Human Trafficking dan Kharisma Gereja (Sebuah Catatan Sederhana dari Perspektif Moral Kristiani atas Polemik Kasus Roti Kaigi)

Catatan Awal

Polemik kasus Roti Kaigi di media massa akhir-akhir ini sebenarnya bermuara pada dua tema besar, yaitu human trafficking dan sikap serta keberpihakan Gereja, secara khusus para biarawan-biarawati terhadapnya. Berbagai opini yang dipublikasikan di media massa memperlihatkan adanya variasi sudut tilik terhadap dua tema besar di atas. Polemik ini berawal dari opini P. Dr. Otto Gusti, yang berjudul “Roti Kaigi, Human Trafficking dan Orang Tua” (Pos Kupang, 04/02/2015). P. Otto Gusti sebagai anggota Truk-F yang melakukan advokasi hukum terhadap korban, mencoba membuka cakrawala pemikiran massa tentang kasus dimaksud dalam perspektif hukum positif dan ketatanegaraan. Opini ini ditanggapi oleh Bapak Oscar Pareira Mandalangi dengan sebuah tulisan berjudul “Menghakimi ataukah Praduga tak Bersalah” (Pos Kupang, 19/02/205). Bapak Oscar menilai sepak terjang kaum biarawan-biarawati yang tergabung dalam Truk-F sebagai sebuah upaya yang tidak adil dan tidak sesuai dengan semangat Kitab Suci, karena mengakomodasi yang satu (korban) dan ‘menelantarkan’ yang lain (pelaku). Opini selanjutnya bermuara pada dua tema besar di atas. Yang paling tegas menyoroti keberpihakan ‘yang seharusnya’ dari kaum biarawan-biarawati adalah Charles Beraf dalam opininya ‘Saya Diinjili Oscar’ (Pos Kuapng, 05/03/2015). Tulisan sederhana ini ingin melihat secara lebih kritis keberpihakan Gereja, secara khusus kaum biarawan-biarawati dalam kasus Roti Kaigi. Tulisan ini mencoba melihat dua tema besar di atas, dalam bingkai moral Kristiani dan bertumpu pada ide-ide dasar kenabian umat Kristen (biarawan-biarawati) yang dikemukakan Charles Beraf.


Advokasi Berbasis Cinta Kasih atau Kriminalisasi Berbasis Kepentingan?


Dalam opininya, pertama-tama Charles Beraf menilai tindakan advokasi hukum yang dilakukan biarawan-biarawati tidak sesuai dengan panggilan profetis kaum religius Kristiani, yang dituntut untuk merangkul semua yang berdosa dan bersalah. Menurutnya, advokasi hukum oleh kaum biarawan-biarawati adalah sebentuk kriminalisasi, karena menempatkan pelaku pada zona hitam dan korban pada zona putih. Namun, apakah dengan membedakan panggilan profetis antara awam dan kaum kaum religius, tidak berarti mendegradasikan universalitas keberpihakan umat Kristen kepada mereka yang menderita, dikucilkan, dan menjadi korban? Apakah batasan antara religius dan awan dihadapan orang yang menjadi korban suatu tindakan kriminal?
Sidang KWI tahun 2008, perihal upaya penghentian praktik-praktik perdagangan manusia menegaskan kembali pesan sidang KWI tahun 2001 menegnai pemulihan martabat manusia. Pada pasal 5 pesan sidang KWI 2001 ditegaskan, “Allah kita adalah Allah yang menghidupkan, dan yang senantiasa menyertai dan meneguhkan setiap orang. Allah berkehendak untuk menyelamatkan semua orang. Namun, dalam karya penyelamatan-Nya Ia mendahulukan mereka yang paling menderita. Itulah yang kita lihat pada hidup dan pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus, Sang Guru, dan Teladan kita (Luk 9: 10; Mat 9: 12).” Keberpihakan terhadap orang yang menderita bersifat imperatif kategoris dan melampaui segala status bahkan dalam hirarki Gereja sekalipun. Bukankah Yesus tidak membenarkan imam Lewi yang menelantarkan korban perampokan di jalan hanya karena alasan suci mengenai kenajisan? Keberpihakan para biarawan-biarawati terhadap korban adalah suatu ungkapan sikap etis yang terdalam dan contoh yang baik dalam meneladani Kristus. Justru penelantaran korban tindakan kriminal adalah tindakan yang dimensi etisnya patut dipertanyakan dan bisa jadi suatu kriminalisasi pada tataran pasif.

Namun pertanyaan selanjutnya, siapa yang menjadi korban? Dalam opini Oscar, yang berjudul “Menghakimi ataukah Praduga tak Bersalah”, dapat ditangkap adanya upaya pembalikan logika berpikir mengenai posisi korban dan pelaku. Pemilik Toko Roti Kaigi dianggap sebagai objek fitnah dari Truk-F, sedangkan sepuluh orang pekerja yang mengalami perlakuan diskriminatif tidak disinggung dan ditempatkan pada posisi manapun. Penemuan Truk-F akan fakta bahwa sepuluh orang karyawan toko Roti Kaigi telah diperlakukan secara diskriminatif, eksploitatif, dan tidak berperikemanusiaan sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka berada dalam posisi korban. Gereja dalam ajaran sosialnya menegaskan bahwa “hal yang sungguh memalukan dan tidak manusiawi adalah penyalahgunaan manusia sebagai sarana demi menangguk laba, serta memandang mereka tidak lebih dari pada tenaga dan sumber daya”. (Rerum Novarum, No. 17). Gereja sendiri, dalam ensiklik-ensikliknya (Rerum Novarum, Laborem Exercens, Pacem in Terris), menyatakan penghormatan dan keberpihakannya atas personalitas serta hak para buruh atas upah, penghidupan yang layak, jaminan sosial, perlindungan, dan juga kesejahteraan hidup rohani, yang oleh oknum pemilik toko Roti Kaigi sama sekali tidak diindahkan. Jika demikian, apakah pilihan yang berorientasi pada korban (victim-oriented) tidak mengandung didalamnya orientasi yang konsisten terhadap nilai-nilai Kristiani (values-oriented)? Human trafficking dalam segala bentuknya secara formal sintetik dilihat secundum se jahat. Berbagai bentuk perdagangan manusia bersifat mox niminata mala sunt dan immoral, karena itu tidak dapat dibenarkan atas alasan apapun.

Masalah selanjutnya yang diangkat oleh Charles Beraf adalah keterlibatan Gereja dalam hal ini biarawan-biarawati dalam proses hukum dan advokasi terhadap korban. Charles Beraf mengeritik dengan cukup tegas pentingnya mengutamakan modus vivendi kaum religius dari pada modus operandi-nya. Saya kira, partisipasi aktif kaum biarawan-biarwati dalam upaya advokasi korban dan penegakan hukum berhubungan dengan kasus ini tidak mengurangi nilai cara hidup religius yang mereka hayati. Bukankah kaum biarawan-biarawati atau pun religius Katolik, menjadi ujung tombak pelaksanaan berbagai program yang bertajuk JPIC yang dicanangkan Gereja. Pesan Sidang KWI tahun 2001 Pasal 19 menegaskan, “semakin bertambahnya jaringan aksi, aliansi, kelompok solidaritas dan relawan, organisasi/LSM lintas etnis, golongan, dan agama, yang bergerak di bidang pemberian bantuan hukum dan pemberdayaan kaum perempuan dan masyarakat kecil umumnya, merupakan modal bagi gerakan yang lebih luas dalam masyarakat. Keberadaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan semacam itu sangat didukung dan terus didorong. Kepedulian terhadap kaum kecil dan hak- hak asasi telah mengundang keterlibatan langsung banyak orang berkehendak baik, termasuk orang-orang kristen, baik kaum awam maupun para kaum religius dan orang-orang tertahbis. Selain memberikan bantuan dan pendampingan mereka juga menghimbau dan menggugah lewat pelbagai cara institusi-institusi dan para penguasa negara untuk bertindak sesuai dengan tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada mereka.” Di sini terlihat jelas kesadaran dan penghormatan terhadap berbagai kharisma Gereja. Pilihan para biarwan-biarwati dalam Truk-F, adalah suatu opsi dan bukan satu-satunya yang mencerminkan kekayaan kharisma Gereja. Opsi ini, adalah aksi yang mulia dan bernilai lebih jika dilandasi dengan refleksi serta kontemplasi yang memperlihatkan kekhasan spiritualitas Kristen. Kharisma ini secara gamblang juga membuka ruang bagi upaya pendampingan psiko-spiritual baik bagi korban maupun pelaku. Jadi, Gereja pada dasarnya berpihak pada korban, tetapi tidak mengabaikan pelaku. Ruang inilah yang disebut rekonsiliasi.

Rekonsiliasi tidak berarti membalikan fakta, mengesampingkan kebenaran, dan mengabaikan proses hukum yang berlaku. Secara etis, seseorang tetap bertanggungjawab atas konsekuensi yang ditimbulkan dari tindakan yang ia lakukan, jika tindakan tersebut melanggar hukum positif yang berlaku. Rekonsiliasi akan menjadi semu apabila korban dikonstruksikan untuk memaafkan pelaku dengan dalil mengupayakan kerukunan, tanpa menegakkan keadilan serta kebenaran. Dengan cara ini pelaku bisa menghindar dari tanggungjawab atas kesalahan yang ia lakukan dan berpotensi menimbulkan kesalahan yang sama dikemudian hari. Rekonsiliasi harus berasal dari kedua pihak. Dari pihak korban, rekonsiliasi berakar pada tindakan maaf yang lahir dari pemaknaan yang baru atas ingatan akan kekerasan dan pengalaman traumatis. Sedangkan dari pihak pelaku rekonsiliasi nyata dalam pertobatan dan sikap bertanggungjawab atas segala konsekuensi tindakannya, termasuk dalam ranah hukum positif. Dalam konteks inilah kita menggandengkan moralitas dan hukum, etika kepedulian dan etika keadilan. Jadi hukum dapat ditegakkan demi keadilan, tanpa kebencian ataupun niat membalas dendam.


Catatan Akhir


Gereja menolak dengan tegas segala bentuk human trafficking. Gereja juga menghormati berbagai kharisma yang ada dalam tubuhnya dan mendukung segala upaya penanggulangan human trafficking lewat berbagai cara dalam bidang-bidang kehidupan bersama, sejauh tetap konsisten berpegang teguh pada ajaran Kristus, dan ajaran sosial Gereja.


2 komentar:

  1. Perseteruan dua pihak ini belum juga tuntas ko? Saya pikir baik P. Otto, Truk-F, dan Pak Oscar Mandalangi sebaiknya merenungkan kembali jalan perjuangan yang sudah mereka tempuh. Kalau ada yang salah, semestinya terbuka kedua pihak akui lantas kembali fokus pada masalah utama; dugaan human trafficking itu.
    Menurut saya, perseteruan ini perlu dilihat dalam konteks sosial yang lebih luas. Saya pikir pilihan Pak Oscar berseberangan dengan P. Otto (Truk-F) dalam kasus Roti Keigi karena perbedaan cara pandang penyelesaian kasus-kasus sebelumnya yang ditangani Truk-F, terutama pada kasus KDRT. P. Otto (Truk-F) mengambil pendekatan hukum dalam penanganannya sementara Pak Oscar sebagai budayawan melihat dari perspektif budaya.
    Kasus ini hanya sebagai pemicu konfrontasi terbuka dua pihak ini. Pak Oscar menemukan celah membuka konfrontasi terbuka dengan Truk-F ketika P. Otto memprovokasi masyarakat Sikka untuk memboikot Toko Roti Keigi.

    BalasHapus
  2. Menurut saya kejahatan kepada kemanusiaan dalam bentuk apapun apalagi secara sistematis harus dilawan karena pada dasarnya buruk dan punya konsekuensi moral serta legal. Jadi, kalau kasus roti Kaigi sudah terbukti menyentuh aspek kejahatan terhadap kemanusiaan (human trafficking) maka harus dilawan, dan diproses secara legal (hukum). Proses hukum sebenarnya tidak mengurangi hubungan relasional pastor (P.Otto) dan pihak Kaigi, karena dua hal ini berjalan pada ruang yang berbeda. Pater Otto, bertindak sebagai advokator, secara personal kalau pun institusional dia mewakili Truk-F bukan kaum klerus umumnya apa lagi Gereja universal. Ini berbeda sekali.
    Kalau soal, provokasi, kami sudah diskusi bahwa Pater Otto tidak pernah buat suatu provokasi langsung. Pernyataan disampaikan dalam bentuk opini yang sudah jadi polemik di koran. Opini di media sebenarnya suatu yang bagus karena itu bisa menjadi diskursus publik, bukan suatu serangan geriliya. Masalah semakin rumit, krena ada penafsiran berlebiihan dari pihak lain tentang opini dan beberapa pernyataan Truk-F, bahkan dibuat suatu kampanye tertentu yang oleh Truk-F dianggap melecehkan nama baik, sehingga Truk-F membuat laporan balik. Dialog tidak mencapai kesepakatan sehingga pengadilan menjadi opsi yang mungkin baik dan bisa jadi pembelajaran publik :)

    BalasHapus