, sesungguhnya adalah unkapan dahaga masyarakat akan sastra yang terlibat. Jika sastrawan, penulis muda seperti Erlyn sudah menulis dengan idealisme sosial yang demikian tinggi, pertanyaan lai yang timbul adalah sebarapa dapat dan jauh usaha masyarakat mengapresiasinya?
Human Trafficking dan Kharisma Gereja (Sebuah Catatan Sederhana dari Perspektif Moral Kristiani atas Polemik Kasus Roti Kaigi)
Catatan Awal
Polemik kasus Roti Kaigi di media massa akhir-akhir ini sebenarnya bermuara pada dua tema besar, yaitu human trafficking dan sikap serta keberpihakan Gereja, secara khusus para biarawan-biarawati terhadapnya. Berbagai opini yang dipublikasikan di media massa memperlihatkan adanya variasi sudut tilik terhadap dua tema besar di atas. Polemik ini berawal dari opini P. Dr. Otto Gusti, yang berjudul “Roti Kaigi, Human Trafficking dan Orang Tua” (Pos Kupang, 04/02/2015). P. Otto Gusti sebagai anggota Truk-F yang melakukan advokasi hukum terhadap korban, mencoba membuka cakrawala pemikiran massa tentang kasus dimaksud dalam perspektif hukum positif dan ketatanegaraan. Opini ini ditanggapi oleh Bapak Oscar Pareira Mandalangi dengan sebuah tulisan berjudul “Menghakimi ataukah Praduga tak Bersalah” (Pos Kupang, 19/02/205). Bapak Oscar menilai sepak terjang kaum biarawan-biarawati yang tergabung dalam Truk-F sebagai sebuah upaya yang tidak adil dan tidak sesuai dengan semangat Kitab Suci, karena mengakomodasi yang satu (korban) dan ‘menelantarkan’ yang lain (pelaku). Opini selanjutnya bermuara pada dua tema besar di atas. Yang paling tegas menyoroti keberpihakan ‘yang seharusnya’ dari kaum biarawan-biarawati adalah Charles Beraf dalam opininya ‘Saya Diinjili Oscar’ (Pos Kuapng, 05/03/2015). Tulisan sederhana ini ingin melihat secara lebih kritis keberpihakan Gereja, secara khusus kaum biarawan-biarawati dalam kasus Roti Kaigi. Tulisan ini mencoba melihat dua tema besar di atas, dalam bingkai moral Kristiani dan bertumpu pada ide-ide dasar kenabian umat Kristen (biarawan-biarawati) yang dikemukakan Charles Beraf.
Advokasi Berbasis Cinta Kasih atau Kriminalisasi Berbasis Kepentingan?
Dalam opininya, pertama-tama Charles Beraf menilai tindakan advokasi hukum yang dilakukan biarawan-biarawati tidak sesuai dengan panggilan profetis kaum religius Kristiani, yang dituntut untuk merangkul semua yang berdosa dan bersalah. Menurutnya, advokasi hukum oleh kaum biarawan-biarawati adalah sebentuk kriminalisasi, karena menempatkan pelaku pada zona hitam dan korban pada zona putih. Namun, apakah dengan membedakan panggilan profetis antara awam dan kaum kaum religius, tidak berarti mendegradasikan universalitas keberpihakan umat Kristen kepada mereka yang menderita, dikucilkan, dan menjadi korban? Apakah batasan antara religius dan awan dihadapan orang yang menjadi korban suatu tindakan kriminal?
Sidang KWI tahun 2008, perihal upaya penghentian praktik-praktik perdagangan manusia menegaskan kembali pesan sidang KWI tahun 2001 menegnai pemulihan martabat manusia. Pada pasal 5 pesan sidang KWI 2001 ditegaskan, “Allah kita adalah Allah yang menghidupkan, dan yang senantiasa menyertai dan meneguhkan setiap orang. Allah berkehendak untuk menyelamatkan semua orang. Namun, dalam karya penyelamatan-Nya Ia mendahulukan mereka yang paling menderita. Itulah yang kita lihat pada hidup dan pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus, Sang Guru, dan Teladan kita (Luk 9: 10; Mat 9: 12).” Keberpihakan terhadap orang yang menderita bersifat imperatif kategoris dan melampaui segala status bahkan dalam hirarki Gereja sekalipun. Bukankah Yesus tidak membenarkan imam Lewi yang menelantarkan korban perampokan di jalan hanya karena alasan suci mengenai kenajisan? Keberpihakan para biarawan-biarawati terhadap korban adalah suatu ungkapan sikap etis yang terdalam dan contoh yang baik dalam meneladani Kristus. Justru penelantaran korban tindakan kriminal adalah tindakan yang dimensi etisnya patut dipertanyakan dan bisa jadi suatu kriminalisasi pada tataran pasif.
Namun pertanyaan selanjutnya, siapa yang menjadi korban? Dalam opini Oscar, yang berjudul “Menghakimi ataukah Praduga tak Bersalah”, dapat ditangkap adanya upaya pembalikan logika berpikir mengenai posisi korban dan pelaku. Pemilik Toko Roti Kaigi dianggap sebagai objek fitnah dari Truk-F, sedangkan sepuluh orang pekerja yang mengalami perlakuan diskriminatif tidak disinggung dan ditempatkan pada posisi manapun. Penemuan Truk-F akan fakta bahwa sepuluh orang karyawan toko Roti Kaigi telah diperlakukan secara diskriminatif, eksploitatif, dan tidak berperikemanusiaan sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka berada dalam posisi korban. Gereja dalam ajaran sosialnya menegaskan bahwa “hal yang sungguh memalukan dan tidak manusiawi adalah penyalahgunaan manusia sebagai sarana demi menangguk laba, serta memandang mereka tidak lebih dari pada tenaga dan sumber daya”. (Rerum Novarum, No. 17). Gereja sendiri, dalam ensiklik-ensikliknya (Rerum Novarum, Laborem Exercens, Pacem in Terris), menyatakan penghormatan dan keberpihakannya atas personalitas serta hak para buruh atas upah, penghidupan yang layak, jaminan sosial, perlindungan, dan juga kesejahteraan hidup rohani, yang oleh oknum pemilik toko Roti Kaigi sama sekali tidak diindahkan. Jika demikian, apakah pilihan yang berorientasi pada korban (victim-oriented) tidak mengandung didalamnya orientasi yang konsisten terhadap nilai-nilai Kristiani (values-oriented)? Human trafficking dalam segala bentuknya secara formal sintetik dilihat secundum se jahat. Berbagai bentuk perdagangan manusia bersifat mox niminata mala sunt dan immoral, karena itu tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun.
Masalah selanjutnya yang diangkat oleh Charles Beraf adalah keterlibatan Gereja dalam hal ini biarawan-biarawati dalam proses hukum dan advokasi terhadap korban. Charles Beraf mengeritik dengan cukup tegas pentingnya mengutamakan modus vivendi kaum religius dari pada modus operandi-nya. Saya kira, partisipasi aktif kaum biarawan-biarwati dalam upaya advokasi korban dan penegakan hukum berhubungan dengan kasus ini tidak mengurangi nilai cara hidup religius yang mereka hayati. Bukankah kaum biarawan-biarawati atau pun religius Katolik, menjadi ujung tombak pelaksanaan berbagai program yang bertajuk JPIC yang dicanangkan Gereja. Pesan Sidang KWI tahun 2001 Pasal 19 menegaskan, “semakin bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok solidaritas dan relawan, organisasi/LSM lintas etnis, golongan, dan agama, yang bergerak di bidang pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan masyarakat kecil umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam masyarakat. Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan semacam itu sangat didukung dan terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak- hak asasi telah mengundang keterlibatan langsung banyak orang berkehendak baik, termasuk orang-orang kristen, baik kaum awam maupun para kaum religius dan orang-orang tertahbis. Selain memberikan bantuan dan pendampingan mereka juga menghimbau dan menggugah lewat pelbagai cara institusi-institusi dan para penguasa negara untuk bertindak sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka.” Di sini terlihat jelas kesadaran dan penghormatan terhadap berbagai kharisma Gereja. Pilihan para biarwan-biarwati dalam Truk-F, adalah suatu opsi dan bukan satu-satunya yang mencerminkan kekayaan kharisma Gereja. Opsi ini, adalah aksi yang mulia dan bernilai lebih jika dilandasi dengan refleksi serta kontemplasi yang memperlihatkan kekhasan spiritualitas Kristen. Kharisma ini secara gamblang juga membuka ruang bagi upaya pendampingan psiko-spiritual baik bagi korban maupun pelaku. Jadi, Gereja pada dasarnya berpihak pada korban, tetapi tidak mengabaikan pelaku. Ruang inilah yang disebut rekonsiliasi.
Rekonsiliasi tidak berarti membalikan fakta, mengesampingkan kebenaran, dan mengabaikan proses hukum yang berlaku. Secara etis, seseorang tetap bertanggungjawab atas konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan yang ia lakukan, jika tindakan tersebut melanggar hukum positif yang berlaku. Rekonsiliasi akan menjadi semu apabila korban dikonstruksikan untuk memaafkan pelaku dengan dalil mengupayakan kerukunan, tanpa menegakkan keadilan serta kebenaran. Dengan cara ini pelaku bisa menghindar dari tanggungjawab atas kesalahan yang ia lakukan dan berpotensi menimbulkan kesalahan yang sama dikemudian hari. Rekonsiliasi harus berasal dari kedua pihak. Dari pihak korban, rekonsiliasi berakar pada tindakan maaf yang lahir dari pemaknaan yang baru atas ingatan akan kekerasan dan pengalaman traumatis. Sedangkan dari pihak pelaku rekonsiliasi nyata dalam pertobatan dan sikap bertanggungjawab atas segala konsekuensi tindakannya, termasuk dalam ranah hukum positif. Dalam konteks inilah kita menggandengkan moralitas dan hukum, etika kepedulian dan etika keadilan. Jadi hukum dapat ditegakkan demi keadilan, tanpa kebencian ataupun niat membalas dendam.
Catatan Akhir
Gereja menolak dengan tegas segala bentuk human trafficking. Gereja juga menghormati berbagai kharisma yang ada dalam tubuhnya dan mendukung segala upaya penanggulangan human trafficking lewat berbagai cara dalam bidang-bidang kehidupan bersama, sejauh tetap konsisten berpegang teguh pada ajaran Kristus, dan ajaran sosial Gereja.
Polemik kasus Roti Kaigi di media massa akhir-akhir ini sebenarnya bermuara pada dua tema besar, yaitu human trafficking dan sikap serta keberpihakan Gereja, secara khusus para biarawan-biarawati terhadapnya. Berbagai opini yang dipublikasikan di media massa memperlihatkan adanya variasi sudut tilik terhadap dua tema besar di atas. Polemik ini berawal dari opini P. Dr. Otto Gusti, yang berjudul “Roti Kaigi, Human Trafficking dan Orang Tua” (Pos Kupang, 04/02/2015). P. Otto Gusti sebagai anggota Truk-F yang melakukan advokasi hukum terhadap korban, mencoba membuka cakrawala pemikiran massa tentang kasus dimaksud dalam perspektif hukum positif dan ketatanegaraan. Opini ini ditanggapi oleh Bapak Oscar Pareira Mandalangi dengan sebuah tulisan berjudul “Menghakimi ataukah Praduga tak Bersalah” (Pos Kupang, 19/02/205). Bapak Oscar menilai sepak terjang kaum biarawan-biarawati yang tergabung dalam Truk-F sebagai sebuah upaya yang tidak adil dan tidak sesuai dengan semangat Kitab Suci, karena mengakomodasi yang satu (korban) dan ‘menelantarkan’ yang lain (pelaku). Opini selanjutnya bermuara pada dua tema besar di atas. Yang paling tegas menyoroti keberpihakan ‘yang seharusnya’ dari kaum biarawan-biarawati adalah Charles Beraf dalam opininya ‘Saya Diinjili Oscar’ (Pos Kuapng, 05/03/2015). Tulisan sederhana ini ingin melihat secara lebih kritis keberpihakan Gereja, secara khusus kaum biarawan-biarawati dalam kasus Roti Kaigi. Tulisan ini mencoba melihat dua tema besar di atas, dalam bingkai moral Kristiani dan bertumpu pada ide-ide dasar kenabian umat Kristen (biarawan-biarawati) yang dikemukakan Charles Beraf.
Advokasi Berbasis Cinta Kasih atau Kriminalisasi Berbasis Kepentingan?
Dalam opininya, pertama-tama Charles Beraf menilai tindakan advokasi hukum yang dilakukan biarawan-biarawati tidak sesuai dengan panggilan profetis kaum religius Kristiani, yang dituntut untuk merangkul semua yang berdosa dan bersalah. Menurutnya, advokasi hukum oleh kaum biarawan-biarawati adalah sebentuk kriminalisasi, karena menempatkan pelaku pada zona hitam dan korban pada zona putih. Namun, apakah dengan membedakan panggilan profetis antara awam dan kaum kaum religius, tidak berarti mendegradasikan universalitas keberpihakan umat Kristen kepada mereka yang menderita, dikucilkan, dan menjadi korban? Apakah batasan antara religius dan awan dihadapan orang yang menjadi korban suatu tindakan kriminal?
Sidang KWI tahun 2008, perihal upaya penghentian praktik-praktik perdagangan manusia menegaskan kembali pesan sidang KWI tahun 2001 menegnai pemulihan martabat manusia. Pada pasal 5 pesan sidang KWI 2001 ditegaskan, “Allah kita adalah Allah yang menghidupkan, dan yang senantiasa menyertai dan meneguhkan setiap orang. Allah berkehendak untuk menyelamatkan semua orang. Namun, dalam karya penyelamatan-Nya Ia mendahulukan mereka yang paling menderita. Itulah yang kita lihat pada hidup dan pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus, Sang Guru, dan Teladan kita (Luk 9: 10; Mat 9: 12).” Keberpihakan terhadap orang yang menderita bersifat imperatif kategoris dan melampaui segala status bahkan dalam hirarki Gereja sekalipun. Bukankah Yesus tidak membenarkan imam Lewi yang menelantarkan korban perampokan di jalan hanya karena alasan suci mengenai kenajisan? Keberpihakan para biarawan-biarawati terhadap korban adalah suatu ungkapan sikap etis yang terdalam dan contoh yang baik dalam meneladani Kristus. Justru penelantaran korban tindakan kriminal adalah tindakan yang dimensi etisnya patut dipertanyakan dan bisa jadi suatu kriminalisasi pada tataran pasif.
Namun pertanyaan selanjutnya, siapa yang menjadi korban? Dalam opini Oscar, yang berjudul “Menghakimi ataukah Praduga tak Bersalah”, dapat ditangkap adanya upaya pembalikan logika berpikir mengenai posisi korban dan pelaku. Pemilik Toko Roti Kaigi dianggap sebagai objek fitnah dari Truk-F, sedangkan sepuluh orang pekerja yang mengalami perlakuan diskriminatif tidak disinggung dan ditempatkan pada posisi manapun. Penemuan Truk-F akan fakta bahwa sepuluh orang karyawan toko Roti Kaigi telah diperlakukan secara diskriminatif, eksploitatif, dan tidak berperikemanusiaan sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka berada dalam posisi korban. Gereja dalam ajaran sosialnya menegaskan bahwa “hal yang sungguh memalukan dan tidak manusiawi adalah penyalahgunaan manusia sebagai sarana demi menangguk laba, serta memandang mereka tidak lebih dari pada tenaga dan sumber daya”. (Rerum Novarum, No. 17). Gereja sendiri, dalam ensiklik-ensikliknya (Rerum Novarum, Laborem Exercens, Pacem in Terris), menyatakan penghormatan dan keberpihakannya atas personalitas serta hak para buruh atas upah, penghidupan yang layak, jaminan sosial, perlindungan, dan juga kesejahteraan hidup rohani, yang oleh oknum pemilik toko Roti Kaigi sama sekali tidak diindahkan. Jika demikian, apakah pilihan yang berorientasi pada korban (victim-oriented) tidak mengandung didalamnya orientasi yang konsisten terhadap nilai-nilai Kristiani (values-oriented)? Human trafficking dalam segala bentuknya secara formal sintetik dilihat secundum se jahat. Berbagai bentuk perdagangan manusia bersifat mox niminata mala sunt dan immoral, karena itu tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun.
Masalah selanjutnya yang diangkat oleh Charles Beraf adalah keterlibatan Gereja dalam hal ini biarawan-biarawati dalam proses hukum dan advokasi terhadap korban. Charles Beraf mengeritik dengan cukup tegas pentingnya mengutamakan modus vivendi kaum religius dari pada modus operandi-nya. Saya kira, partisipasi aktif kaum biarawan-biarwati dalam upaya advokasi korban dan penegakan hukum berhubungan dengan kasus ini tidak mengurangi nilai cara hidup religius yang mereka hayati. Bukankah kaum biarawan-biarawati atau pun religius Katolik, menjadi ujung tombak pelaksanaan berbagai program yang bertajuk JPIC yang dicanangkan Gereja. Pesan Sidang KWI tahun 2001 Pasal 19 menegaskan, “semakin bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok solidaritas dan relawan, organisasi/LSM lintas etnis, golongan, dan agama, yang bergerak di bidang pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan masyarakat kecil umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam masyarakat. Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan semacam itu sangat didukung dan terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak- hak asasi telah mengundang keterlibatan langsung banyak orang berkehendak baik, termasuk orang-orang kristen, baik kaum awam maupun para kaum religius dan orang-orang tertahbis. Selain memberikan bantuan dan pendampingan mereka juga menghimbau dan menggugah lewat pelbagai cara institusi-institusi dan para penguasa negara untuk bertindak sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka.” Di sini terlihat jelas kesadaran dan penghormatan terhadap berbagai kharisma Gereja. Pilihan para biarwan-biarwati dalam Truk-F, adalah suatu opsi dan bukan satu-satunya yang mencerminkan kekayaan kharisma Gereja. Opsi ini, adalah aksi yang mulia dan bernilai lebih jika dilandasi dengan refleksi serta kontemplasi yang memperlihatkan kekhasan spiritualitas Kristen. Kharisma ini secara gamblang juga membuka ruang bagi upaya pendampingan psiko-spiritual baik bagi korban maupun pelaku. Jadi, Gereja pada dasarnya berpihak pada korban, tetapi tidak mengabaikan pelaku. Ruang inilah yang disebut rekonsiliasi.
Rekonsiliasi tidak berarti membalikan fakta, mengesampingkan kebenaran, dan mengabaikan proses hukum yang berlaku. Secara etis, seseorang tetap bertanggungjawab atas konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan yang ia lakukan, jika tindakan tersebut melanggar hukum positif yang berlaku. Rekonsiliasi akan menjadi semu apabila korban dikonstruksikan untuk memaafkan pelaku dengan dalil mengupayakan kerukunan, tanpa menegakkan keadilan serta kebenaran. Dengan cara ini pelaku bisa menghindar dari tanggungjawab atas kesalahan yang ia lakukan dan berpotensi menimbulkan kesalahan yang sama dikemudian hari. Rekonsiliasi harus berasal dari kedua pihak. Dari pihak korban, rekonsiliasi berakar pada tindakan maaf yang lahir dari pemaknaan yang baru atas ingatan akan kekerasan dan pengalaman traumatis. Sedangkan dari pihak pelaku rekonsiliasi nyata dalam pertobatan dan sikap bertanggungjawab atas segala konsekuensi tindakannya, termasuk dalam ranah hukum positif. Dalam konteks inilah kita menggandengkan moralitas dan hukum, etika kepedulian dan etika keadilan. Jadi hukum dapat ditegakkan demi keadilan, tanpa kebencian ataupun niat membalas dendam.
Catatan Akhir
Gereja menolak dengan tegas segala bentuk human trafficking. Gereja juga menghormati berbagai kharisma yang ada dalam tubuhnya dan mendukung segala upaya penanggulangan human trafficking lewat berbagai cara dalam bidang-bidang kehidupan bersama, sejauh tetap konsisten berpegang teguh pada ajaran Kristus, dan ajaran sosial Gereja.
Kabupaten Sikka Jadi Tuan Rumah Moestopo Jelajah Nusantara 2015
Sejak tanggal 9 hingga 22 Agustus 2015, Kabupaten Sikka mendapat kesempatan berharaga menjadi tuan rumah kegiatan Moestopo Jelajah Nusantara (MJN). Kegiatan ini adalah program rutin tahunan dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Moestopo Jakarta. Secara spesifik, MJN merupakan wujud pengabdian segenap anggota FKG Universitas Moestopo kepada masyarakat Indonesia dalam bentuk bakti sosial yang menyediakan perawatan kesehatan gigi dan mulut secara gratis. Pelayanan kesehatan yang diberikan adalah pelayanan kesehatan dasar gigi dan mulut, yaitu berupa pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, pencabutan, serta penambalan gigi. Selain itu, MJN juga memfasilitasi berbagai kegiatan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut demi membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat akan hal ini. Dalam kegiatan ini juga disediakan konsultasi dokter umum dan pengobatan kasus ringan untuk kesehatan umum bagi warga setempat.
Rombongan peserta MJN 2015 Kabupaten Sikka diterima oleh Wakil Bupati Sikka, Drs. Paulus Nong Susar di Aula Setda, Jl. El Tari Maumere pada 9 Agustus 2015. Rombongan MJN 2015 berjumlah 70 orang dengan rincian, 10 orang dokter gigi/dosen termasuk dekan dan wakil dekan III FKG Universitas Moestopo, dan 60 orang mahasiswa termasuk panitia. Kabupaten Sikka dipilih sebagai destinasi MJN 2015 atas dasar hasil pemetaan kesehatan gigi dan mulut wilayah provinsi NTT secara keseluruhan, yang dinilai masih rendah. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa kesehatan gigi penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur dengan umur 12 tahun ke atas merupakan salah satu yang terburuk di Indonesia, menempati posisi ke-28 dari 33 provinsi. Provinsi Nusa Tenggara Timur juga menempati urutan ke 19 dari 33 provinsi dalam tingkat kecenderungan gigi dan mulut bermasalah. Dari 33 provinsi di seluruh Indonesia, lagi-lagi provinsi Nusa Tenggara Timur menempati posisi rendah dalam tingkat pemanfaatan dokter gigi untuk gigi dan mulut yang bermasalah, yaitu posisi ke 29 dari 33 provinsi.
Di Kabupaten Sikka, MJN melakukan aktivitasnya di 8 titik lokasi kerja dan kurang lebih 20 sekolah dasar atas rekomendasi berdasarkan urgensi dilakukannya perawatan kesehatan gigi dan mulut dari Dinas Kesehatan setempat. Kecamatan yang mendapat kesempatan mengalami bakti sosial MJN 2015 antara lain, Kecamatan Waigete dan Bola (9-12/08), Kecamatan Magepanda dan Alok Barat (13-17/08), Kecamatan Mego dan Koting (18-19/08), serta Kecamatan Paga dan Nelle (20-21/08). Masyarakat umum dan terutama anak-anak sekolah menjadi sasaran utama kegiatan ini, dengan maksud sejak dini menyadarkan dan menanamkan sikap bertanggungjawab terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Total 6000 pasien menjadi target diberikannya pelayanan kesehatan dalam rentang waktu 2 minggu tersebut.
Selain bertujuan meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut di Kabupaten Sikka serta meningkatkan pengetahuan dan memotivasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut, MJN juga memiliki tujuan khusus yaitu secara langsung memperkenalkan dan menambah wawasan para calon dokter gigi ini mengenai luas Indonesia dan segala kekayaan budayanya. Sebelumnya, kegiatan yang sama juga pernah dilakukan di Kabupaten Ngada, Irian dan Maluku. Hal ini ditegaskan oleh DR. Drg. Paulus Januar, MS dalam sambutan penerimaan rombongan MJN. Karena itulah selama hari-hari kegiatan di Kabupaten Sikka ini, para peserta MJN mendapat kesempatan menginap di rumah warga serta mengalami secara langsung dan lebih dekat suka duka kehidupan masyarakat di tiap-tiap kecamatan yang dikunjungi. Di beberapa tempat, seperti di Magepanda, tim MJN disambut dengan pengalungan selendang dan upacara penyambutan khas masyarakat Kabupaten Sikka lainnya. Tim MJN juga berkesempatan menikmati musik dan tarian tradisional di kawasan wisata adat Watublapi. Wawasan nusantara ini diharapkan mampu memberi bekal tersendiri bagi pelayanan para calon dokter gigi ini kelak.
Pemerintaha daerah, melalui Wakil Bupati Paulus Nong Susar dan Dinas Kesehatan serta kepala-kepala Puskesmas yang dikunjungi menyambut baik sekaligus berterimakasih atas kesedian MJN melakukan bakti sosial di Kabupaten Sikka. Pemerintah daerah berharap hubungan baik yang telah dibangun senantiasa dijaga dan diteruskan dalam waktu-waktu selanjutnya. Harapan lain diutarakan Bapak Wakil Bupati atas nama seluruh masyarakat kabupaten Sikka, kiranya akan ada beberapa dokter gigi yang siap dan akan kembali ke sini (Kabupaten Sikka) untuk mengabdi serta memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kabupaten Sikka. Perpisahan dengan rombongan MJN 2015 dilakukan oleh Wakil Bupati Sikka di rumah jabatan Wabup pada Sabtu, 22 Agustus 2015.
Rombongan peserta MJN 2015 Kabupaten Sikka diterima oleh Wakil Bupati Sikka, Drs. Paulus Nong Susar di Aula Setda, Jl. El Tari Maumere pada 9 Agustus 2015. Rombongan MJN 2015 berjumlah 70 orang dengan rincian, 10 orang dokter gigi/dosen termasuk dekan dan wakil dekan III FKG Universitas Moestopo, dan 60 orang mahasiswa termasuk panitia. Kabupaten Sikka dipilih sebagai destinasi MJN 2015 atas dasar hasil pemetaan kesehatan gigi dan mulut wilayah provinsi NTT secara keseluruhan, yang dinilai masih rendah. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa kesehatan gigi penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur dengan umur 12 tahun ke atas merupakan salah satu yang terburuk di Indonesia, menempati posisi ke-28 dari 33 provinsi. Provinsi Nusa Tenggara Timur juga menempati urutan ke 19 dari 33 provinsi dalam tingkat kecenderungan gigi dan mulut bermasalah. Dari 33 provinsi di seluruh Indonesia, lagi-lagi provinsi Nusa Tenggara Timur menempati posisi rendah dalam tingkat pemanfaatan dokter gigi untuk gigi dan mulut yang bermasalah, yaitu posisi ke 29 dari 33 provinsi.
Di Kabupaten Sikka, MJN melakukan aktivitasnya di 8 titik lokasi kerja dan kurang lebih 20 sekolah dasar atas rekomendasi berdasarkan urgensi dilakukannya perawatan kesehatan gigi dan mulut dari Dinas Kesehatan setempat. Kecamatan yang mendapat kesempatan mengalami bakti sosial MJN 2015 antara lain, Kecamatan Waigete dan Bola (9-12/08), Kecamatan Magepanda dan Alok Barat (13-17/08), Kecamatan Mego dan Koting (18-19/08), serta Kecamatan Paga dan Nelle (20-21/08). Masyarakat umum dan terutama anak-anak sekolah menjadi sasaran utama kegiatan ini, dengan maksud sejak dini menyadarkan dan menanamkan sikap bertanggungjawab terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Total 6000 pasien menjadi target diberikannya pelayanan kesehatan dalam rentang waktu 2 minggu tersebut.
Selain bertujuan meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut di Kabupaten Sikka serta meningkatkan pengetahuan dan memotivasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut, MJN juga memiliki tujuan khusus yaitu secara langsung memperkenalkan dan menambah wawasan para calon dokter gigi ini mengenai luas Indonesia dan segala kekayaan budayanya. Sebelumnya, kegiatan yang sama juga pernah dilakukan di Kabupaten Ngada, Irian dan Maluku. Hal ini ditegaskan oleh DR. Drg. Paulus Januar, MS dalam sambutan penerimaan rombongan MJN. Karena itulah selama hari-hari kegiatan di Kabupaten Sikka ini, para peserta MJN mendapat kesempatan menginap di rumah warga serta mengalami secara langsung dan lebih dekat suka duka kehidupan masyarakat di tiap-tiap kecamatan yang dikunjungi. Di beberapa tempat, seperti di Magepanda, tim MJN disambut dengan pengalungan selendang dan upacara penyambutan khas masyarakat Kabupaten Sikka lainnya. Tim MJN juga berkesempatan menikmati musik dan tarian tradisional di kawasan wisata adat Watublapi. Wawasan nusantara ini diharapkan mampu memberi bekal tersendiri bagi pelayanan para calon dokter gigi ini kelak.
Pemerintaha daerah, melalui Wakil Bupati Paulus Nong Susar dan Dinas Kesehatan serta kepala-kepala Puskesmas yang dikunjungi menyambut baik sekaligus berterimakasih atas kesedian MJN melakukan bakti sosial di Kabupaten Sikka. Pemerintah daerah berharap hubungan baik yang telah dibangun senantiasa dijaga dan diteruskan dalam waktu-waktu selanjutnya. Harapan lain diutarakan Bapak Wakil Bupati atas nama seluruh masyarakat kabupaten Sikka, kiranya akan ada beberapa dokter gigi yang siap dan akan kembali ke sini (Kabupaten Sikka) untuk mengabdi serta memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kabupaten Sikka. Perpisahan dengan rombongan MJN 2015 dilakukan oleh Wakil Bupati Sikka di rumah jabatan Wabup pada Sabtu, 22 Agustus 2015.
Tuhan Yang Akan Segera Tiba
Tuhan yang akan segera tiba:
Maafkan aku karena masih ada setitik noda zinah
yang belum sempat kutahirkan saat kedatangan-Mu
Namun, entah benar atau tidak,
ada sedikit harapan pada lubuk hatiku
yang menemani keyakinan kecil ini:
bahwa nanti kau akan singgah sebentar pada ruang jiwaku
tuk sekedar menyapa nama sembari bersila
kaki menyeruput teh tawar yang kusediakan
bagi-Mu dengan agak tergesa-gesa.
Sebab kata kekasihku pada malam kami
bercinta:
"Sayang yang kau anggap zinah itu
ungkapan cinta yang tak lagi harus kau
benarkan dengan akalmu, sebab
dimana ada cinta, bahkan setitik saja
dari segunung dosa,
Tuhan Ada Apa Adanya"
Lokaria, 24/12/14 (15:57)
Buat "Yang mencintai saya apa adanya",
maaf tak sempat saya mengaku dosa
Maafkan aku karena masih ada setitik noda zinah
yang belum sempat kutahirkan saat kedatangan-Mu
Namun, entah benar atau tidak,
ada sedikit harapan pada lubuk hatiku
yang menemani keyakinan kecil ini:
bahwa nanti kau akan singgah sebentar pada ruang jiwaku
tuk sekedar menyapa nama sembari bersila
kaki menyeruput teh tawar yang kusediakan
bagi-Mu dengan agak tergesa-gesa.
Sebab kata kekasihku pada malam kami
bercinta:
"Sayang yang kau anggap zinah itu
ungkapan cinta yang tak lagi harus kau
benarkan dengan akalmu, sebab
dimana ada cinta, bahkan setitik saja
dari segunung dosa,
Tuhan Ada Apa Adanya"
Lokaria, 24/12/14 (15:57)
Buat "Yang mencintai saya apa adanya",
maaf tak sempat saya mengaku dosa
Dimensia (I)
Sayang…
Sekali ini kumohon
jangan kau perdebatkan lagi
soal gincu merah yang menempel di kerah kemejaku
Itu hanya percikan saos tomat
dari warung nasi goreng Mas Untung malam kemarin
Tetapi tolong kau pertimbangkan lagi
soal kandunganmu yang hampir tiga bulan itu
Bukankah pertama kali kita bercinta itu
minggu kemarin?
Wairklau, 25 September 2014
Sekali ini kumohon
jangan kau perdebatkan lagi
soal gincu merah yang menempel di kerah kemejaku
Itu hanya percikan saos tomat
dari warung nasi goreng Mas Untung malam kemarin
Tetapi tolong kau pertimbangkan lagi
soal kandunganmu yang hampir tiga bulan itu
Bukankah pertama kali kita bercinta itu
minggu kemarin?
Wairklau, 25 September 2014
Dua November
Aku lupa cara mendoakanmu, ketika kau memintanya untuk pertama kali, setelah sekian panjang hening yang dingin.
Aku pernah menyembunyikan doa-doa itu pada hembusan udara yang masuk lewat celah-celah jendela kamarku yang selalu kubuka setiap menulis cerita dan puisi yang kujanjikan akan kubacakan dalam setiap pesta perkawinanmu yang ke sekian.
Andai malam ini tak kudapat lagi doa-doa itu,
kau cukup percaya bahwa namamu kekal tertulis di samping deretan nama yang selalu kudoakan setiap dua November tiba.
Lokaria, tengah Malam, Oktober, 2015
Aku pernah menyembunyikan doa-doa itu pada hembusan udara yang masuk lewat celah-celah jendela kamarku yang selalu kubuka setiap menulis cerita dan puisi yang kujanjikan akan kubacakan dalam setiap pesta perkawinanmu yang ke sekian.
Andai malam ini tak kudapat lagi doa-doa itu,
kau cukup percaya bahwa namamu kekal tertulis di samping deretan nama yang selalu kudoakan setiap dua November tiba.
Lokaria, tengah Malam, Oktober, 2015
Hujan dan Perspektif Tentangnya
sSaya sudah punya niat menulis sebuah cerpen tentang hujan sesaat setelah saya bertaruh dengan si manis Shellvie, teman dan adik kelas saya di kampus. Ceritanya begini: waktu itu banyak orang yang berkeluh kesah tentang hujan yang tidak kunjung turun membasahi bumi kota Maumere. Saya lantas membuat analisis dadakan ala 'orang pintar' bahwa hujan akan turun sesaat setelah perhelatan ETMC berlangsung. Saya posting statement ini sebagai status di salah satu grup publik dan ditantang oleh si Shellvie tadi. Saya bersikeras 3 hari setelah Persami juara (ini juga feeling saya pra pertandingan final), hujan akan turun. Adik nona tadi bilang kalau saya berani jangka waktunya diperpendek. Saya awalnya tidak mau, tetapi karena agak sedikit gensi maka saya iya-kan saja. Satu hari setelah laga final ETMC hujan akan turun. smile emotikon Dan setelah menunggu hingga pukul 24:00, hari Sabtu, tanggal 14 itu, hujan tidak turun. Ia baru turun dua hari sesudahnya, tepat tiga hari setelah final ETMC. Sial... Saya kalah!
Komentar-komentar tentang hujan yang tidak kunjung turun juga saya dengar dari mama-mama yang saya temui di kebun belakang rumah. September sudah lama pergi dan hujan tidak kunjung turun. Hajatan sako seng sepertinya sia-sia. Panas yang menyengat menghantar kembali memori tentang gempa 1992. Yah.. Para petani mungkin jadi orang yang paling cemberut dan merasa kesal dengan kekeringan yang berkepanjangan ini, dan para penduduk pesisir pantai utara seperti kami mungkin yang paling gelisah dengan anomali cuaca yang sarat ingatan afeksi ini.
Dan yang menurut saya paling merisaukan adalah ketika seorang pemuda yang sedang berniat berkenalan dengan seorang pemudi mendapat kesempatan pertamanya-jalan di malam minggu dengan orang yang ingin ia kenal, harus mendekam di rumah karena hujan membatalkan niat itu. Atau barangkali ada yang berdoa supaya hujan turun dan niat itu terbatalkan!
Ups!
Samapai setelah catatan ini saya buat,saya belum menghasilkan sebuah cerpen tentang hujan
Komentar-komentar tentang hujan yang tidak kunjung turun juga saya dengar dari mama-mama yang saya temui di kebun belakang rumah. September sudah lama pergi dan hujan tidak kunjung turun. Hajatan sako seng sepertinya sia-sia. Panas yang menyengat menghantar kembali memori tentang gempa 1992. Yah.. Para petani mungkin jadi orang yang paling cemberut dan merasa kesal dengan kekeringan yang berkepanjangan ini, dan para penduduk pesisir pantai utara seperti kami mungkin yang paling gelisah dengan anomali cuaca yang sarat ingatan afeksi ini.
Dan yang menurut saya paling merisaukan adalah ketika seorang pemuda yang sedang berniat berkenalan dengan seorang pemudi mendapat kesempatan pertamanya-jalan di malam minggu dengan orang yang ingin ia kenal, harus mendekam di rumah karena hujan membatalkan niat itu. Atau barangkali ada yang berdoa supaya hujan turun dan niat itu terbatalkan!
Ups!
Samapai setelah catatan ini saya buat,saya belum menghasilkan sebuah cerpen tentang hujan
Sister In Danger (Diskusi Musikal Stop Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan)
Wajah indah alam, kekayaan budaya yang beragam, dan aneka keunggulan yang ada di bumi Flobamora seakan tercoreng dengan berbagai berita menyayat hati tentang masih tingginya tingkat kekerasan terhadap anak dan perempuan serta human trafficking di wilayah NTT tercinta ini. “NTT sebenarnya masuk peringkat tujuh nasional dalam angka kekerasan terhadap anak dan perempuan. Untuk Indonesia bagian timur, NTB peringkat satu dan NTT peringkat dua. Di Indonesia, dari tahun 2010-2014 sebanyak 35 perempuan setiap hari mengalami tindakan kekerasan”, demikian komentar M. Berkah Gamulya, player-manager Simponi Band ketika ditanya mengenai motivasi band ini mengadakan konser dan diskusi musikal bertajuk Sister In Danger di Aula St. Theresia Avila, SMAK Bhaktiyarsa Maumere. Konser dan diskusi musikal yang diadakan pada 16 September 2015 ini merupakan yang pertama dan pembukaan NTT-Maluku Tour 2015, dalam mengampanyekan penghentian kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Keseluruhan NTT-Maluku Tour 2015 ini merupakan kerjasama antara Komnas Perempuan dan Anak Republik Indonesia, Aus Aid dan juga LSM-LSM bersama para aktivis lokal yang bergerak dalam bidang ini. Di Maumere, konser dan diskusi musikal Sister In Danger difasilitasi oleh Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F). Dalam diskusi ini hadir siswa-siswi dari kurang lebih 11 sekolah, mulai dari SMP hingga SMA, dan juga universitas serta sekolah tinggi yang ada di Kabupaten Sikka. Kegiatan ini dibuka oleh Bupati Sikka Drs. Yoseph Ansar Rera, melalui Asisten II Setda Sikka, Mauritius T. Da Cunha. Truk-F sendiri sudah lama bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan Anak dalam meningkatkan perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan hak anak dan perempuan. Konser dan diskusi musikal ini merupakan suatu inovasi dalam mensosialisasikan misi mereka.
Secara spesifik, kegiatan ini memadukan penyuluhan dan penyampaian informasi, dialog interaktif, dengan diiringi musik juga penampilan lagu-lagu yang sesuai dengan tema pembicaraan. Tema-tema dan data-data dari berbagai lembaga penelitian disederhanakan kemudian disampaikan dengan cara yang mudah dipahami sambil diiringi musik dan sesekali bersama para peserta diskusi. Data yang dipresentasikan disediakan oleh tim dari pusat dan juga beberapa informasi, penyuluhan dari panitia lokal.
Heni Hungan, mewakili panitia lokal menjelaskan, “kampanye ini ingin memberikan pendidikan kepada para remaja yang menjadi sasaran, bagaimana remaja itu melihat kekerasan seksual ada dimana saja, dan mereka bisa menjadi target kekerasan. Sehingga dalam kampanye itu selain memberikan informasi tentang apa itu kekerasan seksual, dampak kekerasan seksual, bagaimana menghindari kekerasan itu sehingga tidak terjadi pada diri sendiri, juga memeberikan informasi tentang UU apa yang ada di Indonesia yang bisa memberikan perlindungan terhadap korban kekerasn seksual, dan ketika sudah menjadi korban kemana mereka bisa merujuk, serta memeberikan pemahaman kepada masyarakat, mengajak publik khususnya para remaja supaya mereka bisa lebih bersikap solider kepada teman mereka, kepada keluarga mereka yang menjadi korban kekerasan.”
Sindikat Musik Penghuni Bumi (Simponi Band) berdiri sejak 2010, bertepatan dengan peringatan 82 sumpah pemuda. Band ini didirikan untuk misi pendidikan lewat media musik atas inisiatif beberapa aktivis dan juga seniman yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah sosial-politik kemanusiaan dan juga isu-isu pelestarian lingkungan. Mereka mengakui diri sebagai enam lelaki penakut yang takut jika ibu, saudari, sahabat, pacar, atau istri mereka menjadi korban kekerasan seksual, karena itulah isu ini yang paling kuat merka gaungkan dan edukasikan ke publik. Selama lima tahun ini mereka sudah turun melakukan konser dan diskusi musikal di 63 kota, 209 sekolah dan kampus menjumpai sedikitnya 42.000 pelajar dan mahasiswa.
Dalam NTT-Maluku Tour 2015 kota ini, Simponi Band mengadakan konser dan diskusi musikal di tujuh kota mulai tanggal 16-29 September 2015. Setelah Maumere sebagai pembuka seluruh rangkaian tur, Simponi Band juga mengunjungi Kupang (21/9), Soe (22/9), Kefamenanu (23/9), Ambon (26/9), SBB Kalratu (28/9), dan Saparua (29/9).
Dari Rezim Jokowi Hingga Human Trafficking
Dalam rangka memperingati dan merayakan Dies Natalis ke-44 STFK Ledalero, Senat Mahasiswa (SEMA) mengadakan sebuah seminar bertajuk ‘Rezim Jokowi dalam Bingkai Filsafat Dekonstruksi Jacques Derrida dan Human Trafficking’. Seminar yang diadakan pada Sabtu, 7 Maret 2015 yang lalu, menampilkan dua pembicara brilian, yaitu saudara Yoseph Riang dan sudara Selcilius Riwu Nuga, mahasiswa program studi pascasarjana STFK Ledalero.
Dalam makalahnya yang berjudul ‘Rezim Jokowi dalam Bingkai Filsafat Politik Jacques Derrida’, Yoseph Riang mengajak segenap civitas academica untuk sejenak berenang dalam ‘permainan bongkar-membongkar’ seluk beluk rezim Jokowi dan segala kebijkannya dengan tujuan menjernihkan pemahaman publik. Penjernihan ini dimaksudkan untuk menemukan pandangan yang lebih objektif terhadap pemerintahan presiden Indonesia periode 20014-2019. Hemat beliau, Jokowi sebagai pemegang tampuk kepemimpinan dan corong kebijakan pemerintah jatuh dalam tendensi ‘mengganggap diri dan dianggap’ sebagai pemilik kebenaran tunggal, oleh karena berbagai pencitraan media yang dialaminya. Hal ini berbahaya dalam membentuk opini publik, dan mereduksi sikap kritis masyarakat. Filsafat dekonstruksi Derrida membimbing publik dalam suatu penafsiran yang lebih objektif terhadap realitas, dengan cara ‘mengambil jarak’ dengan Jokowi (author/pembuat kebijakan), dan berfokus pada analisis teks (segala bentuk kebijakan rezim Jokowi), serta membangun relasi intertekstualitas yang akan menghadirkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap realitas. Pemahaman yang lebih objektif diharapkan membuat publik semakin kritis dan tidak terjebak dalam ‘penghalalan begitu saja’, berhadapan dengan kebijakan yang diambil rezim Jokowi.
Sementara itu, Selcius Riwu Nuga, memaparkan fenomena aktual tentang gejala human trafficking, yang marak terjadi di NTT. Partisipasi dan aktivitasnnya bersama Truk-F, menjadi suatu sumber informasi dan refleksi yang berharga, dalam pembahasan mengenai kasus pedagangan manusia dari perspektif hukum dan HAM. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa upaya penegakkan hukum perlu dijernihkan dari segala bentuk manipulasi dan hanya bertumpu pada konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, penting sekali kesadaran akan suatu etika bisinis yang berlaku universal bagi para pengusaha dan pekerja.
Seminar ini mendapat sambutan baik dari civitas academica dan segenap peserta yanga hadir, antara lain Bupati Sikka Drs. Yoseph Ansar Rera, segenap jajaran Muspida, dan mahasiswa dari Universitas Nusa Nipa serta perguruan tinggi lainnya di Mumere. Dalam sambutannya, ketua Senat Mahasiswa STFK Ledalero menegaskan bahwa kegiatan ini adalah suatu bentuk tanggapan akademis dan diharapkan akan berbuah praktis dari mahasiswa STFK Ledalero terhadap masalah-masalah politik nasional hingga kriminalitas terhadap kodrat hidup manusia yang semakin hari semakin marak terjadi di bumi Nusa Tenggara Timur.
Komunitas, Sastra, dan Kemanusiaan (Catatan Apresiatif untuk Festival Sastra Santarang)
Pada tanggal 2-4 Juni yang lalu, saya berkesempatan mengikuti Festival Sastra Santarang (FSS) yang diadakan di Kupang. Festival ini diselenggarakan atas prakarsa dan kerja sama Komunitas Dusun Flobamora Kupang dan Komunitas Salihara Jakarta. Bagi saya, festival ini merupakan salah suatu festival sastra besar dan berkualitas yang pernah diselenggarakan di bumi NTT. Festival ini sebenarnya merupakan suatu respons positif bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra NTT, yang eksistensinya sudah mendapat pengakuan nasional bahkan internasional. Festival ini menghadirkan Ayu Utami, Hasif Amini, AS Laksana, para sastrawan NTT (Mario Lawi, Dicky Senda, Ishack Sonlay), akademisi, serta kepala Kantor Bahasa NTT dan diikuti oleh berbagai komunitas yang ada di NTT (Kupang, Maumere, Ruteng, Soe, Kefamenanu, dll.). Festival ini juga bertujuan mengobarkan kembali semangat berkomunitas (lintas bidang dan genre) kaum muda dan masyarakat NTT umumnya, serta membangun jejaring antar komunitas tersebut. Komunitas dan sastra sebagai topik festival ini dirangkum dalam berbagai kegiatan seperti sarasehan pengembangan komunitas-komunitas di NTT, seminar dan workshop sastra serta kepenulisan kreatif, pentas seni dan hiburan, serta media visit.
Geliat pertumbuhan dan perkembangan komunitas-komunitas dengan berbagai genre dan bidang gelutan di NTT menjadi fenomena yang harus direspon secara positif. Komunitas (Lat: communio) pada hakikatnya berarti persekutuan. Persekutuan ini sebenarnya membentuk persatuan dan kesatuan dari pluralitas individu (unity in diversity). Setiap individu dengan personalitasnya masing-masing membentuk komunitas atas dasar dorongan motivasi, cita-cita, tujuan dan idealisme yang sama. Lebih jauh, komunitas hanya bisa terbentuk apabila individu melibatkan diri dalam jalinan relasi yang terbentuk lewat komunikasi. Komunikasi yang ideal dalam suatu komunitas bersifat interpersonal. Menyitir Martin Buber, relasi antar anggota dalam komunitas hendaknya bersifat aku-engkau. Ada cinta sejati dalam relasi ini. ‘Yang lain’ diterima dengan segala keunikannya dan dianggap bernilai, sehingga diriku pun terarah kepada ‘yang lain’. Romo Amanche dalam makalahnya menegaskan hal ini dalam ungkapan menarik: ‘In and trough love, I make the others be and the others make me be’. Lewat komunitas, dimensi sosialitas seseorang ditopang, sekaligus personalitasnya mendapat tempat untuk dikembangkan. Komunitas menegaskan hakikat manusia sebagai makhluk personal-komuniter. FSS yang merekam geliat pertumbuhan komunitas-komunitas lintas bidang dan genre di NTT memberi ruang refleksi, diskusi sekaligus konsolidasi bagi komunitas-komunitas ini. Lebih jauh, FSS memiliki visi menjalin relasi ad extra serta jaringan antar dan inter-komunitas.
FSS sendiri menyadari dan menegaskan sastra sebagai instrumen yang baik dalam memberi sumbangan bagi perkembangan NTT. Jika dirunut lebih jauh, sejak dahulu sastra sudah menjadi suatu instrumen dalam pengembangan kepribadian manusia. Sastra dengan muatan epistemologis, estetis, dan etis berdaya guna dalam pembentukan karakter individu. Sebagai contoh, humanisme Eropa yang berlangsung pada abad 15 melihat litterae humane (sastra) sebagai paradigma segala pembentukan rohani manusia. FSS menilik secara khusus komunitas sastra yang dianggap memainkan peranan sentral dalam pertumbuhan dan perkembangan satra NTT. Sastra mungkin identik dengan karya personal, tetapi adanya komunitas sastra sebenarnya menjadi suatu ruang pematangan karya personal itu sehingga tidak hanya berdimensi subjektif tetapi menjadi milik semua yang mengapresiasinya. Komunitas bagi para pegiat sastra adalah keluarga, ruang mereka menjalin kasih persaudaraan, bertukar ide dan gagasan, serta saling mendewasakan lewat motivasi serta kritik demi produktivitas karya yang indah dan berguna. Komunitas-komunitas sastra sesungguhnya telah banyak berkembang di NTT, sebut saja Dusun Flobamora, Filokalia Seminari Tinggi ST.Mikhael, dan Rumah Poetica di Kupang, beberapa komunitas sastra di Ende yang digerakkan oleh mahasiswa UNFLOR dan pegiat sastra Ende, komunitas sastra di berbagai biara dan seminari di Maumere seperti Teater Tanya-Ritapiret, Aletheia-Ledalero, atau Vigilantia-Karmel, LG Corner di Ruteng, Lopo BIINMAFO, dan komunitas-komunitas sastra sekolah dan lainnya yang mungkin luput dari pengetahuan penulis.
Pada akhirnya semua komunitas yang ada di NTT, secara khusus komunitas sastra bisa berarti apabila mengusung suatu misi yang sama yaitu mengembangkan kemanusiaan masyarakat NTT dalam segala matranya (epistemologis, estetis, dan etis,). Pengembangan masyarakat NTT bisa menjadi roh penghubung komunikasi inter-komunitas di NTT. Komunitas-komunitas, secara khusus yang bergerak di bidang sastra, bisa menjadi motor perwujudan ide Aristoteles akan terciptanya suatu kota (polis) di NTT, yang kreatif dan membahagiakan karena memanfaatkan tiga dimensi fungsional sastra sebagai yang menghibur (paidia), membentuk karakter (paideia), dan memunrnikan polis dari aksi kriminalitas (katharsis). Kota yang demikian dapat menjadi tempat setiap individu mengembangkan potensi dirinya. Selain itu, melalui sastra, lokalitas NTT bisa diangkat ke permukaan, tidak hanya sebagai bentuk promosi tetapi suatu penegasan bahwa NTT bisa memberi sumbangan pemikiran bagi dunia lewat local genius-nya (epistemologis, estetis, etis) yang selalu memiliki dimensi universal.
Langganan:
Postingan (Atom)